Warning:
OOC, AU, Bad-Plots, Typos everywhere~, Stupid Story

Disclaimer:
I love you, Masashi Kishimoto-sensei :* *kicked*

Pairing:
Sasuke x Hinata

Rate:
Tee~

Genre:
Romance / Hurt / Comfort (Just A LITTLE Hurt. Sorry)

So, this is it! Anonymous Hyuuga Presents:

.

.

.

.

.

.

.

"LET'S START THE JOURNEY"


Aku kembali merogoh saku celana panjangku, yang sudah nyaris bolong semua, untuk mengambil sebuah kompas yang senantiasa menemaniku ke mana pun aku pergi. Kubuka tutup kompas itu, dan mataku mulai membidik ke suatu titik yang rencananya akan kutuju. Namun sebelum aku ke sana, aku harus mengetahui sudut-sudutnya, dan ke arah mata angin mana tempat itu. Alasannya karena aku tak ingin tersesat di antara ribuan pohon ini.

Kepalaku manggut-manggut begitu kulihat, dari kaca pembesar kecil, bayangan dari benang tipis di tutup kompas itu menunjuk ke angka seratus tiga puluh tiga ke sebelah timur. Kututup kembali kompas itu dan kumasukkan kembali ke tempatnya semula. Aku berjalan pelan-pelan dan terdengar suara derak daun-daun dan ranting-ranting kering yang kuinjak. Sembari berjalan, aku mendongak dan sedikit menyipitkan mataku saat melihat cahaya matahari yang menerobos lewat celah dedaunan yang menggantung di pohok oak di atasku. Aku tersenyum melihat kilau keemasan yang tadi menerpa wajahku, dan kembali terbayang di otakku Zaman Keemasan yang pernah ada di dunia ini.

Dengan langkah ringan aku melanjutkan petualanganku. Dan saat aku sudah sampai di titik yang tadi kutuju, aku menyentuh permukaan batang pohon yang berada tepat di sebelah kananku. Permukaan itu kasar dengan sedikit kulit-kulit yang terbuka dan nyaris lepas. Kuraba perlahan bagian itu, dan kuusap seakan mengatakan, 'kau akan baik-baik saja, pohon manis.'

Kemudian aku kembali melakukan hal yang sama seperti berpuluh-puluh kali yang lalu; mengambil kompas, melihat arah mata angin, manggut-manggut, dan meletakkannya kembali ke saku celana sebelum berjalan ke titik tujuanku.

Di tengah-tengah perjalananku, aku mendengar suara gemericik air yang sudah pasti berasal dari sungai yang katanya berada di dekat sini. Mendengar suara merdu itu, semangatku naik beberapa persen, dan aku mulai berjalan dengan semangat yang lebih besar untuk menemukan sungai tempat para peri dulu bercengkerama dengan manusia.

Pantulan cahaya matahari yang berkilauan menyusup ke rongga mataku. Aku menyipitkan mata seiring dengan merekahnya senyuman di bibirku. Air bening dengan cahaya keperakan di permukaannya, bebatuan di dasarnya, dan tumbuh-tumbuhan yang bertumbuh liar di pinggirannya membuat kakiku otomatis melangkah mendekati pemandangan indah itu. Ternyata sungai itu lebih besar dari perkiraanku. Aku berdiri di pinggiran sungai, dan dapat kurasakan ujung-ujung sepatuku mendingin terkena air yang mengalir di pinggiran sungai. Sedangkan jarak antara tempatku berdiri dengan pinggiran seberang bisa sekitar dua meter.

Aku melepaskan sepatu bot ku dan meletakkannya di bawah sebuah pohon mapel yang meneteskan getah dari batangnya. Sebelum aku berjalan ke pertengahan sungai, aku menyempatkan diri untuk menyentuhkan jariku di tetesan getah itu dan memasukkannya ke dalam mulutku. Rasa manis yang begitu alami menyebar di rongga mulutku, membuat aku tersenyum. Usai menjilat beberapa tetes getah mapel, aku berjalan ke pertengahan sungai. Dapat kurasakan permukaan batu besar di dasar sungai sangatlah licin karena ganggang biru yang tumbuh liar. Tetapi itu bukanlah masalah besar bagiku, apalagi jika mengingat betapa sejuknya air yang menyentuh kakiku.

Beberapa ikan kecil menggigiti kulit kakiku sehingga aku tertawa kegelian. Saat aku hendak berjalan lebih jauh lagi, batu yang ada di depanku terasa lebih licin sehingga mau tak mau aku harus ekstra hati-hati. Tetapi nasib baik sedang tidak berada di pihakku. Aku tergelincir sehingga jatuh terduduk. Bokongku nyaris mati rasa saat membentur batu besar di bawah. Belum lagi telapak tangan, yang kugunakan untuk menopang tubuh, justru terluka karena menekan sebuah kerikil tajam. Aku meringis kesakitan, dan otomatis meneteskan beberapa tetes air mata karena rasa sakit yang begitu menusuk.

Aku menggerakkan tanganku ke depan—tanpa mengeluarkannya dari air—dan aku melihat darah dari tanganku yang bergerak perlahan di dalam air seperti selembar selendang merah yang bergerak tertiup angin. Aku tidak bergeming dan terus saja melihat kedua telapak tanganku yang mengenaskan. Tanpa sadar aku menangis setelahnya. Isakanku terdengar cukup kencang di gendang telingaku. Sungguh memalukan. Aku berani bersumpah, ini pertama kalinya aku menangis di alam sejak aku mulai menjadi pecinta alam tunggal pada umur sembilan tahun.

"Kau kenapa?"

Sebuah suara di belakangku membuyarkan isakanku. Sejenak wajahku merona karena menahan malu. Ah, aku tidak suka ketahuan menangis! Segera kusembunyikan luka di kedua telapak tanganku dengan menangkupkannya. Baru saja aku hendak berdiri, bokongku yang terasa sakit membuat aku kembali terduduk dan menjerit tertahan.

"Mari kubantu," kata orang itu sembari menyentuh kedua pundakku.

Mau tak mau—sebenarnya aku tak mau—aku menerimanya dengan mengangguk samar, dan membiarkan kedua tangan putihnya, yang dapat kulihat hanya dengan melirik ke bawah, mengangkat tubuhku dengan mencengkeram erat kedua lenganku. Kulihat sesuatu bersinar keperakan di jari manis pemuda itu.

Setelah aku berhasil berdiri, aku memaksakan diri untuk membalikkan badan dan berterimakasih. Namun, baru saja aku membalikkan badan, penampakan indah di depanku membuat aku terkesiap dan menahan napas.

Biar kujelaskan. Orang itu memiliki rambut panjang yang agak jabrik di tengahnya, sedangkan bagian belakang dan pinggirnya menggantung. Ia memiliki poni yang sedikit terpisah-pisah—tidak menyatu seperti milikku. Di bawah poninya, tergaris dua buah alis tipis yang sewarna dengan rambutnya yang hitam kebiruan—nyaris legam. Kedua alis itu menaungi sepasang mata indah dengan iris sewarna batu oniks. Lekukan mata itu bergaris tegas dan agak meruncing, dan pandangannya sangatlah amat tajam. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis, memancarkan ketegasan dan sikapnya yang jelas sangat dingin. Kulit orang itu seputih kapas dan di kedua pipinya ada semburat kemerahan yang menambah ketampanan wajahnya. Ah, jangan lupakan tinggi badannya yang 'wow'. Tubuhnya sangat tegap dan cukup atletis, dengan dua pundak kokoh, dan tangan yang juga tampak kokoh.

Mataku kini tertuju pada dada bidangnya yang dibalut kaos tipis berwarna hitam. Dada itu terlihat sangat seksi dan membuat kedua pipiku merona. Jelas sekali kedua tanganku tergoda untuk menyentuhnya. Tetapi aku mengurungkan niat itu, karena sudah pasti ia mengira aku mengidap kelainan psikologis—atau lebih dikenal sebagai 'gila'.

"Kau kenapa?" tanya orang itu datar dan tanpa ekspresi sembari menarik kembali tangannya.

"Aa. A-ano, aku tergelincir," jelasku terbata-bata dengan kedua tangan masih tertangkup di depan dada, "Ah! Ngomong-ngomong, arigatou ne!"

"Hn," sahut orang itu cuek. Ia memandangku dari atas ke bawah, dan kembali ke atas. Ia mengerutkan keningnya dan berkata, "Sepertinya kau terlihat baik-baik saja. Lalu mengapa kau menangis?"

Aku menggigit bibir bawahku, dan mulai jelalatan untuk mencari objek lain selain dirinya yang bisa kupandang.

"E-entahlah. Aku juga tidak tahu," kataku sambil tertawa hambar—masih dengan kedua tangan tertangkup.

Laki-laki di depanku menatap curiga pada kedua tanganku yang sedari tadi tidak terlepas. Ia menarik kedua tanganku menggunakan dua tangannya dengan kasar, berusaha melepaskan tangkupan kedua tanganku. Aku bersikeras untuk menahannya agar ia tidak melihat lukaku. Aku 'kan malu jika ketahuan menangis hanya karena luka kecil di telapak tangan! Namun ternyata tenaganya cukup kuat karena ia berhasil melihat kedua telapak tanganku yang sempat tersembunyi.

Ia menyipitkan pandangannya dan menatap mataku bergantian dengan telapak tanganku. Ia bertanya tegas, "Ini apa?"

"Tangan." Aku yang tidak tahu harus menjawab apa justru menjawab dengan jawaban bodoh yang pasti menjadi bahan tertawaan bocah-bocah TK.

Orang itu mendengus kesal. Ia melepaskan tangan kanannya yang semula menggenggam pergelangan tangan kiriku, berbalik badan, dan menyeret aku ke pinggiran sungai. Aku sempat tergelincir-gelincir saat berjalan. Gerutuan dan omelanku tidak membuatnya bergeming. Ia justru semakin kuat menarikku.

Kami tiba di pinggiran sungai. Aku mengerutkan kening saat melihat dari balik lengannya, ada sebuah ransel besar yang bersandar di bawah pohon yang tumbuh di depan pohon mapel tempat aku meletakkan sepatu botku. Aku merasa heran, bagaimana mungkin ia hadir di sini tanpa sepengetahuanku. Tebakanku, orang ini memiliki tubuh seringan bulu sehingga jika berjalan tidak akan terdengar, bahkan oleh kelelawar atau lumba-lumba sekalipun.

Ia menyeret aku ke arah ranselnya yang besar dan berwarna merah terang, kemudian berjongkok untuk mengambil sesuatu. Karena posisi tangan kirinya yang masih menggenggam aku, ia terlihat kesulitan sehingga segera melepaskannya sambil kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Tak lama, laki-laki itu menemukan benda yang dicarinya. Sebuah kantong kertas kecil yang berisi beberapa barang. Aku melongokkan kepalaku untuk melihat isinya. Tidak banyak, hanya segulung perban, dua gulung perekat, dan beberapa lembar plester antiseptik berukuran jumbo.

Ia mengambil dua lembar plester antiseptik, dan meletakkan sisanya kembali ke dalam tas. Ia membalikkan tubuhnya dan kembali menatapku dengan datar. Ditariknya tangan kananku dengan kasar menggunakan tangan kirinya, dan dibukanya selembar plester menggunakan tangan satunya dengan bantuan mulutnya.

Mengetahui maksud gerak-gerik pemuda itu, aku berusaha menarik tanganku, dan berkata, "Daijoubu. I-ini hanya luka kecil."

"Luka kecil, katamu? Orang bodoh macam apa lagi yang kali ini kutemui?" tanyanya sinis sembari mencibir, dengan nada seakan-akan ia sudah ribuan kali berjumpa dengan orang bodoh.

Aku memberenggut kesal dan membiarkan ia memasangkan dua plester itu pada bagian telapak tanganku yang terluka. Setelahnya, ia menepuk-nepukkan tangannya seakan-akan bangga akan masterpiece-nya.

"Sudah," katanya singkat.

"Arigatou," balasku—juga—singkat.

"Hn," sahutnya. Ia membalikkan badan, menutup kembali ranselnya, dan membawanya di punggungnya.

Sementara aku, berjalan dengan bertelanjang kaki untuk mengambil sepatu botku yang berdiri merana di bawah pohon mapel. Aku duduk bersandar pada pohon itu sembari memasangkan sepatu itu di kakiku. Di sebelah telingaku mengalir sedikit getah mapel sehingga aku tergoda untuk mencolek dan menjilatnya.

Baru saja aku hendak menyentuhkan ujung jariku, yang sudah terkena getah mapel, ke dalam lidah, sang pemuda-cerewet-yang-memaksaku-memakai-plester-ukur an-jumbo-miliknya itu berseru, "Jangan!"

Aku menaikkan sebelah alisku dengan pandangan bertanya-tanya.

"Bisa jadi itu berbahaya," katanya sembari berjalan mendekatiku.

Aku terkekeh dengan nada menghina. Lalu dengan sengaja mengambil beberapa tetes getah lagi dari pohon, dan mengoleskannya di lidahku dengan gaya berlebihan. Setelahnya, aku mengemut ujung jariku sembari memejamkan mata.

Tiba-tiba tangan kananku ditarik secara paksa oleh pemuda berambut hitam di depanku. Aku merasa terkejut dan segera membuka mata. Aku semakin terkesiap saat melihat wajah pemuda itu yang sudah sangat dekat dengan wajahku—ia bahkan ikut-ikutan jongkok di depanku. Yah, wajahku segera merona dibuatnya.

"Sudah kubilang, jangan!" seru pemuda itu sembari mengerutkan kening.

Aku kembali tertawa. Namun yang kali ini bukan dalam rangka menghina, melainkan karena merasa ia sangatlah lucu.

"A-aku ini hidup di hutan sudah selama sembilan tahun, Pemuda Tampan," jelasku setelah berhenti tertawa, "Itu hanya getah mapel. Tidak berbahaya."

Diam. Ia terpekur mendengar perkataanku. Pandangannya tampak terkejut, dan mulutnya sedikit menganga. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, seberapa tampankah orang ini? Bahkan dalam ekspresi lucu itu ia masih tampak sangat tampan. Ingin rasanya aku menangkup kedua pipinya dan mencium bib—apa yang kau pikirkan, Hinata?!

"G-gomen ne. Aku tidak tahu," ujarnya dengan canggung dan nada bicara minim.

"Tidak masalah. Aa. Bi-bisakah kau melepaskan tanganku?" tanyaku sambil menunduk salah tingkah.

Ia tidak segera melepasnya tetapi justru mengarahkan jari telunjukku pada getah mapel yang mengalir di sebelah telingaku. Ia memandangi getah itu, mencondongkan tubuhnya, dan memasukkan jariku ke dalam mulutnya. Aku terkesiap dan segera mendongak saat kurasakan jariku dihisap oleh pemuda di depanku. Tanpa kurasa, aku menahan napas dengan wajah memerah sempurna.

"Manis," ujarnya usai mengeluarkan jariku dari dalam mulutnya. Aku meneguk ludah saat melihat benang-benang saliva yang menggantung di seputar jariku.

Bukankah tadi itu ciuman secara tidak langsung?

Orang tadi berdiri, dan membantuku berdiri juga. Aku merasa heran melihat tingkahnya. Mengapa ia mengajakku pergi? Seharusnya ia pergi saja sendiri, karena aku masih ingin menghabiskan waktuku untuk berjalan-jalan di seputaran hutan ini. Otomatis aku menyentakkan tangan kananku, dan membuatnya menatapku heran.

"Hn?" tanyanya sembari bergumam singkat.

"Ka-kau mau mengajakku ke mana? A-aku masih ingin di sini," kataku dengan terbata-bata.

Pria itu menggosok-gosokkan jari telunjuknya di hidung dengan salah tingkah. Kemudian ia mengatakan hal tidak penting, "Namaku Uchiha Sasuke."

Aku mendengus.

Ia melanjutkan, "Aku laki-laki rumahan yang tak suka berpergian."

Lantas mengapa? Jeritku dalam hati.

"Ayahku—"

Kh. Menyambar ke urusan ayahnya!

"—menyuruh aku untuk menyeberangi hutan ini."

Ya sudah, sana cepat pergi dan turuti kemauannya, Baka!

Aku tidak tahan lagi dan spontan bertanya dengan ketus, "Apa urusannya denganku?"

"Yah." Sasuke—begitu 'kan namanya?—kembali menggosok hidungnya, dan perlahan rona merah mulai menjalari kedua pipinya. Lalu ia melanjutkan, "Aku tersesat."

Aku membelalakkan mata dan mengulum tawa sebisa tenagaku. Ku tutup bibirku dengan kedua tanganku. Mataku berkaca-kaca karena menahan tawa. Ia tersesat? Laki-laki ini tersesat? Orang bodoh macam apa dia? Hutan ini sangatlah mudah dikenal! Sungguhpun aku baru sekali masuk ke hutan ini dan segera mengetahui seluk beluknya.

"Jangan tertawakan aku!" tukasnya sembari memalingkan wajah. Kulihat pipinya dari samping tampak lebih merah.

Aku menghela napas sekuat-kuatnya, dan bertanya, "Ka-kau datang dari sebelah mana?" Ia tidak menjawab, dan hanya menunjuk ke sebelah selatan. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. "'Menyeberang' berarti ke sebelah utara. Mari kuantar."

Dengan langkah mudah, aku berjalan mendahuluinya. Sasuke mengikutiku dari belakang tanpa mengucap sepatah kata pun.

-xxx-

Perjalanan panjang kami yang berjalan cukup lambat—karena aku terus menerus menggunakan kompas—tidak diwarnai sedikitpun perbincangan. Kami berjalan berdampingan dalam suasana canggung yang cukup menyesakkan. Mungkin Sasuke merasa sangat canggung dan tidak nyaman dengan keadaan ini, karena aku melihat ia terus menerus mengeluarkan gerak-gerik gelisah. Tetapi lain halnya aku. Aku memanfaatkan keheningan ini untuk menikmati suasana di seputar hutan—memandangi serangga yang beterbangan, melihat bunga-bunga yang bergerak tertiup angin, dan sesekali ikut bernyanyi bersama burung-burung yang melintas di udara.

Akhirnya cahaya yang begitu terang menyambut kami. Kami sampai di pinggiran hutan. Aku menatap Sasuke yang wajahnya masih tetap datar. Sudah kuantar sampai sejauh ini pun ia tidak terlihat senang. Atau memang ia tidak memiliki ekspresi?

"Arigatou ne," ujarnya tanpa emosi.

"Aa," sahutku, "A-aku kembali ke hutan."

"Jangan dulu," cegahnya sembari mencengkeram lenganku, sehingga otomatis langkahku terhenti.

Aku menoleh menatapnya dengan heran. Ia menatap mataku dalam, tetapi aku tak bisa menebak ekspresi apa yang ada di dalamnya. Sesekali kulihat tangannya yang melekat pada lenganku. Cengkeramannya sama sekali tidak kasar. Justru bisa dibilang… hati-hati. Ia seperti tidak ingin melukaiku.

"Nan desu ka?" tanyaku heran padanya.

"Um. Aku belum mengenal tempat ini," kata Sasuke kemudian. Ia menoleh ke arah lain, ke arah kota lebih tepatnya. Dipandanginya bangunan-bangunan kecil yang biasa dinamakan rumah. Matanya menelusuri tiap inci suasana kota itu, mulai dari toko bunga hingga toko pakan ternak.

Aku mendesah pasrah sebelum akhirnya mengangguk dan bergumam, "Baiklah."

Kami melanjutkan perjalanan kami. Aku bertanya padanya di mana rencananya ia tinggal, dan ia mengatakan bahwa ia ingin menyewa rumah selama beberapa minggu. Aku mengangguk mengerti dan mengajaknya melihat rumah sewaan yang berada tak jauh dari apartemen non permanenku—ya, aku sama sepertinya; hanya tinggal sementara.

Ketika kami sampai di rumah kecil itu, kulihat Sasuke mengangguk-angguk sembari mengusap-usap kedua pipinya menggunakan tangan kanannya. Ibu jarinya mengusap pipi kanan, dan sisa jari lainnya di pipi kiri. Aku yang mendongak menatap wajah pria itu dari samping merasa sangat terpesona. Daya pesonanya menyerap kesadaranku hingga aku tanpa sadar memandanginya lekat-lekat. Menikmati pemandangan indah berupa wajah lelaki tampan yang dilatarbelakangi cahaya mentari siang menjelang sore.

"Apa melihatku? Daijoubu ne?" tanyanya. Aku tersentak, karena tidak menyadari selama aku memandanginya, ia sudah menoleh ke arahku.

"A-ah. I-ie, da-daijoubu," sahutku gelagapan sembari menundukkan kepalaku. Aku tak bisa menahan rasa hangat yang mulai menjalari pipiku.

"Aku suka. Di sini saja," ucapnya tiba-tiba. Ia membuka pintu pagar yang tidak terkunci dan memasuki pekarangan rumah bergaya tradisional itu. Dinaikinya beberapa undakan untuk mencapai pintu utama rumah itu, lalu ia mengetuknya dengan sopan.

Tak lama, seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk keluar dari rumah itu. Ia menatap Sasuke, lalu menatapku. Kurasa ia cukup terpesona dengan Sasuke yang sudah jelas sekali sangatlah amat tampan. Ia berdeham—kurasa untuk menghilangkan ekspresi terpesonanya—dan bertanya dengan penuh wibawa, "Ada apa?"

"Aku ingin menyewa rumah ini," jawab Sasuke acuh tak acuh.

Wanita itu mengangguk dan menyuruh kami berdua masuk. Rumah itu dari luar terlihat seperti rumah tradisional Jepang pada umumnya, namun jika kita sudah melihat dalamnya, itu tampak sama sekali berbeda dengan penampakan luarnya. Rumah itu berdinding kayu yang dipernis sedemikian rupa sehingga mengkilap. Permukaan dinding itu halus dan licin. Perabotan di rumah ini sama sekali lengkap. Dominasi warna coklatnya membuat aku merasa senang, karena batang pohon merupakan salah satu dari sekian juta hal favoritku.

Setelah ia membuatkan minuman untuk kami, ia melakukan perundingan kesepakatan dengan Sasuke, dan sedikit berbincang-bincang denganku. Dari perbincangan itu aku tahu bahwa ia adalah pengurus rumah ini sampai ada yang menyewa. Wanita gemuk itu dan Sasuke akhirnya mencapai kesepakatan. Mulai hari ini, Sasuke adalah pemilik tidak sah rumah ini sampai lima minggu ke depan.

Kemudian Sasuke buru-buru mengeluarkan dompet dari saku celananya—kurasa untuk segera membungkam mulut wanita itu yang notabene sangat berisik—dan mengeluarkan sejumlah uang. Ia tidak hanya membayar uang muka, melainkan langsung semuanya. Aku terpesona lagi. Rupanya ia orang yang sangat kaya. Tidak seperti aku tentunya. Di saat gadis-gadis seusiaku belajar di perguruan tinggi, aku berusaha mendapatkan uang dengan melakukan berbagai observasi di hutan atau alam lainnya—itu juga kalau ada yang membutuhkan hasil observasiku.

Wanita itu akhirnya pergi dan menutup pintu utama, dan aku memandangi kepergiannya. Aku cukup terpesona dengan bokong wanita itu yang sangat besar dan melenggak-lenggok. Hampir saja aku tertawa, namun segera kutahan karena aku tahu itu tidak sopan. Usai kepergian wanita gemuk itu, aku menoleh menatap Sasuke. Ia sedikit menggerakkan kepalanya untuk menatap ke arah lain saat aku menoleh. Mungkinkah hanya perasaanku saja, atau memang Sasuke barusan memandangiku?

"Nani?" tanyaku setelah beberapa detik—setelah aku memergokinya memandangiku—kami berdiam diri.

"Tidak," sahutnya singkat. Ia berdiri sembari menenteng tas ranselnya.

"Ka-kau mau ke mana, Uchiha-san?" tanyaku sambil ikut-ikutan berdiri.

Sasuke bergeming. Ia diam saja di tempatnya berdiri sambil menatap ke sisi lain ruangan itu. Tidak mengacuhkanku sepertinya. Namun aku tetap berdiri sedikit di belakangnya.

"Ke kamar. Kau mau ikut?" sahut Sasuke akhirnya. Terdengar dari nada bicaranya, ia menahan tawa sehingga aku memberenggut dan kembali menghempaskan diriku ke sofa yang dibalut kulit sintetis berwarna coklat terang.

-xxx-

Sasuke akhirnya keluar dari kamarnya dan sudah berganti pakaian. Kini ia menggunakan kaos polos berwarna abu-abu yang semakin menambah kesan seksi dalam dirinya. Jantungku berdegup keras dan aku mendadak salah tingkah ketika kulihat bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar kakinya. Aku baru melihatnya tentu saja karena tadi ia menggunakan celana panjang dan kini celana pendek selututlah yang ia gunakan.

"Mengapa kau senang sekali menatapku seperti itu?" tanya Sasuke yang masih berdiri di tempatnya—tiga meter dari tempatku duduk—sembari berkacak pinggang.

Aku tidak bergeming. Mataku masih menatapnya lekat. Suaranya yang barusan pun hanya terdengar seperti desahan angin yang sayup-sayup. Aku begitu terfokus pada pemuda tampan di depan sana hingga aku tidak sadar ia sudah berjalan mendekatiku dan terpaksa terlonjak ketika ia menyentuh kedua pipiku.

"Ka-kakkoi," bisikku lirih sembari menatapnya dengan mata membelalak, dan menikmati jemarinya yang mulai bergerak-gerak untuk mengusap lembut kedua pipiku.

"Hn? Kakkoi desu ka?" tanyanya dengan senyuman miring.

Aku tanpa sadar mengangguk namun segera tersadar detik berikutnya. Aku memundurkan kepalaku dan tertawa canggung sembari mengibas-ngibaskan kedua tanganku.

"A-ano. Ya-yang tadi lu-lupakan saja!" ujarku gelagapan dengan punggung dibasahi keringat. Aku berpura-pura melihat jam tanganku, dan berkata dengan nada penuh penyesalan, "Ah su-sudah jam segini. Aku harus pulang."

"Mengapa terburu-buru?" tanyanya datar dengan satu alis dinaikkan. Ia kini sudah berdiri menjulang di hadapanku. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dan memandangnya dengan heran. Ba-barusan itu apa? 'Mengenalmu lebih jauh' katanya. Jadi…?

"Su-sumimasen?" tanyaku berpura-pura tidak mendengar.

"Aku, Uchiha Sasuke, ingin mengenalmu. Namamu pun aku tak tahu," jawab Sasuke sembari mendengus tidak sabar.

Kedua pipiku merona mendengar jawabannya. Bolehkah aku sedikit merasa sombong? Apa yang dilakukan gadis-gadis jika seorang pemuda tampan ingin mengenalnya lebih jauh? Pasti ia akan tinggi hati, bukan? Tidak terkecuali aku, karena aku hanyalah seorang gadis delapan belas tahun yang masih bisa terpesona oleh ketampanan seorang laki-laki.

"A-aku Hyuuga Hi-Hinata," ujarku lirih dengan kepala menunduk dan dua tangan saling meremas. Kurasakan sakit dari luka di telapak tanganku, namun aku tidak peduli.

"Berhentilah melakukan itu. Kau akan melukai dirimu sendiri," ujar Sasuke sembari menarik kedua tanganku dan meremas pergelangan tanganku.

Spontan aku mendongak dan tak sengaja kedua mata kami bertemu. Cukup lama kami berada di posisi ini. Dan ketika secara bersamaan kami tersadar, kurasakan kedua pipiku memanas. Sangat panas. Sial. Pasti warna merah di pipiku sudah menjalar sampai ke telinga. Aku mencuri pandang padanya, dan mendapati wajah pemuda tampan itu juga dihiasi rona kemerahan.

"Ya sudah. Pu-pulanglah. Ma-mari kuantar sampai a-apartemenmu," katanya akhirnya, memecahkan keheningan di antara kami. Ia menarik salah satu tanganku dan menyeretku keluar dari rumahnya. Setelah menutup pintu dan pintu pagar, ia berjalan di sebelahku dengan menggandeng pergelangan tangan kananku. "Rumahmu di mana?" tanyanya—kembali tanpa emosi.

Aku menuding. Sasuke mengangguk. Kami berjalan bersebelahan di bawah naungan awan-awan kemerahan yang berarak-arakan di langit senja yang berwarna jingga.

Aku menghirup napas dalam-dalam ketika aku menyadari debar jantungku kian tak menentu. Kurasakan hatiku rasanya sesak entah mengapa. Namun dengan sikap seolah tak ada yang terjadi, aku berjalan dengan tenang di sebelah Sasuke.

"Andaikan peri-peri masih hidup dan memainkan harpa mereka untuk menuntun manusia-manusia ke alam mimpinya." Tiba-tiba aku mengoceh di luar kendaliku saat kurasakan angin semilir membelai rambutku.

"Kau suka mengkhayal?" tanya Sasuke dengan samar-samar mendengus geli.

"Bukan khayalan. Itu nyata dan pernah terjadi di Zaman Keemasan di mana manusia dan makhluk-makhluk gaib hidup berdampingan," tukasku sambil menggeleng-geleng.

"Omong kosong." Sasuke mendecih.

Aku menghentikan langkahku dan menyentakkan tangan. Kupandangi matanya dengan kening bekerut, merasa kesal dengan kata-katanya yang menyebalkan. Seenaknya ia mengatakan bahwa yang baru saja kujelaskan adalah omong kosong semata. Aku berani bersumpah aku pernah mendengar suara alunan harpa dari para peri di sebuah hutan. Jadi mana mungkin aku hanya berkhayal!

"Nani?" tanyanya heran.

"Aku membencimu!" seruku dengan kedua tangan terkepal.

Sasuke memandangku dengan bingung. Benar-benar tidak mengerti dengan perkataanku barusan. Ia pasti berpikir mengapa aku mendadak membencinya. Namun seharusnya ia mengerti. Ah, ya. Tidak mungkin ia segera mengerti. Ia baru mengenalku. Dan mungkin ia tak akan pernah mengerti seperti teman-temanku yang pada akhirnya menjauhiku karena menganggap aku gadis aneh. Alhasil, aku tak memiliki satu teman pun. Sungguh.

"Gomen," ucapku lirih sambil menundukkan kepala. Rasa sakit dalam hatiku yang sudah lama kupendam dan tak lagi kurasakan sekarang kembali meluap. Aku ingin melupakan segalanya dengan menyibukkan diri dengan alam. Namun kehadiran Sasuke—yang sempat kupikir akan menjadi pengobat rasa sakit itu—justru membuatku semakin merasa sakit.

Sasuke mengangguk samar dan kembali menarikku. Namun kali ini ia tak lagi menarik pergelangan tanganku, melainkan merangkulku dengan tangan kirinya yang kokoh. Sempat aku merasa terkejut, namun tak lama, aku berusaha menyamankan posisiku dengan bersandar pada pundaknya.

Biarkan aku merasakan kehangatan ini sesaat saja. Aku ingin merasakan ini walau ini yang terakhir dalam hidupku.

Sebelum ia juga pergi meninggalkanku.

To be continued.


A/N

Aku lagi kurang kerjaan nih, makanya bikin fiction kacangan macam ini -_- flame deh sesuka-mu, soalnya aku gak gitu niat bikin ini. Cuman buat ngabisin waktu wkwkwk.

Aku minta maaf ya, kalo hurtnya kurang terasa. Abisan bingung mau kasih genre apa lagi =3= *dicekik*

Ini ceritanya tuh tentang cewe aneh bernama Hinata yang.. pokoknya kayak di summary deh ^^ *ditendang*

Siplah, ditunggu aja reviews-nya!

Arigatou ne~

"Never stop trying to be better, and better"

-Anonymous Hyuuga-