Plastic Memories
Cast: Kim Jongin
DO Kyungsoo - Girl
Xi Luhan - Girl
Byun Baekhyun - Girl
Park Chanyeol
Dan masih banyak support castnya!:)
Genre: Romance, Sci-fi, Fantasy, Genderswitch!
Rate: Teen! (bisa ada scene Maturenya)
Chapter 1 of 1.
Note: Halo, ini fanfic pertamaku. maaf kalau nggak nyambung dan penulisannya typo, membuat kalian bingung bacanya.
i've tried kok 8'''') semoga kalian suka ya. dan inget, ini genderswitch. UKE!genderswitch.
fanfic ini murni buatanku, adaptasinya dari anime baru yang sesuai judulnya.
aku cuma adaptasi aja, ngga mirip semua.
Desclaimer: Cast punya nadseu semua hihihi. ceritanya aneh, mungkin karena baru part1, belum dijelasin semuanya ^^
Summary: Jongin si pria yang gagal soal pekerjaan. Suatu hari temannya, Chanyeol menawari pekerjaan unik untuknya. Ketika pertama kali datang ke gedung dimana ia bekerja, di lift, ia bertemu gadis mungil yang menangis, raut wajahnya membuat hatinya teriris. dan ternyata, gadis mungil itu akan menjadi patner kerjanya yang ternyata bukan seorang manusia.
.
.
.
.
.
Victoria tersenyum tipis. Tangan lentiknya sibuk menggulung telur dadar yang ia masak dipan berbentuk kotak khas jepang—wangi mentega menyeruak lewat cerobong asap diatas kompor modern itu. Tak tak tak! begitulah suara yang ditimbulkan ketika dirinya memotong beberapa bahan selanjutnya.
Tanpa disadari bahwa ada seorang pria yang sedang menatap Victoria lembut dari ruang makan. Matanya bersinar seakan bangga apa yang perempuan itu lakukan. Bahkan bunyi peralatan masaknya bisa membuat siapapun menjadi senang terbawa irama.
"Sudah berapa lama kamu memerhatikanku, Jongin?"
Jongin terkekeh sambil menarik kursi beraksen kayu jati lalu dia menduduki kursi itu. Kakinya menyilang, tangannya ia tumpu untuk kepalanya, matanya melengkung seperti bulan sabit yang indah. "Sejak aroma ini membuatku melayang ke dapur," Ujarnya tersenyum jahil.
"Kamu ini," Victoria menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tangan ajaibnya masih sibuk menyiapkan sarapan. "Bagaimana? Sudah dapat pekerjaan yang pas?" Tanya Victoria yang pada akhirnya menoleh.
Pria berambut mahoni tadi menggaruk tekuknya yang tidak gatal. Mendadak canggung bagi ukuran Jongin yang profesinya masih ditulis sebagai penganggur. Ia berdehem kemudian pura-pura sibuk merapihkan beberapa buah yang tidak rapih di meja makan, "Belum ada noon, hampir—" Jongin menggantungkan kalimatnya.
"Hampir?"
"Hampir semuanya menolakku." Jongin nyegir. Sial baginya, Jongin terlihat seperti seorang pecundang sekarang.
Victoria tertawa kecil, menunjukan betapa manisnya bibir ketika bibirnya mengembang. "Tenang, tenang." Katanya seraya membawa dua piring ditangannya, yang berisikan Omellete Rice dan Pancake dengan sirup maple. "Nih, tenangkan dirimu dulu. Semoga harimu bisa diawali dengan senyuman." Kata Victoria tersenyum manis.
Jongin sempat terdiam ketika kakak perempuannya menyodorkan sarapan kesukaan dirinya itu. Dia jadi lebih canggung kalau kakaknya masih menerima dirinya yang terlalu apa adanya. Basi, dirinya seperti nasi basi. Pantas lah, beberapa perusahaan menolaknya. Bahkan mencicipinya pun tidak mau.
Sembari melepas apron merah mudanya, Victoria melangkah menuju tangga. Lalu berteriak, "Jangan lupa dimakan. Mereka akan menangis kalau kamu diamkan seperti itu!"
Dan saat itulah Jongin terbangun dari lamunannya. Dia bergerak canggung menggambil garpu, "N-ne, noona!"
Jongin sudah lulus beberapa bulan lalu dari sekolahnya.
Pria jangkung berumur 18 tahun itu tidak ambil pusing soal kuliah apa tidak. Toh, akhir-akhirnya juga pasti cari pekerjaan. Jongin pernah berpikir, ketika ia lulus, ia pasti jadi orang yang sangat kaya. Mampu membeli mobil-mobil mewah dan punya kolam renang sendiri didalam rumah yang ia tinggali bersama kakak perempuannya.
Jongin suka sekali berenang, makannya tubuhnya jangkung seperti sekarang. Kulitnya sedikit gelap karena senang berenang diarea outdoor, kadang rasanya bisa membuang stress yang ia sembunyikan—maka itulah ia suka sekali benerang dan memimpikan punya kolam renang sendiri dirumah.
Dan, Jongin senang sekali gaming. Selain bermain game online, Jongin juga suka membaca buku tentang Sci-fi.
Dia suka berkhayal dan bermimpi. Suatu saat mungkin impiannya tercapai, yaitu, menjadi orang yang sukses. Dia memang terlahir dikeluarga yang sederhana. Tapi, ia bersyukur masih punya kakak perempuan yang benar-benar sayang padanya.
Well, Jongin hampir ambruk dari tubuhnya yang kokoh kalau mengingat soal impian itu semua. Nyatanya, dia memang terlalu banyak bermimpi dan tidak bangun untuk mengejar mimpi-mimpi indah yang ia pikir. Hasilnya bisa di lihat sendiri—Jongin hampir ditolak semua perusahaan yang ia lamar.
Dia merasa gagal.
.
Siang hari yang cerah, matahari mengeluarkan sinar untuk menerangi kamar tidur Jongin agar lelaki itu kembali bersemangat seperti biasanya. Matahari sempat sedih melihat kondisi Jongin akhir-akhir ini. Jadi, matahari lebih sering menganggu Jongin supaya ia bisa tersenyum dan membuka tirai jendela kamarnya.
Posisi Jongin sekarang sedang duduk dipinggiran kasur dengan seprai putih pucat yang membuatnya terlihat memudar. Kondisi Jongin sedang labil—seperti cuaca sekarang. Pelangi bisa saja datang, namun pelangi itu tidak bisa bertahan lama dan mendung mengambil alih itu semua. Pudar.
TOK
TOK
Ketukan dari pintu membuatnya tersentak. Ia menoleh ke belakang, mendapati seseorang sedang diam disela-sela pintu. Menimbulkan bayangan sehingga Jongin tidak tahu siapa yang ada disana—matanya menyipit, mencoba mempertajam pandangan.
"Chanyeol," Kata pria disebrang sana.
Mata elang Jongin masih menyipit, sepertinya pria ini belum fokus. "Siapa?"
"Chanyeol." Katanya mengulang. Dia mendorong pintu kamar Jongin lalu kaki besarnya melangkah perlahan.
"Oh, kau." Jongin mengelus tekuknya kemudian berjalan mendekati pria jangkung berambut abu muda yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Jongin tidak senang jika ada seseorang mendadak menganggu apa yang sedang ia lakukan—tapi apa buat, Chanyeol adalah sahabatnya sedari SMA.
Chanyeol terkekeh sambil melipat kedua tangan didada, "Aku tidak bisa melihat wajahmu."
Jongin mendegus tidak suka, "Ada apa repot-repot datang ke sini?" Tanyanya ketus.
Chanyeol masih saja terkekeh dengan kelakuan Jongin yang tidak berubah sama sekali. Padahal sudah dua tahun berlalu. "Setidaknya buka tirai disiang hari bisa membuat kulitmu lebih terang." Komentar Chanyeol jahil. Tapi Jongin membalasnya dengan wajah tidak suka. Lelaki itu kembali duduk diujung kasurnya, tidak bicara sepatah kata pun.
Agar tidak membuat suasana lebih buruk, Chanyeol berpura-pura memerhatikan buku-buku yang tersimpan rapih dirak. Hampir seluruh bukunya berisikan tentang Sci-fi dan renang. Tidak ada genre lain.
"Masih belum buat keputusan juga?" Ucapan Chanyeol dibuat seperti mantra. Yang dia ucapkan bisa membuat Jongin mendongak memerhatikan punggung gagah Chanyeol, "Aku—tidak yakin." Ujar Jongin.
"Masih belum yakin juga?" Chanyeol berdecak. Ia membalikan tubuh besarnya, tangannya menggenggam buku tebal bertuliskan Geek. Seolah dibuat kesal, Chanyeol memutar kedua bola matanya—"Ini sudah satu minggu. Bahkan sudah seminggu lebih, tapi kamu masih belum yakin? Kamu terlalu bodoh."
"Aku tidak bodoh, brengsek."
"Lalu?" Chanyeol membungkukkan tubuhnya. Memandang Jongin intens, "Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan. Kamu butuh pekerjaan kan?" Jongin mengangguk pelan.
"Jadi, apa lagi? Ini pekerjaan yang mudah. Well, memang sulit diawal-awal. Ini pekerjaan yang hanya perlu sedikit tenaga dan perasaan."
"Aku tidak yakin."
"Apa yang tidak membuatmu yakin?"
"Mmm," Jongin berdehem kemudian berkata, "Aku kolot masalah kayak begini. I'm serious, okay? Aku tahu pekerjaan ini—ini pekerjaan terkenal, Park Chanyeol. Walau aku sangat suka gaming, tapi soal program be—"
"Tidak ada yang menyuruhmu battle disana. Tidak ada yang menyuruhmu merakit sebuah komputer atau sebaliknya!" Chanyeol geram, tanpa sadar ia menaikan oktaf untuk membuat Jongin lebih dewasa. Sial—Jongin sama saja seperti anak kecil yang bingung memilih permen atau coklat.
Chanyeol mengambil secarik kertas resmi diransel yang ia gunakan. Lalu, menyodorkan keras itu dihadapan wajah Jongin. "Sekali lagi," Kata Chanyeol. "Sekali lagi pikirkan apa yang bagus untuk masa depanmu. Aku tidak akan datang. Jadi, tolong pikirkan baik-baik."
Jongin membuka matanya lebar saat Chanyeol melempar kertas itu sembarang. Kakinya dihentakan ketika berjalan keluar dari kamarnya. Chanyeol kelihatan sangat marah padanya, apalagi ketika ia membanting pintu.
.
.
.
.
"Aku tidak apa apa. Ingat, jangan pikirkan orang lain sebelum kamu merasa kalau dirimu belum baik, Jongin. Semoga berhasil!"
Jongin menghela nafas mengingat ucapan terakhir Victoria sebelum akhirnya, kini, ia berada didalam kereta menuju Seoul. Tangannya bertengger seperti burung yang malas bangun dipagi hari.
Jongin melirik jam arloji warna hitam ditangannya. Jam delapan, jam delapan kawan-kawan. Seharusnya Jongin masih tidur dikasurnya yang empuk itu. Bahkan jam segini Jongin belum sudi menggeliat dikasur—pekerjaan macam apa ini. Jongin lagi-lagi menghela nafas.
Setelah turun dari kereta, Jongin mengambil ponsel dari jas navy yang ia gunakan. Hey, jangan lupa—Jongin mau melamar kerja. Setelan jas dan sepatu hitam mengkilapnya membuat Jongin terlihat begitu gagah. Tapi tidak dengan wajah suntuknya. Kembali soal ponselnya, Jongin menyipitkan mata, memerhatikan GPS yang sedang digunakan.
Ia berjalan mengikuti garis berwarna ungu yang ada di GPS. Jongin terlihat santai dan tidak terburu-buru, jadi ia tidak berniatan berlari sama sekali walau pembukaan lamaran kerjanya itu dimulai 15menit lagi.
Dan kaki jenjang miliknya terhenti disebuah gedung tinggi. Benar-benar menjulang dan luas, sampai-sampai matanya tidak berhenti berkedip. Layaknya melihat seorang bidadari, Jongin kembali mengecek jam arlojinya, "Good. Hanya satu setengah jam dikereta dan sepuluh menit berja—"
Jongin melotot mengingat sisa waktunya tinggal lima menit. Ia segera memasuki gerbang dan berlari ke dalam gedung.
"Sial, sial, sial!" Umpatnya sambil berlari kencang menuju lift. Kakinya melangkah lebih dari satu petak untuk berlari, Jongin merasa dikejar hewan liar yang siap memakannya kapan pun—ini mengerikan daripada Victoria kalau sedang mengamuk.
Dengan sepenuh tenaga, tanpa harus menekan tombol lift untuk membuatnya masuk ke dalam, ia segera melangkah masuk ke lift sambil ngos-ngosan. Dadanya naik turun, hidungnya sempat kembang-kempis karena jarak masuk ke dalam gedung ini saja puluhan meter—astaga.
"Astaga," Ucap Jongin bersumpah. Dia masih berusaha mengatur nafasnya, "Aku mana mau melamar kesini kalau memang aku tidak—"
Lelaki itu menutup mulut rapat-rapat ketika melihat ada gadis bertubuh mungil diam disudut lift yang semuanya dibuat dari kaca. Sehingga, ia bisa melihat jelas pemandangan keluar.
Gadis itu bertubuh mungil, rambut sepinggang dengan warna hitam pekat dan memakai seragam yang mencolok. Menampilkan lengan dan pahanya yang putih mulus. Dibalik itu semua, Jongin bisa melihat gadis tadi sedang murung. Pantulan dari kaca bisa membuktikannya.
Jongin curi pandang, gadis ini kenapa? pikirnya.
Bertubuh mungil dengan wajah murung—setidaknya anak kecil tidak semurung itu. Wajahnya tidak menunjukan kebahagiaan, matanya berkaca-kaca memandangi biang lala yang sedang berputar dari kejauhan.
"Per—"
Oh, tidak. ini buruk.
Gadis itu berbalik dan menatap Jongin. Mata bulatnya menarik perhatian Jongin, hidungnya, bibirnya yang kecil dan tebal. Ternyata semuanya menarik perhatian pria bernama Kim Jongin.
Tak lama kemudian, mata bulat—ehem, mata yang menurut Jongin indah itu berlinang air mata. Matanya mulai merah dan dahinya mengerut, mungkin ingin menahan air mata yang keluar.
"H-hey, kamu tidak apa apa?" Tanya Jongin ragu-ragu.
Gadis itu masih hanya menatap Jongin. Dan entah kenapa—Jongin merasa sedih. Ada sesuatu mengganjal didalam hatinya. Sesuatu ikut teriris dan rasanya perih.
Apa dia baik-baik saja?
Jongin tersenyum canggung, ia ingin sekali menghapus air mata gadis manis itu. Atau juga ingin mengelus rambut hitam yang kelihatan lembut seperti sutra—tapi nyatanya tidak bisa.
Dan lebih parah lagi, Jongin baru sadar. Kalau jantungnya berdebar kencang, ia dapat merasakan tekanan itu didadanya, begitu keras seperti speaker.
.
.
.
.
Jongin baru sadar—kalau dia baru saja jatuh cinta.
"Memangnya apa yang lucu?" Seorang wanita mengamati wajah seorang pria dengan wajah datar. Rambut ikalnya terurai cantik dan wajahnya manis seperti permen, di nametagnya tertuliskan Xi Luhan – Hero.
Pria disebrangnya tertawa canggung, "Aku hanya menggodamu, Lu." Katanya, nametagnya berbunyi Oh Sehun – Defender. (Nametagnya pun terdapat foto formal mereka memakai seragam khusus. Disamping foto ada | nama: xxx dan | position: Hero, defender, dll.)
TOKTOKTOK
"Berhenti menggodaku. Aku bukan wanita murahan." Ucap Luhan cuek. Tangannya sedang membuka lembaran-lembaran proposal untuk diserahkan ke direktur perusahaan—wanita judes itu memang kelihatan tidak mau diganggu. "Masa sih? Terus siapa sih yang membuat sebuah tanda di—"
"A—anu, per-permisi."
"Ya?" Sahut Sehun dan Luhan bersamaan. Luhan mendelik melihat Sehun yang masih tersenyum jahil padanya, "Siapa kamu?" Tanya Luhan judes—uh, Luhan memang judes, tapi Sehun sepertinya sangat menyukai Luhan.
Jongin mengelus tekuknya mungkin sudah menjadi kebiasaannya yang tidak akan pernah hilang dimakan waktu. Ia selalu melakukan itu bila situasinya tidak bisa membawa Jongin menjadi tenang, "A—aku Kim Jongin,"
"Lalu?"
Jongin berkeringat dingin, "Beberapa hari yang lalu, aku mengirimkan berkas laporan diriku ke sini. Dan kemarin aku dapat email," Jongin mencoba menjelaskan dan Luhan masih menunggu apa yang akan dilanjutkan selanjutnya. "Email i-itu datang dari perusahaan ini. Dari Seoul National R, di email terbilang aku lolos soal lamaran kerja. Ja, jadi—"
"Oh, boy," Sehun tertawa melihat Jongin yang digugup kemudian merangkulnya seperti kawan lama. "Aku tahu, kamu takut dengan rusa galak seperti dia kan?" Tanya Sehun, telunjuknya mengarah ke wajah Luhan yang dingin seperti es. Tapi Jongin diam, ia tidak mau memperkeruh suasana apalagi ia baru hadir dan baru saja masuk ke ruang kerja.
"Jelaskan lagi." Ujar Sehun sambil tersenyum hangat.
"Aku sudah menjadi karyawan disini. Tolong, kerja samanya!" Kata Jongin lantang. Ia membungkuk sangat sopan dihadapan Sehun dan Luhan lalu kembali berdiri tegak menunggu jawaban.
"Eeeh?" Luhan menggaruk kepalanya. "Karyawan baru?"
BUK. Rasanya Jongin baru saja terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
Luhan memiringkan kepalanya sehingga dia tampak imut, "Setahuku, kami tidak menerima karyawan baru. Apalagi—berapa umurmu?"
TBC/END?
.
.
.
Makasih yang udah mau baca fanficku~ ^^
Tapi aku bingung nih, ini prolog apa part. 1 ya :v
Maaf aku masih newbie soal ginian, maaf kalau alurnya kecepatan dan membingungkan~ karena semuanya akan dijelaskan dipart berikutnya ^^
So, jangan lupa kasih kritik dan saran ^^v
kritiknya yang santai aja ya, kalau nggak suka gausah baca dan gausah komen.
dukungan kalian bisa buat aku semangat lagi ngelanjutin .
jangan lupa komen/follow/fav yaa hihi
salam kecup dari nadseu :3
