Title: Finally… You and I
Cast: Kim Jaejoong, Jung Yunho, Shim Changmin, Yunho's Mother (I don't have any idea about her name, any suggests?), Go Mira.
Genre: Romance, friendship, hurt.
Rate: T
Author: Uci.
Warning! Boy love, ada pairing Yunho-Mira (OC –karakternya bayangin sendiri ya~).
a/n: ff ini terinspirasi dari sebuah MV. Ntar kalo tamat baru deh ane kasih tau MV apaan, atau kalo ada yang udah tau duluan :3
Dan sebenernya ini mau di post di blog, tapi berhubung mau kewarnet males dan kalo pake modem lelet akhirnya ane putuskan untuk ngpostnya ke fb dulu. :3
Hope you'll like it 3
Seorang pria muda yang rupawan terlihat begitu bahagia bersama seorang anak kecil yang bermain di dekatnya. Jikalau orang tidak cermat memperhatikan pakaiannya, mungkin pria itu akan dikira seorang ibu cantik bersama anaknya. Namun kenyataannya dia seorang pria –dan orang-orang yang sempat mengira ia wanita akhirnya memutuskan kalau pria itu adalah ayah dan anaknya –terlihat sangat manis berdua. Wajahnya mengukir senyuman setiap kali sang anak berulah atau berceloteh tidak jelas, atau saat anak yang baru belajar berjalan itu berjalan agak terhuyung ia akan lekas menangkapnya –kemudian mengangkat tinggi-tinggi anakk itu sampai terkikik berdua dan mendekapnya dalam pelukan hangat. Mereka berdua benar-benar terlihat manis.
"Ma… ma!" celoteh anak kecil itu, berjalan agak terhuyung ke arah pria yang dipanggilnya dengan sebutan tak seharusnya.
Pria itu lantas tersenyum dan merentangkan tangan, membuat sang anak terdorong untuk berjalan semakin cepat namun beberapa kali ia hampir terjatuh sebelum akhirnya si pria mendekapnya, dan memberikan sebuah kecupan singkat di bibir sebagai hadiahnya.
"Changmin ah," ujar si pria, membiarkan si anak duduk dipangkuannya –menghadapnya. "Bagaimana kalau mulai hari ini aku akan mengajarimu untuk memanggilku dengan sebutan yang benar," katanya sambil menatap bocah laki-laki yang balas menatapnya bingung. "Karena kau memanggil ayahmu Papa, seharusnya kau memanggilku…" pria itu menggantung kalimatnya, terlihat berpikir panggilan untuknya yang paling pas.
"Ma! Ma!" seru bocah itu dengan riang sambil bertepuk tangan, seolah dia memberi jawaban atas kebingungan pria yang disayangnya itu.
"Ahaha!" si pria mengecup pipi sang anak dengan gemas. "Bagaimana kalau Daddy?" gumamnya. Pria itu menatap lekat sang anak. Bola mata yang sama-sama bulat itu saling memandang.
"Apanya yang Daddy?" sebuah suara berat yang tiba-tiba menyapa, mengejutkan si pria dan membuat si anak semakin riang. Dalam pangkuan pria yang disebutnya Ma! Ma! ia melonjak-lonjakkan tubuhnya.
"Pa! Pa!" teriaknya riang, menatap kebalik kepala pria yang memangkunya.
Dan sesosok pria tinggi besar langsung duduk di samping pria yang lebih dulu berada disana bersama anaknya. Dia menyimpan kantong plastik yang dibawanya, kemudian mengambil alih si kecil. "Daddy? Siapa yang Daddy, hm?" katanya pada sang anak –namun menyindir pria di sampingnya. Diapun melirik pria yang sedang dibuatnya tersinggung, pria itu lantas mencebilkan bibirnya.
"Bukankah dia seharusnya memanggilku Daddy? Atau Papi? Atau—"
"Ma… ma…" perkataan si pria manis itu lagi-lagi di sela oleh sang anak, dan itu membuat pria disampingnya tertawa renyah. Dia mendecak dan pura-pura marah pada mereka, namun tatapan polos sang anak dan kedua tangannya yang terulur padanya membuatnya luluh. Ia mengambil alih lagi anak itu dan memeluknya lembut.
"Hangat sekali~" gumamnya, menikmati kehangatan tubuh si anak dalam dekapannya. Ia tak sadar sepasang mata tengah memperhatikan interaksi ringannya dengan si anak dengan senyuman tipis namun tulus di bibirnya.
"Changmin ah! Kemari~~" seru Yunho –memancing perhatian putranya dengan merentangkan kedua lengannya. Namun sepertinya Changmin kecil lebih tertarik dengan sesuatu yang baru saja ditemukannya diantara rerumputan, hingga ia tak mengacuhkan panggilan ayahnya.
Jaejoong tertawa lepas –sengaja menyinggung Yunho yang menekuk bibirnya.
"Bagaimana mungkin anakku lebih menurut padamu," gerutu Yunho –hanya main-main. Dia masih memperhatikan anaknya yang tengah bermain tak jauh dari tempat mereka duduk.
"Itu karena kau tidak sering meluangkan waktu untuknya," sahut Jaejoong tanpa mengalihkan perhatiannya dari si anak. Kemudian ia menyadari bahwa suasana diantaranya dan Yunho berubah canggung. Mendadak ia merasa telah mengatakan sesuatu yang salah. Ia menoleh perlahan dan menemukan Yunho masih memperhatikan Changmin, namun tatapannya terlihat kosong. Oh damn! Dia salah bicara sepertinya.
"Aku akan selalu teringat Mira saat aku hanya berdua saja dengan Changmin," gumam Yunho, kali ini tatapannya tak lebih jauh dari sebatas ujung sepatunya. Pria itu terlihat terluka, dan jelas Jaejoong merasa bersalah karenanya.
"Aku tau kau pasti kesulitan," kata Jaejoong, menekuk lututnya dan memeluknya. "Changmin sangat mirip Mira, tapi aku rasa itu tidak adil untuknya kalau kau selalu menghindar dari dia. Kau satu-satunya yang dia punya, Yunho. Kau harus bisa mengalahkan kesedihanmu," sambungnya sambil menyimpan tangannya di punggung Yunho, dan mengusapnya lembut –berusaha menenangkan pria itu.
Yunho mengangkat wajahnya –memandang Jaejoong sesaat dengan senyuman yang terlihat menyedihkan. Ia menengadahkan wajahnya –menatap langit yang sebagian besar terhalangi oleh daun-daun pepohonan. "Kadang aku berandai-andai," katanya. Ia bergerak mengecek rumput dibelakangnya, dan sedikit membersihkannya dari beberapa daun kering –kemudian ia berbaring disana dengan kedua tangan dilipat dibawah kepalanya. Matanya yang sipit namun tajam menatap langit yang cerah. "Andai waktu itu aku tidak jatuh cinta pada Mira," lanjutnya sambil memejamkan matanya.
"Yunho—" Jaejoong tersentak mendengar pengakuan Yunho yang terlihat santai namun ia tau pria itu sedang tidak baik-baik saja.
"Andai aku tidak menikahninya. Andai saja aku menepati janji konyol kita untuk tidak pernah menikah dan hanya berteman denganmu selamanya. Andai—"
"Yunho, cukup!" bentak Jaejoong yang terlihat tidak tahan. Mata bulatnya berkaca-kaca, entah kenapa perkataan Yunho justru menyakitinya. Ia mengalihkan pandangannya ketika Yunho sudah membuka matanya –menatapnya. "Jangan seolah-olah hanya kau yang menderita," ujar pria itu dengan nada yang dia buat datar. Ia kemudian bangkit dan menghampiri Changmin yang terlihat ketakutan –bahkan saat ia mulai mendekap anak itu menangis.
Yunho bangkit dari posisi berbaringnya. Dia memandang punggung sempit Jaejoong yang tengah menimang-nimang putranya. Mendadak ia merasa menjadi orang teregois di dunia. Ia selalu mengeluh –seolah ia adalah satu-satunya orang yang paling menderita setelah kematian istrinya, padahal itu tidak benar. Ada Changmin yang seharusnya lebih menderita karena tak sempat merasakan kehangatan dari pelukan ibu kandungnya, dan juga Jaejoong…
Ia bangkit berdiri, setelah menepuk celananya untuk menghilangkan kotoran yang menempel, Yunho berjalan menghampiri sahabat dan anaknya.
"Maafkan aku, Jaejoong," katanya pelan –tangannya ia simpan di bahu sahabatnya itu.
"Kau seharusnya meminta maaf saja pada Changmin," balas Jaejoong tanpa mau menoleh. Dari balik punggung Jaejoong, ia lihat anaknya dalam dekapan sahabatnya itu. Ia merasa sangat bersalah pada putranya. Karena keegoisannya –ia jadi seperti menelantarkan putranya sendiri. Ia memang tidak seharusnya terus berlarut-larut dalam kesedihannya ditinggal sang istri –karena buah hatinya sangat membutuhkannya yaitu satu-satunya orangtua yang ia miliki.
"Ayo, kita pulang saja. Changmin ngantuk," kata Jaejoong lagi, kali ini dia berbalik –menatap Yunho yang raut wajahnya terlihat lelah. Ia kemudian tersenyum lembut yang tak lama kemudian dibalas oleh Yunho dengan tak kalah lembutnya. Mereka saling tersenyum meskipun dengan alasan mereka masing-masing, dengan Changmin –yang sering mereka sebut sebagai anak mereka tertidur dengan wajah polosnya yang damai di antara mereka.
"Maaf Yunho dan Changmin selalu merepotkanmu, Jaejoong ah~" kata seorang wanita paruh baya sambil membetulkan letak selimut pada tubuh kecil Changmin yang pulas di tempat tidurnya.
"Ah, Omma~ aku bukan orang lain kan," balasnya –tersenyum lembut menatap wajah damai Changmin. Ia membungkuk dan mengecup kening sang anak. "Lagipula aku sangat menyayangi Changmin, seperti anakku sendiri. Jadi menjaganya setiap hari bukanlah masalah untukku, Omma," imbuhnya –ia menatap ibu Yunho dan tersenyum. Ia mendapat balasan dari wanita tersenyum, namun ia juga menyadari ada kesedihan tertentu dibaliknya.
"Andai saja—"
"Omma~ please don't," sela Jaejoong sambil mengusap-usap pundak ibu sahabatnya yang selama ini sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
"Ah, Jaejoong ah~ biarkan aku memelukmu," dan keduanya berpelukan hangat –layaknya ibu dan anak yang sesungguhnya. Keduanya menyimpan kesedihan satu sama lain dan sebuah rahasia yang mereka simpan dalam-dalam agar Yunho tak mampu menguaknya.
"Jaejoongie kau sudah siap—"
Suara Yunho menginterupsi ibunya dan sahabatnya yang tengah berpelukan. Ia dapat melihat sesuatu dalam pelukan itu. Dan ketika keduanya saling melepaskan, ia jelas sekali melihat kesedihan di mata besar Jaejoong. Ada apa sebenarnya? Dia sudah sering sekali melihat interaksi ibunya dan Jaejoong yang seperti ini, bahkan sebelum dia dan almarhum istrinya benar-benar menikah. Atau kah yang selama ini ia dengar dari orang (dan lama-kelamaan ia juga sedikit meyakininya) memang benar kenyataannya, bahwa Jaejoong sebenarnya juga menyukai Mira –istrinya?
Selama perjalanan menuju tempat tinggal Jaejoong –mendadak suasana diantara mereka jadi canggung. Jaejoong sebenarnya tidak begitu mengerti kenapa Yunho jadi pendiam, padahal masalah yang tadi sore sudah mereka bawa kesebuah percakapan biasa. Atau memang Yunho sedang banyak pikiran?
"Yunho?" panggilnya, agak pelan. Dia menoleh sedikit untuk melirik sahabatnya yang terlihat terlalu fokus pada kemudinya.
"Hm?" jawab pria itu singkat. Dan Jaejoong semakin menduga kalau Yunho pasti sedang dalam suasana hati yang kurang baik. Tapi karena apa? Setelah dari piknik, ia pikir tidak ada sesuatu yang harus membuat mood Yunho jadi jelek.
"Mampir ke mini market sebentar, aku ingin membeli sesuatu," katanya beralasan, padahal sebenarnya ia hanya ingin menguji seberapa buruk mood Yunho.
"Ok," sahut singkat Yunho lagi. Kali ini Jaejoong benar-benar merasa tak tau dan dia jadi penasaran. Ada apa sebenarnya dengan sahabatnya itu? Kenapa moodnya berubah tak bagus begini? Pikirannya mulai kemana-mana saat Yunho sudah berhenti di sebuah pelataran parkir sebuah mini market. Terpaksa ia hentikan sejenak pikirannya yang sibuk menerka-nerka, dan keluar dari mobil sang sahabat.
Jaejoong menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia membenamkan wajahnya ke bantal, menikmati seluruh sendinya yang seperti bernafas lega setelah ia berada di kasurnya. Kemudian ia bergerak telentang, menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya kembali melayang pada Yunho yang tetap seperti mendiamkannya. Ia menghela nafas berat saat tak menemukan kemungkinan kecil penyebab Yunho berubah seperti itu. Bahkan ia sengaja mengatakan bahwa ia membeli beberapa rokok, dan malam ini Yunho tidak mengomel padahal biasanya pria itu sampai membuang rokoknya –biar masih utuh. Atau Yunho jadi marah setelah memikirkan kata-katanya saat mereka piknik tadi? Tapi bukankah Yunho sendiri yang lebih dulu minta maaf? Ah, benar-benar.
Ia bergerak lagi, mencari posisi yang lebih nyaman sampai matanya menemukan figura dimana disana ada fotonya bersama Yunho dan istrinya. Go Mira –gadis cantik berambut ikal panjang itu berada di tengah mereka, tersenyum dengan cerah. Dia tak heran kalau Yunho sampai jatuh cinta padanya, padahal mereka baru beberapa kali bertemu. Kalau saja dia tidak sedikit berbeda, mungkin ia juga akan jatuh cinta pada gadis periang sepertinya.
"Mira…" gumamnya tanpa sadar. Ia meraih figura itu dan membawanya kedepan wajahnya. "Andai saja waktu itu aku tidak membawamu bertemu dengan sahabatku…" katanya pelan. Dia mengusap-usap setiap wajah tersenyum dalam foto itu dengan ibu jarinya. Kenangan masa lalu yang tak pernah ia lupakan langsung terkuak dalam benaknya. Urutan peristiwa saat itu masih begitu jelas dan nyata, membuat Jaejoong jadi mencelos karena pikirannya sendiri. Ia lantas kembali menyimpan figura tersebut di atas meja. Lalu ia bangkit duduk dan mendesah panjang.
Karena tak ingin berlarut-larut, akhirnya ia memutuskan untuk mandi.
To be continued~
