Detective Conan © Aoyama Gosho

.

Warning : OOC, Typo(s), etc.

.

Happy reading minna-san!

.

Masumi Sera bosan.

Gadis yang sekilas seperti laki-laki itu meletakkan kepalanya di atas meja, menghela nafas dan mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Begitu diulang beberapa kali. Matanya melirik ke jalanan di balik jendela, hanya sejenak sebelum kembali pada papan datar meja kayu di sudut lurus pandangannya.

Titik-titik embun di luar gelas jus miliknya ia abaikan, meski itu semakin lama turun membasahi meja. Ia tidak peduli, akan ada pelayan yang membereskan itu nantinya. Seharusnya apa pun yang ia lakukan di cafe itu tidaklah masalah, karena ia adalah pengunjung.

"Kau sepertinya hanya setengah niat menjalani hidup. Sudah berencana mati?"

Seharusnya begitu, andai saja yang menjadi pelayan di cafe itu bukanlah seorang detektif berkulit gelap dengan rambut pirang pucat yang sedang menatapnya seolah mereka berada di derajat yang berbeda. Dan seandainya yang ia kunjungi bukanlah Cafe Poirot.

Tapi ia tidak punya pilihan, atau dipaksa memilih tempat itu, atau mungkin hanya kebetulan tempat itu yang ia tahu.

"Aku bosan. Ran dan yang lain pergi liburan dan sekarang aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

"Heran juga melihatmu berada di sini sambil memandangi gelas jus dan jalanan secara bergantian. Biasanya kau tiba-tiba muncul di acara liburan mereka entah bagaimana caranya."

Sera meliriknya sinis. Jelas sekali yang tadi itu sebuah sindiran.

"Aku juga merasa sama tentangmu. Kau juga biasanya tiba-tiba terlibat kasus di tempat tidak seharusnya kau berada," balas Sera. Ia sudah menegakkan badannya untuk menantang pandangan Amuro.

"Begitukah? Kupikir itu hanya kebetulan."

Sera mengerlingkan mata jengah. Jelas sekali itu sudah kau rencanakan.

"Ini." Amuro mengulurkan buku catatan dan pena kepada Sera, tapi gadis itu tidak segera menyambutnya. Terpaksa Amuro meletakkannya di meja, agak jauh dari gelas jus supaya tidak basah. "Kau itu anak SMA, sedikit kreatiflah. Jangan hanya berlatih bernafas, kau sudah bisa melakukannya tanpa harus belajar sampai sejauh ini."

"Apa ini?" Sera mengernyitkan dahi tidak paham.

"Pena dan buku catatan."

"Tentu mataku tidak buta untuk melihatnya dan aku bukan berasal dari jaman purba sampai tidak tahu nama kedua benda ini," ujarnya. "Untuk apa?"

"Untukmu. Untuk kau gunakan. Daripada hanya mengurangi pasokan oksigen secara percuma sebaiknya kau gunakan itu untuk sesuatu."

"Kupikir cafe ini tidak menyediakan menu pena dan buku catatan. Seingatku aku juga tidak memesan keduanya."

Amuro menggeleng pelan. "Ini pena dan buku catatan, kau hanya perlu menambahkan kata-kata dan berkreasilah dengan otak detektifmu itu."

Sera menimang-nimang barang yang ditinggalkan Amuro. Ia bergantian melirik dua benda itu dan Amuro yang sudah kembali sibuk membuat sandwich di balik counter.

"Pena, buku catatan dan kata-kata, ya?"

Sera tidak tahu harus melakukan apa dengan kedua benda mati itu. Untuk beberapa saat ia hanya meletakkan tangan kanannya yang memegang pena di atas buku catatan. Ia melirik sang pemberi benda yang sibuk melayani tamu lain.

Ujung sepatunya mengetuk-ngetuk lantai dengan irama yang teratur. Helaan nafasnya kembali terdengar. Sera menelengkan kepalanya, meraih gelas jusnya kemudian menyeruputnya sampai habis.

"Belum melakukan apa-apa?"

Ia tersentak. Secara refleks menoleh ke belakang, dimana Amuro mencondongkan tubuhnya ke depan. Jarak mereka tidak terlalu jauh dan langsung membuat Sera menjauhkan kepalanya.

"Aku bukan orang puitis yang dengan mudahnya bisa langsung membuat puisi."

"Aku tidak menyuruhmu untuk membuat puisi."

Sera mengerutkan kening.

"Aku hanya bilang dengan kata-kata. Kau bisa melakukan apa pun dengan itu, membuat sebuah kasus, cerita, mencorat-coret, atau apa pun itu yang bisa kau lakukan dengan kata-kata. Aku tahu kau masih akan cukup lama di sini, aku hanya tidak ingin mengusir pelanggan yang tidak melakukan apa pun di sini."

"Apa yang akan kudapatkan jika menyelesaikan ini?" Buku catatan itu ia kibas-kibaskan di depan wajahnya.

Amuro tampak berpikir. "Bagaimana dengan satu porsi makan malam gratis?"

Sera tersenyum lebar. "Tambahkan satu jus juga tuan."

"Tentu nona."

Amuro melewati Sera dengan nampan berisi piring dan gelas kotor. Sedangkan gadis itu sekarang mulai serius dengan catatan dan pena di depannya.

"Kata-kata... apa yang bisa kutulis di sini?"

Tiing!

"Irrashaimase!"

Sera seketika menoleh ke meja counter, Amuro dan Azusa menyapa pelanggan mereka dengan ramah, ditambah senyum cerah keduanya. Sera tidak terganggu dengan itu, toh dia sama sekali belum konsentrasi meski sedang serius.

"Baiklah, dua sandwich dan lemon tea."

Azusa kembali ke belakang counter untuk menyiapkan minuman sederhana yang menyegarkan itu, sedangkan untuk pesanan sandwich Amuro yang menangani.

Sera memperhatikan Amuro yang serius dengan pekerjaannya. Gadis itu mengerutkan kedua alisnya.

"Dia bukan seperti pekerja cafe biasanya, lebih dari itu dia seorang detektif jenius yang terlalu tahu banyak hal—ah!"

Sera menjentikkan jarinya. Sedetik kemudian jari-jarinya bergerak lincah di atas kertas yang bergaris-garis itu, menuliskan kata apa saja yang muncul dalam otaknya untuk dibentuk menjadi serangkaian kalimat. Sesekali tangannya berhenti untuk berpikir, bergerak dengan ragu dan kadang menulis secara cepat. Ide-ide seperti baru di tumpahkan ke dalam kepalanya.

Sera memandang jalanan yang semakin menjelang malam semakin ramai. Sebenarnya langit masih berwarna jingga, biasnya juga memantul ke aspal jalan, membuatnya tidak begitu hitam. Sera menyukai pemandangan damai seperti itu. Ia meregangkan kesepuluh jarinya.

"Aku sudah selesai!"

Buku catatan itu ia lambaikan di udara, mencoba menarik perhatian Amuro. Dan ia berhasil setelah beberapa detik kemudian laki-laki yang sebenarnya polisi itu duduk di depannya.

"Akan kulihat." Ia mengulurkan tangan dan menerima catatan itu.

Amuro mulai membacanya.

Hei, kau itu sebenarnya siapa?

Kau terlalu biasa untuk menjadi seorang pegawai di cafe kecil di pinggir jalan. Otakmu tidak hanya kau sia-siakan hanya untuk mencari menu baru untuk memuaskan pelangganmu bukan?

Kau tahu? Kadang aku berpikir tentang pernahkah kau memikirkan sebuah kasus saat kau membuat sandwich atau kue di belakang counter itu. Hidupmu kelihatan begitu tenang saat kau menyiapkan semua itu.

Aku juga penasaran dengan kemampuan analisis yang kau miliki, dari mana kau mendapatkan itu? Rasanya bukan hanya sebuah kebetulan jika seorang pegawai cafe sepertimu memilikinya lalu menyebut dirimu sebagai detektif.

Oke, sebenarnya itu bisa diterima, hanya saja jika memang begitu harusnya kau bekerja di tempat yang lebih tepat. Bukannya hanya menjadi pegawai cafe seperti ini.

Aku terlalu sering berpikir kau itu bukan orang biasa. Mungkin kau seorang agen khusus yang sedang menyamar. Bisa saja Amuro Tooru itu juga bukan namamu yang sebenarnya. Pekerjaanmu sekarang mungkin hanya untuk memata-matai seseorang.

Jangan salahkan aku jika berpikiran seperti ini. Aku ini detektif, ingat itu. Wajar bila jalan pikiranku selalu mengarah ke hal seperti ini. Kau juga yang menyuruhku melakukan ini. Dan itu membuatku heran, padahal hubungan kita tidak begitu akrab tapi kau malah mau repot-repot menawarkan hal ini padaku, ditambah dengan janji makan malam gratis juga.

Sebenarnya semua tentangmu itu normal. Tapi aku tidak merasa begitu. Meskipun sudah jelas identitasmu adalah seorang pegawai cafe biasa yang menjadi murid dari detektif terkenal Kogoro Mouri, aku masih tidak bisa membaca siapa dirimu yang sebenarnya.

Kau membuatku penasaran. Dan aku ingin tahu lebih banyak lagi tentangmu, Amuro-san.

Amuro menahan senyumannya setelah selesai. Yang ditulis gadis itu tentangnya tidak ada yang salah, semua tepat sesuai analisisnya. Andai saja itu bukan sekedar pengandaiannya.

"Lumayan juga. Bagaimana jika aku membuatkanmu omurice?"

Tidak ada jawaban yang menyahuti pertanyaan itu. Amuro bingung. Ia menurunkan catatan itu dari depan wajahnya dan sedikit terkejut mendapati Sera sudah terlelap di atas meja dengan kepala yang tertelungkup.

Ia tersenyum kecil. "Seorang detektif hebat pun kau juga hanya seorang siswi SMA ya."

"Amuro-san, apakah dia tertidur? Padahal sudah mau tutup," ujar Azusa yang datang mendekat.

"Tidak apa-apa. Aku yang akan mengantarnya. Sebaiknya kita beres-beres dengan tenang saja."

"Memangnya kau tahu alamat rumahnya?"

Amuro tersenyum. "Aku tidak akan mengatakan itu jika aku tidak tahu alamatnya."

"Begitu."

"O ya, Azusa-san, kita memiliki kamera instan di sini kan? Aku ingin meminjamnya sebentar."

"Tunggu sebentar, akan kuambilkan."

Azusa pergi ke belakang counter. Ia mencari di beberapa rak dan kemudian membawa kamera yang bisa mencetak foto secara langsung itu pada Amuro yang menunggu.

"Ini."

"Terima kasih. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu, akan kubantu setelah aku selesai."

"Oke."

Ckrek.

Ckrek.

Ckrek.

Amuro mengambil tiga foto Sera yang sedang tertidur. Satu foto dengan catatan Sera di depannya, Amuro sengaja menge-zoom bagian tulisan Kau membuatku penasaran. Dan aku ingin tahu lebih banyak lagi tentangmu, Amuro-san.

Ia menulis sesuatu di kertas lain di belakang catatan milik Sera. Kemudian menyobek dua kertas itu, tulisan milik Sera ia simpan di sakunya sedang tulisan miliknya sendiri ia lipat bersama foto tadi.

Dua foto yang tersisa adalah foto yang sama, foto Sera yang tertidur, tanpa ada buku catatan di depannya. Amuro menyimpan satu foto itu untuknya dan foto lain ia selipkan di tas gadis itu.

.

.

.

"Amuro-san, terima kasih untuk tumpangannya. Dan tolong antarkan gadis itu dengan selamat ya," ucap Azusa melalui jendela. "Hati-hati."

Amuro mengangguk ringan dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia menoleh ke kursi samping, Sera masih tertidur dengan kepala yang bersender di kaca jendela.

"Ya ampun, dia seperti habis meminum obat tidur saja," komentarnya. "Tapi sebelum aku mengantarnya pulang, ah, aku bahkan tidak tahu rumahnya. Aku harus mampir ke suatu tempat untuk memberikan pesan."

Ia menghentikan mobilnya di depan rumah mewah atas nama keluarga Kudo. Ia keluar dan menuju kotak surat. Amuro menyelipkan kertas yang di dalam lipatannya terdapat foto itu ke sana. Laki-laki itu tersenyum menang.

Ia melirik ke lantai atas, Amuro tahu Subaru sedang mengawasinya. Ia hanya menyeringai sebelum meninggalkan rumah itu.

Begitu setelah Amuro pergi dari depan rumah Shinichi, Subaru keluar dari rumah. Ia langsung menuju ke kotak surat, memeriksa apa yang dimasukkan oleh Amuro ke tempat surat itu.

Untuk Subaru Okiya.

Mungkin gadis manis ini akan tidur di rumahku untuk malam ini.

Tuk.

Subaru mengambil selembar foto yang terjatuh. Ia mengamatinya.

Kau membuatku penasaran. Dan aku ingin tahu lebih banyak lagi tentangmu, Amuro-san.

Subaru membuka kedua matanya. Tatapannya yang tajam mengarah ke tikungan dimana mobil Amuro menghilang. Ia menggenggam tangannya sangat erat, buku-buku jarinya memutih.

"Aku benar-benar akan membunuhmu Bourbon."

.

.

.

Owari

.

.

.