Author's Note: Halo semuanya! Akhirnya saya bikin fic lagi setelah sekian lama hiatus. Mungkin beberapa dari kalian ada yang udah pernah baca cerita yang intinya mirip dengan cerita ini. Yah, saya akui ini cerita emang bukan murni dari kepala saya. Saya berterima kasih banyak buat Kak Agnes Jessica karena udah nulis novel 'Three Days Cinderella', Kak Irena Tjiunata karena udah nulis novel 'The Twins Exchange' ama sahabat saya, Regina karena udah ngasih beberapa ide buat cerita ini. Saya dapet inspirasi dari kalian semua. Thank you, thank you all!
Tekken © Namco
Beat it © Michael Jackson
SWITCH! © Livia Hederstein
Warning: AU, OOC, gaje, POV bisa berubah sewaktu-waktu
Don't like, don't read
CHAPTER 1: THE MEET
Sebelum baca ficnya, baca ini dulu:
-Beberapa Tekken Chara akan 'diusutkan' umurnya (Ichi-san, kata-katanya aku pakai gapapa kan?).
-Lee dan Violet adalah 2 orang yang berbeda. Di sini Violet pakai kacamata minus, bukan kacamata hitam.
-Dragunov: "Saya ngomong lho di fic ini. Nggak 'bisu' lagi kayak biasanya."
Lee's POV
"Just beat it, beat it
No one wants to be defeated
Showin' how funky strong is your fight
It doesn't matter who's wrong or who's right
Just beat it, beat it."
Lagu itu mengalun dari mini compoku yang terletak di meja di sudut kamarku. Tangan dan kakiku bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi sekaligus penari favoritku, Michael Jackson. Aku mengambil topi fedora yang tergeletak di atas ranjang dan memakainya. Sesekali aku melakukan gerakan moonwalk sambil memegangi bagian atas topi yang kupakai, menirukan gaya the king of pop itu.
BRAK! Tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan di ambang pintu muncul sesosok pria yang sudah sangat kukenal yaitu Heihachi Mishima, ayahku. Dengan sigap aku melempar topiku sembarangan dan mematikan mini compoku. Aku sudah tahu apa yang ayah akan lakukan.
"Lee Chaolan, kamu sedang apa?" Bentaknya, yang menurutku seperti petir menggelegar.
"Err… tidak ada." Jawabku asal.
"Sudah ayah katakan, jangan nge-dance lagi. Itu tidak ada gunanya!"
Aku mengangguk pelan, berpura-pura menyetujui pendapat ayah.
"Hmm.. PR matematika yang diberikan gurumu pada hari Kamis sudah kau kerjakan?" Tanya ayah.
"Be.. belum, yah." Jawabku terbata-bata.
"Belum?" Teriak ayah. "Bukankah soal itu sudah diberikan dua hari yang lalu? Lalu apa yang kaukerjakan selama ini?"
Ayah berkata lagi, "Kalau kamu malas mengerjakan soal, bagaimana kamu bisa menang dalam lomba matematika se-Tokyo?"
Apa? apa aku tidak salah dengar? Ayah mendaftarkan aku untuk mengikuti lomba? Se-Tokyo lagi! Aku hanya bisa berharap bahwa hari ini adalah tanggal 1 April, tapi itu tidak akan mungkin, tentu saja.
"Dulu saat ayah seumuranmu, ayah sering juara kelas, nilai matematika ayah merupakan nilai tertinggi. 2 tahun lalu Kazuya memenangkan lalu, Lars juga memenangkannya. Tahun ini, kau yang harus mengikuti lomba itu, Lee. Siapa tahu kau juga bisa ikut olimpiade se-Jepang, seperti mereka." Jelas ayah.
"Ayah, ayah tidak bisa berkata seenaknya saja begitu. Jangan memaksakan kehendakku!" Jawabku.
"Terserah apa katamu. Pokoknya ayah tidak mau dengar lagu Mike Tyson…"
"Michael Jackson, ayah." potongku. Aku tidak terima jika nama idolaku diganti-ganti sembarangan.
"Ya lagunya itulah, atau sebangsanya, ayah tidak mau dengar lagi. Dan ayah tidak mau melihatmu melakukan gerakan-gerakan tidak jelas itu lagi." Kata ayah yang dilanjutkan dengan menutup pintu kamarku dengan setengah membanting. Dasar ayah!
-oOo-
"Aduh, Kaz, aku tidak mengerti!" Kataku sembari menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
"Payah kau, Lee!" Ujar Kazuya, kakakku dengan setengah membentak. "Ya sudah, pakai cara yang lebih mudah saja. Pertama-tama dibagi dulu, lalu kalikan dengan yang ini, lihat, ini masih X kuadrat kan? Diakar dulu untuk mendapatkan hasilnya. Mengerti?"
"Hoaaaeeemmm…" Aku menguap.
"Lee!" Teriak Kazuya sambil menepuk punggungku. "Sudah mengerti belum?"
"Belum." Jawabku singkat.
Kazuya menepuk jidatnya. "Aduh, capek deh! Kesabaranku sudah HABIS gara-gara kamu!" Ujarnya, dengan memberi penekanan pada kata 'habis'. Lalu meninggalkanku begitu saja dengan lembar soal yang masih mulus karena sama sekali belum dijawab.
Beberapa detik kemudian, Lars, adikku, masuk ke kamarku dan bersiap menjelaskan soal matematika yang tidak kumengerti. Mungkin kalian berpikir ini lucu, masa' aku, yang sudah kelas dua belas diajari matematika oleh adikku yang masih kelas sepuluh? Tapi bagi ayah, Kazuya dan aku sendiri ini adalah hal biasa. Kemampuan matematika Lars di atas rata-rata.
"Aku disuruh Kazuya nii-san untuk mengajari Lee nii-san. Mana yang Lee nii-san tidak bisa?" Tanyanya.
"Semuanya." Jawabku dengan singkat, padat, dan jelas (?).
Mata Lars terbelalak begitu mendegar jawabanku. "Ya sudah, sini aku ajarkan." Katanya.
Lars menjelaskan langkah-langkah kerjanya. Ia menjelaskan dengan penjelasan yang sama dengan Kazuya. Bedanya, Lars menjelaskannya dengan lebih sabar.
"Mengerti?" Tanyanya.
Aku menggeleng. Oke, aku payah sekali kan?
"Bagaimana Lee nii-san bisa ikut lomba matematika se-Tokyo kalau yang seperti ini Lee nii-san tidak bisa?"
"Apa katamu,Lars? Jadi aku benar-benar diikutkan dalam lomba?" Tanpa sadar, tanganku menggebrak meja.
Lars menggangguk. "Aku, ayah dan Kazuya nii-san yang memutuskannya."
"Oh, tidak bisa! Aku tidak mau ikut lomba itu! Aku lebih memilih nge-dance seharian saja!"
"Lee nii-san pikirannya nge-dance terus. Sudahlah, kita lanjutkan belajarnya." Kata Lars.
Ya ampun! Semua orang di rumah begitu menginginkan aku ikut lomba. Seseorang, gantikan aku, dong!
-oOo-
Violet's POV
Ada seorang remaja SMA cowok yang tinggal di sebuah kost karena kedua orang tuanya ada urusan bisnis di luar negeri, tepatnya di Inggris. Ia suka sekali matematika. Sedangkan teman sekamarnya, yang juga adalah teman sekelasnya menyukai dance dan music hip hop. Ia paling tidak suka jika teman sekamarnya itu memutar lagu hip hop dan nge-dance sendiri di kamar, apalagi jika ia sedang mengerjakan soal. Karena itu bisa mengganggu konsentrasinya. Sebaliknya, teman sekamarnya juga tidak suka jika ia mengerjakan soal matematika karena tidak ada yang bisa diajak nge-dance.
Remaja cowok yang kumaksud tadi tidak lain dan tidak bukan adalah aku, sedangkan teman sekamarnya adalah Sergei Dragunov.
"Aku sudah selesai!" Kataku setelah mengerjakan soal matematika.
"Baguslah kalau begitu." Kata Sergei. "Ayo, kita nge-dance sekarang."
"Apa?" Tanyaku.
"Kita nge-dance sekarang. Bukankah kau sudah selesai mengerjakan soal?"
"Tapi.."
"Sudahlah, tunggu apa lagi?" Sergei menarik tanganku.
Mau tidak mau, aku mengikutinya.
Aku paling 'alergi' dengan yang namanya nge-dance. Itu karena aku tidak suka beraktivitas seperti olahraga, senam dan lainnya. Tetapi aku suka matematika. Bagiku, mengerjakan matematika itu menyenangkan. Kita bisa melatih untuk berpikir secara logis.
-oOo-
"Gerakanmu kaku sekali, Violet!" Kata Sergei.
"Tapi aku memang tidak bisa." Kataku.
"Masa gerakan semudah ini saja tidak bisa. Dengarkan lagunya dan gerakkan tubuhmu sesuai dengan irama. Seperti ini!" Sergei menggerakkan tanganku dan aku tidak bisa mengelak sehingga tanganku sakit.
"Aduh!" Pekikku.
"Makanya, kalau kamu tidak mau merasa sakit, lakukanlah sendiri." Kata Sergei. "Kau tahu, di sekolah kita akan diadakan lomba dance antar kelas dua minggu lagi dan kau harus jadi satu tim denganku!"
"Sergei, sudah kuingatkan berkali-kali bahwa aku tidak suka dan tidak bisa nge-dance, jadi.."
"Aku tidak mau dengar itu lagi darimu." Potongnya. "Ingat, Violet. Kalau kamu tidak mau menjadi satu tim denganku, akan kubakar semua kertas soal-soal latihan yang kaudapat dari kursusmu itu!"
Aku bergidik ngeri. Tega sekali Sergei melakukan itu!
"Nah kita lanjutkan latihannya." Kata Sergei.
Aku tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti kemauannya dan melakukan semampuku.
-oOo-
15 menit kemudian…
"Oke. Sudah selesai. Besok kita mantapkan lagi." Kata Sergei.
"Apa?" Kataku kaget.
"Kau tidak dengar, Violet? Aku bilang, besok kita mantapkan lagi."
Aku mengangguk. Dengan terpaksa tentunya.
"Piip..piip.." Ponselku berbunyi tanda jam menunjukkan pukul tiga tepat. Sengaja kusetel begitu agar aku tidak terlambat kursus matematika.
"Sergei, sekarang sudah jam tiga. Aku mau pergi ke kursus." Kataku sambil memasukkan semua lembar soal ke dalam map plastik.
"Ya, terserah." Sergei menjawab dengan nada malas.
"Baiklah, aku pergi dulu ya Serge.." Kataku sambil membuka pintu.
"Tunggu dulu, Violet." Potong Sergei.
Aku kaget. Jangan-jangan Sergei menghentikanku kursus lagi untuk nge-dance, seperti minggu lalu. Jantungku sudah berdebar-debar tak karuan.
"Nanti kau pulang jam lima kan?" Tanya Sergei.
"Iya, lalu?"
Sergei berpikir sejenak, lalu berkata, "Tolong belikan aku mie ayam di kedai mie Marshall Law. Kedainya di dekat kursusmu kan? Ini uangnya." Ia membuka dompetnya dan memberiku sejumlah uang.
"Jangan lupa ya, Violet! Kalau kamu ingin mie, sekalian saja beli. Tapi pakai uangmu, dong!" Katanya lagi, sambil menunjukkan senyumnya yang jarang sekali kulihat.
"Ternyata.." batinku. Aku lega sekali karena tidak disuruh nge-dance.
"Err.. Sergei, aku cabut dulu ya. Nanti aku terlambat." Kataku.
"Ya." Jawabnya singkat.
Aku menutup pintu kamar , menuju halaman depan tempat kost dan melarikan sepeda motorku ke tempat kursus.
-oOo-
Lee's POV
Sepertinya Lars sudah capek mengajariku dan dia menyuruhku mengerjakan semua soal ini sendirian. Kulihat jam dinding. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul lima sore! Berarti aku sudah dua jam membiarkan soal-soal ini tidak terjawab. Rasanya aku ingin kabur dari rumah, hidup entah di mana tanpa matematika!
Tunggu dulu, kabur dari rumah! Itu dia! Tapi aku tinggal di mana nanti? Ah, sudahlah, itu urusan belakangan. Jadi, langsung saja aku memasukkan barang-barangku ke dalam ransel, termasuk topi fedora kesayanganku tentunya. Selanjutnya, kuambil selimutku, yang masih terbeber di ranjang dan kubentuk menyerupai tali, sehingga bisa membantuku turun melalui balkon. Tanpa pikir panjang, aku langsung turun.
BUGH! Aku sudah mendarat di halaman dengan aman.
"Excellent." Gumamku pelan kepada diriku sendiri.
Selanjutnya, memanjat pagar. Pagar rumahku sangat tinggi dan aku tidak yakin kalau aku bisa memanjatnya, walaupun dulu aku suka memanjat pohon. Pohon dan pagar beda, kan? Kupanjat sedikit demi sedikit, dan kucegah diriku untuk melihat ke bawah. Beberapa menit kemudian, aku sudah di luar rumah. Ternyata tidak sesulit yang kukira, lalu aku melangkahkan kakiku tanpa arah dan tujuan.
-oOo-
Sekitar lima belas menit sudah berlalu. Sekarang, aku tersesat. Yang jelas, tempat ini sudah agak jauh dari rumahku. Dan sialnya lagi, perutku keroncongan.
Seolah keajaiban telah datang, aku sampai di depan kedai mie, yang adalah kedai mie Marshall Law, setelah kubaca papan namanya. Langsung saja aku masuk dan ikut mengantre. Untung saja, antreannya tidak panjang, tinggal satu orang, yaitu orang berambut violet yang membawa map plastik di depanku ini. Jadi aku bisa cepat-cepat menikmati mie yang menggiurkan ini!
"Terima kasih, ini uangnya." Kata orang berambut violet tadi kepada pemilik kedai ini, yang sepertinya adalah Marshall Law.
Deg! Aku kaget sekali saat orang itu berbalik ke arahku. Pandangan kami bertemu. Sepertinya orang itu juga kaget. Matanya, yang berada di balik kacamata yang warna bingkainya sama dengan rambutnya membulat.
"Kamu.." Kataku.
"Kau.." Katanya.
"Mukamu mirip sekali dengan mukaku." Kataku
"Wajahmu mirip sekali dengan wajahku." Katanya, nyaris bersamaan denganku.
Lalu kami diam beberapa saat dengan posisi tangan saling menunjuk. Lalu kami tertawa.
"Haha, ternyata suara kita mirip ya." Katanya.
"Dan gaya bicara kita juga mirip." Sambungku.
"Jadi siapa namamu?" Ia menjulurkan tangannya.
"Lee Chaolan." Jawabku sambil menjabat tangannya. "Namamu?"
"Violet."
"Hmm.. Violet, kamu baru pulang dari kursus matematika?" Tanyaku setelah kulihat soal-soal dalam map plastiknya.
Violet mengangguk. "Ya. Karena aku suka sekali matematika."
'Satu lagi pecinta matematika' batinku.
"Kau juga suka matematika, Lee?" Tanyanya.
"Tidak! Aku benci matematika! Kau tahu, ayah dan saudaraku menyuruhku mengikuti lomba matematika se-Tokyo! Padahal aku sama sekali tidak bisa matematika."
"Sebenarnya aku juga mau ikut lomba itu, tapi aku takut dengan teman sekamarku. Dia tidak suka melihatku mengerjakan soal-soal matematika dan aku dipaksa nge-dance seharian. Dan lagi, dua minggu lagi ada lomba dance antar kelas di sekolahku. Aku disuruh menjadi satu tim dengannya. Kalau aku menolak, soal-soal latihanku dari kursus akan dibakar olehnya!" Jelasnya panjang lebar.
"Apa katamu? Nge-dance? Wah, aku suka itu!" Kataku. "Dan tadi kau bilang 'teman sekamarmu'. Kau tinggal di kost?"
Violet mengangguk.
Tiba-tiba, di kepalaku terlintas sebuah ide, "Hei, Violet, bagaimana kalau kita bertukar tempat?"
"Bertukar tempat? Apa maksudmu?" Tanyanya polos.
"Jadi, nanti kita akan bertukar kehidupan. Aku jadi kamu dan kamu jadi aku. Kamu akan tinggal bersama ayah dan saudaraku sedangkan aku akan tinggal bersama teman sekamarmu, di kost tempat kau tinggal."
"Tapi, Lee, bagaimana kalau nantinya ketahuan? Walaupun wajah kita mirip, tapi rambut kita beda warna. Dan lagi, mataku minus, pandanganku terlihat kabur jika aku menjadi kamu yang tidak memakai kacamata Dan lagi..."
"Warna mata kita berbeda." Potongku.
"Kau benar! Bagaimana cara menutupi semua ini?"
"Tenang saja, Violet. Bisa diatur." Kataku, menirukan gaya bicara seorang bintang iklan rokok.
…To be Continued…
Author's note: Nah, dari chapter 1 nya aja udah kelihatan kan kalo gaje dan gak excellent? (?)
POV nya gak seimbang ya? (POVnya Lee lebih banyak dari kembarannya *baca: alter egonya*) Di chapter berikutnya POVnya akan saya usahakan untuk diseimbangkan.
Selisih umurnya Kazuya, Lee ama Lars itu cuma karangan saya. Mungkin aslinya gak segitu . (Saya beritahu selisih umur Lee dan Kazuya di chapter berikutnya)
Alasan saya milih Dragunov buat jadi temennya Violet itu karena:
1. Saya bingung, mau pakek siapa lagi.
dipikir-pikir saya kok jadi suka pairing LeexDragunov ya? (CRACK PAIRING MODE: ON) *tapi di sini sih DragunovxViolet*
Akhir kata, enaknya nih fic tetep disimpen atau dibuang? (jujur!)
