Namaku Elena Yeager. Selain nama sendiri, aku tidak mengingat apapun tentang dunia. Tapi ada satu hal yang kutahu. Hari ini aku menikah dengan seekor kuda.
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
La Princesse et Le Cheval © MiracleUsagi
Penulis tidak mengambil keuntungan apapun dari penulisan fanfiksi ini. Penulis hanya meminjam karakter milik Isayama-sensei untuk dinistakan.
Hati-hati dengan misstypes, OOC, dan bahasa yang tidak baku. Fem!Eren. Kingdom!AU.
Grisha memandang putrinya dengan prihatin. Maklumnya di jaman kolosal macam ini laki-laki maupun perempuan seumur putrinya sudah menikah, atau minim-minimnya ada pinangan. Ditambah dengan krisis kemarau dan pancaroba, pendeta gereja sudah berulang kali cuap-cuap soal perlunya generasi muda untuk menikah dini. Buat mengusir kutukan kemarau, katanya. Padahal Grisha juga tidak yakin dengan adanya hubungan spesial antara menikah muda dengan mengusir bala.
"Elena—"
"Ayah mau mengungkit masalahku yang belum kawin ini, kan?" Elena memotong dengan cepat. Tangannya sibuk membalik lembaran buku.
Grisha menghela napas, "Iya dan tidak…"
Elena ngedumel dalam hati. Segitu aibnya dia sebagai lajang tertua yang belum juga menikah. Padahal umur dia baru kepala dua. Itu sudah dibilang lajang tertua? Buku yang daritadi dibaca mendadak menjadi sasaran banting.
"Dengar Elena. Ayah sudah susah payah mencari ke sana-ke mari…" Mulai deh, drama lebay ayahnya ini.
"Calon yang kali ini ayah carikan benar-benar istimewa. Beliau datang dari jauh. Jadi, kali ini ayah harap kamu tidak lagi-lagi melempar calonmu ke kolam ikan koi. Setidaknya hargai beliau. Ya?"
"Y"
"Elena!"
"Iya ayah! Duh, sebenarnya yang mau menikah itu aku atau ayah, sih?" Elena membanting pantatnya duduk di sofa panjang. "Calon buatku pasti yang ayah suka. Kalo gitu kenapa nggak ayah saja yang menikahinya? Aku kan juga ingin menikah dengan orang yang kusuka…" Lanjutnya bergumam.
"Kamu bilang apa, sayang?"
"Enggak ada! Aku ingin main dengan Mikasa sekarang jangan ganggu, deh!"
Elena mengusir ayahnya. Biar saja dibilang durhaka, Elena capek dengan semua hal dalam kehidupannya. Orangtua yang pemaksa. Tuntutan gelarnya. Bahkan Elena lelah dengan dirinya sendiri. Ia tidak mau menikah—ralat, bukan tidak mau. Tapi tidak bisa.
Tidak bisa. Karena sudah ada orang lain di dalam hatinya.
=00=
Bibir Elena gatal. Kurang ajar sekali dayangnya, mengusapkan gincu banyak-banyak di bibirnya. Setetes keringat jatuh dari pelipisnya, dan seketika dayang yang menjaganya dari masih bocah langsung melotot melihatnya hendak mengusap keringat. Elena benci saat-saat perjodohan seperti ini.
Elena memaki calon suaminya yang seenaknya memilih tempat pertemuan di bale-bale taman seperti ini. Panas tahu tidak? Belum juga ketemu, Elena sudah kesal mati-matian.
Tapi Elena sedikit penasaran. Kata Mikasa calonnya kali ini baik hati dan tampan bukan kepalang. Ah, masa. Elena tidak percaya dengan selera 'tampan' milik ayahnya. Elena sudah taruhan dengan Mikasa, sepupunya. Elena yakin, paling-paling calonnya itu pria bangsawan dengan wajah mesum yang kelewatan. Tapi tidak apa, Elena sudah siap melemparnya kali ini ke kandang buaya.
Sebuah kereta kuda berhenti di halaman depan rumah keluarganya. Kalau dilihat-lihat, kereta orang kaya. Elena merapikan duduknya. Si calon tidak tahu saja, kalau ajalnya akan mampir hari ini juga.
Pintu kereta dibuka perlahan. Elena melongok memerhatikan. Seseorang turun dari sana, mengenakan setelan necis khas borjuis dataran Eropa. Namun, yang membuat Elena mengerutkan kening bukan karena setelannya yang agak kelewat norak. Karena calonnya kali ini benar-benar tampan. Tapi juga pendek kayak Bilbo bagin.
Elena tersedak Earl Grey-nya.
"Bonjour. Monsieur Rivaille Ackerman." Katanya memerkenalkan diri.
"Kau putri yang hobi melempar calon pasangannya, kan? Coba kita lihat apa kau bisa melemparku ke kandang buaya itu atau aku yang melemparmu ke kandang-mu sekarang juga, Mademoiselle?" Aksennya kental. Rivaille menyilangkan tangannya.
Kala itu juga, Elena menangis dalam hati. Belum apa-apa nyalinya sudah ciut sekecil biji.
Apanya yang tampan dan baik hati. Ini mah tampan dan hendak menyiksa dirinya sebagai putri.
=00=
"Jadi, kalian sudah sejauh mana?" Grisha sumringah menatap putrinya dan calon mantunya di aula tengah.
Elena menggeleng kuat-kuat. Bahkan jemarinya masih gemetaran sebagai akibat dari tatapan mata siapa pula namanya tadi yang bisa lebih disebut sebagai tatapan nikahi-aku-atau-kau-mati-disini. Gila! Apa yang ayahnya pikirkan dengan mengambil calon mantu psikopat begini?
"Kami baru saja bertemu, Grisha. Tidak mungkin langsung saling mengenal."
Bahkan dia dengan tidak sopannya memanggil ayahnya dengan nama depan. Elena nangis imajiner. Pelan-pelan ia ambil saputangannya dan menuliskan pesan terakhirnya pada sepupunya. Si ayah dan si calon masih asyik cuap-cuap berdua, sedang Elena diam-diam minggat sembari meratapi hidupnya yang sudah tidak lama.
Sebelum ke kamarnya, ia mampir dulu ke kamar sepupunya. Menulis ulang pesannya—karena yang ia tulis di saputangan luntur karena air matanya—dan meletakkannya di meja rias.
Maaf, Mikasa! Sampaikan maafku pada Armin juga! Cepat-cepat ia keluar dan pergi ke kamarnya.
"Aku bisa gila kalau menikahi siapa pula namanya tadi!" Elena menggumam kesal sekaligus kecewa. Di dalam hatinya ia mengakui bahwa calonnya kali ini dua kali lipat tampannya dibanding calon-calon lain yang selalu dibawa ayahnya. Tapi jangan lupakan opsi bahwa hidupnya yang masih panjang, maka dari itu Elena tidak sudi dinikahkan dengan orang yang bisa sewaktu-waktu menghabisinya dalam sekali terkam—ah, sepertinya Elena makin lebay.
"Peduli setan! Aku mau kabur saja!"
Beberapa saat setelahnya Elena kembali menyesal kenapa ia harus lahir dalam lingkup kebangsawanan.
=00=
"Oi, sudah bangun, putri tidur?"
Elena mengerjap-ngerjap. Kepalanya mengeluarkan sensasi berdenyut yang kelewat batas. Apa? Dimana? Elena mendadak amnesia.
Matanya bergulir mencari sumber suara yang tadi menyapanya dengan tidak ramah. Maniknya menubruk sepasang manik karamel milik pemilik suara. Elena mangap dan detik itu juga ia loncat ke pojokan kasur sambil menunjuk hina yang di hadapannya.
"Ada….ada…" Elena meneguk ludah, "ADA KUDA BICARA!"
"KURANG AJAR! AKU YANG MENOLONGMU TAHU!"
"JANGAN! PERGI! DASAR KUDA MESUM!"
Elena mengibas-ngibaskan tangannya demi menghalau 'si kuda' untuk menjauhinya. Namun 'si kuda' malah tidak menggubris dan menggenggam kedua gelang tangannya, mendekati wajahnya. Elena menutup matanya, takut.
"Jangan panggil aku kuda, aku juga punya nama!" Ia berhenti sejenak, "Aku Jean. Kau?"
Elena perlahan membuka matanya saat Jean melepaskan genggamannya. Elena sedikit meringis saat mencoba mengingat-ingat. Astaganaga, dia lupa bagaimana ia bisa di sini—enggak, lebih dari itu. Dia lupa tentang siapa dirinya.
"Aku tidak tahu….lupa…" Katanya lirih.
Jean menghela napas, menggaruk tengkuknya yang biasa-biasa saja. "Amnesia, heh?" Katanya.
Sekelebat memori asing memasuki pikiran Elena. Ia meringis kesakitan. Ia meraba kedua pelipisnya, dan menemukan fabrik asing melingkari kepalanya.
"Yah, kau tadi pingsan dengan darah mengalir dari pelipismu. Aku tidak tahu yang terjadi, mungkin jatuh dan mencumbu batu?"
Elena manyun. Sekelebat memori tadi masih memenuhi kepalanya. Jean yang melihatnya meringis kesakitan menatap intens.
"Oi, kalau tidak ingat tidak usah dipaksakan."
"Aku ingat satu hal…"
"Apa?"
"Namaku….Elena."
"…."
"….Kenapa..?"
"Kok namamu niru-niru putri mahkota?"
Bersambung….
Glosarium:
La Princesse et Le Cheval : Si Tuan Putri dan Si Kuda
Bonjour : Selamat pagi / Halo
Monsieur : Tuan
Mademoiselle : Nona
A/N
Halo! Setelah lama, saia pulang ke fandom ini bawa-bawa JeanEren multichap—Well, tbh niat awal maunya oneshot, tapi ternyata komplikasi cerita gak memungkinkan.
Yaela, nambah hutang lagi :(
Yasudah gapapa, anggap saja fanfiksi selamat datang buat animenya yang bentar lagi tayang part 2 season 3, uye.
Chapter awal ini rupanya masih belum banyak hints, ya. Mungkin di chapter depan bakal mulai banyak hints—semoga aja.
Oh, ya sudah kelihatan latar tempat kerajaannya Grisha kan? Yap, Perancis jaman baheula. Kenapa Perancis padahal Grisha sekeluarga berdarah Jerman? Karena Jean dan Rivaille itu berdarah Perancis—wkwk iya ngikut dua seme-nya.
Lagian, bahasa Perancis itu terasa romantis—jadi saia sukak.
Next, yah?
Salam, MiracleUsagi.
