Hai minnaaaaa!
Aku baru di fandom ini, jadi para senpai disini mohon dibantu ya ;)
Oh ya, ini sebagai permintaan maafku karena cerita sebelumnya belum menemukan ending yang memuaskan untuk para readers. Semoga cerita ini bisa mengobatinya ;)
Selamat menikmati
ES21 Fanfiction
Disclamer : Riichiro Inagaki dan Yuusuke Murata
Warnings : OOC, alur yang mudah-mudahan tidak kecepatan, typos
Maaf kalau jelek :)
Story : Rufina Yumi (Rufi-chan)
At the end
NORMAL POV
JRENG
Suara gitar itu pun menggema di setiap sudut ruangan, ruangan yang dipenuhi sesak orang yang bekerja dengan satu tujuan, yang hanya dibatasi oleh kotak-kotak kecil yang menandakan itu adalah area kerja sang pencari nafkah.
Bosan dengan kesibukan di sekitarnya, seorang pemuda memetik senar gitar dengan merdu, tanpa memperdulikan bahwa saat itu orang disekitarnya sedang berjuang mencari sesuap nasi. Ia jenuh akan keadaan dimana ia harus menepati suatu peraturan, awalnya memang dia sangat senang dengan pekerjaan yang ia dapat namun, berkutat dengan segala macam dokumen dan angka-angka yang memenuhi seluruh otaknya akhirnya membuatnya muak.
Ia membutuhkan sesuatu yang baru, sesuatu yang bisa membuatnya sedikit terhibur ya mungkin dengan memainkan gitarnya.
Ia sangat menyukai gitar, kemana-mana gitar adalah benda wajibnya, meskipun orang disekitarnya selalu bertanya-tanya padanya apakah hal yang selalu ia bawa itu tidak merepotkannya, dilihat dari ukurannya saja membuat orang merasa sangat kesusahan hanya dengan berfikir untuk membawa barang yang cukup berat itu kemana pun ia pergi..
tapi berbeda dengan pemuda satu ini, membawa gitar kemana-mana adalah kewajibannya, ia selalu memperlakukan gitarnya layaknya manusia yang membutuhkan makan, minum, dan hal pokok lainnya, ia memperlakukannya bagaikan seorang pacar. Setiap hari merawatnya dengan penuh kasih sayang, bahkan ia akan lebih marah jika gitarnya tergores di bandingkan ia dikhianati oleh sang pacar.
Tapi itulah dia, entah bagaimana nantinya jika ia telah mempunyai pasangan yang sesungguhnya atau seperti apakah sosok yang akan mengalihkan pandangannya dari gitarnya itu.
Ia sangat menyukai gitar karena pepatah yang mengatakan buah tak jatuh jauh dari pohonnya, seperti itu pulalah dia, melihat sang ayah yang senang memainkan gitar dan ibu yang senang bernyanyi di kala senja membuatnya sangat tergila-gila pada benda petikan tangan itu. Pada saat ia berumur 13 tahun, akhirnya ia dihadiahkan oleh kedua orang tuanya sebuah gitar, dan itulah gitar pertama dan terakhir untuknya.
Namun sayang kedua sosok yang ia kagumi itu telah tiada.
Ia mulai memetik gitarnya dan mengalunkan nada gitar yang indah tanpa memperdulikan orang disekitarnya.
Setiap pria itu memainkan gitarnya, perhatian para pekerja selalu dapat teralhkan padanya dengan mudah, orang-orang merasa terhibur dengan lagu yang ia bawakan. Sekaligus sebagai selingan di kala jenuh dan stres menghadapi setumpukan kertas yang hanya menjadi formalitas pertanggung jawaban itu.
Hari yang melelahkan, bahkan dia harus lembur kali ini dan sekarang, ia sedang berjalan pulang menuju apartmentnya, yang tak jauh dari kantornya. Beruntung sekali ia mendapatkan apartment sederhana dengan penjualan rumah orang tuanya dahulu, sebenarnya ia tinggal dirumah yang cukup mewahnya dulu, ayahnya adalah seorang pengusaha, sementara ibunya seorang ibu rumah tangga. Namun, karena kematian orang tuanya 5 tahun yang lalu ia memutuskan pindah dan hidup sendiri di sebuah apartment, menjual saham ayahnya dan menjadikannya sebagai biaya hidup.
"ouh ouh oh" –jreng- petikan gitar itu mengakhiri lagu yang dibawakan oleh sesosok pria dalam kerumunan orang itu.
Ketika ia melihat kerumunan orang ia, mencoba melirik kesana dan mendapati sekelompok anak muda yang bernyanyi dan beberapa temannya yang mengiringinya dengan alat musik, ia meihat antusiasme para penonton dari sekelompok anak itu, ia tertarik pada mereka, dan memutuskan untuk mendengarkan persembahannya yang lain.
Ternyata ia tidak menyesal berdiri disana, memasang telinga dan matanya hanya untuk fokus pada permainan sekelompok anak yang lebih muda darinya itu. Mereka berbakat, lagu yang mereka bawakan adalah remake dari lagu-lagu yang lagi happening sekarang ini. Dengan nuansa yang berbalik 180 derajat tenyata bisa membuat sebuah lagu dari sisi yang berbeda dan lebih menarik untuk didengar oleh telinga kita. Ide yang cukup kreatif.
Pria itu kemudian melemparkan selembaran uang untuk mereka, ya, mereka adalah anak muda berkarya dengan cara yang sederhana. Mereka menyukai musik hidup dari dan dengan musik. Dan pria itu pun berjalan dengan rasa bangga bisa menyaksikan pertunjukan sederhana tapi berharga mahal itu berjalan ke rumah.
"Tunggu," lelaki itu tiba-tiba menghentikan langkahnya
"Bagaimana kalau aku bekerja separuh waktu?" ucapnya pada dirinya sendiri dengan sangat bersemangat.
"Ya, kurasa bisa ku mulai besok. Tapi, dimana?" lelaki itu sibuk dengan dirinya sendiri, tanpa memperhatikan sekelilingnya, dan kemudian ia menengok kiri kanan, saking bersemangatnya ia tak sadar kalau orang disekelilingnya melihatnya dengan tatapan aneh.
Pandangannya kini berhenti di sebuah kedai ramen kecil di pinggir jalan, dekat sungai yang lumayan besar di belakangnya.
Ia berfikir itu adalah tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai lahan pekerjaannya, "Aku rasa orangnya tidak akan keberatan, benarkan Isabel?" gumamnya lagi pada diri sendir, beserta gitar kesayangannya. Ia berjalan dengan pasti ke kedai kecil itu, memesan sebuah ramen yang dari aromanya saja sudah menggoda saat ia mendekati kedai kecil itu, ia sadar ternyata ia belum makan malam tadi. Ia memesannya kepada seorang lelaki separuh baya yang menjual dikedai itu, 'Kelihatannya dia orang yang ramah' kini ia menggumam dalam hatinya saja.
SLRUUP
Ia menghisap mi ramen itu dengan puas kedalam ruang raksasa yang dipenuhi dengan pengkoyak makanan itu, "wow" hanya kata itu yang dapat mendeskripsikan rasa mi ramen ini, ini sangat enak! Ia memesan lagi satu ramen, ia ketagihan dengan ramen ini. Tak heran jika warung ini tidak sepi, walaupun kecil dan jarang dijamah oleh mata orang yang lewat namun pembelinya tak kunjung putus.
"Yah, ini adalah tempat yang tepat," gumamnya lagi dengan wajah berseri-berseri.
Ia memetik gitarnya.
JRENG
Dan ia pun mulai memainkan nada lagu bahagia di gitarnya, pengunjung kedaipun terhibur dengan petikan gitar pemuda itu. Sang pemilik yang melihat bakat salah seorang pengunjungnya itu mendekat setelah petikan gitarnya terhenti.
"Nak, aku ingin bicara sebentar.
"Hn? Baiklah" kata pemuda itu menghentikan petikan gitarnya.
"Aku Doburoku. Kurasa kau anak yang berbakat, aku sangat suka permainan gitarmu, bagaimana kalau kau memainkan gitarmu itu disini setiap malamnya?" jelas pria tua bernama Doburoku itu.
"Penawaran yang menarik. Bagaimana dengan pembagian penghasilan?" kata pria muda itu mulai bernegosiasi dengan orang tua itu, sudah seperti yang ia perkirakan sebelumnya.
"Mm, aku tidak akan memungut biaya apapun darimu, karena nantinya kau juga akan menghiburku, aku senang jika kau ingin membantuku disini." Senyum pak tua itu melebar, menaruh sebuah harapan pada pemuda berambut merah itu.
"Baiklah" katanya dengan puas, ternyata tak sesulit apa yang dia bayangkan, ia bisa mendapatkan tempat untuk memulai pekerjaan barunya. Setelah itu lelaki bernama Doburoku beranjak dari tempat tempat duduknya dan kembali ke dapur untuk bergelut dengan mie dan kuah ramen.
"Oh, ya Pak Doburoku. Namaku Akaba Hayato, dan ini Isabel" pria bernama Akaba tadi tersenyum lebar dan menepuk gitar kesayangannya, lalu menyelempagkan gitar kesayangannya ke pundak dan meninggalkan kedai kecil itu.
Keesokan harinya mentari yang menyengat membuat Akaba si rambut merah itu lebih bersemangat untuk pergi ke kantornya, suasana yang seharusnya membuatnya kesal seperti biasa itu kini berbanding terbalik, mungkin karena pekerjaan barunya sebentar malam, ia saja heran mengapa tak sejak dulu ia memilih jurusan seni saja.
ia menghirup udara segar di balkon apartmentnya, ia sangat menyukai suasana seperti ini, ia tidak pernah melewatkan ritual yang membuatnya seperti terlahir kembali. Ia menyesap coklat panas dan menikmati suasana pagi itu seperti biasanya, namun, hari ini berbeda entah ia merasa sangat senang dan bersemangat perasaan layaknya anak kecil yang telah diberikan kejutan di hari ulang tahunnya.
Ia meletakkan cangkir kosong yang tadi berisi coklat panas di dapurnya, ia menjamah kulkasnya, sebelum ia membukanya ia membuka lembaran kalender tanggal 22, "Hn?" ucap pria berambut merah itu heran, hari ulang tahun yang ke 22?
Ia sendiri tak menyangka, ia bahkan melupakan hari ulang tahunnya sendiri? Huh, mungkin karena ini ia merasa sebahagia ini?
Entahlah, ia merasa itu bukan alasan yang tepat.
"oke, ayo isabel" ia berdiri setelah memasang ikatan sepatunya, dan menyelempang si Isabel di pundaknya yang kokoh.
Ia berjalan keluar di bangunan yang kokoh itu, ia berjalan menelusuri jalan sambil bersiul riang, ia merasa sangat berbeda hari ini, ia tersenyum pada setiap orang yang ia temui, berbeda sekali dengan Akaba yang biasa.
Sepanjang hari ia selalu tersenyum tanpa lelah, orang yang sangat mengenalnya pun sampai terheran-heran melihatnya, ia berbeda 180 derajat. Pria berambut merah itu melantunkan nada-nada indah dari alunan merdu isabel, ia melantunkannya disetiap ia mempunyai kesempatan untuk memetik tubuh indah isabel.
Malam telah tiba, hari ini ia tidak perlu lembur seperti kemarin, ia pun takjub dengan apa yang terjadi padanya saat itu, ia tidak menyangka bisa menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk tanpa rasa lelah sedikit pun.
"Isabel, sekarang waktunya kita menikmati waktu untuk team work" ia beranjak pergi dari kotak kecil yang memisahkan pemandangan indah dijendela besar dengan peralatan canggih yang tersusun rapi dimeja kerjanya itu.
Ia menyusuri jalan menikmati pemandangan malam yang sungguh cerah seolah mendukung isi hatinya, bersih ditemani dengan bintang yang setia menemani bulan dikala terang walaupun mereka tak terlihat dan kala kegelapan menyelimuti bumi ini disaat merekalah menjadi pusat keistimewaan sang langit. Namun, satu hal yang kurang darinya dan tidak pernah ia rasa, bahkan sampai umurnya 22 tahun hari ini, ia belum pernah merasakannya. Bintang yang menemaninya.
"Hai paman" Sapa Akaba riang kepada orang tua paruh baya yang sedang membuatkan ramen untuk pengunjung yang tak sabar mengisi perut kosong yang hanya terisi dinginnya angin malam.
"Hai nak, kau sudah datang? Sepertinya kau sangat bahagia hari ini. Ada sesuatu yang spesial?" kata pak Doburoku menggoda pemuda yang mempersiapkan Isabelnya untuk melantunkan kembali alunan indah mereka berdua.
JRENG
Ia memulai petikan gitar pertamanya, ia sangat menikmati alunan Isabel, pengunjung pun yang mendengar alunan lagu mereka berdua sangat menikmatinya, seolah mereka bisa merasakan rasa gembira yang dirasakan oleh kedua pemain itu.
pengunjung kedaipun bertambah, menambah kesibukan Pak Doburoku untuk melayani mereka satu persatu, akhirnya Akaba turun tangan untuk ikut melayani pesanan yang ada, jika Pak Doburoku sudah bisa menghandle semua, pria berambut merah dengan badan atletis itu kembali malanjutkan alunan lagunya bersama Isabel.
Pengunjung mulai sepi, malam semakin larut menunjukkan kekuasaanya. Pak Doburoku dan Akaba pun berbincang-bincang di kedai mereka dengan ditemani teh seduh asli dari desa Pak Doburoku, ternyata dua insan yang berbeda usia ini dengan cepat bisa beradaptasi satu sama lain, mereka sekarang sudah seperti teman lama. Lama tak bertemu dan berseda gurau bersama. Mereka saling berbagi satu sama lain, dalam hal pengalaman hidup, pekerjaan, sampai percintaan.
"Hah? Sungguhkah? Pria sepertimu belum pernah merasakan cinta?" kekagetan dari sang paman tua yang menua itu membuat Akaba tersipu malu, sungguh memalukannya diakah sampai-sampai respon pak tua ini seheboh itu?
"Ah, ia paman. Jangan seperti itu, terlalu berlebihan buatku, hehe. Hm, aku hanya ingin bintang yang tepat untuk menemani sang bulan paman, apakah itu salah?" tanya sang bujangan berambut merah.
"Tentu saja tidak, malah lelaki sepertimu zaman sekarang sudah langkah" kata pak tua itu mengejek pemuda dihadapannya.
"Tapi aku bangga, karena aku dilindungi bukan? Haha" canda sang rambbut merah.
Saat itu, sudah pukul 23.50 saatnya mereka menutup kedai kecil itu.
"Uh, tunggu dulu" teriak seorang wanita berambut hitam pekat sebahu berlari menuju mereka, wanita itu tampak agak berantakan dengan dandanannya yang casual.. ia terengah-engah setelah berusaha menuju kedai itu dalam dahaga menahan laparnya, ia menahan laparnya sejak siang tadi, terlalu banyak tugas yang menumpuk sehingga ia tidak bisa menyempatkan dirinya untuk meraba secuil makanan untuk mengganjal perutnya yang sudah mengibarkan bendera perang untuknya, bahkan dengan cara itupun ia harus libur. Ya begitulah jadwal pekerja kantor bank menjelang akhir tahun. Tinggal 3 bulan lagi akhir tahun akan datang sudah serepot ini ia harus bekerja, bagaimana jika itu sudah tinggal beberapa hari lagi, mungkin ia harus memindahkan rumahnya ke tempat kerjanya itu.
Ia masih tersenggal-senggal mengambil nafas sebanyak-banyaknya untuk bisa membuatnya bertahan untuk meminta pesanan pada dua orang lelaki di hadapannya itu.
Ia bahkan tak sadar salah seorang dari mereka memperhatikannya lekat-lekat.
AKABA POV
"Uh, tunggu dulu" teriak seorang wanita. Mendengar suara itu aku berbalik.
DEG
Berambut hitam pekat sebahu berlari menuju kami yang sedang merapikan tempat duduk yang disediakan untuk pembeli, berbenah untuk segera pulang ke rumah masing-masing dan mengakhiri hari yang penuh makna itu.
Wanita yang tampak agak berantakan dengan dandanannya yang casual. Menyita perhatianku. Ku pandangi lekat-lekat wanita manis itu yang sedang tersengal-sengal mangambil nafas, ingin ku tolong wanita dihadapanku itu namun aku tidak bisa bergerak, yang ku lakukan hanyalah terpaku melihatnya. Caranya membungkuk berusaha mengambil nafas sebanyak mungkin, rambutnya yang terurai lurus ke bawah sebahu yang menutupi sebagian wajahnya itu memberikan efek yang sangat terlihat istimewa dimataku. Terutama wajah tanpa goresan make up sedikit pun menambah pancaran aura alami yang mampu mengunciku.
Sensasi apa ini?
HANA POV
Aku berjalan dengan lemas menuju rumah. Hari yang sungguh sial.
Ku rasa hari ini sudah cukup lengkap dengan keterlambatanku menghadiri rapat yang mengakibatkan proposal yang kurancang sehari semalam itu dibatalkan dan harus dibuat ulang, tugas yang deadline, dan yang lebih kejam lagi, waktu tak mengizinkanku untuk meraba bahkan mencium aroma makanan hari ini. Kerja lembur selarut ini adalah hal pertama untukku. Setidaknya, biasanya aku hanya pulang paling lambat jam 11 23.00. masih sempat untuk mengejar kereta terakhir di stasiun untuk menuju rumah. Namun, apa boleh buat, walaupun hanya berselisih beberapa menit saja, aku harus ketinggalan kereta api dan berjalan ke rumah. Sendiri.
Aku sudah tidak kuat lagi, seharian ini menguras tenagaku.
Samar-samar aku melihat sebuah kedai kecil, aku menyipitkan mata dan membaca berulang-ulang spanduk sang pemilik kedai. Ternyata benar itu adalah kedai ramen! Melihat kedai tadi rasa tak berdayaku pun hilang. Aku berlari. Berusaha menggapai kedai itu dan berkata aku ingin ramen 7 mangkok dalam sekali teguk!
"Uh, tunggu dulu" teriakku akhirnya, aku tersengal-sengal mengambil nafas. Berlari dengan tenaga tinggal beberapa watt seperti ini ingin membuatku pingsan. Aku membungkuk mencoba menenangkan diri. Sepertinya diriku sudah cukup berantakan hari ini.
Aku mengangkat wajahku dan mendapati sesosok pria tua yang tersenyum padaku. Senyuman yang ramah.
"Ah, Paman. Bolehkah aku memesan ramen? Hehe" tanyaku ragu pada sosok tua itu.
"Tentu saja nona" katanya tersenyum ramah.
"Hei pemuda bodoh, jangan hanya terbengong disana dan melihatnya, siapkan meja dan kursi untuk nona ini! Kekeke" pemuda tua itu tertawa dan menuju di dapurnya.
Ku lihat sesosok pemuda di belakangnya yang masih terbengong melihat ke arahku tanpa memperdulikan kata majikannya, aku tak mengerti ada apa dengan lelaki itu, apakah aku seberantakan itu?
"Hn?" aku tersenyum padanya dan melambaikan tangan, mencoba bersikap ramah, dan normal.
BRUK
Kursi di tangannya terjatuh dan "Hahahahhaha" dia tertawa, akhirnya orang itu tersadar sejak sedari tadi mematung.
"Hhaah" aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang konyol, tak terlupakan pula sang pak tua di balik dapur tertawa dan berkata "Begitulah anak zaman sekarang yang tidak pernah melihat wanita cantik" mendengar kata paman tadi aku tersipu malu, wajahku mungkin memerah sekarang.
Dia pun masih tertawa sendiri, memperbaiki posisi bangku dan meja yag berantakan. Dan akhirnya selesai pula ia menyiapkan sebuah kursi dan meja untukku yang tertata rapi, lengkap dengan serbet dan lilin, seperti aku makan di restoran dan candle light dinner saja. Lelaki aneh gumamku dalam hati.
Tapi tak apalah, aku duduk di meja yang bahkan tak ingin ku hancurkan keindahannya dengan kerakusan makanku nanti, ku memperhatikan dua sosok pria itu. Mereka berada di dapur, berbincang, dan tertawa bersama, entah apa yang mereka bicarakan. Huh, lelah hari ini lumayanlah di bayar dengan pelayanan kedua orang yang masih asing ini. Apa ini ya balasan Tuhan akan pekerjaanku hari ini? Hihi.
"Ah, nona. Ini dia mi ramen. Ramen combo, ini special untuk anda sebagai pelanggan penutup kami hari ini. Hari ini juga kami kedatangan banyak pelanggan, jadi anggap ini sebagai rasa syukur kami. Ah, dan gratis" jelas sang paman tua sambil membungkuk dan berlalu pergi sebelum aku mengucapkan apa-apa.
Sebesar inikah apresiasi Tuhan untukku? Huh, Tuhan ku rasa ini berlebihan.
Aku mulai mennyeduh ramenku dengan hikmat, sebelumnya datang pria pemuda aneh tadi dengan memetik gitarnya, yang mengalihkan perhatianku. Entah ada apa dengan suara dari petikan gitar itu, seperti ada magic yang membuatku untuk mendengarnya. Ku angkat kepalaku dan pria aneh tadi mendekatiku dengan alunan nada gitar yang semakin terdengar jelas di telingaku.
Aku tersipu malu mendengar alunan nada tersebut, seolah aku bisa mengartikan makna dari alunannya, walaupun aku tidak pernah mengerti dengan musik.
"Hei bocah tengik, sudah berhenti. Kau membuatnya tidak bisa menyantap makanannya. Jika ingin memainkan musik itu, jangan kau di hadapannya" kata pria tua itu mengusik keindahan alunan lagu yang seketika itupun berhenti.
"Hah, benarkah? Ba-baiklah. Gomen. Hehehe" kata pria aneh tadi dengan wajah yang merah padam hampir menyamai dengan merah rambutnya. Kelihatannya pria tadi salah tingkah, pergi dengan menggaruk kepala dan berbalik seolah memberi isyarat pada pak tua.
Mereka kini berdua sangat aneh.
Tapi satu hal yang ku inginkan, menyuruh si rambut merah aneh itu memainkan kembali alunan lagunya.
"Hah, syukurlah" aku bersandar ke bangkuku dan memegangi perutku yang sudah sangat full memakan ramen jumbo itu.
Tapi, "Hah, bagaimana seorang wanita bisa makan seperti ini?" kata paman itu menghampiriku. Mengagetkanku dan menyadarku dengan gaya makanku yang membuat meja yang semula rapi dan romantis itu menjadi meja yang sangat berantakan dengan caraku makan. "Sungguh memalukan" ku rasa sekarang wajahku pun ikut memerah.
"Hehehe, maafkan aku paman, seharian ini aku belum makan. Aku akan membersihkannya, paman jangan kahawatir, hehe. Sekarang aku sudah sangat malu. Mana makanannya gratis lagi." Aku menggaruk-garuk kepalaku yang hanya membuat penampilanku tampak tambah berantakan itu.
"Baiklah, kalau itu pintamu" paman itu tersenyum dan kembali ke dapurnya.
Aku melihat sesosok pria yang tertidur di atas gitarnya, ah, pria berambut merah tadi. Dia manis juga saat tertidur.
Aku membersihkan meja dan mengangkat kotorannya ke dapur paman.
"Maafkan aku nona, tapi pria di luar itu sama sekali tidak berguna" kata pria itu mengambil piring yang ku bawa dari luar dan memindahkan ke tempat cuci piringnya.
"Mungkin orang aneh itu, eh, maksudku, dia kelelahan" kataku mencoba menanggapi ucapan sang paman tadi.
"Haha kau tidak perlu meralat ucapanmu, memang dia pria aneh" kata pria itu membuatku tersipu malu.
"Ah, paman, kau tidak mengatakan kalau wanita itu telah pergi" kata pria aneh tadi menyerbu dapur dengan panik.
Kami berdua berbalik, aku melihatnya bengong, ingin tertawa, dasar pria aneh.
"Hah" gumamku kecil yang hanya diriku saja dapat mendengarnya. Menunduk dan berjalan melewatinya yang terpaku dengan wajah yang memerah.
"Hahah" tawaku pun keluar, suaraku ku kecilkan agar mereka tak mendengarku.
Namun dari luar kedai aku bisa mendengar pentengkaran kecil mereka, aku mendengar si aneh berambut merah itu mengatakan kenapa paman tak memberitahunya atau membangunkannya dan paman itu hanya tertawa mendengar keluh kesah si rambut merah aneh.
Aku mengambil tas ku bersiap untuk pulang, malam yang berkesan.
"Terima kasih, lain kali datang kedai kami lagi" suara ringan pemuda berambut merah itu membuatku berbalik dan tersenyum.
Ia pun tersenyum, Deg, entah mengapa senyumannya meneduhkan hatiku.
NORMAL POV
Pria berambut merah itu pulang dengan riang, seribu kali lebih senang dari sebelumnya.
Bersiul dan menari-nari sepanjang jalan, ada perasaan puas dalam dirinya setelah bertanya-tanya apa yang menunggu di hari ulang tahunnya, ternyata hadiah ulang tahun ini adalah hadiah terindah dari Tuhan selama hidupnya, seorang bintang yang akan menemani hidupnya dikala terang saat mereka tak bisa terlihat oleh mata pengamat langit dan saat malam saat mereka bisa memancarkan sinarnya bersama.
Okelah itulah tadi chapter 1 nya, bagaimanakah kelanjutan kisah mereka? Apakah sang Akaba yang terkenal dengan jomblo seumur hidupnya bisa mendapatkan seorang wanita yang mendampingi hidupnya? Dan siapakah wanita itu sebenarnya?
Tunggu di chap berikutnya yah.
