Ada alasan di balik kelahiran kita.

Kita lahir di dunia bukan karena kebetulan semata.

Seperti lingkaran setan, siapa diri kita saat ini adalah buah dari masa lalu kita.

Yang dulu terus membenci, kini masih membenci.

Demikian pula sebaliknya,

Yang dulu terus mencinta, sampai kini masih mencinta.

.


.

Pulang

Kai x Kyungsoo

Romance, Reincarnation!AU, school-life!AU

2 chaptered one-shot

.

.


.

BAGIAN PERTAMA

.

1943, Pelabuhan Batavia

Ribuan orang berhamburan turun dari kapal yang baunya memuakkan itu; campuran bau keringat, amis, anyir, kotoran hewan. Kapal-kapal terparkir rapi di sisi pelabuhan, kapal satu berisi senjata baru, kapal dua berisi bahan pangan dan tekstil yang menjaga roda ekonomi kota besar ini tetap berputar, kapal tiga hingga lima berisi manusia dari berbagai daerah dan latar belakang, kapal enam berisi tentara dan mayat.

Aku keluar dari kapal enam bersama dua unit senapan Arisaka tipe 44 yang diselipkan di sisi kiri kanan tubuh, lalu sengaja menghempaskan diriku ke jalanan setelah diangkut paksa oleh tentara Jepang dan dimasukkan ke dalam truk besar berisi setumpuk raga tanpa jiwa yang nantinya akan entah diapakan. Tanpa ketahuan, aku menggelinding dan bersembunyi di balik tumpukan karung yang ditumpuk di samping sebuah kedai makanan. Setidaknya, usahaku berpura-pura menjadi mayat tidak sia-sia.

Aku hanyalah pria muda yang sudah berkecimpung dalam dunia serang-menyerang sejak menginjak usia dua puluh.

Pejuang, mereka bilang.

Petaruh nyawa, aku lebih setuju.

Aku dan seluruh penduduk senasib mengira penderitaan kami sudah berakhir. Belanda hengkang dari tanah air, tentu kami senang bukan kepalang. Tidak ada lagi kerja paksa, tidak ada lagi pertumpahan darah, tidak ada lagi iblis yang menjelma menjadi manusia.

Nyatanya, kami salah besar.

Kami kira 'saudara tua' ini hanya berkunjung dan berniat membantu mempersiapkan kemerdekaan mereka. Kedatangan mereka memberi harapan baru bagi kami yang saat itu telah menaruh kebencian terhadap Belanda.

Lugu sekali. Hanya berawal dari perjanjian-perjanjian manis, kami lagi-lagi dimanfaatkan. Kekuatan raga kami diperas habis-habisan, hingga jiwa kami juga ikut diremas perlahan. Tak heran banyak pekerja yang gila, tak heran banyak wanita yang tubuhnya tak lagi mulus. Anak-anak di bawah umur dijadikan pengangkat bahan bangunan dan senjata, diajarkan untuk membunuh sembari didoktrin untuk terus membela Nippon.

Kami menjadi teman mereka. Tidak, teman terlalu terdengar manis. Kami menjadi budak mereka.

Bayangkan hidup bersama para iblis itu selama satu tahun saja. Bayangkan kehilangan harta, keluarga, kewarasan, bahkan nyawa. Dan kami menjalani kehidupan penuh siksa itu di tanah air kami sendiri. Indonesia berubah menjadi neraka.

Tak ada yang bisa kami lakukan selain menurut kepada mereka. Saat aku berusia sepuluh, aku sudah menjadi pelayan pengantar minuman di tempat prostitusi tentara Belanda, menyaksikan betapa menjijikkannya sekumpulan manusia yang bersumpah bertarung demi negara namun melecehkan tubuh wanita pribumi, kaum kami yang mereka sebut saat itu. Aku merasa diriku agak lebih beruntung ketimbang teman-temanku yang entah dijadikan apa oleh mereka. Lalu aku bertemu dengan seorang pria pribumi yang ternyata adalah seorang nelayan yang bekerja untuk Belanda. Dia bilang aku pantas menerima pekerjaan yang lebih baik, jadi dia membawaku mengarungi lautan.

Aku tak lagi hidup diombang-ambing antara bertahan atau menyerah hingga aku menginjak 14 tahun dan memutuskan untuk hidup sebagai seorang nelayan bersama pria yang kini telah menjadi ayah angkat. Kami berlayar setidaknya setengah dekade lebih sebagai penyusup untuk menjual sekaligus mengonsumsi sendiri hasil tangkapan laut demi keberlangsungan hidup. Dan selama itu pula, kami selalu lolos dari tentara Belanda yang dipuji ketat dalam pengawasan. Aku sempat menertawakan mereka, wajah dan tingkah mereka ketika mengonsumsi setengah bungkus obat-obatan bubuk yang dicampur dengan minuman alkohol senyawa etana kadar tinggi, tidak tahu apakah itu masih layak dikonsumsi. Mereka lebih mirip tentara murahan yang memiliki nama serta jabatan atas kekuasaan yang sudah lama dimiliki oleh atasannya. Untuk apa penindasan terhadap yang sudah tertindas?

Hingga pada satu waktu, kami berlayar selama kurang lebih tujuh hari dan perjalanan itu berakhir dalam penyaksian singkat ketika penyelamat hidupku ditembak mati tepat di kepalanya. Pada awalnya aku dan teman-teman ayah yang lain tidak menyadari keberadaan beberapa orang di pelabuhan dengan seragam tentara yang tidak familiar. Ayah melihatnya dengan jeli dua ratus meter sebelum berlabuh.

"Pergi yang jauh." katanya lirih. Aku tidak mengerti bahkan setelah ia mendorong tubuhku jatuh ke lautan dan aku hanya berenang ke tepi tenggara mengikuti naluri.

Lalu semuanya terjadi sangat cepat, di depan mata kepalaku sendiri. Tanpa peringatan, tanpa ancaman, yang kulihat terakhir kali adalah mayat yang tergeletak di tengah jalan, menunggu ombak membawanya pergi jauh. Aku marah besar, aku ingin berteriak. Tapi jika aku melakukannya dan keluar dari tempat persembunyianku... akulah yang selanjutnya akan mati. Aku membiarkan air mata mengalir sederas hujan yang turun membasahi tubuh yang kini tak bernyawa itu. Aku menyaksikan bagaimana mereka menghabisi seluruh nyawa yang tidak berjalan satu arah lurus sesuai yang diperintahkan.

Sejak saat itulah kebencianku bangkit dan terus bertumbuh terhadap Nippon. Aku berlari sekencang mungkin dan bersembunyi di mana pun yang aku bisa. Hingga suatu hari aku tak sengaja bertemu dengan beberapa orang yang tengah mempersiapkan senjata hasil curian dan bambu runcing. Ketika tidak ada lagi alasan untuk berpegang dan bertahan, ada harapan baru yang datang menghampiri, bermimpi bahwa aku juga bisa mengakhiri ini semua. Jikalau itu adalah angan yang terlalu jauh, maka biarkan diriku membalaskan dendam atas nama keluarga dan teman-teman. Aku ditarik menjadi pasukan untuk membela tanah air, sampai detik ini pun masih.

.


.

"Komandan."

Seorang pria berbaju hijau tua lusuh menoleh, tangannya masih ia genggam di balik punggung. Hanya dengan tolehan saja, kharisma pria ini langsung bisa membuat orang sungkan untuk berbicara lancang. Tatapannya tenang namun juga tersirat sesuatu yang misterius dan rumit di balik netranya.

"Apa aku mengganggu waktu tenangmu?"

Ia menggeleng, "Duduklah. Kau tahu kau tidak pernah kuanggap sebagai pengganggu, Kinan."

Pria yang namanya dipanggil pun duduk di muka meja coklat tua yang dibebani oleh tumpukan kertas dan peta. "Panggil saja aku Kai seperti biasa. Tumben sekali memanggil nama lahirku." kekehnya di ujung kalimat seraya merogoh sesuatu dari kantung celana. "Ah, sial. Aku lupa membawanya."

"Ini?" Sang komandan mengulurkan sebatang rokok dan otomatis membuat kedua ujung bibir pria bernama panggilan Kai itu naik.

Ia mengapit batang nikotin di belah bibir lalu menyalakan ujungnya. Satu hirupan dalam-dalam, lalu ia embuskan ke atas, membiarkan bias lampu remang yang terpancar di tengah ruangan mengaburkan asap yang membumbung keluar.

"Hanya aku yang selamat dari Borneo. Iblis-iblis persetan itu memiliki senjata baru yang bisa menghabisi kita dalam sekali tembak." Kai memejamkan mata, tak mampu menahan dirinya untuk tidak membayangkan apa yang baru saja ia lalui kemarin di pulau seberang. Beberapa teman barunya mati saat berjuang, seharusnya ia sudah biasa dengan itu semua.

"Sepertinya kau masih disayang oleh Yang Maha Kuasa," kekeh sang komandan di ujung kalimat. "Untung saja dulu aku mencegahmu mencabut nyawamu sendiri."

"Komandan—"

"Ssh. Jika hanya ada kita berdua, panggil saja aku seperti kakakmu sendiri, Kai."

Kai menghabiskan hisapan terakhir lintingan rokoknya sebelum memadamkan apinya ke dalam asbak. "Entahlah. Itu akan terdengar aneh. Kurasa tidak ada panggilan lain yang cocok selain Komandan. Lagipula itu juga sebuah gelar."

Benar, sebuah gelar yang hanya pantas disandang oleh seseorang dengan keberanian sebesar Sugih. Tidak hanya itu, pria yang berusia delapan tahun lebih tua dari Kai telah melatih banyak pasukan berani mati untuk melakukan pencurian amunisi dan senjata tembak sekaligus bahan peledak milik Nippon. Mereka tidak melakukan penyerangan, mereka bertahan hidup hingga waktu yang tepat untuk menghancurkan Nippon.

Alasan Sugih melakukan ini semua tidak berbeda jauh dengan kebanyakan pribumi yang hidupnya ditindas, direbut, diinjak-injak oleh Nippon bermulut manis yang penuh kebusukan. Ia adalah anak dari seorang pribumi penjaga depo bahan peledak. Tidak yakin pasti mengapa Nippon mempercayai bangsa lain selain bangsanya untuk menjaga barang yang mereka anggap sebagai harta karun. Namun enam bulan belakangan ini Sugih mengerti bahwa itu merupakan taktikdevide et impera, salah satu taktik mereka untuk memecah belah masyarakat yang lugu mengatasnamakan pribumi yang berkhianat. Padahal, ancaman yang mereka berikan tidak kira-kira. Tidak main-main, ayahnya dibunuh karena lalai dalam menghitung bahan peledak dan ibunya dijadikan wanita penghibur pribadi oleh salah satu kapten Nippon di Palembang.

Mulai dari saat itu, berbekal sedikit informasi yang dibocorkan ayahnya beberapa kali ia pulang ke rumah yang bahkan dikawal oleh dua tentara Nippon dan satu lagi teman pribumi yang bernasib sama, Sugih mulai mengerti strategi yang mungkin digunakan oleh Nippon agar pribumi terlepas dari cengkraman penjajahan.

.


.

Pada percobaan keduanya, Kai lagi-lagi bertaruh nyawa dalam misi pencurian mainan-mainan Nippon yang terletak di pusat Batavia, sebuah tempat di mana fitnah atas pengkhiatan sebagian pribumi yang dianggap mengancam pasukan penjajahan berlangsung. Seluruh pasukan Dai Nippon dengan keahlian bertarung tingkat tinggi bertugas untuk menjaga ketat wilayah, berjaga apabila terjadi penyerangan massa secara besar-besaran oleh orang-orang seperti Kai.

Setelah mempersiapkan segala hal untuk melancarkan misi tersebut, termasuk penyamaran dan senjata cadangan, mereka menyelinap masuk dari atas atap ringkih yang lempengan besinya terlapis bercak kuning tanda rapuh, suaranya berdecit dan lempengan itu nyaris beradu satu sama lain jika Daidancho, rekan satu timnya tidak segera menahan benda itu dengan sarung tangan yang dikenakan olehnya.

Strategi kali ini adalah Kai akan turun, tiga di antaranya akan membuat sedikit suara dari luar untuk mengundang perhatian pasukan penjaga dan Daidancho akan berada di atas siap untuk menarik jika sasaran telah berhasil didapatkan. Kali ini mereka mengincar Mauser Kav Kaliber 7.9 mm, anak kesayangan anggota KNIL yang berhasil dicuri oleh Nippon untuk melatih tentara militernya.

Ia mendapatkan senjatanya yang terletak di dalam kotak hijau setelah beberapa kali rasanya ingin menembak simpul tali tambang yang mengikat kuat, belum lagi kain penutup yang dipaku dan tidak boleh sampai sobek karena suaranya akan menggema di seluruh ruangan.

Daidancho melihat bayangan seseorang di balik pintu, spontan menarik tali yang ditarik oleh Kai. Yang diberikan aba-aba hanya mengikat senapan sehingga bisa ditarik ke atas sementara dirinya masih tertinggal di bawah.

"Pshh!"

Ia tidak mendengarkan, sibuk mengagumi mainan curian yang sebentar lagi akan menjadi milik mereka apabila suara tembakan tidak berdengung di seluruh sudut dan ia tidak mampu mengambil yang lain lagi karena harus segera pergi dari tempat itu atau mereka semua akan habis.

Tentara Jepang berhamburan masuk ke dalam ruangan pasca suara tembakan dan suara lantang penuh amarah dikumandangkan oleh komandan tanda perintah untuk membunuh siapapun yang berani lancang mencuri barang mereka. Dan yang lalai, dihukum mati karena dianggap memalukan nama Nippon.

Tidak ada satu pun dari tentara Nippon yang menemukan jejak penyusup yang mencuri salah satu senjata mereka. Kai berlari ke arah selatan, Daidancho ke arah Timur, dua yang lainnya ke arah utara, dan yang satunya lagi menghilang setelah mengikuti Kai dari belakang. Mereka melepas kain hitam yang tadi digunakan sebagai bentuk penyamaran sebelum kembali menyamar sebagai warga biasa dengan pakaian lusuh dan kumal.

Celakanya, Kai akan dicurigai.

Ia terus berlari tanpa arah secepat mungkin yang ia bisa. Peluh berubah dingin, bibir pucat pasi, Kai terus menggigit bibir menahan rasa perih menggerogoti seluruh tubuh. Tidak peduli seberapa darah yang telah mengucur keluar dari perut bagian kiri, ia hanya tidak bisa berhenti sekarang. Tidak hingga dendamnya terbalaskan atau setidaknya ia pantas mati untuk perjuangan yang lebih besar melawan cengkeraman Nippon dan atas apa yang telah mereka lakukan terhadap hidupnya.

Ia harus hidup. Ia harus hidup.

Ia terus membatin hal yang sama berulang kali seperti sebuah mantra hingga kesadaran terakhir membuatnya merasakan kehadiran sepasang tangan menahan tubuh lunglai yang hampir terempas jatuh ke aspal, tidak yakin apakah ia hanya berdelusi atau matanya menangkap residivis pemilik obsidian kecil selengkung sabit.

.


.

Tidak ada yang bisa diajak berbincang di tanah tandus berpeluh yang tidak pasti milik siapa. Dari luar langit membentang lapang mengundang tengadah kepala mengintip bintang-bintang yang sudah lama tanggal. Bagaikan burung yang ingin terbang menjauhi mata peluru para pemburu, seperti itulah kehidupannya sekarang.

Hiina tidak pernah mengerti mengapa sebagian orang mampu menciptakan kehidupannya sendiri dan merasa berbahagia, sementara segelintir yang lainnya, tidak pernah memiliki pilihan, kehidupan mereka seakan hanyalah narasi tragis tentang penderitaan, pilihan buruk, nasib buruk. Dan mengapa, orang seperti dirinya, tidak mampu melakukan apapun terhadap kekacauan dunia yang terus terjadi tatkala langit dan bumi direnggut untuk berada dalam sebuah genggaman.

Tidakkah itu semua adil? Mengapa ini menjadi adil ketika kehidupan tidak berbeda jauh dari neraka yang penuh dengan penyiksaan, penganiayaan, dan suara gemuruh mesiu bercampur tangisan manusia tidak berdaya meminta pertolongan atas langit yang terkuasai. Tidak ada pagi yang damai, tidak akan pernah ada senja yang jingga.

Ia tidak pernah meminta untuk terlahir seperti ini. Dan ini juga bukan sepenuhnya menjadi kesalahannya. Namun jika ia mati tanpa berbuat apa-apa, mungkin akan menjadi kesalahannya.

Hiina, putri Jenderal Oshiro, pemimpin pasukan di wilayah Batavia namun memiliki kebiasaan berjelajah, tidak menyukai monoton, memperhatikan apa lagi akibat yang disebabkan oleh suara gemuruh senapan di pukul dua malam.

Ia berjinjit untuk menyelinap keluar dari kamar kecil sebuah kedai kopi dari jendela yang menghadap ke arah berlawanan dari penjagaan beberapa pria bertubuh besar utusan Jenderal. Hiina berjalan mengendap-endap setelah melepas alas kaki yang terbuat dari balok kayu ringan yang diasah sedemikian rupa. Walaupun demikian, Hiina bukan seorang anak jenderal yang tidak memiliki bercak luka sedikit pun di tubuhnya. Kakinya penuh lecet, sebuah tanda bahwa ia tidak hanya menggunakan alas kaki untuk berjalan tetapi juga berlari.

Ia setengah berlari seraya mengangkat potongan kain yang menjuntai sedikit melebihi pergelangan kakinya.

"Tsk. Mengapa harus serumit ini!" keluhnya seraya mengendap begitu ada beberapa tentara yang berjaga di sudut gang. Dengan mudah, ia mampu bersembunyi di balik tembok-tembok rumah satu dengan yang lainnya akibat dari perawakannya yang mungil, menghindari para penjaganya.

Hiina pikir ia aman di sini, hingga sebuah figur setengah membungkuk berjalan ke arahnya sambil meringis dan di detik berikutnya ia jatuh ketika sepasang lengan Hiina memapahnya kuat.

"Hei, kau mabuk?"

Hiina terbelalak, nyaris melepas dan membiarkan tubuh itu tersungkur sebelum dengan sigap mendudukkannya ketika ia merasa telapak tangannya basah dengan tekstur aneh.

Dengan sisa-sisa cercah cahaya menerangi mereka, Hiina baru menyadari bahwa pria itu terluka cukup parah.

Hiina beberapa kali menepuk pipinya namun tidak ada reaksi. Berpikir bahwa pria itu tidak sadarkan diri, Hiina menanggalkan pakaiannya dan menggunakan tali padahakama-nya untuk mengikat bagian luka yang masih mengeluarkan tetes darah. Kemudian ia membersihkan bercak darah untuk menghapus kecurigaan terhadap orang-orang sekitar.

Beruntung, sebuah motel terletak hanya beberapa meter dari tempat mereka berada sekarang dan Hiina memapah pria itu dengan posisi berhadapan agar tidak ada yang menaruh curiga setelah mengenakan kembalihakama-nya, namun dibiarkan terbuka sebagai alasan untuk mendapatkan ruangan kosong.

"Ia sedang mabuk. Bisakah kami memiliki kamar?"

Dengan parasnya yang familiar, kulit seputih susu, mata sipit dan hidung yang lancip, Hiina dengan mudah mendapatkan yang ia inginkan. Mereka akan berpikir bahwa Hiina adalah salah satu wanita Nippon yang menjadi bagian penting dari penjajahan ini mengingat bahwa tidak semua kaum hawa seperti dirinya diijinkan berkeliaran pada malam hari pukul tujuh waktu setempat. Dengan demikian, ia bisa dengan mudah untuk membuat orang menduga bahwa gadis itu akan memberikan pelayanan istimewa untuk tamunya.

"Bertahanlah sedikit."

Hiina membaringkannya di ranjang, tidak yakin apa yang harus ia lakukan namun dirinya melepas lapisan luar pakaiannya untuk menghangatkan pria yang belum sadarkan diri.

Hiina duduk tepat di sisi ranjang seraya menatapnya dengan seksama seolah mempelajari setiap lekuk wajah, peluh yang bertengger di ujung surai, napas singkat yang lemah. Belum pernah ia memperhatikan wajah seseorang sedekat ini di bawah spektrum lampu jingga yang hanya menerangi ruangan kecil tempat mereka berada sekarang. Kulitnya bukan yang pantas untuk dikagumi, penuh dengan bekas luka yang telah menutup rapat dan debu di sepanjang urat nadi yang menonjol. Gadis itu bergeser lebih dekat, memperhatikan surai hitam pekat miliknya yang berbeda dengan pria sebangsanya yang memiliki campuran coklat mengkilap.

Jika ada hal yang lebih gelap dari malam ini, maka itulah bola mata Kai yang menangkap sosok musuh di depan wajahnya.

Ia mengerjap dan meringis, menatap gadis itu dengan alis yang bertautan, emosi memenuhi manik dan rasa geram mengisi rongga dada. Dengan rahang yang mengkaku, Kai mengesampingkan rasa perih yang menusuk seluruh bagian tubuh dan hal terakhir yang mampu dilakukan adalah melarikan diri.

Hiina tidak berbuat apa pun, yang ditangkap oleh telinganya adalah ketika pria itu mengatakan, "Nippon sialan."

.


.

"Kai!"

Sebuah suara refleks memanggilnya menyebabkan beberapa orang berlarian untuk memapah yang terluka. Raut wajah mereka panik, yang terluka masih mampu menyunggingkan sebuah senyum tipis seolah menyampaikan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Di mana yang lain? Sigit? Daidancho?"

"Mereka ada di dalam, bertahanlah."

"Kinan!"

Kali ini suara yang familiar terdengar menggema, yang dipanggil masih mengukir senyum begitu Sugih berlarian ke arahnya seraya menggunting kain yang membalut luka dan mengeluarkan proyektil kecil dari dalam.

"Kurasa aku hampir mati, Komandan."

Pria yang lebih tua menghiraukan gurauannya, "Beruntung tidak tertembak tulang rusuk. Mungkin kau tidak akan selamat jika itu terjadi."

"Mungkin karena ini semua belum selesai." ucapnya seolah mengingatkan.

"Diamlah dan beristirahat."

Pria itu beranjak disusul dengan beberapa orang untuk memastikan pintu tertutup rapat dan terkunci. Kai berbaring di sana seorang diri mencoba untuk bernapas senyaman mungkin setelah apa yang terjadi. Ia mengingat ulang percobaan keduanya, nyaris gagal dan membahayakan bukan hanya nyawanya, namun seluruh orang di negeri ini. Ia tidak mampu membayangkan apa yang akan Nippon lakukan jika mereka ketahuan dalam penyerangan tersebut. Mungkin bukan hanya baku tembak satu sama lain, namun anak kecil, orangtua, serta wanita pribumi yang tidak bersalah juga ikut menjadi korban.

Bagaimana jika seseorang melaporkannya. Tidak berani membayangkannya, Kai mengatupkan kelopak mata ingin mengusir rasa takut yang terus merangkak naik memenuhi dada serta pikiran, perlahan namun pasti, menggerogoti jiwanya yang masih terasa gundah setelah pertemuan itu.

Kisah lama mengatakan bahwa semua hal terjadi karena takdir yang tidak pernah diminta, dan Kai tidak pernah tahu apa yang telah dipersiapkan untuknya di waktu yang akan datang. Tangannya mengepal, berusaha untuk mengabaikan ketakutan atau mengumpulkan keberanian karena ia tidak tahu apakah siang esok langit akan baik-baik saja atau badai datang menyerang sekali lagi. Ia tidak tahu apakah semua akan berakhir sama dan terlahir kembali pada dunia yang tidak pernah adil bagi kehidupan sebagian orang. Ia merasa lelah untuk pertarungan yang bahkan belum dimulai. Ia merasa ingin berhenti dan marah. Namun tidak ada satu hal pun yang bisa dilakukan. Takdirnya adalah menjadi pejuang untuk membebaskan negeri ini dari keserakahan orang yang tak pernah akan selesai, sekalipun jika harus mengorbankan satu kehidupannya.

Ia bertekad untuk menyelesaikan semuanya dalam satu waktu dan berharap tidak ada lagi pertarungan yang harus dijalankan demi pembelaan semata, demi nama keluarga, demi rasa dendam yang terus mengendap.

.


.

Pada Februari 1944, misi ketiga kembali dilaksanakan. Beberapa pasukan bersiap dengan senjata dan strategi untuk membobol celah-celah depot senjata.

"Aku ikut." katanya dengan lantang, siap dengan senjatanya walau bagian perut masih dibalut kain kasa.

Mereka yang berdiri di ujung pintu menoleh ke arah belakang, bukan memperhatikan Kai, namun seseorang yang lain di belakang, memberikan postur sigap dan penghormatan untuk Sugih yang berjalan ke arah mereka.

"Kau tetap di sini." Ia berjalan melewati Kai.

"Berhati-hatilah." Sugih menepuk punggung pasukannya memberikan separuh keberaniannya. Tatapannya tegas namun selalu tersirat ketakutan jauh di dalam hatinya. "Kembalilah dengan selamat."

"Siap, Komandan."

Kai masih tercengang di tempatnya, bahkan ketika pria yang lebih tua telah berbalik dan menyuruhnya untuk beristirahat. "Lukamu belum pulih. Aku tidak bisa kehilangan pejuang terbaikku."

Jadi ia mengembuskan napas berat dan berjalan menuju arah pintu. Langkahnya membawanya pada sebuah tempat di mana tidak ada satu orang pun berada di sana, sebuah lapangan luas yang berada di bawah langit yang terbentang luas membiarkan bintang-bintang melakukan pekerjaan mereka, bersinar dan memberikan harapan. Ia duduk di sana sebelum akhirnya berbaring di atas hempasan rumput membiarkan rasa dingin menyelinap masuk dan merayap melalui pori-pori. Kai bersandar dengan nyaman.

Hiina di sisi lain kembali melancarkan percobaan menyelinapnya yang kesekian kali agar dapat melewati tembok-tembok pembatas yang melarangnya untuk menyentuh dunia luar, sekalipun hanya untuk menikmati gelas kopi hangat di atas dunia yang nyaris luluh lantak menunggu penyelamatan dari langit pada tangan-tangan yang kotor, tidak berdaya.

Ia mengendap keluar, menemukan dirinya pergi sedikit lebih jauh dari biasanya dengan berjalan kaki tanpa pakaian yang mencolok maupun alas kaki penyebab suara riuh ketika beradu dengan aspal. Dalam kepalan tangannya, ia membawa seekor burung pipit dalam sangkar untuk dilepaskan di tanah lapang nan luas yang berhasil ditangkap oleh netra. Ia melemparkan mahkluk tersebut ke arah atas agar ia mampu terbang.

Hiina menghela napas lega yang panjang seraya pandangannya tertuju pada kepakan sayap burung yang kian menjauh hingga tidak mampu ditangkap oleh kedua netranya. Setidaknya satu nyawa telah terbebas. Ia membayangkan ketika burung tersebut akan bertemu dengan kawanannya, duduk di pucuk-pucuk pepohonan dan rerumputan, menunggu pagi yang sekali lagi pecah memberikan satu lagi harapan di hari yang sama.

Kala itu udara agak sedikit lembab. Lapangan-lapangan yang masih tersisa di Batavia menyeruakkan aroma tanah basa selepas hujan akibat wilayah khatulistiwa tengah dilanda musim hujan yang akan segera berakhir. Tidak menyia-nyiakan waktunya, Hiina berjalan ke arah timur ketika kedua maniknya menangkap residivis satu orang tengah berbaring tenang di sana.

Gadis itu memiliki kebiasaan untuk memperhatikan sesuatu pada jarak dekat dan intens. Dan ia juga memiliki kelebihan dalam mengendap, menyelinap, apapun itu jika harus dilakukan dalam keadaan hening, sehingga tidak ada satu pun orang yang akan sadar akan kehadirannya apabila pria di hadapannya tidak merasa aneh dengan deru napas hangat terasa begitu dekat menerpa wajahnya.

Baru saja kelopak matanya terbuka, hendak berlari dan menghilang, jemari-jemari Hiina dengan sigap menangkap pergelangannya dan mencengkram sedikit terlalu kuat namun masih tertarik akibat kekuatan pria yang tengah berdiri di depannya.

"Tunggu, tunggu sebentar."

Kai tidak dapat melihat fitur wajahnya dengan jelas, namun getar suara yang lembut tengah memohon.

Ia berhenti, memperhatikan bayangan hitam yang kini tampak merendah karena Kai memutuskan untuk duduk, namun masih waspada.

Perlahan, ketika Kai memicingkan matanya untuk memperhatikan lebih jelas, gadis itu tidak tampak asing baginya. Ia belum mengingat sepenuhnya, namun gadis itu sangat seperti pernah ditemuinya di suatu tempat.

"Hiina. Namaku Hiina." Tangannya terulur untuk berkenalan, senyumnya merekah, Hiina mencoba untuk terlihat seramah mungkin karena air wajah pria di hadapannya tidak terlihat menyenangkan. Ia berharap pria itu akan menyambut tangannya karena seperti itulah ia diajarkan sedikit mengenai cara perkenalan penduduk pribumi oleh beberapa tentara.

"Kau Nippon, kan."

"Bagaimana lukamu?"

Kai terhenyak ketika pertanyaan barusan meluncur bebas begitu saja tanpa aba-aba. Ia menorehkan pandangan pada gadis di sampingnya yang tengah menarik kedua ujung bibir di bawah pantulan cahaya bintang dan bulan. Ekspresinya membeku bersama kata-kata di ujung bibir.

Tidak tahu harus menjawab apa, ia mengalihkan pandangan lurus dan rahangnya mengkaku.

Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Hiina duduk memeluk lutut setelah diabaikan untuk yang ketiga kalinya oleh pria pribumi yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Sementara Kai memposisikan kedua lengan bertumpu pada lutut yang ditekuk, menghiraukan apa pun yang mencoba mengusik pikirannya.

"Sebenarnya apa yang benar-benar manusia takutkan? Kematian atau ketidak bebasan?"

Seketika pertanyaan itu membuatnya tertegun, membeku dan merasakan napasnya menjeda di beberapa detak jantung. Kai mengeratkan rahangnya, tidak mengerti akan apa yang dikatakan oleh gadis yang menjadi anak dari musuh terbesarnya.

"Ketidak bebasan yang berujung kematian atau kematian yang sia-sia?"

"Kau tidak tau apa-apa tentang kebebasan." Suaranya getir di dalam rasa dendam yang tebal.

Gadis itu menyulam senyum seraya mengangguk, menarik sebuah napas panjang. "Kematian yang sia-sia. Kematian adalah akhir dari segalanya dan kita tidak pernah tahu apakah kehidupan setelah ini masih ada. Jika ada, maka kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Manusia hanya ingin merasa bermakna dan berharga dalam hidup, namun kadang-kadang terbutakan oleh keserakahan dan kecerobohan."

"Aku juga tahu bahwa setiap cara orang merasa bermakna dan berharga selalu berbeda-beda. Dan di sanalah ketika keserakahan mengambil alih, tidak peduli jika caranya harus menyakiti orang lain, ia akan terus melanjutkannya."

Hiina menunduk, sesungguhnya tidak berani menatap air wajah pria di sampingnya karena ia yakin ia tidak memiliki hak untuk mengatakan apapun setelah semua yang bangsanya lakukan terhadap pribumi. Tapi Kai memilih bergeming untuk mendengarkan walaupun hatinya berkecamuk untuk marah dan berteriak, menguapkan semua dendam yang senantiasa mencekik dadanya di setiap waktu.

"Aku menyesali semua yang terjadi."

Kai hendak mempertanyakan apakah hanya itu yang berada di pikirannya setelah setiap nyawa dibunuh tanpa alasan seakan tidak ada hidup yang lebih berarti selain menjadi Nippon.

Hiina melanjutkan kalimatnya, "Yang menindaslah yang takut tertindas. Dan yang ditindas sesungguhnya memiliki hak untuk memberontak ketika keadilan telah dilupakan dari muka bumi."

Kai membeku di tempatnya, bahkan untuk napas saja terasa berat. Kalimat demi kalimat kian berputar di ujung kepalanya yang ingin meledak. Hatinya terbakar, namun tidak ada api di sana. Yang ada hanya emosi yang menikam, geram yang menyulut dan serpihan amarah yang sekarang menjadi lebih masuk akal. Jika gadis itu sama seperti yang lainnya, maka ia mungkin sudah terbunuh sekarang. Jika Hiina merupakan bagian dari mereka, Kai tidak akan akan lagi memiliki kesempatan untuk mengetahui apa yang benar-benar bermakna dalam hidupnya.

Sebelumnya ia tidak pernah tahu bahwa ia mampu bertahan sejauh ini untuk melakukan apa yang selama ini menurutnya berarti. Semua misi-misi tersebut, tentara-tentara yang pergi untuk pengkhianatan, orang-orang awam yang mati sia-sia. Waktu begitu singkat namun penyiksaan bertahan sangat lama. Mungkin sebagian orang tahu apa yang tengah mereka perjuangkan, tetapi sebagian lainnya, termasuk dirinya, tidak yakin.

Ia tahu dirinya marah, ingin menyudahi segala kepedihan yang dialami masyarakat selama berabad-abad dari kisah-kisah kuno yang disampaikan, namun masing-masing dari mereka memiliki kenangan yang menyangkut di balik jendela kamar, yang menyorongkan suasana sendu menunggu pengorbanan yang bermakna. Lantas mengapa rasa dendam terasa begitu besar hingga ia telah melupakan sepotong kecil dari hakikat kehidupan itu sendiri, yang mana baik dan buruk akan terus berganti.

Kai mempertanyakan apakah ini semua adalah rasa dendam atau ia tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya diinginkan? Jika manusia sangat berarti baginya mengapa harus selalu ia yang berjuang?

Pertanyaan-pertanyaan itu menohok hatinya hingga napasnya tercekat. Kedua pelupuk yang lelah terpejam rapat menahan beban yang menghujam benaknya berkali-kali. Pikirannya tidak sudi untuk membuka ruang bagi siapapun bangsanya tatkala hati telah terketuk dan pemilik tak sanggup mengelak karena takdir telah tergores ke dalam garis lurus yang mereka bilang kebetulan.

"Ngomong-ngomong, terima kasih telah menolongku." Ia menyulam senyum di ujung kalimat.

Mereka bilang ketulusan tidak dapat ditutup oleh kabut dari hati yang telah karam. Kai belum mengerti, namun ia bisa merasakannya dari pantulan cahaya di kedua bola mata secoklat warna kayu manis itu.

"Untuk melanjutkan apa yang seharusnya kau lakukan."

"Apakah kau tidak dilarang melakukan itu?"

Pria itu mengetahui jawaban mutlak yang akan diberikan, namun ia tidak ingin percaya pada apa yang pikirannya telah katakan.

"Apa?"

"Penyelamatan terhadap pribumi."

"Aku tidak melakukan pengkhianatan. Aku melakukan apa yang dilupakan oleh banyak orang."

Dan sekali lagi kalimatnya bagaikan jarum yang menusuk ujung ruas-ruas jantung niscaya mereka tertawa pelan akan sebagian orang yang menganggap bahwa itu adalah lelucon yang terselip diantara derita.

"Jika burung-burung dilambangkan dengan kebebasan, mengapa mereka selalu terkungkung dalam sangkar?"

Keduanya mengulum senyuman tipis setelah kalimat itu lolos sebagai penutup malam yang menjelma menjadi kesedihan untuk dipadamkan. Kemurungan berkelebat namun kebahagiaan setidaknya harus merangkak di dinding melindap, beranda pemberhentian, atau bentangan lapangan luas untuk menyadari bahwa langit masih begitu luas dan mereka belum siap menjelajahi semuanya.

Jika ada yang bertanya apakah dunia berjuang sendirian untuk mempersatukan jiwa-jiwa lewat sebuah takdir, terkadang, beberapa hal terlalu aneh dan terlalu kuat untuk menjadi sebuah kebetulan.

Sebelumnya, ia pikir bahwa di kehidupannya ini, setiap hari adalah api, yang panas, membakar, menyakiti, dan menghasilkan air mata, keringat, dan luka. Ia pikir ia bisa mengatasi segala sesuatu sendiri. Jalan hidup seorang pejuang harus ditempuh sendirian tanpa bantuan orang lain namun mereka lupa bahwa terkadang hal itu bisa menjadi jalan yang membuatnya jatuh ke jurang. Kai lupa bahwa angin masih berembus ke arah barat niscaya ia menangis terlalu banyak dan meninggalkan bulir air mata di pucuk dedaunan.

Kadang kala, hujan turun membasahi bumi dengan beberapa alasan, selain untuk membersihkan abu mesiu yang tertinggal di udara, ia juga datang bersama harapan bagi beberapa orang ketika mereka melewatkan momen ekor bintang menyeberang horizon langit dan menyulam doa. Maka, mereka telah menjadi salah satu dari orang-orang tersebut yang memiliki keberuntungan diantara garis-garis takdir yang kejam, yang disangka akan terus menarik mereka ke batas kehidupan.

Kinan dan Hiina, sepasang manusia yang ditakdirkan untuk bertemu pada waktu yang salah, pada tempat yang tidak tepat. Mereka bilang nasib buruk, sesungguhnya ini adalah sebuah awal untuk memulai, menjadikannya sebuah alasan yang kelak menjadi izin bagi Hiina untuk membutuhkan Kinan. Hiina telah berharap Kinan akan mengingatnya sekali lagi di satu kehidupan berikutnya lewat buku-buku yang bertuliskan aksara kanji. Dan sebagai gantinya, Kinan menghadiahkannya sebuah buku puisi bersampul kuning dan lecak, baunya seperti buku lama yang tersimpan di rak-rak gudang. Alih-alih, Hiina telah memutuskan bahwa itu akan menjadi kenangan yang dirajut bersama jiwa untuk menemui pria itu lagi.

"Untukmu!" Gadis itu mengulurkan telapak tangannya dan menggenggam pergelangan Kinan dengan senyum sumringah, memberikan sebuah lempengan besi berukuran kecil penuh kilau dengan simpul yang dikaitkan di ujung atas.

"Apa ini?

"Pembatas buku. Minggu lalu, aku memberikanmu tiga buku dan kau harus membacanya semua!"

Kinan tidak menjawab, melainkan sebuah senyuman tersungging di antara wajah penuh peluh setelah berlari untuk menemui gadis itu di tempat yang sama, di waktu yang sama. Menghiraukan napas yang masih terengah, ia sedikit menunduk untuk mengamati fitur wajah Hiina yang selalu membuat waktu berdenting terlalu cepat dan degup jantung mengalahkan suara jangkrik malam hari yang terus mengicau.

"Bagaimana jika aku tidak membacanya?"

Ia mengerjap beberapa kali, berusaha menahan diri agar pipinya tidak berubah warna semerah bunga kamboja. Mulutnya terkatup, namun lengkung hati yang membentuk bibirnya masih terlihat jelas oleh kedua manik Kinan.

Selanjutnya, suara tawa menggelegar di tengah rasa sepi yang sempat merayap pada kekecewaan di rongga dada Hiina.

"Hanya bercanda, nanti aku baca, kok."

Senyumnya kembali merekah, begitu manis sampai-sampai Kinan merasa ingin berjuang kembali melawan takdir dan menghamburkan dirinya ke dalam sebuah pelukan yang diberikan oleh gadis itu. Ia pikir ia tidak waras, namun hati ini masih saja berkecamuk setiap melihat wajah itu, mata sipit dengan pipi merah mawar yang mengoyak jantungnya dan Kinan seperti ingin menangis.

"Terima kasih, Hiina."

Hiina mengalihkan pandangan ke arah timur, memeriksa jika mereka telah diuntit oleh seseorang. Namun kenyataannya adalah ia bersembunyi di balik temaram langit dan menahan pelupuk mata yang terasa mulai penuh, bulir air mendesak keluar, tapi yang ia lakukan hanyalah menekan hatinya kuat-kuat untuk menghentikan semuanya yang ia rasakan. Ia tidak tahu mengapa perasaannya berkecamuk, bergejolak, seperti kepingan daun kering yang berantakan di jalan setapak, jantungnya berdegup sangat cepat ketika ia menginginkan itu untuk berhenti.

Takdir memang kejam, dan bertemu dengannya adalah petaka. Cinta yang menjelma sebagai petaka. Bagi Kinan, Hiina adalah tragedi di tengah percakapan yang disesali dan adegan yang dihapus dari kenyataan.

Dan bagi Hiina, Kinan adalah mimpi yang panjang yang sekali lagi mengulang bayangan cinta yang tak terkendali di beranda rumah panggung ketika ia membuka rimbun kenangan, sebelum berjalan ke perpisahan.

Mereka bilang, gelap hanya ada di malam hari dan itu singkat, tidak melukai. Namun bagi Kinan dan Hiina, mereka kian dipaksa untuk berdiri di baris paling belakang dari kenyataan karena mereka tidak sungguh-sungguh memiliki masa silam dan masa depan di peta hidup. Pria itu tersesat, dan Hiina adalah sebuah tujuan yang tidak memiliki arah untuk ditempuh oleh Kinan.

.


.

Empat bulan telah berlalu sejak penyerangan ketiga yang dilakukan oleh pasukan ilegal Sugih untuk mendapatkan senjata dan menyusun strategi baru ketika sebelumnya, Sekutu menjatuhkan bom di Sabang dan menguasai Hollandia sehingga mau tidak mau, Nippon harus menyerahkan wilayah tersebut kepada Sekutu. Hal ini dimanfaatkan baik oleh sekelompok pemberontak untuk mendapatkan informasi mengenai keadaan serta aktivitas Nippon yang berada di pusat karena ancaman tersebut akan terus berlangsung.

Dan benar saja, ketika Sekutu berhasil membombardir wilayah-wilayah kekuasaan Nippon pada tahap pertama, kini mereka mengekspansi keberadaannya dengan melancarkan serangan udara di Surabaya, mengakibatkan bangsa tersebut geram bukan kepalang lagi.

Terlebih, yang mendapatkan akibat dari kemarahan Nippon adalah bangsa pribumi yang dipaksa untuk melindungi mereka dari serangan musuh masih dengan menggunakan janji manis pemberian kemerdekaan secepat mungkin begitu badan-badan hukum telah dibentuk.

Bangsa pribumi memang polos, mereka melakukannya tanpa kekuatan untuk menolak, mereka bahkan ikut terjun langsung ke medan perang di Biak bersama tentara Dai Nippon untuk menyerang sekutu yang terus mengambil alih nusantara di bagian timur.

Dan pada saat itulah, ketika Nippon merasa terancam, kehilangan fokus pada bidik utamanya, di pusat Batavia, Sugih memutuskan untuk mengirim Kai dan beberapa orang unggulan lagi untuk mengambil beberapa senjata dan bahan peledak sekaligus mencari tahu rencana mereka selanjutnya. Dengar-dengar, Nippon memiliki transportasi berat baru dengan tembakan masif yang mampu mengakibatkan beberapa hektar tanah menjadi rata dan tandus.

Di luar gerbang, penjagaan ketat masih seperti biasa dilakukan dan strategi pengalihan selalu menjadi andalan untuk mengundang kelengahan dari para prajurit agar satu sisi lebih lengang untuk dimasuki oleh para penyusup. Kabut malam yang menyatu dengan pendaran lampu jalanan bercampur dengan debu dari tanah yang kedatangan kendaraan pengantar senjata milik Nippon.

"Sial."

Kai menyadari keberadaan para prajurit dan segera memberikan aba-aba kepada yang lainnya untuk mengganti rencana dan mundur. Mereka menyelinap dari sisi sayap kanan dan kiri depo menuju ke arah belakang dan bersembunyi di balik tembok sebuah gudang pemasok semen dan batu bata.

Sigit yang baru saja hendak mengendap ke arah belakang, melakukan kecerobohan ketika ia tidak sengaja menendang sebuah botol kaca yang kemudian berguling dan mengakibatkan suara. Hal selanjutnya yang terjadi adalah alarm bahaya bercampur dengan bunyi peluit bergema di seluruh pelosok dan mereka nyaris dikepung ketika Sigit hampir ditembak namun Daidancho menembak salah seorang prajurit yang membidiknya. Kai berlari ke arah timur laut untuk melindungi Daidancho sebelum kembali bersembunyi di balik tembok.

Sigit dan Daidancho telah berhasil meloloskan diri, tinggal satu personil lagi. Kai berusaha mencari sosok Sutadi yang berlari dari arah belakang Nippon yang mengepung Kai lalu menembak mereka satu per satu. Sigit melemparkan senjatanya yang kemudian ditangkap oleh Sutadi untuk melakukan penembakan lagi agar Kai mampu lolos dari kepungan tersebut.

Mereka nyaris selamat dari tempat itu sebelum pasukan Dai Nippon serempak menyerbu dan komandan utama utusan Jenderal Oshiro membidik Kai yang tengah menembak para prajurit saat sebuah peluru meluncur dalam sekian detik dan beradu pada sebuah lempeng besi yang berada di balik dadanya. Tekanan itu mengakibatkan dirinya terhuyung ke belakang dan punggungnya menabrak dinding cukup keras.

Kai dengan sisa tenaganya berlari sekuat mungkin dan hilang dari bayangan malam.

Mereka kembali ke markas namun Kai tidak. Hari itu hari Minggu, dan ia telah memiliki janji dengan seseorang di sana.

Kecepatan langkah untuk berlari perlahan melemah, napasnya pendek dan terengah, suara rumput yang beradu dengan alas kaki terdengar begitu jelas saat keheninganlah yang telah mendominasi telinga Hiina selama seratus dua puluh menit.

"M-Maaf aku terlambat."

Suara itu lebih mirip racauan yang lebih dari kata cukup untuk membuat seorang gadis berlari ke arahnya dan berlutut ketika Kai terjatuh akibat tidak sanggup lagi melanjutkan langkah hingga mencapai residivis milik Hiina.

"Kinan!"

Hiina seakan tahu apa yang terjadi oleh pria itu karena ia pernah melihat yang lebih buruk. Kinan meletakkan telapaknya pada dada sebelah kiri seraya meringis. Tanpa berpikir dua kali, Hiina menyentuhnya dan mendapatkan lubang pada pakaian gelap yang dikenakan pria itu.

Pelupuknya meneteskan bulir airmata karena malam tidak mampu memperlihatkan luka itu lebih jelas. Hiina menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menahan isakan yang akan segera pecah.

"Aku baik-baik saja, Hiina." suaranya serak, gadis itu tidak ingin percaya.

Tangannya terulur untuk memeriksa bagian tersebut dan ia lebih terkejut ketika pria itu menyimpan pembatas buku pemberiannya di sana. Hiina menyentuh luka Kai dan pria itu kembali mengiris kesakitan.

"Aku pikir kau akan mati." katanya polos sambil terisak, lalu mengusapkan jemarinya pada wajah yang basah karena air mata.

Kai berbaring di sana dengan mata terpejam, menahan rasa ngilu yang berdenyut pada permukaan bawah kulit yang memar, biru, dan keunguan. "Hampir mati, tetapi aku selalu menjadi yang paling beruntung di dunia ini." katanya lemah.

Kai masih sempat mengurai senyum ketika Hiina melepaskan potongan kain yang melingkar di pinggangnya untuk membalut luka pada siku kiri pemuda di hadapannya. Selanjutnya ia menarik lepas untai kain yang mengikat surai hitam pekatnya sebelum membalut telapak tangannya sendiri dan memberikan tekanan pada dada Kai secara perlahan.

"Akh!"

"Jangan bergerak." perintah Hiina. Kinan membuka kelopak matanya hanya untuk menjadi terbata, "H-Hiina?"

Yang dipanggil tidak menjawab, Kai mendapatkan dirinya yang lupa mengalihkan pandangan ketika Hiina membiarkan lapisan luar pada pakaiannya terbuka karena potongan kain untuk mengikat bagian tersebut kini berada pada siku pemuda tersebut. Gadis itu juga membiarkan surainya yang panjang jatuh pada satu sisi sehingga tidak terlalu berantakan ketika terhembus oleh angin.

Kai merasa denyut di dadanya kini telah tergantikan dengan denyut jantung yang menghantam rusuknya berulang kali. Rasa marah dan naluri seorang pria bercampur menjadi satu dan ia tidak tahu mana yang telah mendominasi.

Ia terpana. Kini bukan lagi mengagumi keindahan absolut yang menjadi miliknya alih-alih Hiina telah berbuat di luar batas. Pria itu segera bangun dari posisinya mengakibatkan Hiina sedikit tersungkur ke belakang. Ia melepas potongan kain putih yang telah ternodai oleh bercak darah, memaksa untuk membukanya namun Hiina malah menggenggam tangan pria itu sangat erat.

"Jangan dilepas."

Kai seolah tidak mendengarkan dan melanjutkan melepas paksa simpul yang diikat erat oleh Hiina.

"Mengapa kau sangat keras kepala?"

"Karena ini tidak pantas, Hiina."

"Kalau ini di luar batas seharusnya kau bisa berbuat lebih dari ini, bukan? Kumohon jangan dilepas."

Hiina menekan kedua bibir berbentuk hati miliknya pada satu sama lain, berharap pria itu menuruti permintaannya kali ini.

Kai berhenti, menatap lurus di kedua manik Hiina.

Mereka bergeming cukup lama. Kai tidak yakin dengan apa yang hatinya katakan, namun tangannya berakhir merapatkan hakama yang gadis itu kenakan.

"Peganglah seperti ini dan pulang."

Hiina menggeleng, pandangannya lurus beradu pada milik pria di hadapannya.

"Mengapa kau sangat keras kepala?"

"Watashi wa anata o aishiteirukara! (Karena aku mencintaimu!)"

Kai mengerang frustasi dan memutuskan untuk berdiri disusul oleh Hiina.

"Dengar, Hiina. Kau tidak boleh melakukan itu lagi." Sekali lagi Kai merapatkan balutanhakama-nya dan meraih pergelangan gadis itu untuk menutup seluruh bagian tubuhnya.

Hiina melakukan persis seperti yang diinginkan, "Kau tidak bisa memaksaku untuk melakukan apa yang kau mau jika kau juga sama keras kepalanya sepertiku." kemudian menghamburkan dirinya memeluk pria di depannya sebelum Kai sempat membantah dan berakhir membeku di tempatnya berdiri.

Gadis itu memeluk Kai sangat kuat hingga tiba-tiba rasa nyeri menyelimuti seisi hatinya.

Kai masih mematung, tidak sanggup untuk bergerak seakan dunia berhenti berputar dan tidak ada lagi gravitasi pada planet tempatnya tinggal. Tidak ada yang bergerak sama sekali kecuali jantungnya yang berdegup sangat cepat hingga gadis itu mungkin mendengarnya dengan jelas. Untuk waktu yang cukup lama, napasnya tertahan berharap jika jantungnya bisa berhenti berdebar menghantam rusuknya.

"Hiina. Lepaskan aku."

Yang dipanggil hanya bergeming seakan lenyap bersama sunyi malam. Kai bisa merasakan kehangatan itu terus membakar raganya yang tidak mampu berbalik. Seolah jiwanya terus dikikis oleh perasaan dan benak yang bersengkarut satu sama lain, mereka berbagi malam satu kali lagi tatkala langit selalu memiliki cara untuk memisahkan mereka berdua. Namun biarlah, biarkan takdir yang mengatur semuanya dan mereka akan menemukan jalan pulang ke rumah masing-masing untuk saling berdekap di dalam rasa aman yang selalu sama. Terkadang, rumah bukanlah satu pintu maupun dua jendela, kadang rumah adalah dua lengan untuk saling mendekap dan satu jantung yang berdetak sama kencangnya sebagai salah-satu isyarat bahwa mereka telah sampai. Mereka tidak lagi tersesat dan perjalanan telah usai.

Untuk pertama kali dan selamanya, mereka memeluk begitu erat seakan salah satu akan lenyap dalam abu senja yang bercampur dengan debu mesiu peperangan.

Untuk pertama kali dan selamanya, Hiina baru pernah merasakan debar jantung seseorang begitu keras, sama kerasnya dengan miliknya sendiri.

Dan untuk yang terakhir kalinya, Kai bersumpah bahwa ia telah mencintai gadis itu dengan segenap jiwa raganya pada kehidupan ini, dan ia berharap untuk mencintai kembali pada waktu yang tepat.

.


.

Juli, 1944.

Dalam keadaan yang lebih kondusif daripada sebelumnya, Nippon menarik pasukan dari Biak dan memutuskan untuk tidak mengusik Sekutu pasca serangan yang juga dilakukan di Surabaya tempo lalu. Mereka memilih untuk menguasai Batavia dan sekitarnya karena wilayah tersebut merupakan jantung perdagangan sekaligus politik yang rentan akan ancaman dan serangan. Apabila Nippon tidak mampu menang melawan sekutu, setidaknya mereka dilindungi oleh pribumi untuk peperangan yang lebih besar di kemudian hari.

Dan untuk memperkuat kedudukannya, Jenderal Oshiro melakukan ekspansi afiliasi terhadap para pemimpin di berbagai daerah dimulai dari Jenderal Yamada yang memegang penuh kendali kota Semarang. Kendati pun demikian, Jenderal Yamada sesungguhnya merupakan kerabat dekat Jenderal Oshiro, lama sebelum mereka diutus untuk mengurus wilayah penjajahan.

Karena kedekatan itulah, Jenderal Yamada menginginkan putranya untuk menikahi Hiina, satu-satunya wanita yang dicintai Yamada Akio lama sebelum mereka tumbuh dewasa dan Akio menyadari bahwa ia menginginkan Hiina untuk dirinya sendiri dan selamanya.

"Di mana Hiina?"

"Ada di dalam."

Gadis itu keluar dari ruangannya dengan senyum cerah memberikan penghormatan terhadap salah satu kerabat yang disanjung oleh ayahnya karena ketaatannya terhadap bangsa dan nenek moyang. Dengan kata lain, Jenderal Yamada dipandang lebih tegas dalam menindaklanjuti siapapun yang menghalangi jalannya.

Bagi pribumi, itu adalah kekejaman.

Mereka menghabiskan waktu beberapa hari untuk tinggal setelah menempuh perjalanan yang panjang dari Semarang. Hiina membawa Akio untuk berkeliling dengan pengawasan prajurit Dai Nippon terbaik.

Hiina tidak banyak berbicara, Akio mengerti bahwa mereka bukan lagi anak kecil yang mengatakan apapun yang ada di benak mereka. Jadi hari itu, ketika Akio, Jenderal Yamada, dan Jenderal Oshiro tengah melakukan jamuan makan malam, Hiina tidak ikut bersama dengan alasan bahwa dirinya demam dan membutuhkan istirahat. Akio tidak dapat lebih khawatir daripada itu sehingga memutuskan untuk menjenguk Hiina.

Pria itu tidak mendapatkan jawaban dari dalam ruangan sehingga ia berasumsi bahwa Hiina tengah terlelap. Malam itu agak cerah, jadi Akio berniat untuk berkeliling di sekitar sana.

"Kau sudah membaca bukunya?"

"Belum semua, baru satu buku, itu saja belum selesai."

Yang dipandang hanya mengerucutkan bibir merasa tidak puas dengan jawaban yang dilontarkan oleh Kinan. Hiina berdecak sekaligus memukul ringan lengan pria yang duduk dekat dengan dirinya.

"Kau sudah selesai baca buku yang kuberikan?"

Hiina mengangguk antusias, duduk berpangku pada kakinya yang dilipat ke belakang, mirip posisi berlutut.

"Kutipan yang mana yang paling kau suka?"

"Aku tidak mengingat semuanya namun aku paling suka pada kalimat 'pertemuan yang singkat setelah penantian yang panjang'. Itu sangat mirip dengan kita."

Kai menunduk seraya menarik ujung bibir ke arah atas, kemudian kembali mengangkat wajahnya dan menatap lekuk wajah seorang gadis yang berhasil membuatnya tersenyum di kala tidak ada lagi hal untuk dibahagiakan. Peperangan, orang mati, suara riuh, bahkan untuk tidur pun sulit. Namun sekarang, ia punya sesuatu yang bermakna untuk tetap terjaga sepanjang malam. Ia tidak akan menyesal. Kebahagiaan ini nyata dan Hiina memberinya dengan tulus tanpa memikirkan resiko jika nyawanya juga akan menjadi bayaran apabila hubungan mereka diketahui oleh Nippon.

Mereka bilang cinta itu buta, tapi bagi Kai, cinta adalah sumber kekuatan. Kau tidak perlu sebuah alasan untuk mengatakan cinta karena ketika seseorang memang diciptakan untuk jiwamu, kau akan dapat merasakannya sendiri. Ia mencintai Hiina bukan karena gadis itu mempertaruhkan nyawanya seperti yang dirinya lakukan. Ia mencintai gadis itu karena Hiina, bersama dengan takdirnya, mencintainya seperti yang Kai rasakan. Jiwanya yang tulus, rasa cintanya terhadap kemanusiaan, Kai mampu melihat itu semua dari kilau mata gadis berdarah Nippon itu.

Ia satu-satunya putri jenderal yang berkelana di malam hari, memperhatikan apa yang telah mereka lakukan kepada pribumi dan memberikan apa yang bisa ia berikan. Jika pribumi harus melakukan penyerangan terhadap Nippon, maka Hiina adalah satu-satunya yang akan dilindungi.

"Kinan."

"Bisakah kita bertemu lagi? Setelah ini?"

Pemuda di sampingnya memberikan sebuah anggukan pasti, namun manik Hiina tersirat ketakutan yang tidak pernah muncul dari dalam dirinya. Tapi malam itu mereka semua berada di sana, ketakutan, kegelisahan, gundah. Hiina telah mengetahuinya jika ia akan berakhir bersama Akio, namun menatap Kai di sana, ia hanya bisa menggenggam telapak tangannya sangat erat hingga pria itu menatapnya.

"Kau tidak pernah takut sebelumnya. Kau selalu menjadi yang pemberani dan aku yang akan melindungimu."

Kai pikir Hiina takut akan hubungan mereka yang dilarang oleh langit dan seluruh dunia, tapi bukan itu. Hiina takut untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama seseorang yang tidak pernah ia cintai seperti yang ia lakukan pada seorang pemuda pribumi yang hidup sebatang kara, yang memberikannya cinta dari hati yang paling besar.

"Jangan menangis."

Karena ia tahu satu-satunya hal yang mampu membuat gadis itu meneteskan air mata adalah ketika dirinya terluka.

"Aku baik-baik saja jadi jangan menangis." ulangnya.

Hiina berdiri disusul oleh Kai, kemudian membenamkan wajahnya ke dada pemuda di hadapannya yang berdiri kokoh seakan ia adalah seluruh sumber kekuatannya.

"Hiina." Suara Kai seketika menjadi serak. Ia berdeham dan menarik napas panjang untuk menjadi kekuatan Hiina sekali lagi.

Yang dipanggil hanya bergumam, melingkarkan kedua tangannya di sekitar pinggang Kai sementara pria itu mengusap surainya dengan lembut, memberikan sebuah kecupan singkat pada puncak kepala.

"Hiina, aku berjanji akan melindungimu."

Gadis itu menggeleng, terbata, menahan isakkan, "Aku dilindungi oleh banyak orang," Ia menjeda, "kau tidak perlu melakukannya."

Kai bergeming, menunggu kalimat selanjutnya yang terdengar sangat halus dan menyakitkan.

"Aku ingin melihatmu lagi, di waktu yang lain, di tempat yang lebih baik. Tanpa peperangan. Tanpa perbedaan."

"Aku ingin menemuimu lagi sebagai siapa pun dirimu."

"Jika kita tidak bisa bersama-sama, maka aku hanya ingin mengetahui bahwa kau telah menjalankan kehidupan yang lebih baik dari ini. Orang tua yang baik, pekerjaan yang tidak mempertaruhkan nyawamu."

Isakan lolos dari celah bibirnya dan itu sungguh menyakitkan bagi Kai. Hatinya dihujam oleh ribuan beban dan ia terus berdarah bahkan ketika ia tidak berperang. Hiina terus menyelamatkannya tapi Kai tidak mampu berbuat apa pun ketika seluruh dunia menentang sebuah cinta sederhana milik mereka.

Terang bulan yang berpendar menyinari langit kala itu membuat wajah Hiina semakin tampak indah. Sepasang manik agak bulatnya, hidung menggemaskannya, dan bibir berisi yang sudah berwarna merah muda bahkan tanpa diberi pewarna bibir. Kai tersenyum sedih, lalu menelan semua jarak yang ada di antara wajah mereka berdua dengan sebuah ciuman hangat pada bibir Hiina.

Tidak ada keburu-buruan di sana, hanya ada kesadaran bahwa keduanya ada dan berpijak di dunia, berdampingan dan bersatu atas nama cinta. Kemudian berterima kasih bahwa ia telah menemukan cinta yang membuatnya lebih berani bahagia ketika dirinya merasa bahwa hal itu hanya diraih pada saat di mana kemenangan dalam peperangan berada dalam genggaman tangan. Kai telah bahagia karena ia memiliki Hiina karena dirinya adalah sepenuhnya gadis itu.

Akan tetapi mereka tidak sadar, sepasang mata memantau sejak setengah jam yang lalu, dengan kilatan amarah yang membakar jiwa dan senyuman licik penuh kebencian.

.


.

Tawa menggelegar mengisi ruangan besar ber-interior tradisional Jepang itu. Pria berambut putih itu tertawa kencang sembari memperhatikan sosok pria yang duduk di seberang meja. Keduanya meneguksake yang telah dipersiapkan oleh pelayan, saling bertukar cerita.

"Akio, mau bagaimana pun juga, Nippon pasti bisa merebut tempat ini sepenuhnya. Berdasarkan yang tadi kau ceritakan, prospek dan peluang kita di sini akan semakin besar." Jenderal Oshiro tersenyum licik sembari menghela napas panjang.

Akio membenarkan posisi duduknya, "Tapi Jenderal Oshiro, sebetulnya ada juga cara lain yang bisa kita gunakan untuk memperluas daerah kekuasaan kita. Bahkan tidak perlu mengeluarkan emas untuk senjata dan peluru." Ia menatap pria yang jauh lebih tua dan terhormat tersebut dalam-dalam. "Dengan cara menikahi putrimu."

Hening sesaat sebelum sang Jenderal kembali tertawa, ia menuangkan sake pada gelas kecil yang berada di hadapan Akio. "Sake ini berpuluh tahun kusimpan demi momen berharga seperti ini. Akio, putera dari Jenderal Yamada yang sangat cerdas dan berjaya, aku amat yakin putriku akan berbahagia hidup dengan orang yang memiliki segalanya sepertimu." Mereka berdua mengangkat gelas tersebut sebelum bersulang.

"Demi Nippon."

"Demi Nippon."

.


.

Yamada Akio hanyalah seorang putra semata wayang dari Jenderal Yamada yang menguasai dan memegang kendali kota Semarang. Kepemimpinan Jenderal Yamada yang kejam dan tak kenal ampun membuat kota itu tunduk dengan begitu mudahnya. Yamada juga memiliki segunung harta di Nippon, sehingga bukan perkara besar bagi mereka untuk memiliki senjata terbaru yang mampu menghabiskan massa hanya dalam sekali tembak.

Akan tetapi Akio benci disangkut pautkan dengan sang ayah. Ia benci ketika dirinya lebih dikenal sebagai 'putra Jenderal Yamada' bukan sebagai Yamada Akio. Ia benci ketika orang-orang menyukai dirinya hanya karena dirinya adalah anak dari ayahnya. Ia benci ketika orang-orang tunduk pada dirinya hanya karena takut kepada ayahnya.

Seorang gadis dari kerabat sang ayah kemudian mengobrak-abrik semua pola pikirannya. Gadis itu datang dengan senyuman, menawarkan Akio yang kala itu masih berusia 5 tahun sebuah biskuit karena dorongan hatinya sendiri. Gadis itu mengobati luka yang ia peroleh dari berkelahi dan mengomelinya. Gadis itu Hiina, putri dari Jendral Oshiro.

Akio dan Hiina tumbuh besar bersama-sama, bahkan disekolahkan di sekolah khusus bangsawan hingga saat sekolah menengah atas, Akio harus dibawa oleh sang ayah ke negara yang katanya nomor satu dalam perencanaan dan teknik strategi perang. Mereka harus berpisah, Akio tak rela berpisah dengan sosok gadis yang amat ia cintai itu. Namun saat itu ia berjanji akan mendapatkan kembali Hiina dan hidup bahagia bersama.

Nippon mendaratkan sasaran untuk memperluas kekuasaannya ke tempat yang baru saja ditinggalkan oleh Belanda. Tempat yang bergelimangan sumber daya alam dan manusia, tempat yang sangat cocok untuk dikembangkan menjadi daerah kekuasaan Nippon. Jenderal Yamada menguasai Semarang saat Akio masih belajar di luar negeri, hingga akhirnya Akio berhasil menyusul sang ayah ke tempat di mana sang gadis pujaan hati juga berada. Saat itulah ketika seluruh impian yang selalu ia simpan di dalam benaknya perlahan mulai tercapai. Mulai dari pernikahan yang hendak diselenggarakan dalam waktu dekat, kepercayaan baru yang akan diberikan kepadanya untuk mengurus kota Semarang sekaligus Batavia meskipun masih dalam pengawasan para Jenderal yang menginginkan kemakmuran lebih dari ini. Tanpa pemberontakan, tanpa peperangan yang kurang berarti jika itu melawan pribumi yang menginginkan seperempat kedudukan sebagai tanda kepemilikan atas tanah leluhur.

Jenderal Oshiro malam itu memberikan sebuah penjelasan kepada putri semata wayangnya bukan untuk dibantah ataupun ditentang. Ia menginginkan kehidupan sejahtera untuk putrinya sementara Hiina menginginkan keadilan sama rata pada kehidupan manusia yang tidak memiliki kekuatan sehebat bangsanya sekali pun. Namun ia tidak pernah diizinkan untuk menolak. Ia tidak pernah meminta dan memiliki hak untuk berkata-kata. Jika pun ia berhak, tidak mungkin ada yang mampu terpenuhi.

"Akio akan memberikanmu kehidupan yang lebih baik dari ini. Ayah janji."

Hiina hanya bergeming di sana menatap ke arah luar jendela berharap bahwa ia tidak perlu lagi memandangi tumpukan lempeng besi yang dipuja karena kekuatannya padahal digunakan untuk menghancurkan rasa iba terhadap sesama. Tidak perlu lagi memandangi daratan sepi penuh pilu akibat tangis dan penderitaan orang-orang di luar sana.

Ia tidak mengerti apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia merasa sungguh terluka namun tidak berdarah. Hatinya berkecamuk begitu hebat namun tidak ada yang mampu ia lakukan. Ia menatap ke arah pendar rembulan di tengah gelapnya malam menitipkan pesan rindu agar mampu disampaikan tanpa dibutuhkannya kata-kata. Walaupun tidak ada rindu yang melegakan tanpa sebuah pertemuan, Hiina hanya ingin pria di seberang sana mengingat bahwa cinta mereka adalah kasih yang menjelma petaka.

"Aku yakin Akio bisa mengurus semuanya."

Selama berbulan-bulan diliputi oleh kebahagiaan belaka yang berlangsung di atas penderitaan orang lain, para Jenderal mulai membagi setengah dari fokusnya kepada rencana pernikahan Akio dan Hiina. Antusiasme para kerabat dari kedua belah pihak juga terlihat begitu meluap-luap karena akan ada satu lagi pesta di mana pernikahan dianggap pembawa jalan menuju kejayaan. Filosofinya, ada satu lagi pesta yang mampu dirayakan, maka mereka telah dianggap makmur. Dan ada satu lagi keluarga baru yang terbentuk, maka kejayaan akan segera diraih.

Nippon memperketat pengawasannya terhadap serangan sekutu dan pemberontakan lokal ketika kabar sukacita itu menyebar luas ke seluruh penjuru kota. Para bangsawan merasa senang tidak sabar menikmati minuman gratis bersama beberapa cerutu nikotin yang dibakar. Namun jauh di dalam hati pribumi, mereka merasa iba. Keterikatan Hiina dalam sebuah pernikahan akan membatasi jangkauan geraknya. Lagipula, seorang wanita yang berumur setengah abad telah menyaksikan ke mana cinta Hiina berlabuh.

Namun begitulah takdir, yang tidak pernah diminta, lahir dalam keadaan yang telah ditentukan.

Gadis itu ingin menyampaikan sesuatu sebelum tidak ada lagi pertemuan yang selalu dinantikannya sebagai sumber kekuatan. Malam itu, minggu kedua pada setiap bulan di penanggalan masehi, seorang pemuda berada di sebuah lapangan terbuka untuk menunggu atau ditunggu. Dadanya bergemuruh seolah tidak sabar untuk menemui pertemuan yang singkat setelah penantian yang sungguh panjang dan melelahkan.

Suara rumput teki yang beradu dengan alas kaki pada tanah lembab menyambut gendang telinga Kai membuat perasaannya seperti diaduk-aduk. Di bawah terang langit yang memberikan cahaya samar, Kai terbangun dan menemukan sunyi berdengung di dalam dirinya. Bunyi tapak kaki telah berhenti, digantikan dengan malam yang menyungkup kekosongan pada setiap sel hidup yang tinggal di dalam tubuhnya.

Tidak ada sayup-sayup kepakan kupu-kupu, yang ada hanyalah ketakutan yang merayap dari ujung kaki kemudian mengikis jaringan kulit. Hari itu terasa dingin dan Kai tidak tahu apa yang terjadi.

"Tidak ada satu pun hal yang lebih mengerikan daripada akibat dari melawan takdir."

Suara itu, aksen itu, Kai tidak mengenalinya. Di mana Hiina?

"Kau tahu apa arti kata cinta? Cinta berarti tidak bodoh. Tidak mengorbankan banyak nyawa hanya karena kecerobohan dari salah satu di antaranya karena jatuh cinta."

Bias cahaya yang memantul hanya menampakkan setengah dari wajahnya sebelum pria dengan suara penuh kepicikkan itu bergeser untuk memperlihatkan dirinya.

Selama berbulan-bulan, dengan susah payah, Kai menelan semua informasi itu bulat-bulat dan menyimpan perasaannya yang hancur untuk diri sendiri, membersihkan kepingan yang berserakan lalu menguburnya dalam-dalam. Beberapa kali ia mencoba untuk menyambung dan menyusun kembali setiap potongan yang kian menghilang di setiap harinya, hingga pada suatu waktu ia menyadari bahwa ia tidak akan mendapatkan hatinya kembali dalam bentuk yang utuh. Maka yang ia lakukan adalah kembali merapikan serpihan itu dan berharap tidak ada yang terselip.

"Kau tahu betul akibat yang akan didapat dari seorang pemberontak, kan? Dan juga akibat dari cinta itu, cinta yang dipaksakan ketika kekasihmu telah lama menjadi milik orang lain."

"Pribumi bodoh."

Kata-kata terus menohoknya hingga ke ulu hati membuat rasa takut tidak lagi segan-segan untuk menghantam dirinya tanpa ampun. Api amarah membakar dirinya hingga ke puncak kepala namun yang ia lakukan adalah membeku di tempat ia selalu berdiri. Napasnya kian memberat, seperti setiap tarikan dan helaannya harus melalui paru-paru yang terus menyempit. Pandangannya kabur, tidak jelas, menatap figur itu menjauh namun suara-suara masih menghampiri daun telinga menerobos masuk untuk menembaknya secara bertubi-tubi.

"Ingat aku. Yamada Akio. Datanglah besok di alun-alun kota. Kehadiranmu akan sangat berarti bagi sekelompok orang yang bermukim di Keputran. Dan juga sekelompok pemberontak kecil yang berharap mampu menyelamatkan negeri."

Hening digantikan oleh tawa akan penghinaan menggelegar di sekitar atmosfer sekali lagi menusuk jantungnya yang telah lama berhenti berdenyut. Dunia seakan berhenti bergerak, semua menjeda di waktu yang bersamaan dan Kai terjatuh bertumpu lutut di atas tanah basah di mana kekuatannya terhempas berhamburan. Keberaniannya terpecah belah tidak ada satu pun yang tersisa. Ia seolah tidak berdaya bahkan sebagai pijakan pada dirinya sendiri. Jangankan untuk berdiri, bernapas saja sulit ketika ia memikirkan berapa banyak orang yang akan terkena imbasnya setelah ini.

Seharusnya ia tahu dari awal. Seharusnya ia mengerti bahwa ini tidak pantas. Namun apa yang harus dilakukan jika cinta tidak pernah salah? Yang salah adalah menyalahkan diri sendiri ketika tidak menemui jalan keluar dan itu adalah hal paling menyakitkan. Seharusnya ia cukup tahu diri bahwa dunia tidak pernah berpihak pada yang lemah. Sebuah bulir airmata menetes dari pelupuknya.

"Harusnya tidak seperti ini." Serak, tidak jelas, suaranya tertahan di pangkal tenggorokan, ingin berteriak namun tidak tahu apa yang harus dimintai tolong.

Kesedihan semakin menerobos ke dalam dirinya bagai sirene yang bersahutan di jalanan menyulut kegentaran pada hidup. Malam tidak lagi kudus sebab mimpi buruk telah datang menyambut, menggaduhkan seluruh sisa harapan yang tidak pernah terpenuhi.

Pagi itu ia ingin mati di atas lapangan yang lengang, doa telah lenyap namun mungkin akan tersiar di atas kertas koran edaran Nippon. Menyingkapkan sisa-sisa pikiran yang ada, Kai kembali ke tempat asalnya di mana ia selalu merasa aman walau getir menghantuinya setiap detik.

Saat itu ruangan tampak sepi, ia tidak menghiraukannya selain masuk ke dalam sebuah ruang sempit dan menarik secarik kertas dan pena. Pena kian jatuh ke lantai berulang kali lantaran jemari yang bergetar, bibir pucat pasi, tidak ada tanda-tanda bahwa sebuah jiwa masih hidup di tubuh itu.

Di suatu hari ketika cuaca cerah atau di saat ketika langit mendung dan hujan ingin jatuh membasahi bumi, menyulitkan perjalanan setiap orang di tepi jalan. Aku harap aku dapat memberitahumu bahwa kau adalah cinta pertamaku. Untuk dia yang mengira bahwa selesainya hidup mampu memutuskan rantai takdir. Saat aku mengenal kehidupan dari cinta, aku tahu ini akan berlanjut. Karena itu, di kehidupan ini kita harus berpisah. Kuharap setidaknya kau mendapatkan akhir yang bahagia. Hidup dalam akhir yang bahagia milik masing-masing dan mengabaikan tragedi ini. Aku berdoa agar di kehidupan kita berikutnya, penantian menjadi singkat dan pertemuan lebih panjang. Aku ingin cinta kita mampu menjadi jalan keluar ketika dunia menolak untuk memenuhi harapan yang sederhana.

Ia meninggalkannya di sana kemudian berjalan gontai ke arah luar menuju alun-alun terbuka dekat balai kota. Di bawah terik surya dan pandangan sekeliling orang yang menatapnya iba sekaligus bergidik ngeri, pemuda itu masih membawa langkahnya yang lunglai untuk terus menapak lurus ke arah tujuan tanpa berpaling.

Segelintir pasukan Dai Nippon siap dengan senjatanya ketika melihat sosok pemberontak melewati batas wilayah kantor pemerintahan pusat tanpa persenjataan. Pakaiannya lusuh dan lembab, wajahnya tidak mengungkapkan bahwa ia ingin perang. Sebaliknya, ia datang untuk memohon ampun.

Berlutut di depan alun-alun yang menghadap arah timur, bibir terkatup, menahan rasa perih yang tidak mampu dirasakan oleh inderawinya sama sekali. Seorang pemuda pribumi berlutut di hadapan Nippon sekaligus Dewa Matahari yang mereka sembah. Para tentara menutup jalan masuk menuju kantor pusat, tempat di mana Jenderal Oshiro berada.

"Biarkan dia masuk."

Suara itu tegas di balik barisan prajurit siap perang, lalu membuka jalan untuk membiarkan sang jenderal menghadap langsung seorang pemberontak.

Ia memperhatikannya cukup lama, sebelum menanyakan apa yang ia inginkan atas tujuan kedatangannya.

"K-Kinan?"

Akhirnya setelah beberapa waktu ia tidak mampu merasakan apa pun kecuali rasa ingin menyerahkan hidupnya, ciri khas suara yang tidak asing memberinya sedikit kehangatan di ujung hati. Pandangannya kembali kabur ketika ia pikir ia tidak mampu menangis lagi. Dan setiap kali bibir semerah hati itu tertekuk ke bawah dan matanya yang sipit menjadi sayu, Kai akan terus menyalahkan dirinya sendiri lagi.

Pemuda itu menggeleng, raut wajah memohon agar Hiina tidak menangis di depan banyak orang yang menyaksikan tragedi tersebut. Ia bahkan masih sempat mengulum senyum tipis saat gadis itu mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, kemudian mengangguk mengerti.

"Aku yang melakukan pencurian senjata dan bahan peledak milik Nippon tempo lalu."

"Aku yang selalu melakukannya."

Jenderal Oshiro menghiraukan kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Kai, namun bertanya kepada putrinya, "Kau mengenalnya?"

Hiina sontak kaget, buru-buru menggeleng.

"JANGAN BERBOHONG!"

Kali ini suaranya lebih keras dan mengejutkan, Hiina memejamkan matanya menahan rasa dipermalukan di muka umum, di depan setiap prajurit setia yang telah mendampinginya.

"Pribumi itu menyukai Hiina dan mencoba untuk berhubungan dengan putrimu, Jenderal."

Seorang pria berperawakan rapi dengan seragam komandan prajurit angkat bicara. Tidak ada keragu-raguan di sana yang di mana membuat Jenderal Oshiro semakin berada pada puncak amarahnya.

Hiina terkejut bukan main ketika fitnah itu diluncurkan tanpa aba-aba.

"Yang dikatakan Jenderal Yamada Akio benar. Aku melakukan itu."

Hiina ingin berteriak untuk menghentikan segalanya. Kai masih menatapnya tepat di kedua manik berkilau milik gadis itu, masih menjadi kekuatannya untuk tetap diam dan biarkan dirinya yang menanggung semua hukuman demi melindungi kerabat sekaligus seluruh masyarakat pribumi.

Gadis itu ingin mengatakan bahwa ini tidak akan menghentikan ayahnya untuk bertindak semena-mena, bahwa ini hanya akan mengorbankan lebih banyak nyawa.Pasti ada cara lain, Kinan.

Tapi Kinan adalah pria paling keras kepala yang pernah ditemuinya. Ia juga pria pemilik hati paling besar yang ada di dunia. Ketakutan memang pernah hampir membunuhnya, namun sekarang tidak lagi. Ia tidak akan memberikan apa pun kepada mereka, termasuk rasa takutnya. Karena ia kini telah menemukan seseorang yang membuatnya tidak lagi takut untuk merasa takut. Karena gadis itu pun selalu berani untuk menjadi dirinya sendiri. Ia tahu Hiina akan bersedia memaafkannya atas kesalahan ini. Karena kesalahan adalah bagian dari upaya untuk bertahan hidup. Bahwa hidup tak selamanya berjalan sesuai dengan ke mana langkah kaki pergi, ada jalan yang berbelok atau bahkan berputar arah. Dan untuk melakukan itu semua, dibutuhkan ketabahan untuk mencapai tujuan awal.

"Memalukan! Tidak pernah kusangka seorang pribumi mampu berlaku sejauh itu. Kau pikir siapa dirimu?"

"Dan kau, Hiina. Kau menghancurkan kepercayaan leluhur kita. Ayah tidak pernah mengajarimu untuk menjadi pemberontak seperti mereka. Kau pikir kau punya kekuasaan?"

"Sampah yang tidak tahu diri."

Yamada Akio datang dengan sebuah jenawi dalam genggamannya dalam balutan kain sutra berwarna kuning, "Lebih baik dijadikan pelajaran untuk saudara tua, Jenderal."

Tatapan matanya tajam, geraham saling gemeretak, emosi dan geram saling menyulut di kedua bola mata gelap sang Jenderal, "Saudara tua? Setelah pengkhianatan ini? Mereka pikir aku sudi!"

Sebagai sebuah simbolik bahwa pemimpin tertinggi telah memutuskan untuk memberikan hukuman yang setimpal bagi para pemberontak, Jenderal Oshiro tidak lagi mempertimbangkan janjinya yang diberikan kepada bangsawan pribumi yang menuntut akan kemerdekaan untuk nusantara. Kalau pun mereka akan memberontak, biarlah nyawa yang tidak sejalan dengan ajarannya dikorbankan demi pesan suci leluhur milik Nippon.

"Berhentilah mencintai putriku. Mungkin kau akan diampuni nanti."

Kai menatap Hiina yang berdiri jauh di seberangnya dengan mata sayu yang masih berkilau seperti mereka pertama kali memperhatikan satu sama lain. Ia menyimpan bayangan wajah gadis itu ke dalam rak memori yang tersusun rapi di bawah alam sadar, berharap ia akan terus membawanya hingga pada kehidupan berikutnya untuk mencari sosok yang sama dan memberitahunya bahwa gadis itu adalah cinta yang pertama dan terakhir. Ia ingin Hiina tahu bahwa dirinya adalah ketakutan yang membuat Kai mengenal keberanian.

Keberanian untuk menghadapi kesedihan yang tidak sengaja datang.

Keberanian untuk melihat segala sesuatu lebih teliti bahwa kematian adalah hal yang pasti terjadi. Dan untuk menjadikan kebahagiaan Hiina sebagai alasan, Kai rela melakukannya.

Seharusnya kau tetap hidup agar bisa memastikan kalau aku bahagia.

Kinan menarik napas untuk mengatakan hal terakhir yang terselip di antara celah bibir ketika seseorang dari sudut gedung di balik tirai sedang membidiknya tepat di jantung.

"Hiina," Pemuda itu menjeda, senyum ketulusan yang menyimpan seluruh jiwa raga terukir di wajahnya yang sekarat, "kau pernah bilang bahwa orang hanya ingin memiliki sesuatu yang cukup berharga untuk rela mati. Aku tidak pernah mengerti hal itu. Namun kurasa sekarang aku tahu kalau kau pantas mendapatkan satu kehidupan lagi atau lebih, yang lebih baik dari ini. Dan jika aku harus menukarkannya dengan milikku, aku bersedia melakukannya. Karena satu-satunya hal yang berharga bagiku adalah, untuk mencintaimu, Hiina, dengan sepenuh hatiㅡ"

Dengung tembakan memenuhi seluruh pelosok alun alun bercampur dengan teriakan paling kuat milik Hiina yang terus ditarik masuk ke dalam ruangan. Berulang kali ia memanggil nama yang sama bahkan hingga saat Kinan tidak mampu menyelesaikan kata-kata terakhirnya. Pemuda itu berdarah tepat di jantungnya hingga peluru melesat keluar dan terhempas ke lantai mengeluarkan bunyi besi yang beradu aspal.

"S-Sekarang danㅡ"

Sekarang dan kehidupan berikutnya.

Tirai jendela telah disingkap menutup kisah dan perjalanan yang berakhir tragis. Perkara-perkara yang tumpang tindih, saling menimpali dalam cinta menyisakan tanpa ruang untuk berkata-kata. Orang-orang berjalan hampa memandang petaka mengharapkan musim hujan lebih panjang agar bisa membasuh kepedihan. Setelahnya, waktu berhenti menyerbu dan air mata menggenang di atas tanah lapang yang menangis dalam bisu, ikut mengucap doa di pagi petang sebelum negeri ini kembali mencekam bagai neraka.

Ia tidak perlu lagi gusar, pada usia, surga maupun neraka. Karena semua telah usai. Kisahnya telah berakhir. Yang tertinggal hanyalah ucapan selamat malam yang hambar ataupun denyut nadi yang mengucilkan rasa rindu. Sebab kenangan masih berkilau di kisi-kisi jendela, Hiina belajar untuk memeluk nestapa yang mengajarkan ketidakpastian perihal yang akan datang dan kelak pergi. Seperti cinta yang tidak luput dipahami, yang menguras setiap tetes dari jiwa yang meronta untuk diselamatkan.

Tanpa deru air mata, tanpa isakan, hatinya dilucuti kepedihan yang tidak pernah sebanding dengan satu dunia penuh kekuasaan yang ditawarkan untuknya. Pikiran-pikiran terus meradang hingga perlahan membunuh dirinya sendiri. Hatinya semakin terenyuh, lebih buruk dari itu. Ia seperti kembali belajar bagaimana caranya bernapas dan membuka kelopak mata, sebelum akhirnya memutuskan bahwa kematian tidak akan pernah lagi menjadi kekhawatiran.

Hiina telah belajar agar seluruh rasa sakit di sela-sela ruas kulit bisa meninggalkan dirinya sendiri, untuk sementara waktu atau selamanya. Maka pada hari yang sama, dalam senyap ruang tidur, ia merapikan serpihan pilu di atas ranjang, berpamitan, sebelum pergi meninggalkan dirinya sendiri dan mencari Kinan.

Dengan demikian, biarlah kematian menjadi satu-satunya jalan keluar yang menjawab takdir. Siapa tahu, dengan akhir yang menyedihkan, manusia bisa lebih pantas untuk mengharapkan awal yang lebih baik.

Tidak ada lagi Oshiro Hiina.

Tidak ada lagi Kinan Arya Imas.

Yang tertinggal hanyalah bisik harapan di tengah tanah lapang Batavia.

12 Januari 1944.