Tokyo. Salah satu kota tersibuk di dunia, ntah terbit matahari atau matahari tenggelam itu tidak pernah mempengaruhi jalan setapak di Tokyo akan sepi. Selalu ramai dengan hilir langkah manusia. Diantara banyak manusia yang terus bergerak, ada seorang remaja yang sedang duduk disalah satu cafe lantai dua dengan mata menatap para manusia yang terus bergerak.
Ah, ambisi mereka terlalu besar untuk mengejar dunia sampai rasanya tidak heran melihat orang-orang seakan diperbudak oleh uang dan waktu. Well, setidaknya mereka punya motivasi hidup lebih maju dan terus bergerak. Punya keinginan hidup lebih lama.
Remaja itu tertawa, menertawakan pikirannya. Seharusnya sore indahnya ini ia isi dengan pikiran yang positif atau membicarakan hal-hal yang menyenangkan, tidak seperti barusan tadi.
Na Jaemin. Itu adalah nama remaja yang menertawakan pikirannya. Ia masih berumur 18 tahun tapi tingginya sudah seperti berumur kepala dua, sedangkan wajahnya berbanding terbalik dari tinggi badannya, wajahnya begitu polos dengan cengiran khas lebarnya yang kadang muncul bila ada sesuatu hal yang menyenangkan baginya.
Tidak rumit untuk menyenangkan seorang Na Jaemin. Kalian hanya memberikan makanan tinggi kalori maka senyuman indah akan tercetak sangat jelas pada wajah Na Jaemin. Ia penggemar makanan manis dan kaya akan lemak. Oh, soal berat badan? Bohong kalau Jaemin bilang ia susah gemuk. Toh, selagi bisa olahraga apa susahnya untuk menyipi berbagai macam makanan kaya kalori disetiap negara.
Pikiran Jaemin tidak pernah rumit. Ia tipikal remaja yang menerimanya bulat-bulat tanpa mengeluh. Terlihat bodoh? Hmm, Jaemin lebih suka dibilang bodoh daripada harus berpikir lebih keras dan berakhir ia stress. Hanya, jalani hidupmu dengan mudah dan penuh pikiran positif. Itu motto Jaemin.
"Jaemin, ayo pulang kerumah."
Jaemin berdeham pelan saat ibunya memanggil dirinya. Walau dilubuk hatinya ia ingin lebih lama disini, ia lebih memilih mengikuti apa yang ibunya katakan. Ingat, dia remaja yang menerimanya bulat-bulat.
Jaemin memakai maskernya dan juga menaiki tudung hodienya sampai menutupi sebagian dahinya. Ia berjalan pelan mengikuti ibunya dengan patuh.
"Bagaimana menurutmu di Tokyo?"
Jaemin meletakkan sumpitnya di meja makan. Menatap Mrs. Na yang masih lahap menyantap makan malamnya.
"Menyenangkan. Melihat banyak orang yang berlalu lalang dengan gurat wajah mereka yang berbeda-beda, itu menarik."
"Aku senang kau mudah beradaptasi dengan cepat di lingkungan baru."
Jaemin tersenyum tipis, "Well, ini sudah bulan kedua kita disini, bu."
"Dokter disini pada baik padaku, tidak seperti di Singapura atau di Denmark atau negara sebelum-sebelumnya yang kita singgah."
Puk. Mrs. Na menjatuhkan sumpitnya.
"Aku membawamu ke Tokyo juga terpaksa karena kau tidak kunjung sembuh di negara yang kita singgahi."
"Kalau begitu kita akan menetap, kan?"
"Kau tahu, Jaemin? Tokyo masih terlalu dekat dengan Seoul."
"Kenapa kita tidak disini saja sampai aku benar-benar pulih?"
"Tergantung situasi. Apa mereka akan menemukan kita dengan cepat atau tidak."
Jaemin terhenyak. Jangan lagi.
Ini sudah kesembilan kalinya Jaemin menjalani Kemoterapi untuk punggungnya. Minggu awal memang terasa sangat sakit namun rasanya sakitnya berangsur-angsur berkurang hingga hari ini. Walau kadang Jaemin akan meringis pelan.
"Aku tahu pasti rasanya sakit sekali. Kenapa hanya meringis kecil?"
Dokter Jang, ketua tim medis yang selalu mengecek perkembangannya. Omong-omong, Dokter Jang itu orang Korea, makanya Jaemin berasa lebih familiar. Seakan ia dirumah. Oh! Ditambah umurnya baru 25 tahun, ah Jaemin serasa memiliki hyung.
"Aku sudah besar dan aku laki-laki! Sudah selayaknya laki-laki menahan sakit!"
"Hahaha! Coba katakan pada Na Jaemin yang pertama kali menjalani kemoterapi."
"Hei! Kalau itu memang sakit sekali, hyung!"
"Ah~ Aku menyesal tidak merekamnya. Sayang sekali."
"Aish! Berhenti menggodaku!"
"Aku tidak menggodamu. Itu memang kenyataan."
"Aku sedang berdoa pada tuhan agar nanti malam kau terpeleset masuk ke got."
Dokter Jang tertawa renyah. Memang menyenangkan menggoda Jaemin yang sudah ia anggap adiknya sendiri.
"Na Jaemin."
Jaemin menoleh menatap seorang namja yang memakai masker, namja itu berdiri tak jauh darinya. Nafas Jaemin tercekat.
"Hyung."
"Ikut aku." Namja itu menarik tangan Jaemin tak sabaran.
"Tungguăź"
"Jangie hyung, bila nanti ibu menelfon bisa katakan kalau kemoterapinya bertambah satu jam?" Mohon Jaemin, gurat khawatir terpancar.
Dokter Jang mengangguk ragu, dengan begitu Jaemin langsung ditarik pergi oleh namja bermasker.
Min Yoongi. Semua orang tahu siapa Min Yoongi, ia salah satu member BTS. Semua lagu yang dibuat olehnya adalah kejujuran hidupnya selama ini, namun ada satu hal yang seorang Min Yoongi tutupi. Yaitu, Na Jaemin yang sebenarnya adalah adik kandungnya. Satu-satunya orang yang ingin Yoongi lindungi dan sayangi.
"Sejak kapan hyung menemukanku?"
"Aku selalu tahu dimanapun kau berada."
"Kenapa baru sekarang kau menghampiriku?"
"Didepan ibu?"
Namja berkulit putih bagaikan kapas itu menyesap minuman miliknya. Dengan wajah tenang tanpa memperdulikan wajah Jaemin yang terlihat gusar.
"Lalu melihat ibu membawamu pergi lebih jauh dan menambah akses privasi lagi? Yang benar saja, Jaemin!"
"Kau juga tahu'kan hyung, kau menemuiku diam-diam seperti ini juga akan berdampak sama?"
Yoongi terdiam dan menghela napas pelan. Ia tahu apa yang akan terjadi nantinya. Tapi, bolehkah ia mengubah takdir hanya untuk adiknya? Hanya melakukan gerakan sedikit dengan harapan akan menuai balasan yang ia harapkan.
"Aku merindukanmu."
Jaemin tersenyum getir. Untuk pertama kalinya ia mendengar seseorang merindukannya, terutama dari mulut namja berkulit putih didepannya ini. Jaemin tahu kalau itu ucapan frustasi.
Bruk. Jaemin memeluk namja didepannya dengan erat. Menyalurkan rasa rindunya yang sudah tidak bisa dibendung lagi.
"Yoongi hyung."
Hati Yoongi berdesir ngilu kala Jaemin memanggil namanya dengan suara bergetar, tersirat nada rindu yang tertahan. Terlebih dengan tatapan terluka dari adiknya. Ah! Tidak, yoongi menemui adiknya dengan mengambil risiko bukan untuk bersedih.
"Apa punggungmu membaik?"
"Seperti yang kau lihat, aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Sekarang aku bisa berkeliling kota tanpa dibuntuti ibu."
Jaemin menepuk-nepuk punggungnya menunjukkan bahwa ia lebih baik. Yoongi tertawa pelan.
"Aku selalu senang bila kau masih semangat seperti dulu, Jaemin. Tapi aku tidak yakin bila hatimu ikut semangat seperti pancaran wajahmu."
Yoongi menatap mata Jaemin sangat dalam, mencari kebenaran dari mata adiknya.
"Kau tidak rindu menari di atas panggung, Jaeminie?"
Pertanyaan yang paling Jaemin hindari akhirnya terucap dari Yoongi. Bahaya untuk dipertanyakan dan dijawab. Dengan Jaemin melemparkan senyuman tipis, keduanya tahu apa yang diinginkan Jaemin sebenarnya.
"Sudah cukup kau menerimanya bulat-bulat, Jaemin. Umurmu sudah delapan belas tahun, saatnya kau berkata iya dan tidak, menolak ataupun menerimanya."
"Aku takut bila pada akhirnya aku menyesal."
"Setidaknya kau sudah mencoba apa yang kau inginkan Jaemin. Belajarlah untuk keluar dari zona amanmu, hadapi dunia layaknya laki-laki. Kau tidak lemah."
"Aku tidak tahu, hyung." Yoongi menghela napas untuk kesekian kalinya.
"Jangan dipikirkan ucapanku. Sepertinya aku hanya merindukan wajah sumringahmu saat menari Chewing Gum di atas panggung."
2012
Awal tahun dengan turunnya salju adalah dimana semua orang lebih suka berdiam diri di dalam rumah menikmati pemanas ruangan dengan secangkir minuman hangat ditangan mereka.
Tapi dengan cuaca membeku seperti ini tidak menghalangi Jaemin untuk membantu orang-orang. Jaemin sedang menghadiri acara amal, ia bersama volunteer lainnya saling membantu untuk merapikan sebuah rumah yang akan dipakai oleh anak-anak yatim piatu.
Sudah menjadi kebiasaan setiap setahun dua kali Jaemin akan ikut membantu. Tidak ada yang memaksanya dan Jaemin sangat senang bila apa yang ia kerjakan berguna untuk semua orang.
"Hei, Jaemin!"
"Ada yang bisa aku bantu Choi Ahjumma?"
Bibi itu menggeleng dan menunjuk seseorang dengan dagunya, "dari tadi orang itu memperhatikanmu. Apa kau mengenalnya?"
Jaemin menggeleng pelan. Bergidik ngeri saat otaknya berandai-andai kejadian yang tidak ia inginkan terjadi.
"Aku akan menghampirinya."
Jaemin pikir lebih baik ia menghampiri namja itu saat banyak orang. Dengan gertakan sedikit supaya orang itu takut mengikutinya lagi.
"Apa ada yang bisa aku bantu? Kata Choi Ahjumma kau melihatku terus menerus."
Namja yang diperkirakan berumur kepala tiga tertawa mendengar pertanyaan Jaemin yang to the point. Ah, menarik.
"Kau Na Jaemin, kan? Aku Yoo Jangeun, salah satu divisi pencari bakat SMent."
"Dari mana ahjussi tahu namaku?!!" Ah, Jaemin mulai takut.
"Tenang saja, kau tidak perlu takut. Kau hanya perlu mengambil kartu nama ini dan datang ke agency kami bila kau tertarik menjadi idol."
Yoo Jangeun menyerahkan kartu nama berwarna putih pada Jaemin dan berlalu pergi. Jaemin membaca isi kartu nama itu dengan seksama.
"SM Entertaiment?"
Jaemin kenapa diam saja? Makanan ibu tidak enak, eoh?"
"Sangat enak bu, hanya saja ini terlalu banyak untukku. Kata dokter Jang aku harus mengontrol makanku."
"Aku lupa, Jaemin. Aku hanya merindukan wajahmu saat menikmati makanan kesukaanmu."
Jaemin tersenyum miris, merasa bersalah pada ibunya.
"Maafkan aku bu. Aku janji saat nanti sembuh, makanan ibu yang pertama kali aku makan."
"Aigoo! Kau memang paling jago dalam berbicara, hmm.."
Jaemin tersenyum tipis saat ibunya mengusak-ngusak rambutnya penuh sayang.
Jaemin menggigit bibirnya. Dari semalam rasa gugup dan takut melingkupinya sampai semalam ia tidak bisa tidur nyenyak. Matanya bergerak liar ketika pintu diujung lorong yang kadang terbuka itu dan menampilkan beberapa orang yang sedang menari.
Benar, ia sedang berada di gedung SM entertaiment. Setelah berpikir selama sebulan dan mencoba meyakinkan ibunya, akhirnya ia bisa berdiri di dalam gedung SM entertaiment. Ia tidak pernah terbayang akan diterima oleh agency terbesar di Korea ini. Seperti novel rasanya.
"Jaemin, mari masuk."
"Baik.."
Jaemin berjalan mengikuti Yoo Jangeun memasuki ruang latihan. Semua orang berhenti dari kegiatan mereka saat Yoo Jangeun berteriak untuk berkumpul. Jaemin semakin mengeratkan tangannya ketika semua pasang menatapnya.
"Perkenalkan namaku Na Jaemin, mohon bantuannya." Jaemin segera membungkukkan badannya yang kikuk.
"Ayy~ kyeopta! Dia benar-benar imut Taeyong hyung?!" Seru seorang namja bermata bunny, kelewat bar-bar.
"Aish! Berhenti Doyoung! Aku sangat lelah."
Mata Jaemin membulat saat menemukan seorang namja yang perawakan dan wajahnya seperti tokoh manga. Sangat tampan.
"Jangan ribut terus, Taeyong! Doyoung!"
"Kita harus menampilkan first impression yang baik pada Jaemin agar debut nanti ia tidak membicarakan hal yang aneh-aneh tentang kita!" Ujar namja yang paling tinggi diantara mereka.
"Kau pintar, hyung!"
"Eyy! Berhenti membicarakan debut, lebih baik kalian lebih giat berlatih. Arrachi?"
Jaemin tersenyum malu, sepertinya orang-orang di dalam ruangan ini begitu besar keinginan mereka untuk debut.
"Ah!"
Jaemin memijat kepalanya yang berdenyut sakit, sepotong masa lalunya kembali menghantui mimpinya. Ia menghela napas saat melihat jam masih menunjukkan pukul 2 pagi.
Ia menarik tubuhnya berjalan menuju ruang makan. Mengambil cangkir kesayangannya dan mengisi cangkir itu dengan susu bubuk, lalu ia menyeduhnya memakai air panas. Jaemin tersenyum puas ketika wangi susu vanila menyapa indra penciumannya.
Jaemin kembali masuk ke dalam kamarnya, mendudukkan dirinya di sofa menghadap jendela besar yang menampilkan gemerlap kota Tokyo. Ia menyesap susunya pelan.
Kalau dipikir-pikir, membuat susu dan berakhir duduk di sofa ini pada jam 2 atau 3 pagi sudah menjadi rutinitasnya. Semua kebiasaannya bermula sejak ia memimpikan potongan-potongan hidupnya dimasa lalu. Yah, sudah enam bulan ia memimpikan hidupnya.
Awalnya Jaemin takut dengan mimpinya, kadang ia akan menangis sendiri. Namun lama kelamaan Jaemin menikmatinya, ia pikir mungkin dengan mimpi-mimpi itu bisa mengobati rasa rindunya pada Seoul.
"Selamat pagi Jaeminie!"
Jaemin mengerjapkan matanya saat sinar matahari memaksa masuk kecelah-celah mata miliknya. Ia tersenyum ketika Mrs. Na mencium dahinya.
"Astaga ibu! Aku sudah besar." Rajuk Jaemin.
"Tidak, tidak, tidak. Kau tetap Baby Jaeminieku."
"Terserah ibu, yang penting biarkan aku tidur lima menit lagi."
"Tidak bisa! Kau harus bangun, Jaemin! Kau harus mandi lalu kita sarapan dan minum obat."
Mrs. Na menarik selimut Jaemin hingga terjatuh ke lantai.
"Iya aku bangun!"
"Nah, ini baru baby Jaeminieku!"
Jaemin mendesah pasrah dan memilih berjalan masuk ke dalam kamar mandi sebelum ibunya kembali cerewet.
Mrs. Na tersenyum dan mulai merapikan kasur milik Jaemin. Sudah rutinitasnya untuk membangunkan Jaemin lalu merapikan kasur Jaemin setelahnya. Melakukan hal kecil seperti ini saja sudah membuat Mrs. Na puas, setidaknya ia masih memiliki Jaemin-nya.
"Jaemin jangan lama-lama mandinya! Ibu harus menghadiri rapat jam 10 nanti."
"Ibu pergi saja, aku di rumah sendirian juga tidak apa." Balas Jaemin berteriak.
"No Jaemin. Aku tidak mau kejadian di Rusia kembali terjadi."
Ah benar. Dulu saat di Rusia, Jaemin pernah ditinggalkan sendiri dan berakhir punggungnya bertambah cedera karena jatuh dari sepeda. Berterima kasihlah pada jiwa Jaemin yang tidak betah diam ketika menemukan sepeda di garasi rumah.
2014
Semua mata SM Rookies begitu berbinar antara senang dan gugup. Setelah bertahun-tahun lamanya mereka berlatih di ruangan pengap akhirnya mereka bisa menunjukkan kemampuan mereka diatas panggung. Dan sebuah kehormatan untuk mereka bisa tampail di panggung yang sama dengan senior besar seperti DBSK, Girls Generation, Super Junior, EXO, Boa, Kangta dan masih banyak lainnya yang merupakan panutan semua trainee SM Entertaiment. Tidak lupa dengan ribuan fans seniornya yang tidak henti meneriaki fanchant mereka. Sangat indah.
"Rasanya aku ingin menangis bahagia." Gumam Haechan yang masih tidak percaya akan tampil sebentar lagi.
"Dasar cengeng!" Mark mengusak rambut Haechan gemas.
"Ya! Hyung! Kau menghancurkan rambutku~ Aku jadi jelek!"
"Astaga kau sangat menggemaskan mau gimanapun keadaanmu." Goda Mark yang berhasil membuat pipi Haechan bersemu.
"Aduh! Aku semakin gugup'kan!" Pout Haechan.
Mark langsung menggenggam tangan Haechan erat dan menatap adiknya yang berbeda satu tahun itu.
"Kau akan baik-baik saja. Ada aku." Haechan tersenyum malu.
"Jaemin! Bernafas!" Seru Ten sambil menggoyangkan tubuh Jaemin.
Jaemin membulatkan matanya dan mengambil napas sebanyak-banyaknya. Kebiasaannya dari dulu, bila gugup secara tidak sadar ia akan tiba-tiba tidak napas.
"Sudah baik-baik saja?" Tanya Jaehyun khawatir.
Jaemin mengangguk pelan dan menerima botol minum pemberiaan Hansol.
"Terima kasih, Hyung."
"Kau tidak perlu gugup, Jaemin. Anggap saja stage itu ruang latihan kita."
"Benar, tidak lucukan kalau ada berita kalau trainee SMent mati diatas panggung karena kehabisan napas."
"Ten hyung! Mulutmu jahat sekali!" Seru Jeno.
"SM Rookies bersiap diposisi!" Seru Crew.
Semua member segera berjalan menuju posisi mereka masing-masing. Jaemin menarik napasnya, mencoba mengatur detak jantungnya.
Sebelum berjalan pergi Jeno menepuk bahu Jaemin, "Jangan pikirkan ucapan Ten hyung, ia hanya ingin membuatmu lebih baik dengan cara yang salah."
Ia tertawa mengingat ucapan Ten yang ada benarnya juga, sangat tidak lucu kalau ada yang mati di saat konser sedang berlangsung.
"Apa yang kau tertawakan?"
Jaemin melupakan posisi Mark yang tepat disampingnya.
"Aku memikirkan ucapan Ten hyung, itu sangat lucu dan mengenaskan."
"Well, walaupun mulutnya pedas tapi ia sangat menyayangimu. Semuanya menyayangimu, Jaemin."
"Dan aku tahu kau bisa melewati empat menit di atas panggung. Kami selalu disampingmu."
Jaemin terdiam mendengar ucapan Mark. Untuk pertama kalinya Mark mengucapkan kalimat yang panjang padanya, ia sedikit terharu. Yah, menyedihkan memang selama dua tahun mereka berlatih bersama, Mark jarang sekali mengajaknya berbicara padahal kalau Jaemin perhatikan Mark termasuk anak yang banyak omong seperti yang lainnya.
"Jaemin! Apa yang kau lakukan! Lari cepat!"
