Putus Cinta © Hayi Yuki
Bleach © Kubo Tite
Happy Reading ^^
"Awas kau, Abarai!"
"I-Itu Abarai-senpai! Ayo menjauh, teman-teman!"
"A-Abarai Renji?"
Renji melangkah tak peduli diantara kerumunan siswa dan siswi yang sedari tadi memelototinya dengan wajah takut. Apa boleh buat, toh ia memang pantas untuk ditakuti.
Abarai Renji, siswa kelas akhir Seireitei High School. Kelas 3-A, kelasnya para orang-orang yang minimal nilai ulangannya adalah minus sepuluh dari nilai tertinggi, dengan kata lain nilai minimalnya adalah 90. Selalu menduduki sepuluh besar, sayangnya bukan itu yang membuat ia ditakuti.
Renji adalah preman sekolah yang sangat tidak punya belas kasihan ketika berurusan dengan siswa lainnya. Julukannya yang cukup terkenal di sekolah ialah 'Si Setan Merah'. Entah siapa yang pertama kali membuat julukan itu, yang jelas setiap Renji lewat, ada saja orang yang keceplosan mengucapkan julukan itu. Biasanya Renji akan memberikan tatapan mautnya pada orang yang menyebutnya 'Si Setan Merah'.
Hari ini, Renji baru saja membuat wajah sekelompok siswa kelas sebelah babak belur. Beberapa hari yang lalu siswa-siswa itu bermain dart dengan foto Renji sebagai target utama.
"Paling tidak kau jangan membuat masalah di dalam sekolah, Renji," Kurosaki Ichigo menasehati Renji. Sudah berteman lebih dari sepuluh tahun membuat Ichigo tahu tabiat buruk si rambut merah apabila sedang marah.
Ichigo sebenarnya bukan preman dan juga tidak bersikap preman layaknya Renji, hanya saja wajahnya yang tidak lembut itu sering membuat orang salah sangka. Ia juga punya julukan, 'Si Jingga Tampan'.
"Berisik kau, Ichigo," tukas Renji. Ia jelas masih kesal dengan siswa-siswa yang ia hajar tadi. Baru kali ini ada yang dengan berani menggunakan fotonya sebagai target sebuah mainan.
"Oi, kemana kau?" Ichigo berseru ketika Renji melangkah keluar dari kelas. "Sebentar lagi pelajaran dimulai!"
"Aku mau tidur!"
.
.
.
.
Awalnya Renji melangkah ke UKS, tempat dimana ia biasa membolos dari pelajaran. Dokter di UKS itu, Kotetsu Isane, merupakan tetangganya sejak lama. Renji tidak pernah berbuat jahat kepada Isane, oleh sebab itu Isane membiarkannya tidur di UKS.
Namun hari ini, entah kenapa Renji malah melangkah menuju gerbang sekolah. Ia merasa malas sekali untuk tetap tinggal di sekolah setelah menghajar siswa-siswa tadi. Setengah mengendap-endap agar tidak ketahuan satpam sekolah, Renji akhirnya berhasil keluar.
"Nah, sekarang mau kemana, ya?"
Langkah si preman sekolah terhenti di halte bus. Ia tidak tahu harus pergi kemana.
Di jam sekolah seperti ini, Renji tidak bisa pulang ke rumahnya. Ada kakeknya di rumah. Renji bergidik membayangkan dirinya dipukul oleh tongkat karena ketahuan membolos oleh si kakek.
KRUYUKK!
Dengan wajah merah, Renji menoleh ke kanan dan kiri. Bersyukurlah dia, tampaknya tidak ada orang yang mendengar perutnya keroncongan.
Sayangnya ada satu di belakangnya.
"Hihihi..." Renji langsung menoleh ketika mendengar suara tawa di belakangnya. Hal pertama yang ia lihat adalah gadis manis bercepol yang sedang menutup mulut menahan tawa.
"A-Ah, maaf ya. Aku tidak bermaksud menertawakanmu. Tapi... pokoknya maaf, deh," gadis itu langsung meminta maaf segera setelah berhasil menghentikan tawanya, walau kemudian tawanya keluar lagi.
Renji tidak menjawab. Baru kali ini ada seorang perempuan yang terang-terangan menertawakannya dengan wajah tanpa beban. Dan sebenarnya baru kali ini juga ada seseorang yang tidak segan dengan penampilannya yang memang terlihat sangat sangar.
"Kamu kelaparan, ya?"
"Ti-Tidak!" bantah Renji segera. Bisa-bisanya ada gadis tak dikenal yang menuduhnya macam-macam seperti ini.
"Ah, pasti kelaparan! Perutmu saja sampai bunyi tadi!" gadis bercepol itu bersikeras.
"Ssstt! Pelankan sedikit suaramu, cepol!" bisik Renji ketika menyadari ada beberapa orang lainnya yang menoleh ke arah mereka tadi.
Gadis itu meminta maaf, dan tanpa diduga ia mengulurkan tangannya. "Namaku Hinamori Momo, kamu?"
"A-Abarai Renji," jawab Renji sambil menyambut tangan gadis bernama Momo itu. Sebenarnya Renji sudah lama sekali tidak menjabat tangan seorang perempuan, dan sekarang, entah kenapa rasanya gugup sekali. Saking sibuk dengan pikirannya, ia tidak menyadari kalau ia menjabat tangan Momo terlalu keras.
"Abarai-kun, bisa lepaskan tanganku?" ujar Momo dengan senyum kikuk.
"Eh, maaf! Maafkan aku!" Renji buru-buru melepas tangannya dan menatap tangan Momo yang merah.
Tapi Momo tidak marah. Ia hanya tersenyum untuk menenangkan Renji, meski tangannya terasa sedikit sakit.
"Wah, itu dia busku. Aku duluan ya, Abarai-kun!" seru Momo ketika melihat bus yang ia tunggu sudah terlihat mendekati halte. Begitu bus berhenti, Momo segera mendekati bus. Susah juga, karena ia terdorong-dorong oleh orang yang turun dan naik.
Dan saat itulah, sebuah tangan menariknya ke atas bus. "Eh?"
"Cepat, Hinamori! Kau tidak ingin ketinggalan bus, kan?"
Renji menariknya ke atas. Keduanya segera duduk di bangku dibelakang supir.
"Abarai-kun? Kau mau kemana?" Momo bertanya dengan tatapan bingung.
Yang ditanya diam saja. Renji sendiri sebenarnya tidak tahu mau kemana, ketika Momo akan naik ke bus tadi, ia memutuskan untuk ikut saja dengan gadis yang baru dikenalnya itu.
"Kalau aku sih, mau ke tempat kerjaku," tidak kunjung mendengar jawaban, akhirnya Momo duluan yang mengutarakan tujuan.
Renji menoleh, "Tempat kerja? Kau sudah bekerja?"
Terang saja Renji heran. Yang bisa dilihat, Momo itu pasti sebaya dengannya atau bahkan lebih muda. Rasanya wajahnya terlalu muda untuk sudah bekerja. Belum lagi tubuhnya yang kecil mungil.
"Ya. Tentu saja aku sudah bekerja. Masa aku tidak bekerja padahal umurku akan segera 22 tahun bulan depan," jawab Momo.
Renji terkejut.
"EH? 22 TAHUN?!"
.
.
.
.
Ice Cream Town.
Ini pertama kalinya Renji mengunjungi tempat seperti ini setelah sekian lama. Ia dan Ichigo kan tidak pernah nongkrong di tempat yang sangat 'feminim' ini.
"Kau kerja di sini?" tanya Renji memastikan. Momo mengangguk.
"Abarai-kun makan disini saja kalau mau," saran Momo. Begitu melihat rasa enggan di wajah Renji, Momo langsung menghela napas. 'Benar juga. Aku dan dia kan baru saling mengenal, tidak mungkin ia ikut begitu saja dengan kata-kataku' pikir Momo.
"Baiklah kalau kau tidak mau, aku ma–"
"Aku masuk!"
Lagi-lagi Momo terkejut dengan tingkah Renji, setelah pemuda itu memasuki cafe dengan cepat. Momo tersenyum tipis.
.
.
.
.
Begitu tidak ada pelanggan di cafe, Momo segera menghampiri Renji yang masih betah duduk di pojok dekat jendela. Roti es krim yang ia pesan sebenarnya sudah habis, tapi entah kenapa ia tidak beranjak dari sana.
"Ada apa, Abarai-kun? Belum mau pulang?" tanya Momo sambil mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan Renji.
"Yah, begitulah," sahut Renji singkat.
Momo memerhatikan penampilan pemuda yang baru ia kenal ini. Dan Momo baru menyadari sesuatu. "Kau... tidak masuk sekolah?"
Keheningan terjadi, sebelum Renji akhirnya menjawab, "Aku masuk, tapi saat istirahat aku pergi dari sekolah."
"Kenapa?"
Renji tidak menjawab. Masa ia harus bilang 'Karena aku baru saja menghajar sekelompok siswa kurang ajar' pada Momo.
"Tidak apa-apa," bohong Renji. "Aku hanya sedang bosan."
Momo tahu Renji tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi sebagai orang yang baru saja dikenal, ia tidak punya hak untuk mengorek lebih dalam.
.
.
.
.
"Renji!"
Ichigo berlari-lari di belakang Renji. Hari ini ia berniat menanyakan kemana saja sahabatnya itu kemarin, karena kemarin Renji tidak bisa dihubungi.
"Ada apa, Ichigo? Tumben, kau berlari-lari di koridor."
"Kemarin kau kemana? Kuhubungi tidak bisa," tanya Ichigo.
"Mmm... Aku hanya keliling kota saja. Memangnya kenapa?" Renji berusaha menutupi pertemuannya dengan Momo, entah kenapa.
Dari tatapan Ichigo, Renji tahu pemuda berambut jingga itu curiga padanya, tapi tidak bertanya lebih jauh.
"Pulang sekolah nanti aku ingin mengajakmu bertemu dengan seseorang," ucap Ichigo setelah keduanya terdiam cukup lama.
Renji mengangkat alis. "Bertemu seseorang? Siapa?"
Ichigo tersenyum misterius. "Lihat saja nanti!" jawabnya, membuat Renji mendecak kesal.
"Cih! Kalau begitu aku tidak ikut, ya! Aku juga ada urusan sepulang sekolah," karena Renji, lagi-lagi entah mengapa, ingin bertemu dengan Hinamori Momo.
"Urusan apa?! Paling-paling kau hanya ingin menghajar seseorang, kan?!" Ichigo mendadak kesal.
"Enak saja! Kau kira aku hanya melakukan kekerasan!"
Kemudian mereka terus ribut, hingga akhirnya bel berbunyi dan keduanya terpaksa masuk ke kelas.
.
.
.
.
Bayangan besar Renji mengiringi langkah panjangnya untuk masuk ke dalam cafe tempat Hinamori Momo bekerja. Begitu ia masuk, beberapa pengunjung mulai berkomentar macam-macam. Ada beberapa murid sekolah yang tahu siapa dia, karena Renji juga pernah memiliki kasus dengan murid-murid sekolah lain.
Setelah pelajaran selesai tadi, Renji segera kabur dari Ichigo yang berteriak-teriak memanggilnya. Dalam perjalanan ke cafe, Renji memikirkan siapa sebenarnya yang ingin Ichigo kenalkan padanya itu. Kelihatannya Ichigo bersemangat sekali.
"Ah, Abarai-kun! Kau datang lagi!"
Suara lembut Momo menyapa telinga Renji, membuat pemuda itu langsung melupakan Ichigo.
"Iya, aku datang lagi," sahutnya santai, sambil duduk di tempat yang kemarin ia duduki.
Setelah memesan es krim dan minumannya, Renji mengamati Momo di kejauhan. Ekspresi wajahnya ketika melayani pembeli, tangannya yang lugas mengambil es krim, pandangan matanya yang berhati-hati ketika menggunakan whipped cream di minuman pembeli, dan lainnya.
Preman sekolah yang sangar ternyata mulai menyukai kegiatan barunya : mengamati gadis pelayan cafe dari kejauhan.
"Hari ini kau tidak bolos, kan?" tanya Momo ketika mengantarkan pesanan Renji, yang dijawab dengan gelengan kepala.
Sembari menyantap pesanannya, Renji menyadari Momo sedang ada urusan lain.
"Menunggu siapa, Hinamori?" karena gadis itu terus menerus melirik jam dan luar jendela secara bergiliran. Renji harap Momo tidak sedang menunggu siapapun.
Momo, seolah tertangkap basah, langsung menegakkan tubuh dan menggeleng cepat-cepat. "Ahahaha... aku tidak sedang menunggu siapa-siapa, kok! Abarai-kun makan saja, ya! Aku ingin kembali bekerja! Dah!" Momo kembali ke dapur secepat yang ia bisa.
Renji menatap aneh kepergian gadis itu.
"Dia kenapa, sih?"
Beberapa menit kemudian, si gadis bercepol keluar lagi dari dapur. Kali ini dengan pesanan dari beberapa pengunjung. Seusai mengantarkan semuanya, Momo menghampiri meja Renji.
"Abarai-kun, sudah selesai belum? Kalau sudah, aku ingin membersihkan mejamu." tanya Momo sambil menatap piring dan gelas Renji yang sudah tidak tersisa apapun.
Renji mengangguk, dan Momo langsung membersihkan meja. "Ngomong-ngomong, Hinamori..." Momo menoleh pada Renji.
"Besok aku boleh ke sini lagi, kan?"
Momo tertawa pelan, "Tentu saja boleh. Kutunggu besok, ya!"
.
.
.
.
Hari ini ada tugas matematika yang harus dikumpulkan, namun akibat berkeliaran sampai larut malam, Renji melupakan tugasnya sama sekali. Ia baru ingat tadi pagi, ketika Ichigo selesai memarahinya soal kejadian kemarin. Setelah puas mengeluarkan amarah, Ichigo bertanya, "Kau sudah mengerjakan tugas matematika, belum?". Dan Renji kalang kabut sedetik setelah Ichigo bertanya.
"Bagaimana bisa aku lupa tugas sepenting ini, sih?" gumam Renji sambil mengerjakan soal-soal di bukunya. Ada lima puluh soal yang mesti ia kerjakan, dan sekarang baru terisi setengahnya. Padahal sepuluh menit lagi sudah waktunya jam matematika.
Ichigo yang duduk di sebelahnya sambil memakan es krim memeletkan lidah, "Tidak kusangka, si setan merah bisa panik dengan matematika. Setahuku, pelajaran ini yang menjadi andalanmu supaya tidak pernah meninggalkan kelas unggulan."
Renji memukul kepala sahabatnya dengan buku, "Nggak usah bilang seperti itu! Aku bisa yang lain selain matematika, ya!"
"Dari pada marah-marah seperti ini, lebih baik kerjakan dulu tugasmu. Lima menit lagi gurunya bakal datang, lho," Ichigo menunjuk jam dinding.
"Aaaah! Masih ada dua puluh soal lagi! Aku pinjam tugasmu, Ichigo!"
"Hei, seenaknya saja mengambil tugas orang! Ini kukerjakan dengan susah payah, tahu!" matematika bukanlah pelajaran yang mudah bagi Kurosaki Ichigo, yang lebih menyukai olahraga.
Sambil sedikit membantu Renji mengerjakan soal tugas, Ichigo mengatakan, "Hei, Renji. Nanti siang orang yang ingin kutunjukkan padamu itu akan datang ke sekolah, lho. Kami ingin jalan-jalan karena besok tanggal merah."
Renji hanya melirik sekilas. "Kamu kenapa, sih? Kelihatannya ingin sekali mengenalkanku dengan orang yang tak kukenal itu," tanyanya.
Ichigo tersenyum tipis. "Aku hanya ingin bilang padamu kalau aku sudah punya pacar," jawab Ichigo tanpa sadar dengan suara yang agak keras.
SIIING...
Satu kelas diam seketika mendengar pernyataan Ichigo.
"Apa?! Pacar?! Tidak mungkin!" seru Renji, ia segera bangkit dari posisi duduknya, dan memegang kerah baju Ichigo.
"Kurosaki punya pacar? Akhirnya!"
"Hah?! Ichigo?! Aku tersaingi!"
"Kyaaaa! Siapa perempuan sialan itu? Siapa?!"
"Kurosaki-kun! Padahal kan aku sudah menyukaimu sejak lama! Seharusnya aku yang jadi pacarmu!"
"Eh, enak saja kau! Aku saja yang jadi pacar Ichigo!"
"Aku saja!"
Ichigo menatap datar orang-orang yang berkomentar itu. "Cih, ketahuan, deh," gumamnya kesal. "Renji! Lepaskan tanganmu dari kerahku!"
Akhirnya Renji melepaskan tangannya, tapi matanya masih menatap tajam Ichigo. "Siapa dia? Siapa? Apa dia orang yang kukenal? Seperti apa orangnya? Baik? Lucu? Atau apa? Aku ingin bertemu dengan dia!"
Ichigo tersenyum penuh kemenangan. "Nanti ya, sepulang sekolah."
.
.
.
.
Renji dan Ichigo duduk berdua di taman sekolah. Sejujurnya hari ini Renji ingin segera mampir ke tempat Momo bekerja, setelah kemarin ia berjanji akan datang ke sana. Tapi, rasa ingin tahunya tentang pacar Ichigo membuatnya menunda pergi ke tempat Momo.
"Siapa sih? Rukia?" tanya Renji, menyebutkan nama tetangga Ichigo yang ia tahu sangat menyukai si rambut jingga. Tapi Ichigo menggeleng, membuat Renji menekuk alis.
"Inoue Orihime?" menyebut nama primadona sekolah, tapi Ichigo masih menggeleng.
"Matsumoto Rangiku?" kali ini jitakan keras langsung mendarat di kepala merah Renji. "Hei, aku tidak akan mengencani seorang guru!" seru Ichigo, mengingat Rangiku adalah guru pelajaran sejarah. Jika di sekolah lain murid-murid akan bosan saat sejarah, sekolah ini lain lagi. Banyak siswa yang justru bersemangat ketika Rangiku akan mengajar.
Sambil mengelus-elus kepalanya yang benjol terkena jitakan Ichigo, Renji bertanya, "Lalu siapa?"
Ichigo menunjuk gerbang sekolah yang masih ramai.
"Hah?"
"Tiga... Dua... Satu..."
Tepat setelah hitungan Ichigo selesai, muncul seorang perempuan yang tidak memakai seragam sekolah, mengindikasikan ia bukanlah siswi sekolah itu.
"Hi–" Renji membelalakkan matanya.
"Momo! Sini, sini!" teriak Ichigo.
Gadis itu, pacar Ichigo, adalah Hinamori Momo. Gadis bercepol yang baru beberapa hari ia kenal tapi sudah membuatnya sedikit berubah ternyata pacar dari Kurosaki Ichigo, sahabatnya sendiri.
"Hai, Abarai-kun! Sudah kuduga itu kamu!" sapa Momo begitu tiba di tempat mereka.
Renji masih terkaget-kaget dengan kenyataan. "K-Kau tidak terkejut melihatku disini, Hinamori?" tanyanya.
Momo menggeleng. "Huh, bagaimana mungkin aku terkejut kalau Ichigo sudah memberitahuku tentang dirimu, Abarai-kun," jawabnya dengan ringan.
Ichigo nyengir ke arah Renji. "Hehehe... Sebenarnya aku juga baru tahu lho kemarin, setelah Momo cerita padaku, ternyata kau sering mampir di tempat kerja sambilan Momo. Padahal kemarin aku ingin memberitahumu soal ini di cafe tempatnya bekerja, tapi kau malah kabur duluan ke sana. Karena aku tidak tahu, ya sudah, kukatakan saja pada Momo kalau kemarin itu batal," jelas Ichigo.
Renji terkesiap. Batal sudah rencananya untuk bertemu dengan Momo berdua saja. Dan apa daya, hari ini ia terpaksa melihat gadis itu bermesraan dengan Ichigo.
"Hah... Begini rasanya putus cinta," ratapnya sendu.
Setelah sekian lama nggak nulis, kagok juga. Ini juga ceritanya udah lama banget, terus diperbaharui (?) deh. Gampak banget tertebak ini ceritanya -.-
Ini fanfic kedua Hayi yang nggak munculin Hitsugaya Toushiro sama sekali, jadi rasanya beda sama fanfic-fanfic sebelumnya. Dan akhirnya kembali dengan pair IchiHina. Nggak ada ide buat Hitsuruki, Ichihina pun jadi.
Yosh, segitu aja curcolnya.
Mind to Review?
