CHAPTER 1

(13.186 words)


Kim Jongin. Pemuda berambut hitam kecoklatan itu tidak dapat mengingat alasan mengapa ia bisa berkawan karib dengan Byun Baekhyun dan Park Chanyeol—dua sosok yang saat ini sedang makan sambil mengoceh berisik di depannya.

Jelas sekali kepribadian dua makhluk itu sangat berbeda dengan Jongin. Jongin itu pendiam, pemalu, dan sedikit kikuk—atau mungkin justru sangat kikuk. Sangat berbeda dengan Baekhyun dan Chanyeol yang tidak bisa diam, tidak tahu malu—kadang memalukan, dan yang pasti tidak kikuk.

Tapi Jongin ingat kapan pertama kali ia berteman dengan dua monster rusuh itu. Ia mulai berteman dengan mereka dua tahun lalu, tepatnya di tahun pertamanya bekerja di perusahaan asuransi yang hingga saat ini masih jadi tempatnya mengais nafkah. Jongin diterima bekerja sebagai asisten pribadi CEO perusahaan itu. Ia harus berhadapan langsung dengan sang CEO saat menjalani tes wawancara. Saat itu ia gugup bukan main. Ia pikir, ia hanya harus berhadapan dengan orang HRD saat itu. Tapi nyatanya, sang CEO sendiri yang memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. Jongin tentu saja menjawab dengan terbata, terputus-putus, dan tidak percaya diri. Tapi akhirnya justru ia yang terpilih sebagai asisten pribadi. Kenapa? Hanya sang CEO yang tahu alasannya.

Di hari pertamanya bekerja dua tahun lalu, ia diperkenalkan dengan Baekhyun yang menjabat sebagai sekretaris. Baekhyun yang pada dasarnya memang sosok yang supel dan mudah akrab dengan orang lain, rupanya mampu membuat Jongin si kikuk merasa nyaman dan tanpa sadar mereka berdua menjadi dekat. Mereka tidak hanya berdua, tapi bertiga dengan Chanyeol yang ternyata menyandang status sebagai kekasih Baekhyun. Chanyeol juga bekerja di perusahaan itu. Walaupun bertampang bodoh dan selalu memamerkan cengiran lebar yang terkesan konyol, Chanyeol adalah seorang ahli IT. Saat ini ia menjadi salah satu staf di divisi IT perusahaan itu. Tak mengherankan lantaran pria jangkung tersebut memang lulusan jurusan Teknik Informatika.

Trio Jongin, Baekhyun, dan Chanyeol menjadi trio tak terpisahkan. Mereka bertiga seumuran—sama-sama 26 tahun—sehingga mereka bisa berteman dekat dengan cepat. Jongin merasa nyaman-nyaman saja hangout dengan sepasang kekasih itu. Mereka memang sering mengumbar kemesraan di depannya, tapi ia selalu berpura-pura buta, bisu, dan tuli setiap kali mereka melakukannya. Alhasil, ia tidak pernah merasa jadi obat nyamuk di tengah-tengah love birds tersebut.

Ngomong-ngomong tentang hubungan Baekhyun dan Chanyeol, sepertinya hubungan mereka sudah berumur tiga tahun. Jongin ingat beberapa minggu lalu sepasang insan yang saling mencinta itu merayakan anniversary mereka yang ke-3. Jongin rasanya ingin tertawa mengingat perayaan pasangan kekasih itu beberapa minggu lalu. Chanyeol saat itu membawa Baekhyun ke sebuah restoran mewah untuk merayakan hari jadi mereka. Baekhyun tentu senang. Suasana romantis, makanan mahal, musik indah yang mengalun, dan berbagai nilai positif yang tersaji saat acara makan malam itu. Tapi seluruh nilai plus tersebut tak lagi berarti saat seorang pelayan menyodorkan bill pada Chanyeol. Chanyeol saat itu tersenyum lebar dan mulai melarikan tangannya ke saku celana, mencari dompet kulit yang seharusnya ada di sana. Tapi nyatanya, dompet itu tidak ada. Boom! Baekhyun akhirnya meledak setelah mengetahui kenyataan bahwa kekasihnya lupa tidak membawa dompet. Sambil terus melontarkan kalimat sumpah serapah, Baekhyun akhirnya membayar tagihan mereka. Chanyeol beruntung karena Baekhyun tidak memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka saat itu.

"...Jongin... Ya! Kim Jongin!"

Si pemilik nama mengerjapkan mata setelah ia tersadar dari lamunannya. Ia menatap Baekhyun dengan polos, tidak sadar bahwa yang ditatap kini sedang berusaha menahan emosi agar tak menguliti Jongin detik itu juga.

"Tidak perlu berteriak, Nona Byun. Telingaku masih waras. Ada apa, huh?" Jongin bertanya dengan santai sambil melipat tangan di atas meja. Oh, mangkuk makanannya sudah kosong rupanya. Pantas saja ia punya waktu untuk melamun.

"Kau tidak mendengarkan saat kami mengajakmu bicara," balas Baekhyun, yang diikuti dengan kegiatan menyeruput es jeruk nipis tanpa gula yang sengaja ia pesan untuk mendukung program dietnya.

Mendengar balasan Baekhyun, Jongin mengangkat sebelah alisnya, lalu menimpali dengan nada tak terima, "Aku mendengar kalian bicara. Kalian membicarakan keponakan Chanyeol yang selalu saja mengompol setiap kali kau gendong, 'kan?"

Dan setelahnya suara helaan nafas Baekhyun terdengar. "Itu pembicaraan kami lima menit yang lalu, Kim," tukasnya. "Sekarang kami sudah berganti topik," ia menambahkan.

"Oh, ya?" Jongin kembali bertanya, pura-pura memasang ekspresi antusias, padahal ia sama sekali tak tertarik. "Jadi, Nona Byun dan Tuan Park, apa yang sedang kalian bicarakan?"

Tampaknya Baekhyun sudah tidak mood untuk mengulang ceritanya. Dengan gerakan kecil di kepalanya, ia mengirim isyarat pada Chanyeol untuk mengambil alih tugasnya.

Chanyeol, sebagai kekasih yang pengertian, mulai melaksanakan tugasnya, "Kami tadi membicarakan tentang CEO baru yang akan datang ke kantor nanti sore."

Jongin kali ini tampak sedikit antusias. Benar, perusahaan mereka menunjuk CEO baru sebagai ganti CEO lama mereka yang sudah mulai menginjak usia senja. Jongin sebenarnya tidak terlalu paham pada mekanisme penggantian CEO di sebuah perusahaan. Setahunya, orang yang menduduki posisi eksekutif nomor satu di perusahaan itu dipilih oleh Dewan Direksi dan merupakan salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut. Ia sendiri tidak tahu banyak mengenai sang CEO baru yang telah ditunjuk itu. Informasi yang ia ketahui hanyalah sebatas nama, umur, dan latar belakang pendidikan. Selain itu, informasi yang ia tahu sangatlah minimalis.

"Kau harus berhati-hati mulai sekarang, Jongin," Baekhyun mengambil alih cerita Chanyeol, merasa bahwa dirinya lebih berkewajiban untuk menyampaikan hal ini. "Berhenti bersikap bodoh dan ceroboh, karena CEO baru kita ini jauh lebih kejam daripada CEO lama kita. Ia bisa saja memecat kita walaupun kita hanya melakukan kesalahan kecil."

Jongin mulai bergidik ngeri. CEO-nya yang lama saja sudah galak dan tegas, dan baru saja Baekhyun mengatakan bahwa CEO baru mereka lebih parah dari itu? Oh, Jongin memang harus bersiap sepertinya.

"Kalau begitu ceritanya, aku lebih memilih CEO Do untuk menjadi atasanku selamanya. Beliau memang galak, tapi beliau masih terbilang manusiawi," ucap Jongin lemas, tangannya yang semula berada di atas meja, kini terkulai lemas di samping tubuhnya.

"CEO baru kita juga bermarga Do. Jelas-jelas ia adalah putri tunggal dari CEO lama kita," Baekhyun kembali menanggapi, dan Chanyeol di sampingnya mengangguk membenarkan.

Baekhyun benar, CEO baru di perusahaan mereka adalah putri tunggal CEO Do—CEO lama mereka. Perusahaan mereka sebenarnya tidak menggunakan sistem single-stakeholder, melainkan memakai sistem multi-stakeholders. Meskipun demikian, sang mantan CEO merupakan poros utama perusahaan. Sang mantan CEO adalah founder perusahaan asuransi mereka 15 tahun silam. Selama 15 tahun, beberapa kali terjadi perubahan struktur perusahaan, termasuk perubahan dari sistem single-stakeholder menjadi multi-stakeholders. Meskipun demikian, mantan CEO Do tetap menjadi pemegang saham terbesar di perusahaan. Maka tak heran jika kerap kali keputusan CEO Do menjadi keputusan mutlak yang tidak dapat dibantah—meskipun sebenarnya masih dibuka peluang bagi stakeholder lain untuk mengajukan keberatan.

Tapi selama 15 tahun, perusahaan memang sangat bergantung pada sang mantan CEO. Sang mantan CEO merupakan pebisnis ulung sejak 30 tahun silam. Ia menjadi ujung tombak sebuah perusahaan selama 15 tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari perusahaan itu dan mulai membangun perusahaan sendiri dari nol.

Selama 15 tahun umur perusahaan, terjadi pergantian CEO sebanyak empat kali—pergantian yang sekarang adalah yang kelima. CEO pertama perusahaan itu tentunya adalah CEO Do, dan posisi tersebut sempat digantikan oleh dua CEO lain karena CEO Do sudah merasa lelah mengatur perusahaan secara operasional. Namun tiga tahun lalu Dewan Direksi kembali menunjuk CEO Do untuk menjabat karena kondisi perusahaan memburuk dan mereka memerlukan ketangkasan CEO Do sebagai pemimpin. Dan keputusan tersebut tidaklah luput karena kondisi perusahaan berangsur membaik setelah CEO Do kembali menjabat. Namun tahun ini CEO Do sudah membulatkan tekad untuk kembali mengundurkan diri dari jabatan prestisius itu. Sebagai gantinya, ia menunjuk putri tunggalnya untuk menempati kursi yang ia tinggalkan. Ia memberi jaminan bahwa putrinya memiliki kemampuan untuk memimpin perusahaan.

Sejak kecil putrinya telah dididik untuk menjadi pebisnis handal sepertinya, sampai-sampai sifat putrinya itu juga 100% menuruninya, bahkan terkesan lebih keras dan tegas dibanding dirinya. Anak emas keluarga Do itu juga memiliki otak cemerlang. Bayangkan saja, di usianya yang masih 26 tahun, ia sudah berhasil menyematkan gelar Ph.D di belakang namanya. Tak tanggung-tanggung, gelar Sarjana, Master, hingga Doktor ia raih di Universitas Stanford. Wanita muda itu memang sudah menetap di California sejak SMA. Baru tahun ini ia kembali dipanggil untuk pulang setelah berhasil mengantongi gelar Doktor. Lagipula, putrinya itu juga merupakan salah satu pemegang saham di perusahaan. Alhasil, Dewan Direksi tak menolak penunjukkan tersebut.

"Sebaiknya kita kembali ke kantor, lima menit lagi jam makan siang kita berakhir," Chanyeol akhirnya membuka suara setelah beberapa menit mereka bertiga diliputi keheningan. Pemuda itu benar, mereka hanya memiliki waktu lima menit untuk berjalan dari kedai sederhana itu ke kantor mereka. Salah mereka juga yang tidak pernah mau makan siang di kafetaria kantor. Alasan klasik, tempat makan itu mematok harga yang lebih mahal dari harga wajar.

Penuturan Chanyeol itu diangguki oleh Baekhyun dan Jongin. Mereka harus segera kembali ke kantor dan mempersiapkan diri untuk menyambut CEO baru mereka.


Seoul Insurance Corporation adalah nama perusahaan itu. Nama perusahaan yang didirikan 15 tahun lalu itu memang kalah mentereng jika dibandingkan dengan Korea National Insurance Corporation ataupun Seoul Guarantee Insurance. Level perusahaan itu hanya sebatas di Seoul dan belum memiliki kantor cabang di daerah lain. Meskipun demikian, perusahaan tersebut secara perlahan mulai merayap naik menuju posisi papan atas di Seoul. Tangan dingin Do Kyungjin—founder sekaligus mantan CEO perusahaan itu—rupanya berhasil mengangkat derajat perusahaan itu ke level yang lebih tinggi.

Hari ini kembali terjadi pergantian CEO perusahaan. Sebagai perusahaan yang masih mencoba mengembangkan diri, berita pergantian CEO di sana tidak menjadi headline news di laman media. Pengangkatan CEO baru itu juga hanya dilakukan dalam rapat formal Dewan Direksi yang dilaksanakan tadi siang di sebuah hotel bintang lima di Seoul.

Sore ini sang CEO baru diagendakan untuk mengunjungi perusahaan untuk pertama kalinya. Dengan didampingi oleh seorang perwakilan dari Dewan Direksi, CEO baru itu berjalan dengan angkuh melintasi lobi perusahaan. Rambut coklat sebahunya diikat rapi di belakang, kemeja putih yang membalut tubuh kurusnya sangat mulus bebas dari kusut, dan celana bahan berwarna hitam yang membungkus kaki jenjangnya juga sangat licin hingga mungkin lalat yang hinggap bisa terpeleset.

Para staf yang berjajar di lobi tersebut seketika membungkukkan badan guna menunjukkan rasa hormat, tapi sang CEO sama sekali tidak melirik mereka. Sang CEO tidak sedikitpun mempedulikan bagaimana bawahannya membungkukkan badan sembilanpuluh derajat. CEO muda itu langsung bergegas menuju elevator dan berdiri tegak di depannya. Perwakilan Dewan Direksi yang berdiri di sampingnya selanjutnya mengambil inisiatif untuk menekan tombol di samping elevator.

Tak lama kemudian, pintu elevator berwarna perak itu terbuka, dan dua sosok beda usia itu segera melangkahkan kaki memasuki benda berbentuk balok tersebut.

Setelah dua sosok tersebut lenyap, barulah para staf yang tadi membungkuk kembali menegakkan badan mereka. Mereka kemudian mulai berbisik-bisik riuh, membicarakan bagaimana angkuhnya CEO baru mereka.


Jongin dan Baekhyun bekerja di sebuah ruangan yang tepat berada di depan ruang kerja CEO. Bisa dibilang, ruang kerja mereka sebenarnya menjadi satu dengan ruang kerja CEO, namun dipisahkan oleh sebuah tembok yang disertai dengan dua daun pintu.

Ruangan mereka berdua dikelilingi oleh dinding kaca sehingga mereka dapat langsung melihat jika ada orang yang berjalan mendekat ke arah mereka. Hal itulah yang menyebabkan Jongin dan Baekhyun terus melihat ke arah luar ruangan, menembus dinding kaca yang gordennya sengaja dibuka. Seluruh area di lantai 35 itu mendadak terasa mencekam, seiring dengan bulir-bulir keringat yang semakin menetes dari dahi Jongin. Pria itu memang selalu berkeringat dalam volume berlebih ketika sedang gugup.

Jongin dan Baekhyun yang tadi berdiri sambil sedikit menyandar pada meja masing-masing tiba-tiba saja berdiri tegak ketika telinga mereka mendengar suara yang dihasilkan oleh benturan hak sepatu dengan lantai. Mereka saling pandang sejenak—karena meja mereka saling berhadapan—seolah berusaha meminta asupan semangat dari satu sama lain.

Tak lama kemudian, pintu kaca di ruangan mereka terbuka, dan dua sosok dengan jenis kelamin berbeda memasuki pintu itu. Jongin menahan nafas ketika suara benturan stiletto dengan lantai marmer itu semakin keras terdengar.

Langkah kaki dua sosok itu terhenti saat keduanya sampai di dekat Jongin dan Baekhyun. Dua nama yang terakhir disebut secara bersamaan membungkukkan badan pada atasan baru mereka.

"Mereka adalah sekretaris dan asisten pribadi Anda, Sajangnim," lelaki paruh baya yang sedari tadi mendampingi sang CEO akhirnya membuka pembicaraan.

Sang CEO mengernyit sekilas sebelum akhirnya memandang Jongin dan Baekhyun bergantian. "Tegakkan tubuh kalian," suara halus yang terdengar sangat tegas itu mengalun dari bibir tebal sang CEO.

Mendengar perintah itu, Jongin dan Baekhyun dengan perlahan menegakkan tubuh mereka. Baekhyun dengan canggung memberanikan diri menatap sang CEO, tak lupa menunjukkan senyum profesional andalannya yang biasa ia gunakan saat berhadapan dengan orang-orang yang tidak penting baginya, tapi penting bagi perusahaan.

Sang CEO balas menatap Baekhyun, tapi sama sekali tidak tersungging senyuman di bibirnya. Bibir tebal yang dipoles lipstick warna merah itu tetap menunjukkan seberkas garis lurus; datar. Mata CEO itu beralih pada name tag yang tertempel di dada kiri Baekhyun.

Baekhyun, Byun

Secretary

Setelah mengetahui identitas Baekhyun, sang CEO mengalihkan tatapannya untuk menginspeksi wanita itu dari bawah ke atas. Mulai dari sepatu hitam dengan hak 7 sentimeter yang dipakai Baekhyun, kemudian naik sampai ke rok abu-abu tua yang panjangnya sampai di bawah lutut, terus naik ke blazer berwarna senada yang membalut kemeja berwarna merah muda, dan naik lagi sampai akhirnya mata itu menatap rambut hitam Baekhyun yang diikat cepol rapi di belakang kepala.

Sang CEO tampaknya puas dengan penampilan Baekhyun, hingga akhirnya ia mengalihkan tatapannya pada Jongin. Tatapan yang semula datar itu berubah malas saat melihat Jongin masih menundukkan kepalanya, tidak berani bersitatap langsung dengannya.

CEO berparas ayu itu lalu berjalan pelan semakin mendekati Jongin, dan berdiri tepat di depan pria berkulit tan itu. Dengan tatapan remeh, ia melirik ke arah name tag Jongin, membaca tulisan yang tertera di name tag itu.

Jongin, Kim

Personal Assistant

"Angkat kepalamu, Asisten Kim," sang CEO kembali bersuara saat kepalanya sudah kembali terangkat, mendongak menatap Jongin yang lebih tinggi darinya.

Ucapan sang CEO adalah perintah, dan Jongin tak mungkin membantah perintah itu. Jadilah pria bertubuh tinggi itu dengan pelan mengangkat kepalanya untuk menatap atasan barunya. Matanya bergerak gelisah, tak berani berlama-lama menatap mata tajam atasannya itu.

Kembali sang CEO menginspeksi bawahannya, sama seperti yang ia lakukan sebelumnya pada Baekhyun. Lain halnya dengan Baekhyun, CEO itu sepertinya tidak puas dengan penampilan Jongin. Setelan jas berwarna hitam itu mungkin bisa ia beri nilai 7, tapi tidak dengan simpul dasi yang melilit leher si pria. Mata CEO itu terus mengawasi simpul dasi Jongin yang menurutnya kurang sempurna—mungkin tak pantas diberi nilai 5.

"Lain kali..." lantunan suara kembali terdengar dari bibir sang CEO seraya tangannya terangkat untuk meraih dasi Jongin. "Ikat dasimu dengan kencang," imbuhnya sambil menarik satu helai dasi Jongin sehingga simpulnya menjadi lebih—sangat—kencang.

Jongin berusaha menahan diri untuk tidak merengek karena lehernya terasa tercekik. Rasanya pemuda tampan itu lupa cara bernafas.

Tapi ternyata hari penghakiman si pria Kim belum berakhir sampai di situ. Mata elang pemuda itu kembali menangkap pergerakan atasan barunya. Ia nyaris memundurkan kakinya ke belakang ketika ia menyadari bahwa atasannya itu kembali melangkah ke depan, semakin mendekatinya. Dan Jongin refleks membulatkan mata ketika melihat tangan kanan atasannya yang lentik terulur ke depan wajahnya. Tangan itu bersih dan halus, tapi di mata Jongin, tangan itu seperti mengandung api yang bisa membakarnya jika bersentuhan dengan kulitnya. Oleh karena itu, mata Jongin refleks terkatup rapat. Tidak berani membayangkan apa yang terjadi jika tangan atasannya menyentuh kulitnya.

Beberapa detik berlalu, tapi Jongin tak merasakan apapun di kulitnya—ia tidak terbakar. Dengan sedikit ragu, pemuda tampan itu membuka sebelah matanya, dan ia mendapati atasannya sedang menatapnya dengan tatapan datar. Sadar akan hal itu, Jongin langsung membuka dua matanya lebar-lebar. Saat itulah ia sadar bahwa atasannya sedang menyeringai tipis padanya.

"Kau pikir aku mau menyentuh keringat kotormu itu?" sang atasan bertanya dengan nada merendahkan.

Jongin tak langsung paham apa maksud ucapan itu, sejenak ia mengambil waktu untuk berpikir, dan kemudian ia menyadari sesuatu. Tangan kanannya refleks terangkat ke atas, menyentuh dahinya. Basah, super basah oleh keringat.

"Ma-maaf, Sajangnim," dengan terbata sang pemuda tan meminta maaf.

Tapi atasannya tampak acuh mendengar permintaan maaf itu. Wanita itu justru membalik badannya, tidak lagi menghadap Jongin. "Keringat itu menjijikkan dan tidak menunjukkan profesionalitas. Enyahkan itu dari hadapanku kalau kau masih ingin bekerja di sini."

Dan dua kalimat itu menjadi kalimat pamungkas sebelum sang CEO kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah pintu, membukanya, kemudian masuk ke ruangannya sendiri. Begitu pintu hitam itu kembali tertutup, Jongin limbung ke lantai. Kakinya terasa seperti jelly, lemas tak bertenaga.

Baekhyun menghela nafas panjang melihat rekan kerjanya itu. "Aku sudah berpesan padamu, Jongin. Seharusnya kau mendengarku."

Jongin semakin lemas mendengar perkataan Baekhyun. Pemuda 26 tahun itu menyandarkan kepalanya pada meja di sampingnya, lalu membalas ucapan Baekhyun, "Simpul dasiku sudah kencang, Byun Baekhyun! Nyonya galak itu saja yang ingin mencekik leherku! Dan satu lagi, aku tidak bisa mengatur laju keringatku. Apa aku juga patut disalahkan untuk hal itu?"

Sosok paruh baya yang tadi mendampingi sang CEO baru tertawa pelan melihat perdebatan dua anak muda di depannya. "Kalian harus bersabar, oke? Setiap hari kalian harus berhadapan dengannya, jadi bersiaplah mulai sekarang."

Mendengar perkataan itu, Baekhyun justru mengerucutkan bibirnya manja. "Kenapa dia bisa sekejam dan sedingin itu, Ayah? Apa karena dia terlalu lama tinggal di luar negeri?"

Oh, sosok pria itu rupanya ayah Baekhyun, tak heran jika Baekhyun bersikap manja padanya.

Ayah Baekhyun memang bekerja di perusahaan yang sama dengan putrinya. Hanya saja, jabatannya lebih tinggi, bahkan termasuk dalam Dewan Direksi.

Baru saja Tuan Byun akan menjawab pertanyaan putrinya, namun ia urungkan karena pintu ruangan CEO itu kembali terbuka, dan sang CEO muncul dari balik pintu. Jongin langsung gelagapan berdiri dari posisi duduknya di atas lantai. Mati kau, Kim Jongin!

Tapi sang CEO sepertinya memilih untuk mengabaikan asistennya itu dan fokus pada ayah Baekhyun. "Tuan Byun, ikut ke ruangan saya. Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda."

Selanjutnya, sang CEO kembali memasuki ruangannya bersama Tuan Byun yang mengekor di belakangnya.

Kembali Baekhyun dan Jongin menghela nafas panjang. Jongin ingin kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai, tapi ia urungkan niatannya itu dan memilih untuk duduk di kursi kerjanya. "Sebentar lagi perusahaan ini akan berganti nama menjadi Seoul Hell Corporation," pria itu bertutur sembari memijat kepalanya yang terasa pening.

Baekhyun terkekeh ringan sebelum akhirnya mendudukkan tubuhnya di kursi kerjanya. "Kau berlebihan. Aku yakin tidak akan seburuk itu, Jongin."

Jongin kembali menghela nafas panjang dan menatap Baekhyun remeh. "Kau bisa bicara seperti itu karena kau adalah Miss Perfect, Byun Baekhyun. Kau selalu bekerja dengan sempurna, kau pegawai teladan. Sedangkan aku?" tanyanya sembari menunjuk dirinya sendiri. "Aku terlalu kikuk dan sering melakukan kesalahan. Lagipula, ayahmu adalah orang penting perusahaan yang juga sahabat dekat mantan CEO kita. Jadi, kau pasti tetap merasa bahwa tempat ini adalah surga."

Baekhyun hanya menggelengkan kepalanya tak peduli. Ia sebenarnya tidak suka ketika orang-orang terlalu mengkaitkannya dengan ayahnya, seolah ia mencapai posisinya sekarang semuanya berkat sang ayah, padahal tidak demikian. Baekhyun meraih semuanya berkat kerja kerasnya. Ia berhasil memperoleh pekerjaan sebagai sekretaris empat tahun lalu juga berkat usahanya sendiri, tanpa campur tangan ayahnya.

Tapi Baekhyun tak mau mendebat tuduhan Jongin tadi. Baekhyun mengerti, Jongin pasti tertekan karena insiden tadi. Jadilah Baekhyun memilih diam dan melanjutkan pekerjaannya. Limabelas menit lagi jam kerja berakhir, dan ia akan langsung meluncur pulang saat itu juga.

Berbeda dengan Baekhyun yang langsung kembali bekerja, Jongin justru terus menatap ke arah pintu ruang kerja sang CEO sembari bertopang dagu dengan malas. Apa ia harus menyerah secepat ini?


Apa yang kau tahu tentang sebuah pekerjaan bernama Personal Assistant atau Asisten Pribadi? Jenis pekerjaan itu sebenarnya sudah umum dan sering disebut-sebut oleh khalayak ramai. Meskipun demikian, mungkin masih ada saja orang yang tidak tahu dengan pasti tugas apa saja yang harus dilakukan oleh seorang asisten pribadi.

Jongin awalnya tidak terlalu paham apa-apa saja yang akan menjadi tugasnya ketika ia memutuskan untuk melamar menjadi seorang Personal Assistant. Ia bukan lulusan jurusan bisnis yang dapat memahami struktur sebuah perusahaan, lengkap dengan macam-macam jabatan yang dimiliki oleh setiap pegawai perusahaan. Ia hanyalah lulusan jurusan Bahasa dan Sastra Korea yang sama sekali tidak mengenal bagian dalam sebuah perusahaan. Ia bukan anak dari seorang pengusaha besar yang membuatnya mengerti seluk-beluk perusahaan meskipun ia tidak mempelajari hal itu di bangku perkuliahan formal.

Keputusannya untuk melamar sebagai asisten pribadi di Seoul Insurance Corporation terbilang keputusan tanpa pikir panjang. Kakak perempuannya yang mendapatkan informasi lowongan kerja di perusahaan tersebut. Mungkin kakaknya terlalu bosan melihat sang adik menganggur padahal sudah lebih dari setahun ia lulus kuliah dan menyandang gelar Sarjana. Mencari pekerjaan di Korea Selatan memang tak mudah, jadi setelah lulus Jongin hanya bisa membantu kakaknya yang mengembangkan bisnis kecil-kecilan dalam wujud sebuah kedai ayam berukuran minimalis yang diberi nama The Little Chicken. Jongin menjadi pelayan di kedai yang tak terlalu ramai itu. Ia memang dibayar untuk pekerjaannya, tapi nominal gajinya sangatlah kecil mengingat usaha kakaknya juga hanya mikro.

Kenyataan itu yang membuat Jongin nekat melamar kerja di perusahaan asuransi yang tengah berkembang itu. Lagipula persyaratan yang diajukan oleh perusahaan itu juga tidak sulit. Perusahaan itu membuka lowongan pekerjaan asisten pribadi dengan tingkat pendidikan terakhir minimal SMA, dan tentu Jongin memenuhi persyaratan utama itu.

Alhasil, Jongin mengirim berkas-berkas yang menjadi persyaratan ke perusahaan itu, dan setelahnya menunggu telepon dari perusahaan itu untuk melakukan wawancara kerja.

Tepat seminggu setelah pengumpulan berkas, Jongin mendapat telepon dari perusahaan untuk melakukan wawancara. Tentu Jongin mempersiapkan tahapan itu dengan serius. Ia membaca banyak buku tentang bisnis—walaupun pada akhirnya tetap ada banyak hal yang tak ia mengerti.

Wawancara tidak berjalan terlalu lancar karena Jongin terlalu gugup. Ia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan yang sebelumnya sudah gencar ia pelajari. Akhirnya, Jongin pun hanya bisa mengatakan kata-kata pamungkas yaitu "Walaupun saya lemah tentang bisnis, tapi saya akan terus belajar dan bekerja dengan sepenuh hati untuk perusahaan ini."

Sebuah kalimat yang sangat biasa dan cenderung membual, tapi justru kalimat itu yang membuat Do Kyungjin tersenyum kecil dan menjabat tangan Jongin dengan erat. Sebuah tanda bahwa Jongin baru saja menerima pekerjaannya.

Jongin tentu girang bukan main. Keluarga Kim juga senang karena bungsu mereka akhirnya tidak jobless lagi.

Tapi perjuangan Jongin baru saja dimulai saat itu. Ia benar-benar harus belajar dari nol. Bahkan ia harus mempelajari dengan giat tugas-tugasnya sebagai seorang asisten pribadi. Buku-buku tebal yang terkait dengan bisnis juga mulai memenuhi meja belajar di kamarnya demi bisa mempelajari seluk-beluk dunia bisnis.

Pada awalnya ia tidak tahu perbedaan tugasnya dengan tugas Baekhyun. Saat itu Baekhyun diperkenalkan sebagai sekretaris sekaligus orang yang akan menjadi mentor Jongin selama dua minggu pertama Jongin bekerja. Pekerjaan Jongin yang terbilang mudah menyebabkan pria itu tak diberikan masa trainee ataupun juga waktu khusus untuk belajar.

Walaupun Baekhyun itu cerewet dan sedikit unik, namun gadis bermata sipit itu rupanya mampu menjadi mentor yang baik untuk Jongin. Perlahan-lahan Jongin mengerti bahwa ternyata tugasnya berbeda dengan Baekhyun.

Sebagai sekretaris, tugas Baekhyun di antaranya adalah menjawab panggilan telepon, mengurus buku agenda, mengatur janji, meneruskan pesan, mengetik dan melakukan operasi Ms. Word lainnya, mengorganisasi rapat, mengatur database perusahaan, menangani korespondensi, menerapkan prosedur dan sistem administrasi baru, menghubungkan dengan organisasi yang relevan, dan hal sejenis lainnya.

Tugas asisten pribadi rupanya lebih luas dari itu. Seorang asisten pribadi bisa saja diperintahkan untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kantor—sehingga tugasnya menjadi mirip dengan tugas sekretaris, tapi bisa juga diperintahkan untuk mengurus hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan urusan kantor. Misalnya saja Jongin pernah diminta oleh mantan atasannya untuk mencarikan kado pernikahan salah satu kerabat atasannya itu. Bahkan pernah juga Jongin mendapat tugas untuk menyiapkan sebuah pesta kejutan saat istri atasannya itu berulang tahun. Sungguh random, 'kan?

Tapi Jongin bersyukur karena pada hari-hari biasa, tugasnya sama dengan jam kerja di kantor-kecuali jika atasannya memiliki kepentingan dadakan. Jongin juga diharuskan untuk berpenampilan seperti pegawai kantor lainnya, rapi dan formal. Makanya Jongin mulai mengoleksi jas-jas untuk menunjang penampilannya. Gajinya yang bisa mencapai 30 juta won per tahun tentu sebanding dengan pekerjaannya yang kadang memang berat untuk dijalani.

Pagi ini Jongin sudah sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Hari ini ia 100% rapi dan 100% datang tepat waktu—karena kadang Jongin terlambat karena berbagai alasan. Lelaki itu tentu tidak mau terkena amukan dari bos barunya. Sudah cukup kemarin saja, mungkin itu prinsipnya.

Do Kyungsoo—sang CEO baru di perusahaan—sudah datang 15 menit lalu. Wanita berkulit putih itu langsung masuk ke dalam ruangannya tanpa buang-buang waktu untuk menyapa para bawahannya. Jongin dan Baekhyun berusaha untuk membiasakan diri tentang hal itu. Toh mereka juga tak rugi.

Beberapa menit lalu Baekhyun meminta Jongin untuk membuat laporan perjalanan bisnis yang dilakukan oleh mantan CEO mereka dua minggu lalu. Dua minggu lalu sang mantan CEO pergi ke Jeju selama tiga hari. Baekhyun dan Jongin juga turut mendampingi mantan bos mereka itu.

Jongin adalah orang yang menyimpan bukti-bukti perjalanan mereka, termasuk boarding pass, bill restoran, juga bill hotel tempat mereka menginap. Yang harus ia lakukan adalah membuat laporan sederhana seperti yang biasa ia buat, kemudian menyerahkannya pada Direktur Keuangan.

Baekhyun sendiri saat ini sedang mengurus beberapa dokumen, sepertinya berkaitan dengan pengangkatan CEO baru di perusahaan mereka. Suara dering telepon menginterupsi kesibukan wanita berbibir tipis itu. Suara itu berasal dari sebuah telepon yang secara khusus hanya disambungkan dengan telepon CEO-nya, sehingga ia tidak bisa mengabaikannya.

Setelah menarik nafas panjang satu kali dan mengeluarkannya, Baekhyun menjawab panggilan telepon itu, "Ada yang bisa saya bantu, Sajangnim?" Dari sudut matanya Baekhyun bisa melihat Jongin refleks mengangkat kepala dan menatapnya sesaat setelah ia mengucap kata Sajangnim.

"Bawakan aku berkas-berkas calon Management Trainee yang akan menjalani wawancara besok pagi."

Baekhyun mengerutkan kening mendengar permintaan Kyungsoo. "Maaf, Sajangnim, berkas-berkas itu sudah ada di HRD karena besok HRD yang akan menyeleksi mereka."

"Tidak. Aku sendiri yang akan mewawancarai para kandidat besok. Aku mengubah standard untuk orang-orang yang akan bergabung dengan kita. Ambil berkas itu dari HRD dan antarkan padaku secepatnya."

Baekhyun hanya bisa melongo karena Kyungsoo langsung memutus teleponnya. "Astaga… Seenaknya sekali!" ia menggerutu lirih.

"Ada apa?" Jongin yang tertarik akhirnya bertanya.

"Sama seperti ayahnya, Do Sajangnim yang ini juga seenaknya sekali," Baekhyun menjawab pertanyaan Jongin sambil tangannya menekan pilihan save di layar komputer, menyimpan pekerjaan yang tadi ia kerjakan. "Beliau ingin mewawancarai calon pegawai besok. Katanya, standard penerimaan sudah diubah. Entahlah… Aku tidak mengerti. Aku akan ke HRD sebentar untuk mengambil berkas-berkas para pelamar." Gadis itu beranjak dari kursinya dan mulai melangkah menuju elevator.

Jongin yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Baekhyun yang merupakan pegawai teladan saja mengeluh begitu, apalagi dia yang hanya pegawai biasa?


Siapa bilang jika menjadi seorang CEO adalah pekerjaan paling mudah di dunia? Di hari pertama kau bekerja, kau sudah disuguhi oleh bertumpuk-tumpuk laporan yang harus segera diperiksa.

Kyungsoo tidak pernah mengeluh dan tidak pernah memprotes keputusan ayahnya untuk memberinya jabatan sebagai pemimpin perusahaan. Sejak kecil Kyungsoo sudah akrab dengan dunia bisnis. Sejak kecil ia sudah dikenalkan pada strategi bisnis, pada dokumen-dokumen penting, dan pada hal-hal lain yang menyangkut perusahaan. Karenanya, Kyungsoo sama sekali tidak keberatan untuk menempati kursi besar di perusahaan yang telah dibangun oleh ayahnya dari nol. Gadis itu pun sama sekali tak mengeluh meskipun saat ini meja di hadapannya telah dipenuhi oleh kertas-kertas yang seolah meraung, meminta untuk diperiksa.

Merasa sedikit bosan dengan kertas-kertas di mejanya, Kyungsoo akhirnya beranjak dari kursinya, berjalan menuju jendela kaca besar yang menghubungkannya dengan dunia luar. Sebuah dunia yang hingga saat ini tak ia pahami makna keberadaannya. Entahlah, Kyungsoo selalu merasa bahwa hidupnya tak berarti. Ia bagaikan robot yang sudah diprogram secara otomatis hingga rasanya ia tak memiliki hasrat khusus selama 26 tahun ia hidup di bumi. Hidupnya terlalu monoton. Ia hanyalah sebuah buku yang awalnya kosong, kemudian orang tuanya mulai menjejalkan tulisan-tulisan pada setiap lembar kertas di buku itu. Ia tak tahu keinginannya yang sebenarnya. Ia pikir, keinginan orang tuanya juga menjadi keinginannya. Anehnya, ia tak pernah merasa keberatan dengan hal itu.

Beralih dari jendela besar itu, Kyungsoo berjalan menuju sebuah rak buku besar yang berada di samping jendela. Kyungsoo tahu, ayahnya memang suka membaca, jadi ia tak heran jika suasana ruang kerjanya sekarang terasa seperti sebuah perpustakaan. Dan lagi-lagi Kyungsoo tak merasa keberatan dengan itu. Ia tak memiliki niat untuk mengubah suasana ruang kerjanya. Lagipula, Kyungsoo juga suka membaca.

Tapi raut wajah gadis itu terlihat tak puas ketika melihat susunan buku di rak hitam itu. Ada banyak hal yang salah di sana.

Baru saja Kyungsoo akan mengambil sebuah buku, namun suara ketukan di pintu ruangannya mengalihkan atensinya. Ia menoleh ke pintu dan mendapati sekretarisnya memasuki ruangannya dengan setumpuk dokumen di tangannya.

Kyungsoo akhirnya kembali duduk di kursinya. "Letakkan di kursi itu saja. Mejaku sudah terlalu penuh," ujarnya seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah kursi di seberang mejanya.

Baekhyun mengangguk singkat, kemudian meletakkan dokumen-dokumen itu ke atas kursi. Ia baru akan berpamitan, tapi ia urungkan karena atasannya kembali bicara.

"Siapa yang menata buku-buku di rak itu?" Kyungsoo bertanya sambil dagunya ia gerakkan ke arah rak buku di dekat jendela.

Baekhyun sedikit terkejut dengan pertanyaan Kyungsoo, tapi ia tetap menjawab, "Buku-buku di rak itu ditata oleh Asisten Kim, Sajangnim."

Kyungsoo mengangguk sekilas sambil tangannya terus membuka dokumen di mejanya. "Kau boleh keluar, dan suruh Asisten Kim datang kemari."

Baekhyun sebenarnya tak begitu paham, tapi ia mengangguk sekali, kemudian membungkuk dan segera berjalan keluar dari ruangan yang mencekam itu.


Jongin masih sibuk dengan laporan yang sejak satu jam lalu ia kerjakan. Hanya laporan biasa, tapi tetap saja ia tak bisa mengerjakannya dengan cepat. Padahal tadi salah satu staf dari Divisi Keuangan sudah menghubunginya dan menagih laporan itu.

Jongin memang lulusan Jurusan Bahasa dan Sastra Korea yang pandai merangkai kata, tapi jika kata-kata itu harus diwujudkan dalam bentuk laporan, maka ia memilih untuk angkat tangan. Mungkin lebih baik Baekhyun saja yang mengerjakan semua itu.

Ngomong-ngomong tentang Baekhyun, gadis itu baru saja keluar dari ruangan sang CEO. Tapi bukannya kembali ke mejanya, si gadis bermata sipit justru berjalan ke meja Jongin. "Sajangnim memintamu untuk masuk," tuturnya saat ia sudah berada di depan meja rekan kerjanya.

"Apa? Tapi kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?"

"Aku tidak tahu. Beliau tidak menjelaskan apa-apa padaku."

"Tapi pekerjaanku di sini belum selesai. Aku harus bagaimana?"

"Masuklah, biar aku yang menyelesaikan laporannya. Kau tidak mau kita berdua terkena amukan Sajangnim, 'kan?"

Jongin berpikir sebentar. Kenapa ia disuruh masuk ke ruangan CEO? Iya, dulu ia memang sering keluar-masuk ruangan itu, tapi sejak terjadi pergantian tongkat kepemimpinan, ia sama sekali belum pernah masuk ke dalam. Apakah ini akan menjadi penghakiman jilid 2 untuknya?

Ah, lebih baik Jongin segera menepis pemikiran negatifnya dan segera berdiri dari kursinya. "Doakan aku, ya?" mohonnya pada Baekhyun.

Baekhyun hanya terkekeh sebentar sebelum akhirnya ia bergerak mendekati Jongin dan mendorong tubuh besar pria itu sampai ke depan pintu ruangan Kyungsoo.

Jongin menghela nafas sekali lagi, kemudian mengetuk pintu itu tiga kali, lalu membukanya perlahan.

Jongin sejenak terpaku di pintu masuk karena ia terlalu takut. Di balik meja besar yang ada di depannya, ada atasannya yang sibuk dengan berbagai macam dokumen. Atasannya itu hanya mengenakan kemeja berwarna cream karena blazer-nya sudah tersampir di sandaran kursinya. Tapi anehnya, wanita itu tetap terlihat rapi. Sungguh berbeda dengan penampilan Baekhyun yang sangat berantakan jika sedang bekerja keras.

Kyungsoo sepertinya sadar kalau Jongin hanya diam di pintu masuk padahal sudah cukup lama ia mendengar suara pintu dibuka dari luar. Ia mendongak dan menatap Jongin dengan tajam. "Apa kakimu sudah tidak kuat berjalan sehingga kau tetap berdiri di sana seperti patung?"

Mendengar kalimat tajam Kyungsoo, Jongin akhirnya berjalan cepat mendekati meja Kyungsoo. "Apa ada yang bisa saya bantu, Sajangnim?"

"Rak buku itu..." Telunjuk lentik Kyungsoo menunjuk ke rak buku yang ada di dekat jendela. "Benar kau yang menatanya?"

Jongin mengangguk sekilas. "Ya, Sajangnim. Saya menatanya atas perintah Sajangnim sebelum Anda."

"Jadi ayahku yang memerintahkanmu?" Jongin mengangguk sopan. "Ayahku adalah orang yang perfeksionis, tidak mungkin beliau memintamu menyusun buku secara acak begitu."

Jongin masih diam. Ia tak mengerti maksud ucapan wanita di hadapannya.

"Asisten Kim, apa hidupmu sama berantakannya dengan tatanan buku-buku itu?"

Mata Jongin membola lebar. Apa atasannya baru saja menghinanya?

"Ma-maaf, Sajangnim, saya tidak mengerti maksud ucapan Anda."

Kyungsoo menggeram tertahan, kemudian melempar bolpoin yang sejak tadi ia genggam. Ia lempar benda itu ke arah depan, tapi beruntung tidak sampai mengenai tubuh Jongin.

Jongin kaget bukan main. Ia memang pernah mendengar cerita dari Baekhyun bahwa Kyungsoo memiliki temperamen buruk, tapi ia tak tahu jika seburuk ini temperamen bos barunya itu.

"KALAU KAU TIDAK BISA BEKERJA SEBAGAI ASISTEN, KENAPA TIDAK MENGUNDURKAN DIRI SAJA?"

Jongin semakin terkejut mendengar bentakan Kyungsoo. Kakinya bahkan mundur satu langkah sebagai bentuk pertahanan. Di depannya, Kyungsoo menatapnya dengan tajam. Dada wanita itu naik turun, menggambarkan bahwa emosinya sedang sangat besar.

Jongin hanya bisa meremas tangannya yang bergetar. Ia belum pernah dimarahi oleh siapapun sampai seperti ini. Lagipula, ia sendiri sampai sekarang belum paham, dimana letak kesalahannya?

Saat ia masih diam terpaku, Kyungsoo tiba-tiba berdiri, lalu berjalan mendekatinya. Wanita itu langsung menyeret lengan Jongin agar pemuda itu berjalan mengikutinya ke arah rak buku di dekat jendela.

"Kau lihat ini?" wanita itu mendesis kesal. "Orang-orang akan kesulitan menemukan buku yang mereka cari jika kau menatanya secara acak begini!" Ia lalu menghempaskan lengan Jongin dengan kasar.

Ah! Jongin sekarang paham. Jadi sejak tadi wanita itu mengamuk tak jelas hanya karena tatanan buku di rak yang tidak rapi? Hanya karena itu? Bukankah itu termasuk hal yang sepele?

"Ma-maaf, Sajangnim. Sa-saya akan menata ulang rak buku ini."

Kyungsoo menoleh pada Jongin. Wanita itu menyilangkan tangan di depan dada. "Bagaimana caramu menata ulang rak buku ini?"

Jongin menelan ludah gugup. Di saat seperti ini, otaknya tidak bisa bekerja dengan baik. Ia kesulitan menemukan jawaban untuk pertanyaan sederhana itu.

Melihat Jongin yang hanya diam seperti orang bodoh, Kyungsoo meremas kepalanya kasar sebelum kembali bicara dengan keras, "Dasar bodoh! Tata buku-buku itu sesuai jenisnya, kemudian urutkan lagi berdasarkan abjad dari nama penulisnya! Kenapa kau lamban sekali, hah?"

Jongin mati kutu mendengar bentakan Kyungsoo. Iya, ia memang bodoh karena tak bisa memikirkan hal semudah itu. Ia merutuki dirinya yang gampang sekali tertekan jika ada orang yang memarahinya.

"Baik, Sajangnim. Sa-saya akan menata ulang buku-buku itu sesuai jenis dan abjad nama penulisnya."

Kyungsoo menyeringai, lalu kembali menghempaskan tubuhnya ke atas kursi dengan kasar. "Lakukan dengan benar, atau aku akan memecatmu sekarang juga!"

Dan Jongin segera melaksanakan tugasnya. Cepat-cepat ia mengeluarkan satu demi satu buku dari raknya, lalu menata ulang sesuai instruksi Kyungsoo tadi. Ya ampun, itu sangat melelahkan!


Jongin keluar dari ruangan Kyungsoo, tepat 5 menit setelah waktu istirahat kantor dimulai. Bagus, ia kehilangan waktu berharganya hanya karena menata buku-buku berdebu di ruangan atasannya. Kenapa atasannya itu mempermasalahkan hal yang tidak penting? Mantan atasannya dulu saja tak mempermasalahkan hal itu.

Coba lihat penampilan Jongin sekarang. Pakaiannya kusut dan berdebu, rambutnya juga berantakan dan tak kalah berdebu. Meskipun sejak tadi lelaki itu sudah berusaha menghilangkan debu-debunya, tapi tetap saja ada debu membandel yang masih menempel. Bahkan Jongin sempat bersin-bersin karena benda laknat berukuran mikro tersebut.

Setelah selesai dengan kegiatannya menyumpah dalam hati, Jongin akhirnya sadar bahwa ia sendirian di ruang kerjanya. Baekhyun tidak ada di sana. Ia yakin bahwa rekan kerjanya itu sudah meninggalkannya, pergi bersama kekasihnya ke kedai makan di dekat kantor yang biasa mereka kunjungi.

Jongin mendengus kesal. Benar-benar setia kawan, pikirnya. Lelaki itu lalu melepas jasnya. Ia tak peduli jika nanti ia akan dimarahi lagi. Sumpah, demi Tuhan! Saat menata buku-buku tadi, Kyungsoo bahkan tidak memberinya izin untuk melepas jas. Sungguh, apa ia sedang berada di camp wajib militer? Kenapa atasannya itu bersikap layaknya Hitler?

Setelah melempar jasnya sembarangan ke atas meja, Jongin langsung berlari menuju elevator. Ia hanya ingin makan sekarang, itu saja.

Demi Tuhan! Baekhyun dan Chanyeol justru tertawa keras setelah Jongin menceritakan perihal penyiksaan yang telah dilakukan oleh CEO Do Kyungsoo terhadap dirinya. Dua makhluk itu mengaku sebagai temannya, tapi siang ini ia membuktikan bahwa pengakuan itu hanya omong kosong semata.

Jongin jadi malas untuk menyantap semangkuk ramyeon di depannya. Ia benar-benar kehilangan nafsu makan.

"Seharusnya kau tidak kaget, Jongin. Baekhyun sudah memperingatkanmu." Itu Chanyeol yang bicara.

Jongin rasanya ingin menyiramkan kuah ramyeon-nya ke wajah si pria bertelinga lebar. "Aku merasa orang itu benar-benar membenciku. Apa kalian tidak merasakan hal yang sama?" Dua orang di hadapan Jongin menggeleng bersamaan. "Oh, ayolah! Hanya aku yang diperlakukan seperti ini! Ini tidak adil!"

Baekhyun mengangkat sumpitnya dan ia arahkan ke wajah Jongin. "Jangan seenaknya bicara..." ia memperingatkan. "Ia memperlakukanmu seperti itu karena kau memang melakukan kesalahan. Tidak ada yang aneh dengan itu."

"Ia hanya mencari-cari kesalahanku! Kenapa kalian tidak percaya, hah?"

Lagi-lagi dengan kompaknya Baekhyun dan Chanyeol mengangkat bahu. Menurut mereka, Jongin itu memang ceroboh dan sering melakukan kesalahan. Jadi wajar-wajar saja kalau atasan mereka sering menghukum ataupun memarahinya.

"Apa sebaiknya aku mengundurkan diri saja?"

Pertanyaan Jongin itu sontak membuat Baekhyun dan Chanyeol tercengang.

"Kau tidak serius, 'kan? Mencari pekerjaan tidaklah mudah. Belum tentu kau akan langsung mendapat pekerjaan setelah keluar dari sini," Chanyeol memperingatkan.

"Tapi aku benar-benar sudah lelah! Aku tak tahan lagi!"

Baekhyun geleng-geleng kepala melihat tingkah Jongin. "Kau benar-benar berlebihan. Ia bahkan baru sehari menjadi atasan kita, dan kau sudah menyerah. Apa kau benar-benar pria, Kim Jongin?" tanya Baekhyun seraya matanya bergerak dari mata Jongin ke area selangkangan secara bergantian.

"Hei! Dasar mesum!" Jongin memekik sembari merapatkan kakinya dan menutup area terlarangnya dengan tangan.

"Kau itu seperti gadis saja, Jongin." Chanyeol tertawa. "Tapi Baekhyun tadi berkata benar. Kalau kau memang pria, seharusnya kau tidak gampang menyerah. Mungkin kau hanya perlu membiasakan diri. Itu saja."

Dan Baekhyun mengangguk, menyetujui perkataan kekasihnya.

Jongin menunduk lesu. Dua makhluk itu tidak merasakan apa yang ia rasakan makanya bisa dengan mudahnya memberikan nasehat. Haruskah Jongin benar-benar menyerah sekarang?


Jam 8 pagi. Suasana semrawut memang sering terjadi di jam-jam itu. Rush hour. Biasanya jalanan pun masih ramai di jam itu. Anak-anak sekolah masih ada yang berlarian di jalan untuk mengejar bis, padahal jelas-jelas pada jam itu bel masuk sudah berbunyi dan pintu gerbang sudah ditutup. Para pekerja kantoran juga sama. Mereka berlarian agar sampai di kantor tepat waktu, agar bisa cepat-cepat menempelkan jempol mereka ke mesin absen dengan status tepat waktu. Mungkin saja mereka menjadi pegawai teladan bulan ini, 'kan?

Yang namanya berharap itu boleh-boleh saja. Tidak ada yang melarang untuk berharap, asalkan yang menjadi pengharapannya itu tidak terlalu muluk. Berharaplah akan suatu hal yang realistis, jangan seperti pungguk merindukan bulan.

Pagi ini, area ruangan HRD terlihat ramai. Beberapa orang berpakaian rapi sudah duduk berjajar di kursi-kursi yang ada di depan ruang HRD. Orang-orang itu juga memiliki harapan, merealisasikan imajinasi yang selama ini hanya ada di angan.

Sebagian besar dari mereka sepertinya tidak saling mengenal. Hal itu terlihat dari minimnya interaksi antara satu orang dan yang lainnya. Kebanyakan dari mereka hanya sibuk dengan gadget masing-masing. Kalaupun tidak sibuk dengan gadget, mereka mungkin sibuk berdoa supaya tahap wawancara kerja hari ini berjalan dengan lancar.

Iya, hari ini diselenggarakan wawancara kerja di Seoul Insurance Corporation. Khusus hari ini, perusahaan mencari orang-orang yang berhak masuk dalam Management Trainee perusahaan. Untuk lowongan itu, perusahaan lebih mengutamakan para fresh graduate dengan usia muda dan memiliki determinasi tinggi untuk kembali belajar mengenai dunia kerja. Orang-orang yang berhasil masuk dalam Management Trainee berpotensi untuk menjadi pemimpin masa depan perusahaan. Oleh karena itu, proses seleksi yang dilakukan tidaklah main-main karena itu menyangkut masa depan perusahaan.

Meskipun dilaksanakan di ruang HRD, namun hari ini sang CEO terjun langsung untuk mewawancarai para kandidat. Jongin jadi ingat pengalamannya dua tahun lalu saat ia menjalani tes wawancara dengan mantan CEO perusahaan. Agaknya kini ia paham perasaan para pelamar yang sedang menunggu sambil harap-harap cemas. Apalagi mereka semua adalah fresh graduate yang minim pengalaman. Proses wawancara ini tentunya merupakan hal baru bagi mereka.

Hari ini Jongin diberi tugas untuk mengurus absensi para pelamar. Pelamar yang datang diharuskan untuk melakukan daftar ulang dengan kembali mengisi data diri pada form yang disediakan. Form itu sebenarnya sebagai ringkasan dari berkas-berkas yang telah mereka serahkan sebelumnya.

Jongin memeriksa kembali buku absensi yang ada di tangannya. Seharusnya ada 12 orang yang akan melakukan wawancara, tapi kenapa baru 11 orang yang sudah tanda tangan?

"Permisi, apa ada pelamar yang bernama Go Shinwon di sini?" Jongin akhirnya bertanya dari balik meja absensi.

Para pelamar terlihat saling tatap, tapi tidak ada jawaban apapun yang Jongin terima. Ia pun menghela nafas. Apa pelamar ini mengundurkan diri? Mungkin ia takut pada Do Kyungsoo makanya mengundurkan diri. Jongin menertawai pemikiran bodohnya. Bagaimana mungkin pelamar itu merasa takut? Ia saja belum tahu siapa itu Do Kyungsoo.

Tak berselang lama, Jongin mendengar suara gaduh dari ujung lorong. Dari sana, seorang pemuda tinggi berlarian sambil mencoba menjaga keseimbangan supaya ia tidak jatuh.

Jongin mengangkat sebelah alisnya begitu pemuda dengan penampilan berantakan itu berdiri di depan meja absensinya.

Berantakan. Iya, kemeja dan jasnya sepertinya tidak disetrika sehingga terlihat kusut dan tidak rapi. Dasi yang melingkar di lehernya juga hanya dipasang asal dan lagi-lagi tidak rapi. Lalu rambutnya, Jongin pikir lelaki ini datang ke sini naik motor dan memakai helm sehingga rambut coklat tuanya menjadi lepek dan tidak rapi (lagi). Intinya, pemuda di depannya itu tidak rapi.

"Permisi, apa saya sudah terlambat?" Pemuda itu bertanya sambil sedikit menunduk karena Jongin duduk di kursinya.

Jongin mengerjap bingung, tapi kemudian ia menyadari sesuatu. "Apakah Anda Go Shinwon?"

Yang ditanyai menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Benar, saya Go Shinwon. Apa saya sudah terlambat?"

Jongin mengangkat bahu, lalu menjawab, "Bisa dibilang, belum. Wawancaranya baru saja dimulai dan satu pelamar sudah ada di dalam." Ia lalu menyodorkan selembar form yang harus diisi oleh pelamar. "Sebaiknya Anda mengisi form ini dulu. Karena Anda datang terakhir, berarti urutan wawancara Anda juga yang terakhir."

Si pelamar yang bernama Shinwon itu mengangguk dan menerima uluran form dari Jongin. Ia lalu membuka tas ranselnya untuk mencari sesuatu, tapi nihil. Ia tak menemukan apapun. "Ehm… Maaf, apakah saya bisa meminjam bolpoin?" pemuda itu bertanya.

Oh, jadi dari tadi lelaki jangkung itu mencari bolpoin rupanya.

Jongin mengangguk sembari menyerahkan bolpoin miliknya. Tak lupa, ia juga meminta Shinwon untuk mengisi absensi di buku absen.

Sembari menunggu Shinwon selesai mengisi form dan buku absensi, Jongin terus memperhatikan lelaki itu. Lelaki itu benar-benar berantakan, dan pasti jadi sasaran empuk Kyungsoo saat di dalam nanti. Lalu mungkin lelaki itu akan meningkatkan tekanan darah Kyungsoo karena sudah membuatnya marah, kemudian Kyungsoo terkena stroke.

Ya, Tuhan! Imajinasi Jongin benar-benar mengerikan.

"Maaf, Tuan Go," suara Jongin menginterupsi kegiatan Shinwon. "Anda masih memiliki waktu untuk berbenah sebelum Anda menjalani wawancara. Sebaiknya Anda pergi ke toilet dan merapikan diri."

Shinwon mengedip polos, tapi detik selanjutnya lelaki tampan itu tertawa renyah. "Saya rasa itu tidak perlu. Ini adalah penampilan saya yang paling rapi," tutur lelaki itu yang membuat Jongin menganga. "Saya sudah selesai. Ini form dan bolpoinnya. Terimakasih."

Jongin masih menganga bahkan ketika Shinwon sudah tidak ada di depannya dan sudah duduk di kursi tunggu. Ya ampun, orang macam apa dia? Oke, dia memang tampan dengan kulit putih, bentuk wajah oval, rambut lurus kecoklatan, tubuh tinggi, dan bahu selebar Samudera Atlantik. Tapi tetap saja penampilannya yang acak-acakan itu mengganggu pandangan mata. Jongin hanya bisa berdoa untuk keselamatan Shinwon saat pemuda itu sudah masuk ke dalam ruang wawancara.


Kyungsoo memijat pelipisnya setelah satu pelamar meninggalkan ruangan. Sudah 11 orang yang ia wawancarai, tapi semuanya tidak sesuai dengan kualifikasinya.

Kyungsoo memang sangat selektif dalam memilih calon pegawai yang tepat. Calon pegawai harus memiliki latar belakang pendidikan yang relevan, nilai IPK yang tinggi, pengalaman organisasi yang banyak, dan memiliki dedikasi tinggi untuk kemajuan perusahaan. Tapi sejauh ini, ia belum menemukan seorang pun yang sesuai dengan kualifikasinya.

Tenang, Kyungsoo, masih ada satu orang lagi. Ia mencoba menyemangati dirinya sendiri. Wanita muda itu lalu menoleh ke samping, tepatnya ke arah Baekhyun yang sudah berdiri di sampingnya sejak 3 jam yang lalu. "Panggilkan pelamar selanjutnya," titahnya.

Baekhyun mencoba menepikan rasa pegal di kakinya dan berjalan keluar ruangan. Ia sempat merengut kesal ke arah Jongin, sebelum akhirnya memanggil pelamar yang selanjutnya, "Tuan Go Shinwon, silahkan masuk."

Begitu melihat bagaimana wujud Shinwon, Baekhyun menganga—ekspresi yang sama dengan milik Jongin tadi. Shinwon sendiri dengan penuh percaya diri langsung memasuki ruangan, meninggalkan Baekhyun yang masih melongo sembari menatap Jongin, seolah meminta penjelasan. Tapi Jongin hanya mengangkat bahu, dan Baekhyun memutuskan untuk kembali memasuki ruangan.

Saat sampai di dalam ruangan, Baekhyun merasakan atmosfer yang mencekam. Kyungsoo dan Shinwon duduk berhadapan dalam diam, tapi Baekhyun bisa melihat asap tak kasat mata mengepul dari kepala Kyungsoo.

Kyungsoo terlihat menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Baekhyun tahu, Kyungsoo sedang berusaha menahan amarah.

"Jadi..." Kyungsoo akhirnya memulai setelah ia merasa lebih tenang. "Nama Anda Go Shinwon dan usia Anda sekarang sudah 25 tahun?" Yang ditanya menjawab dengan 'ya' dan Kyungsoo melanjutkan, "Usia Anda sudah 25 tahun, tapi kenapa Anda baru lulus S1?"

Pertanyaan yang menohok, Baekhyun benar-benar merasa ngeri pada Kyungsoo.

Lain halnya dengan Baekhyun, Shinwon justru tersenyum lebar sebelum menjawab, "Saya terlalu sibuk bekerja part time di sebuah café sampai-sampai saya sempat lupa kalau saya adalah seorang mahasiswa."

Ya, Tuhan! Apa yang salah dengan anak ini? Baekhyun benar-benar tak habis pikir kenapa ada manusia seaneh ini.

Kyungsoo sendiri masih diam tanpa ekspresi, tapi tangan kiri wanita itu terkepal di bawah meja, lagi-lagi menahan emosi supaya tidak meledak.

"Tuan Go..." Kyungsoo berbisik lirih. "Sepertinya kami tidak bisa menerima Anda."

Baekhyun tiba-tiba kagum terhadap manajemen emosi Kyungsoo. Rasanya ia tak percaya pada cerita Jongin kemarin yang mengatakan bahwa Kyungsoo mengamuk di ruangannya.

Kyungsoo sudah berusaha bersikap baik, tapi sepertinya Shinwon tidak bisa menerima hal itu. "Kenapa saya tidak diterima? Saya sudah memiliki pengalaman di dunia kerja selama 4 tahun. Saya adalah seorang pekerja keras!"

Kini Baekhyun bisa melihat tangan kanan Kyungsoo menggenggam bolpoin dengan sangat erat hingga urat-urat tangannya terlihat jelas. Lagi-lagi atasannya berusaha menahan emosi, dan sekarang Baekhyun mulai takut. Gadis Byun itu berusaha mengirimkan signal bahaya pada lelaki bernama Go Shinwon yang saat ini masih duduk di depan Kyungsoo, memberi isyarat supaya pemuda itu menyerah dan segera keluar. Namun sial, pemuda berkulit putih itu sepertinya tidak peka terhadap sinyal SOS yang ia kirimkan.

"Penampilan Anda tidak rapi, Tuan Go. Dan sepertinya kita tidak memiliki visi dan misi yang sama. Kami mencari orang yang berdedikasi penuh pada perusahaan. Orang yang bisa fokus pada satu hal dan bersikap konsisten."

"Penampilan saya tidak rapi? Saya sudah memakai setelan jas mahal! Saya juga sudah memakai gel rambut! Lalu apa lagi yang kurang?"

Baekhyun semakin merasakan aura-aura mencekam di ruangan itu. Jika bisa, ia ingin kabur. Apalagi kini ia bisa melihat dada Kyungsoo naik turun dan kedua tangannya terkepal erat. Dan tak lama kemudian, dua tangan itu ia gunakan untuk menggebrak meja hingga menimbulkan suara gaduh.

"KAU!" Kyungsoo sekarang sudah berdiri dan menunjuk wajah Shinwon dengan telunjuk lentiknya. "Aku sudah berusaha bicara baik padamu, tapi kau berani membantah dan meninggikan suara? Maumu apa, hah?"

Shinwon rupanya tak mau kalah. Ia berdiri dari kursi. "Aku ingin diterima di sini! Hanya itu yang kuinginkan!"

Kyungsoo menggeram. Anak ini bahkan bicara banmal padanya. Tangan Kyungsoo kembali menggebrak meja, kemudian tangan itu melempar benda-benda yang ada di meja itu ke tubuh Shinwon. "KURANG AJAR KAU! KELUAR DARI SINI! SAMPAI KAPANPUN PERUSAHAAN INI TIDAK AKAN MENERIMAMU!"

Kyungsoo masih terus melempar apapun yang ada di meja ke tubuh Shinwon, sampai pada saat gadis itu memegang gunting dan ingin melemparnya pada Shinwon, Baekhyun menahan lengannya. "Jangan, Sajangnim. Anda bisa melukainya jika Anda melempar gunting," tuturnya lembut. Ia lalu beralih pada Shinwon dan (kembali) memberi pemuda itu isyarat agar cepat pergi.

Shinwon hanya memutar bola matanya, lalu berjalan meninggalkan ruangan.

Setelah Shinwon keluar, Jongin berlari masuk ke dalam. Sebenarnya ia sudah ingin masuk sejak ia mendengar suara gaduh di dalam. "Ada apa ini?" ia bertanya pelan pada Baekhyun, tapi Baekhyun justru memberinya isyarat untuk diam.

Setelah Kyungsoo tenang, Baekhyun melepaskan lengan wanita itu dan membiarkan wanita itu duduk lagi di kursinya dengan lemas. Nafas Kyungsoo masih tersengal akibat emosi yang meluap tadi.

"Dasar sial! Semua pelamar tidak berguna itu benar-benar sial!" Kyungsoo meracau tak jelas.

Baekhyun mengajak Jongin keluar, tapi Jongin menolak. "Di meja itu ada gunting, bagaimana kalau ia bunuh diri?" bisiknya lirih pada Baekhyun.

Baekhyun menghela nafas. "Ia hanya lelah karena semua pelamar tidak masuk dalam kualifikasi, ditambah lagi pelamar terakhir tadi sangat berantakan dan kurang ajar," Baekhyun balas berbisik.

Dua rekan kerja itu akhirnya memilih untuk tetap berada di dalam ruangan, menunggu sampai Kyungsoo benar-benar tenang sekaligus memastikan wanita itu tidak bunuh diri.


Dua menit lagi jam makan siang, namun sejak limabelas menit lalu Baekhyun dan Jongin masih setia duduk dalam diam di meja mereka masing-masing.

Kyungsoo juga sudah kembali ke ruangannya sejak limabelas menit lalu. Wanita itu masih memiliki akal sehat sehingga tidak melakukan tindak bunuh diri meskipun sangat kesal.

"Ayo pergi makan," Baekhyun akhirnya bicara. Wanita yang biasanya sangat berisik itu tiba-tiba menjadi pendiam. Sepertinya ia masih syok karena baru saja menjadi saksi tingkah brutal Kyungsoo.

"Kau duluan saja bersama Chanyeol. Aku akan menyusul nanti," Jongin membalas sambil menelungkupkan kepala ke atas meja. Ia tiba-tiba kehilangan nafsu makan.

Baekhyun pada akhirnya mengangguk dan beranjak dari meja kerjanya, berjalan menuju elevator untuk menemui Chanyeol di lantai 30.

Rasanya Jongin ingin tidur saja. Entahlah, ia kehilangan mood karena insiden tadi. Ia menolak untuk mengingat, tapi nyatanya kepalanya terus memutar ulang semua peristiwa yang terjadi hari ini. Rasanya mengerikan melihat Kyungsoo seperti itu.

Baru saja Jongin ingin memejamkan mata, tapi ia mendengar suara langkah kaki mendekat ke mejanya. Terpaksa ia mengangkat kepalanya dan matanya langsung mendapati Zhang Yixing berdiri malas di depan mejanya. Yixing adalah seorang resepsionis di perusahan. Biasanya wanita itu stand by di lobi dan bukannya keluyuran sampai lantai 35 seperti ini.

"Ada apa, Yixing-ssi?"

Yixing tak langsung menjawab. Yang ia lakukan adalah meletakkan satu plastik putih berukuran sedang dan sepertinya di dalamnya berisi kardus yang entah apa isinya. "Kiriman makan siang untuk Sajangnim. Tadi kurir mengantarnya ke meja resepsionis. Aku terpaksa mengantarnya ke sini karena semua orang sedang istirahat makan siang."

Jongin memeriksa bungkusan plastik itu dan baru menyadari keberadaan logo sebuah restoran cepat saji. "Siapa yang mengirim ini?" tanyanya.

"Tuan Do Kyungjin yang mengirimnya," jawab Yixing. "Tolong kau berikan pada Sajangnim ya. Aku mau makan siang dulu. Sampai jumpa." Tanpa menunggu konfirmasi Jongin, Yixing meluncur meninggalkan ruangan.

Jongin menghela nafas sembari menatap plastik putih di mejanya. Kenapa harus dia yang menyerahkannya pada Kyungsoo? Hari ini Kyungsoo sedang bad mood, bisa mati dia kalau terkena amukan lagi.

Jongin menggelengkan kepala. Ia berlebihan sekali. Tidak mungkin ia mati hanya karena mendapat amukan dari atasannya itu. Lagipula, Kyungsoo memang harus makan siang. Tenaganya pasti terkuras setelah melalui hari yang berat. Ditambah lagi, kemarin sepertinya Kyungsoo melewatkan makan siang. Wanita itu terlalu sibuk hingga tak mempedulikan kesehatannya. Tipikal wanita karier.

Setelah membulatkan tekad, Jongin akhirnya beranjak mendekati pintu ruangan Kyungsoo sambil menenteng plastik putih berisi makanan itu. Setelah mengetuk tiga kali, Jongin memberanikan diri untuk membuka pintu secara hati-hati.

Pemandangan yang sama dengan kemarin, Kyungsoo sedang sibuk dengan beberapa dokumen di tangannya.

Menepis rasa takutnya, Jongin berjalan mendekati meja Kyungsoo, lalu meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa di atas meja.

Kyungsoo akhirnya mengangkat kepala, mendongak menatap Jongin. "Apa itu?"

"Anda mendapat kiriman makan siang dari Tuan Do, Sajangnim."

Kyungsoo tak merespon, ia hanya menatap nanar pada bungkusan makanan di mejanya. Setelah lama terdiam, wanita itu kembali menunduk dan kembali menyibukkan diri dengan berkas-berkasnya. "Bawa keluar, aku tidak lapar."

Jongin masih diam, tidak lantas bergerak untuk membawa makan itu keluar. "Anda bisa sakit kalau Anda melewatkan makan siang, Sajangnim," Jongin memberanikan diri untuk bicara.

Ucapan Jongin itu membuat Kyungsoo kembali mengangkat kepalanya. "Kau tidak dengar? Bawa keluar, atau akan kubuang makanan itu ke tempat sampah?"

Dalam hatinya Jongin merasa kesal. Di luar sana ada banyak orang yang sulit walaupun hanya untuk mendapatkan makanan sederhana, tapi atasannya itu justru dengan mudahnya ingin membuang makanan mahal. Selain tidak menghargai orang lain, Kyungsoo rupanya juga tidak menghargai makanan.

Dengan perasaan kesal, Jongin akhirnya mengambil kembali plastik putih itu, kemudian berjalan menuju pintu. Namun sebelum lelaki itu meraih gagang pintu dan membukanya, ia sedikit menoleh ke arah Kyungsoo dan berujar, "Tidak baik menolak sebuah perhatian. Walaupun hanya kecil, tapi perhatian dari orang tua sangatlah berharga. Mereka tidak ingin Sajangnim sakit. Jangan abaikan perhatian itu."

Entah mendapat keberanian dari mana sampai-sampai Jongin bisa berkata seperti itu. Yang jelas, ia hanya merasa kesal karena Kyungsoo seolah tak peduli pada orang-orang yang mengasihinya.


Jongin bisa saja terlihat percaya diri saat mengatakan kalimat terakhir sebelum ia meninggalkan ruangan Kyungsoo. Tapi sekarang, lelaki itu sedang merenungi kenekatannya tadi. Bagaimana jika Kyungsoo tersinggung? Bagaimana jika ia dipecat?

Ya ampun, seharusnya ia tidak senekat itu. Meskipun ia merasa kesal, seharusnya ia bisa mengontrol emosinya. Kenapa sekarang ia jadi susah mengontrol emosi? Apakah ia sudah tertular oleh Kyungsoo?

Jongin terlalu sibuk meratapi nasibnya sampai-sampai ia tak menyadari bahwa Baekhyun sudah kembali ke meja kerjanya, memandangnya dengan heran. "Kau kenapa?" tanyanya.

Jongin akhirnya sadar bahwa ia melamun. Ah, kenapa ia jadi sering melamun?

"Kau sudah kembali?" lelaki itu justru balas bertanya.

"Biasakan untuk menjawab pertanyaan terlebih dahulu sebelum bertanya, Kim."

Suara helaan nafas terdengar. Jongin menghela nafas berat, mengabaikan petuah mendiang kakeknya yang mengatakan bahwa menghela nafas seperti itu hanya akan memperpendek usia. Persetan, ia tak mempedulikan itu sekarang.

"Kurasa sebentar lagi aku akan dipecat."

Baekhyun mengangkat sebelah alisnya, menatap Jongin dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia ingin meminta penjelasan dari Jongin, tapi dering telepon mencegahnya bicara.

Oh, itu telepon dari Kyungsoo! Jongin semakin gugup.

Baekhyun dengan tenang menjawab panggilan Kyungsoo, "Ada yang bisa saya bantu, Sajangnim?"

Jongin mulai menggigit kuku jari tangannya, satu kebiasaan lain ketika ia gugup.

"Iya, Sajangnim, Asisten Kim ada di sini."

Mati kau! Kyungsoo bertanya tentang Jongin! Apa ia benar-benar akan dipecat. Atau jangan-jangan, Kyungsoo ingin menanyakan perihal makanan yang tadi dikirimkan oleh ayahnya! Makanan itu sudah lari ke perut Jongin. Tadi Jongin menyantapnya setelah keluar dari ruangan Kyungsoo. Perasaan gugup dan takut ternyata membuatnya lapar.

"Oh, baiklah, Sajangnim, saya akan meminta Asisten Kim untuk ke ruangan Anda."

Benar, 'kan? Jongin dipanggil ke ruangan atasannya? Ia pasti akan dipecat atau mungkin akan—

"...Kim Jongin! Kau melamun lagi?!" Jongin menggeleng kaku. Sepertinya sejak tadi Baekhyun memanggilnya, tapi ia terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga ia tidak dengar. "Sajangnim memanggilmu, sebaiknya kau cepat masuk."

"Bagaimana kalau aku tidak masuk saja? Aku takut..."

"Ish... Kau itu kenapa? Kenapa tiba-tiba takut begitu? Jangan-jangan, kau berbuat macam-macam pada Sajangnim ya saat aku pergi makan siang tadi?"

"Diam kau, Byun! Mulutmu terlalu bawel!"

Dengan terpaksa Jongin bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu. Ia berdoa dalam hati, lalu perlahan mengetuk pintu neraka di depannya. Setelah beberapa saat, ia memberanikan diri menggerakkan gagang pintu dan mendorong pintu itu hingga terbuka.

Pemandangan yang ia lihat kali ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Jika biasanya Kyungsoo selalu duduk di belakang mejanya sembari memeriksa bertumpuk-tumpuk dokumen, maka kali ini Kyungsoo terlihat sedang berjongkok di depan lemari dokumen yang terletak tepat di samping meja kerjanya. Wanita itu sedang sibuk mengeluarkan folder demi folder yang sebelumnya tertata rapi di lemari.

Dengan ragu Jongin berjalan mendekat dan berhenti kurang lebih tiga meter di dekat Kyungsoo. "Sa-sajangnim..." Kembali lagi si gagap Kim Jongin.

Kyungsoo mendengar panggilan itu. Ia mendongak menatap Jongin. Menatap pemuda itu dengan tatapan datar. Ia menumpuk folder yang telah ia keluarkan dari lemari, kemudian berdiri. Saat sudah berdiri berhadapan dengan Jongin, Kyungsoo masih menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi.

Melihat hal itu, Jongin semakin gugup. Ia tidak bisa membaca pikiran Kyungsoo. Mata atasannya itu tampak kosong hingga ia tak bisa menemukan petunjuk apapun di sana.

Jongin sedikit terkejut saat Kyungsoo tiba-tiba menyodorkan setumpuk folder yang tadi ia bawa pada Jongin. Jongin yang bingung juga tidak langsung mengambil alih folder-folder itu.

"Ambil ini," akhirnya Kyungsoo bicara karena ia tak kuat lagi menahan beban di tangannya. Mau tak mau Jongin mengambil alih folder-folder itu dari Kyungsoo. "Folder-folder itu berisi data-data klien kita sejak lima tahun lalu. Aku sudah memeriksanya, dan ternyata file-nya tidak dikelompokkan berdasarkan tahun sehingga sulit untuk dibaca. Tolong kau tata ulang folder-folder itu, urutkan file-nya berdasarkan tahun."

Saat ini Kyungsoo sudah kembali duduk di kursinya, meninggalkan Jongin yang masih terbengong di tempat berdirinya.

Lagi-lagi Kyungsoo meminta Jongin untuk menata ulang sesuatu, tapi entah kenapa, kali ini kesannya berbeda. Kyungsoo tidak segalak biasanya. Jika diperhatikan, Kyungsoo sepertinya sangat lelah. Mungkin karena itu, ia jadi tak memiliki energi untuk marah-marah. Lagipula, Jongin tahu Kyungsoo tidak makan siang tadi.

Ah! Makan siang, ya? Jongin jadi mengingat sesuatu...

"Sajangnim... Sa-saya minta maaf."

Permintaan maaf Jongin mampu menyita atensi Kyungsoo. Wanita muda itu mendongak menatap Jongin dengan sebelah alis yang terangkat. "Maaf untuk apa?" tanyanya.

Jongin masih berdiri kikuk saat menjawab, "Tadi saya sudah bersikap lancang. Saya tidak bermaksud seperti itu, Sajangnim. Tolong maafkan saya." Pemuda itu sedikit membungkuk guna meminta maaf.

"Oh..." Kyungsoo menimpali dengan santai. Ia kini sudah berkutat dengan iPad di tangannya. "Aku bahkan sudah lupa tadi kau bicara apa. Aku tidak peduli." Ia sedikit mengangkat bahu acuh.

Jongin mengedip pelan sembari menatap Kyungsoo yang benar-benar terlihat cuek. Apa benar ia telah melupakan semua yang ia katakan tadi? Semudah itu? Oh, mungkin Tuhan sedang berbaik hati padanya.

Tapi tetap belum ada kepastian apakah pekerjaan Jongin masih aman atau tidak. Ya, ia harus memastikan untuk hal yang satu itu.

"Ehm..." sebenarnya ia sedikit bingung harus mulai dari mana. "Jadi, Sajangnim tidak akan memecat saya?"

Kyungsoo sedikit mendengus malas mendengar pertanyaan Jongin. Pria itu terlalu bodoh atau terlalu polos? Kenapa bedanya tipis sekali.

"Kau masih ingin terus bertanya padaku? Kalau kau terlalu banyak bertanya dan tidak segera mengerjakan tugas dariku, aku akan memecatmu saat ini juga."

Dan Jongin langsung berlari menuju sofa panjang di ruang kerja Kyungsoo untuk mulai melaksanakan tugas dari Kyungsoo. Kyungsoo yang melihat hal itu hanya bisa menghela nafas jengah. Jongin benar-benar bocah aneh nan ajaib, pikirnya.

Tapi Jongin tak terlalu peduli pada apa yang Kyungsoo pikirkan, ia dengan rajin mulai menata file berdasarkan tahunnya, sesuai dengan perintah Kyungsoo tadi. Ia lega bukan main karena Kyungsoo tidak memecatnya. Benar kata Chanyeol waktu itu, mencari pekerjaan tidaklah gampang, jadi ia memutuskan untuk tidak gampang menyerah di sini.

Saat masih asyik berkutat dengan file dan folder di tangannya, telinga Jongin menangkap suara ketukan di pintu ruangan Kyungsoo. Secara refleks kepala Jongin tertoleh ke arah pintu ketika pintu berwarna hitam itu perlahan mulai terbuka. Ia tersenyum lebar begitu melihat Baekhyun memasuki ruangan, tapi senyumnya lenyap dan tergantikan dengan ekspresi penuh tanya ketika matanya melihat sosok pria asing berjalan di belakang Baekhyun.

"Permisi, Sajangnim," suara Baekhyun terlantun halus seperti biasa, namun Kyungsoo tak menanggapi. Wanita berkulit putih itu tetap sibuk dengan iPad-nya. "Sajangnim, ada tamu yang ingin bertemu Anda."

"Hm, persilahkan duduk," akhirnya Kyungsoo merespon walaupun tanpa mengalihkan pandangan dari gadget-nya.

Baekhyun pun menuruti perintah atasannya. Wanita cantik itu mempersilahkan sang tamu untuk duduk di kursi yang berseberangan dengan Kyungsoo. Setelahnya, wanita bermarga Byun itu pamit undur diri.

Saat ini si pria berkulit putih yang berstatus sebagai tamu itu masih diam sembari terus menatap Kyungsoo dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Mungkin tatapan rindu, tatapan sesal, atau tatapan apa? Entahlah.

Kyungsoo tampaknya merasa risih karena terus ditatap intens oleh tamunya yang hingga saat ini belum ia sapa. Akhirnya wanita itu menyerah. Ia letakkan tablet PC-nya di atas meja, lalu mengangkat kepalanya untuk menatap sang tamu. Dan seketika itu pula, tubuh Kyungsoo membeku. Mata bundarnya semakin bertambah volume ketika ia mengenali wajah pria di hadapannya.

Jongin yang masih ada di ruangan itu rupanya setia sebagai penonton. Ia menyaksikan semuanya, termasuk saat ekspresi wajah Kyungsoo tiba-tiba berubah saat wanita itu bertatapan dengan si pria. Kenapa Kyungsoo seperti itu? Siapa pria itu? Dan... Kenapa Kyungsoo terlihat... Terluka?


Dalam hidupnya, Kyungsoo tidak pernah memiliki hasrat besar untuk melakukan sesuatu ataupun memiliki sesuatu. Ah, sebenarnya bukannya tidak pernah. Kyungsoo pernah merasakan hasrat itu, hasrat ketika Kyungsoo menginginkan sesuatu yang lebih dalam hidupnya. Ketika Kyungsoo merasa sedikit lebih hidup dan merasa lebih bersemangat untuk menjalani hidup. Saat itu Kyungsoo tetap sama seperti sekarang; dingin dan datar. Ia tidak berubah sama sekali. Hanya saja, ada sedikit nyawa dalam tatapan mata wanita itu. Ada seberkas cahaya yang menyinari kegelapan hidup dan hatinya.

Kejadian itu sudah lama, mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu—Kyungsoo tidak mengingatnya secara rinci dan ia memang tidak mau mengingatnya. Saat itu ia baru memulai studinya di jenjang Magister, dimana ia kembali bertemu dengan orang baru di lingkungan yang baru. Saat itu Kyungsoo bertemu dia, dia yang menghadirkan bias warna dalam hidup Kyungsoo yang kelam, dia yang merajut tawa dalam hidup Kyungsoo yang bisu, dan dia yang membawa pergi hati Kyungsoo tanpa sisa sedikitpun.

Dia. Kyungsoo tidak ingat kapan tepatnya, dan ia pun tidak ingat bagaimana perasaannya kala itu. Ia tetaplah Kyungsoo yang sama. Kyungsoo si kaku, Kyungsoo si dingin, Kyungsoo si emosional. Ya, semua sama. Tapi, ada satu yang berbeda, saat itu jantung Kyungsoo berdetak lebih kencang, bahkan kadang membuatnya sesak—tapi menyenangkan. Cacing-cacing di perutnya tidak merengek minta makan, namun terus bergoyang hingga membuatnya merasakan sensasi geli. Sebuah sensasi aneh tapi sangat ia nikmati.

Ya, Kyungsoo masih ingat saat-saat itu. Saat-saat dimana ia merasa bahagia walaupun tidak ia tunjukkan lewat ekspresi. Ia merasa lengkap walaupun tak ada seorang pun yang tahu.

Tapi sayang, perasaan membuncah itu tidaklah kekal. Seseorang itu memutuskan untuk meninggalkannya tanpa pesan di hari kelulusan mereka, sesaat setelah Kyungsoo mengakui seluruh perasaannya kepada orang itu.

Kyungsoo tidak mau dikatakan hancur. Tidak, ia tidak hancur. Semua tetap sama bagi wanita itu. Ia melanjutkan studi S3-nya, ia tetap menjalani aktivitas hariannya seperti biasa, dan ia tetap tidak tersenyum dan tidak menangis. Kyungsoo tetap sama, jika dilihat dari luar. Tapi jika kau menilik lebih dalam ke hati wanita itu, kau akan menemukan lubang besar di sana, karena hati wanita itu telah tercuri. Tercuri oleh seorang kriminal tampan yang saat ini duduk di hadapannya.

"Mau apa kau kemari?" wanita itu akhirnya mengawali pembicaraan dengan nada super dingin. Topeng itu tetap harus terpasang, kepura-puraan itu tetap harus dipertahankan. Ia tak mau orang lain melihat kerapuhannya. Ia tak mau orang lain melihat lukanya. Tidak.

Pria di hadapan Kyungsoo menghela nafas maklum. Ia sudah menduga bahwa Kyungsoo akan bersikap dingin padanya. Ia sudah menghilang tanpa kabar selama lebih dari tiga tahun, dan tiba-tiba saja sekarang ia kembali muncul di hadapan Kyungsoo. Siapa yang tidak kesal?

"Bagaimana kabarmu, Kyungsoo?" pria itu justru balas bertanya.

Kyungsoo menatap pria di depannya dengan tatapan malas. "Apa kabarku ini penting bagimu?"

Kembali pria tampan bermata sipit itu menghela nafas berat. Sepertinya ini akan sulit, tapi ia tetap harus menjelaskan semuanya.

"Aku ingin menjelaskan semuanya padamu, Kyungsoo."

"Kau masih ingat letak pintu yang kau masuki tadi, 'kan? Jadi pasti kau bisa keluar dari ruangan ini tanpa perlu diseret satpam."

Pria bertubuh jangkung itu mengusak rambutnya gusar. Kyungsoo yang sekarang sama sekali tidak berbeda dengan Kyungsoo yang dulu. Kyungsoo masih dingin, angkuh, dan keras kepala. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa ia dulu bisa dekat dengan wanita itu. Bukan hanya dekat, tapi mereka berdua sudah seperti pasangan kembar siam yang selalu menempel kemana-mana. Ah... Ingatan itu membuat si pria tersenyum meskipun hanya sebuah senyum tipis.

"Setelah aku menemuimu usai upacara kelulusan, aku mendapat kabar bahwa ayahku sakit keras. Aku—"

"Aku tidak ingin mendengarnya."

"—aku langsung membeli tiket pesawat dan langsung kembali ke Korea saat itu juga. Maafkan aku kar—"

"Aku tidak mau tahu!"

"—maafkan aku karena aku tidak sempat mengabarimu. Aku langsung disibukkan oleh urusan kantor ayahku karena saat aku tiba di Korea, ayahku—"

"BERHENTI BICARA! AKU TIDAK MAU DENG—"

"—ayahku meninggal saat itu."

Dan suasana mendadak hening. Kyungsoo tidak lagi menyela cerita pria di depannya. Ia tidak tahu kalau ceritanya seperti itu. Ia tidak tahu kalau pria itu mengalami masa sulit sejak meninggalkan California.

Tapi tetap saja, Kyungsoo tetap tidak bisa menghilangkan rasa bencinya pada pria berbibir tipis itu. Pria itu sudah menyakitinya, menyayat hatinya sampai tak bersisa.

"Maafkan aku karena aku tak pernah menghubungimu sejak aku pulang ke Korea. Aku benar-benar fokus mengelola perusahaan yang ditinggalkan oleh ayahku. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyakitimu, Kyungsoo."

Persetan dengan hal itu, Kyungsoo tak peduli. Ia merasa tak dianggap dan dilupakan begitu saja oleh pria yang pernah dikasihinya tersebut.

"Kalau kau sudah selesai, lebih baik kau pergi. Aku sibuk."

Pria di hadapan Kyungsoo sepertinya sudah menyerah. Sepertinya ia sudah tak memiliki harapan untuk membuat Kyungsoo memaafkannya. Ia benar-benar harus menyerah sekarang. Yang penting ia sudah menjelaskan semuanya.

Pria berambut hitam lurus itu kemudian menyerahkan sebuah paper bag kecil yang sejak tadi ia bawa kepada Kyungsoo. Sebenarnya ia hanya meletakkan benda berbahan dasar kertas itu di atas meja karena ia tak berharap Kyungsoo akan menerimanya.

"Aku akan pergi." Pria itu berdiri dari kursi. "Aku tidak berharap kau akan memaafkanku, tapi kalau suatu hari nanti maaf itu tiba-tiba hadir di hatimu, kuharap kau bersedia bertemu denganku lagi." Dan akhirnya pria itu keluar dari ruangan Kyungsoo.

Kyungsoo membuang nafas kasar dan memukul mejanya dengan tangan walaupun tidak terlalu keras. Mata bulatnya melirik ke arah tas kertas yang tadi ditinggalkan oleh tamu-nya. Kyungsoo sejenak ragu, haruskah ia melihat isi yang ada di dalam tas kertas berwarna coklat itu?

Untuk beberapa menit Kyungsoo masih menimbang-nimbang, tapi pada akhirnya wanita berbibir tebal itu memutuskan untuk mengambil benda itu, kemudian melihat isinya dengan perlahan.

Alis tebal Kyungsoo mengkerut karena ia belum terlalu jelas melihat isi di dalam tas kertas itu. Alhasil, Kyungsoo memutuskan untuk mengeluarkan benda itu dari dalam tas kertas. Benda berwarna perak itu menyerupai sebuah buku, tapi jumlah lembaran kertasnya hanya sedikit, dan kertas pada benda itu juga lebih tebal dan halus jika dibandingkan dengan kertas pada buku biasa.

Kyungsoo mulai membuka lembar demi lembar benda berbentuk persegi itu, dan ekspresi wajahnya berubah seketika. Dada Kyungsoo kembang-kempis karena emosi. Matanya merah, seperti akan menangis. Tapi tentu Kyungsoo berusaha untuk menyembunyikan semua perasaannya. Ia butuh pelampiasan, dan akhirnya dengan kekuatan penuh ia melempar benda persegi itu ke pintu ruangannya. Suara benturan keras terdengar begitu saja, tapi Kyungsoo tak peduli. Wanita itu secara tergesa meraih kunci mobilnya, lalu bergegas keluar dari ruangan.

Dan Jongin hanya bisa membatu melihat semuanya secara live di ruangan itu. Iya, Jongin masih di sana, masih duduk di sofa maroon yang ada di ruangan itu. Ia berpura-pura mengerjakan tugas yang diberikan Kyungsoo, tapi sebenarnya ia mencuri lirik dan mencuri dengar sejak tadi. Ia tahu semua yang terjadi.

Lelaki itu berjalan dalam diam menuju pintu ruangan. Dengan pelan ia memungut benda persegi yang tadi dilempar secara brutal oleh Kyungsoo. Ia membuka-buka benda itu sampai akhirnya ia menemukan sebuah tulisan besar bertinta emas...

Wedding Invitation

Oh Sehun - Lu Han


"Kau benar-benar tidak mau bercerita tentang apa yang terjadi di dalam tadi?"

Sudah delapan kali Baekhyun menanyakan pertanyaan itu, pertanyaan yang sama, yang tak pernah dijawab oleh Jongin.

Lelaki itu berpura-pura sibuk dengan komputer di meja kerjanya, memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat.

"Kim Jongin~"

Baekhyun mulai merengek, dan Jongin mulai gentar.

"Kim Jongin tampaaaaan~"

Sebuah rengekan lagi, dan Jongin benar-benar mulai goyah.

"Kim Jong—"

"Oke, Byun Baekhyun! Aku paham."

Dan Baekhyun tersenyum lebar mendengar kalimat itu. Ia tahu bahwa rekan kerjanya itu sangat benci dengan segala macam rengekannya. Ia kini berharap Jongin akan menceritakan segalanya sehingga ia memiliki bahan untuk bergosip dengan Chanyeol nanti.

"Begini, Byun Baekhyun..." Jongin memulai, dan Baekhyun di seberang mejanya mendengarkan dengan seksama. "Semua yang terjadi di ruangan Sajangnim adalah urusan pribadinya, aku tidak bisa menceritakan apapun padamu."

Dan Baekhyun langsung menekuk wajah begitu ia mendengar ucapan Jongin. Jongin memang benar, semua yang terjadi di ruangan Kyungsoo adalah rahasia pribadinya. Baekhyun memang merasa penasaran sejak ia mendengar suara gaduh akibat benda yang dilempar ke arah pintu, tapi ia bisa mengontrol rasa penasarannya itu. Ia tidak boleh memaksa.

Jongin menghela nafas lega karena Baekhyun tidak bertanya lagi. Ia pikir Baekhyun tak akan menyerah secepat itu, tapi ternyata ia salah. Ia bersyukur karena Baekhyun bisa memahami situasinya.

Suara dering ponsel menginterupsi pemikiran Jongin. Ia menoleh ke arah mejanya, dan ternyata ponselnya yang berdering. Segera saja tangan Jongin terulur untuk mengambil benda berbentuk persegi panjang itu. Jongin sedikit kaget karena ternyata mantan bosnya yang menelepon.

Meskipun kaget, Jongin tetap menjawab panggilan itu dan menyapa mantan atasannya dengan sopan.

"Asisten Kim, apakah Kyungsoo ada di kantor? Dari tadi aku meneleponnya tapi tidak diangkat."

Jongin mengerutkan kening mendengar pertanyaan atasannya. Ia sedikit bingung harus memberi jawaban apa.

Tapi penelepon di seberang terus mendesaknya agar memberi jawaban, jadi Jongin tak ada pilihan lain selain menjawab dengan jujur, "Sajangnim meninggalkan kantor sejak tadi siang, Tuan. Sampai sekarang beliau belum kembali."

Cukup lama Jongin menunggu balasan dari seberang, tapi balasan itu tak kunjung datang. Jongin bahkan mengira jika mantan atasannya memutus sambungannya jika saja tidak ada suara lagi dari seberang.

"Tolong kau cari Kyungsoo, Asisten Kim. Aku tahu aku sudah bukan atasanmu lagi, tapi aku benar-benar meminta bantuanmu sebagai seorang ayah yang mencemaskan kondisi putrinya. Sebentar lagi gelap, dan aku mengkhawatirkan keadaannya."

Batin Jongin tersentuh mendengar permohonan mantan bosnya. Selama ini mantan bosnya itu tak pernah memohon padanya sampai seperti itu. Tapi hari ini, demi Kyungsoo, sang mantan CEO sekaligus founder perusahaan rela merendahkan harga dirinya dengan memohon pada mantan bawahannya.

"Saya akan mencari Sajangnim, Tuan. Tuan jangan khawatir."

Jongin bisa mendengar suara helaan nafas lega dari seberang setelah ia memberikan jawaban. Sang mantan atasan kemudian mengatakan bahwa Jongin bisa menggunakan mobil kantor saat mencari Kyungsoo. Jongin pun menerima tawaran itu karena ia memang tak memiliki kendaraan pribadi.

Setelahnya, sambungan telepon terputus, dan Jongin langsung disuguhi oleh wajah penasaran Byun Baekhyun di depan mejanya. Lelaki itu menghela nafas, lalu mulai membereskan barang-barangnya. Bersiap untuk mencari Kyungsoo sekaligus pulang ke rumah karena hari memang sudah sore dan jam kerja hampir selesai.

"Aku akan mencari Sajangnim, dan tolong kau jangan banyak bertanya."

Mendengar penuturan Jongin, Baekhyun hanya bisa mengangguk lemas. Ia lagi-lagi mencoba mengerti walaupun rasa penasaran menggerogoti hati.


Jongin mulai mengitari Kota Seoul dengan mengendarai mobil milik kantor. Mobil sedan hitam itu terbilang mewah, dan Jongin tak pernah bermimpi setinggi itu untuk memiliki kendaraan seperti itu. Ia cukup tahu diri.

Langit sudah mulai gelap ketika Jongin terus mencari sosok makhluk yang biasanya galak bernama Do Kyungsoo. Apa wanita itu kabur gara-gara sakit hati? Tapi, apa iya wanita yang terlihat kuat dan tegar seperti Kyungsoo benar-benar bisa merasakan sakit hati?

Jongin membuang jauh-jauh pikirannya yang mulai kacau. Bagaimana bisa ia berpikir aneh begitu saat ia seharusnya fokus mencari Kyungsoo? Pria itu akhirnya mulai berpikir serius. Pasti ada suatu tempat yang biasanya didatangi oleh orang yang pikirannya sedang kalut. Tapi dimana? Tempat apa yang biasa dikunjungi jika sedang risau?

Klub malam. Biasanya orang-orang yang sedang galau mengunjungi tempat itu untuk mengonsumsi alkohol dan melupakan penat sejenak. Jongin sendiri belum pernah pergi ke klub malam, tapi cerita dari Chanyeol cukup memberinya gambaran mengenai seperti apa tempat hiburan malam itu.

Tapi ngomong-ngomong, ini belum malam, baru petang. Klub malam mana yang sudah buka jam segini? Meskipun Jongin tidak mengenal dunia gemerlap, tapi ia yakin jika jam segini belum ada klub malam yang buka. Jadi, tidak mungkin Kyungsoo mendatangi tempat itu, 'kan?

Otak Jongin kembali berpikir tentang tempat yang mungkin didatangi Kyungsoo. Tempat lain yang mungkin menyediakan alkohol yang bisa menjadi hiburan bagi jiwa yang resah. Ah... Jongin jadi ingat pada adegan di drama-drama yang sering ditonton ibunya. Biasanya, jika pemeran utamanya sedang galau, mereka akan mendatangi kedai-kedai sederhana di pinggir jalan. Iya, kedai-kedai sederhana yang hanya menggunakan terpal plastik sebagai dindingnya. Kedai-kedai itu disebut dengan Pojangmacha, yang sebenarnya tidak hanya menjajakan minuman beralkohol, tapi juga beberapa jenis makanan. Para pemeran di drama-drama itu biasanya minum soju di sana.

Nah! Kenapa tidak kepikiran dari tadi? Mungkin saja Kyungsoo ada di salah satu kedai pinggir jalan di sekitar sini. Kini Jongin kembali memfokuskan matanya untuk mencari Kyungsoo. Ia mencoba mencari mobil Kyungsoo—ia tadi sudah bertanya pada ayah Kyungsoo mengenai merk, warna, serta plat nomor mobil Kyungsoo supaya mempermudah pencarian.

Setelah terus melakukan pencarian tanpa kenal lelah, Jongin akhirnya melihat sebuah mobil putih—yang sesuai dengan ciri-ciri mobil Kyungsoo—terparkir di pinggir jalan di daerah Itaewon. Oh, Itaewon, ya? Jongin sedikit ragu sebenarnya. Memangnya siapa yang tidak mengenal Itaewon yang sering disebut surganya para gay? Aduh, bagaimana kalau salah satu lelaki gay di sana tertarik padanya? Jongin menggelengkan kepala. Kenapa juga tiba-tiba ia berpikiran seperti itu? Tujuannya adalah menemukan Do Kyungsoo, tidak perlu memikirkan yang lain. Lelaki berkulit kecoklatan itu akhirnya menyalakan lampu sign, lalu perlahan menepikan mobilnya, memarkir mobil itu tepat di depan mobil Kyungsoo.

Setelah mobilnya terparkir sempurna, pemuda itu melepas sabuk pengamannya, lalu segera keluar dari mobil. Ia sedikit berlari sambil mencari sosok Do Kyungsoo. Matanya menangkap bayangan sebuah kedai di pinggir jalan dengan terpal berwarna oranye, dan ia segera berlari ke arah kedai itu. Dan Jongin menghembuskan nafas lega karena matanya mendapati sosok Kyungsoo sedang duduk di salah satu meja, dan terdapat beberapa botol soju di meja itu.

Sembari menetralkan nafasnya yang tersengal karena berlari, Jongin berjalan mendekat ke meja Kyungsoo. Wanita itu sepertinya sudah mabuk sampai-sampai tak menyadari keberadaan Jongin, bahkan saat pemuda itu sudah duduk di depannya.

Kyungsoo terus mengabaikan kehadiran Jongin. Bahkan wanita itu berniat untuk menuangkan botol soju ke-6 ke dalam gelas jika saja tangan Jongin tidak menahan pergerakan tangan wanita itu.

"Anda sudah terlalu mabuk, Sajangnim."

Mendengar Jongin bicara, Kyungsoo sontak menatap Jongin. Pandangan mata wanita itu tidak fokus, dan otaknya juga terlalu dikuasai oleh alkohol hingga ia tak mengenali Jongin. "Kau siapa?" tanyanya dengan suara parau.

"Saya Kim Jongin, asisten Anda, Sajangnim."

"Ah! Kau si Kim menyebalkan itu ternyata!" Kyungsoo mengangguk-angguk seolah ia sepenuhnya sadar. "Kau si pengacau Kim. Kenapa kau masih bertahan di kantor, huh? Kau tidak berniat untuk mengundurkan diri?"

Astaga, walaupun sedang mabuk, tapi Kyungsoo tetap menyebalkan. Perkataannya tetap saja tajam dan menusuk hati.

"Apa Anda ingin saya mengundurkan diri, Sajangnim?" dan Jongin malah memilih untuk menanggapi ocehan Kyungsoo.

Kyungsoo tak lantas menjawab. Wanita itu justru memiringkan kepalanya, memasang pose berpikir sambil terus menatap Jongin. Kenapa Kyungsoo jadi terlihat imut kalau seperti itu? Ya ampun, bagaimana bisa Jongin berpikir seperti itu? Cepat-cepat pria tampan itu kembali meluruskan akalnya. Yang ada di depannya sekarang adalah atasannya yang super galak, bukan artis Jepang yang sering memiliki wajah imut.

"Jujur saja..." Kyungsoo mulai menjawab. Kini ia menyangga dagunya dengan tangan kanannya dan terus menatap Jongin dengan matanya yang tidak fokus. "Terkadang aku memang ingin kau keluar dari perusahaan karena kau sangat menyebalkan. Tapi kalau dipikir-pikir, kau tidak seburuk itu."

Tanpa sadar Jongin tersenyum kecil mendengar jawaban jujur Kyungsoo. Setidaknya Kyungsoo tidak terlalu membencinya. Setidaknya Kyungsoo bersikap netral padanya meskipun ia sering melakukan kesalahan.

"Kau tidak seburuk Sehun..."

Pernyataan Kyungsoo membuat Jongin kembali memfokuskan telinga pada Kyungsoo. Sehun, nama itu tertera pada undangan pernikahan yang dilempar oleh Kyungsoo siang tadi. Ia yakin, lelaki bernama Sehun itu adalah lelaki yang sama yang datang ke kantor siang tadi. Orang yang membuat Kyungsoo menjadi seperti ini.

"Aku mengenal Sehun saat aku masih tinggal di California. Ia pindah ke sana untuk melanjutkan studi S2 nya. Kami berada di kampus yang sama, dan kami mulai berteman dekat saat itu. Ia adalah satu-satunya teman yang kumiliki. Ia mau dekat denganku walaupun sifatku sangat buruk."

Jongin hanya diam ketika Kyungsoo bicara. Ia membiarkan wanita itu menumpahkan isi hatinya yang mungkin dipendam selama ini.

Kyungsoo terlihat berbeda saat mabuk. Beberapa kali Jongin melihat wanita itu tersenyum, bahkan terkekeh ringan. Kenapa Kyungsoo tidak pernah seperti itu saat ia dalam kondisi sadar?

"Ini memang sifatku..." kalimat itu seolah menjawab pertanyaan Jongin. "Sejak kecil aku memang seperti ini. Mungkin aku menuruni sifat ayah."

Lagi-lagi Kyungsoo tertawa kecil saat bercerita. Dari cerita itu, Jongin tahu bahwa faktor yang menyebabkan Kyungsoo bersikap dingin dan angkuh adalah karena ayahnya. Mungkin karena didikan ayahnya, ia menjadi seperti itu. Ia tidak memiliki masalah lain yang membuatnya menjadi sedingin es begitu.

"Tapi percayalah... Aku ini masih punya hati. Aku juga bisa merasakan jatuh cinta..."

Kini tatapan Jongin kepada Kyungsoo berubah menjadi tatapan iba. Apa selama ini orang-orang selalu menganggap Kyungsoo tidak punya hati? Oke, Jongin sendiri juga sempat berpikiran seperti itu.

"Aku jatuh cinta pada pria itu, pada Sehun, yang merupakan sahabatku sendiri. Aku mencintai sahabatku sendiri."

Lagi-lagi Kyungsoo ingin meraih botol soju yang masih penuh, tapi Jongin kembali menahan pergerakan tangan wanita itu, menghasilkan tatapan tidak suka di mata Kyungsoo.

"Semua pria memang menyebalkan," Kyungsoo kembali menopang dagunya di atas meja, menatap Jongin dengan puppy eyes yang selama ini tak pernah ia tunjukkan saat ia sadar. "Sehun sangat menyebalkan. Tanpa pamit, ia kembali ke Korea setelah aku menyatakan perasaanku padanya. Apa ia sangat jijik padaku sampai-sampai ia berusaha menjauh dariku?"

Kini nada bicara Kyungsoo mulai berubah sedih, dan Jongin mulai panik. Apa yang harus ia lakukan jika Kyungsoo benar-benar menangis? Menghadapi wanita yang menangis benar-benar bukan impian semua pria.

"Dan hari ini, hari ini pria brengsek itu tiba-tiba menemuiku. Kau tahu, Kim? Awalnya kupikir ia menemuiku untuk menjawab pernyataan cintaku tiga tahun silam, tapi nyatanya aku salah. Ia datang hanya untuk mengantarkan undangan pernikahan. Apa bagusnya wanita bernama Lu Han itu jika dibandingkan denganku? Dan mereka akan menikah dua minggu lagi? Apa aku harus datang dan memberi selamat pada mereka? Jawab aku, Kim!"

Kyungsoo mulai berteriak histeris. Wanita itu mulai menangis sesenggukan sehingga menarik perhatian dari orang-orang di sekitar mereka. Aduh, bisa jadi para penyuka sesama jenis juga mulai menatap Jongin. Semoga mereka tidak tertarik padanya.

Mau tak mau, Jongin harus menenangkan Kyungsoo. Lelaki tan itu berdiri, kemudian memeluk tubuh ringkih Kyungsoo. Mendapat perlakuan seperti itu, Kyungsoo memberontak. "Lepaskan aku, bodoh! Aku tidak mau terlihat lemah! Aku ini wanita kuat! Aku tak membutuhkan orang lain!"

Tapi Jongin tak menghiraukan bentakan Kyungsoo. Pemuda itu justru semakin erat memeluk tubuh Kyungsoo, berharap itu bisa memberikan sedikit kehangatan bagi jiwa Kyungsoo yang dingin.

"Kali ini saja... Kau boleh mengungkapkan perasaanmu. Kau boleh menangis, kau boleh terjatuh. Dan besok, lupakan semuanya. Lupakan bahwa kau pernah sakit, dan kembalilah menjadi Do Kyungsoo yang tegar."

Sebut saja Jongin nekat karena ia bicara banmal begitu pada Kyungsoo. Ia hanya ingin wanita itu merasa nyaman, itu saja. Ia siap menghadapi segala konsekuensinya besok.

Tapi untungnya Kyungsoo jadi sedikit lebih tenang berkat ucapan dan pelukan Jongin. Wanita itu kini menangis pilu di dada Jongin, dan dua tangannya meremas kemeja Jongin di bagian pinggang. Mungkin benar, Kyungsoo memang membutuhkan sandaran.


Tidak ada yang bilang bahwa yang namanya menjalani hidup akan semudah membalikkan telapak tangan. Dalam menjalani hidup, kita diibaratkan sebagai balita kecil yang sedang berlatih berjalan. Kita bisa berjalan lancar satu atau dua langkah, tapi kemudian kita terjatuh karena pijakan kaki kita belumlah terlalu kuat.

Dalam hidup juga seperti itu. Ada saat dimana semua yang kita rencanakan berjalan dengan mulus, semua berjalan sesuai dengan keinginan kita. Tapi ada pula saat dimana muncul hambatan dan rintangan yang membuat kita terjatuh. Menantang kita, apakah kita mampu bangkit atau tidak.

Semua manusia pasti pernah mengalami fase terjatuh, tapi tidak semua manusia memahami bagaimana cara untuk bangkit dari jatuhnya itu.

Kita tidak harus bangkit dengan cepat, secepat kecepatan radiasi matahari sampai ke permukaan bumi. Tidak, tidak harus seperti itu. Kita hanya perlu bangkit pelan-pelan. Belajar untuk kembali berjalan menapaki sebuah jalan baru yang mungkin saja akan lebih baik. Dan apabila kita tak bisa bangkit sendirian, maka terimalah uluran tangan dari orang-orang di sekitar. Orang-orang yang ingin membantu kita untuk bangkit.

Do Kyungsoo tak pernah mau menerima uluran tangan orang-orang di sekitarnya. Ia adalah wanita yang terbiasa hidup mandiri sejak kecil sehingga ia merasa bisa hidup sendiri meskipun tanpa orang lain.

Dari luar ia terlihat baik-baik saja. Ia hidup dengan baik, memiliki karier yang bagus, dan memiliki harta berlimpah. Tapi siapa tahu jika ada lubang besar yang menganga di jiwa wanita muda itu.

Ayahnya mungkin terlihat seperti diktator, dan ia memang selalu menganggapnya begitu. Tapi sesungguhnya, ayahnya begitu menyayanginya dan rela melakukan apapun untuknya. Sayangnya, Kyungsoo tidak pernah mau membuka mata hatinya untuk melihat itu semua. Ia terlalu rapat menutup pintu hatinya.

Selain ayahnya, kini ada Jongin yang menunjukkan kepeduliannya kepada Kyungsoo. Sang asisten pribadi dengan sabar memapah Kyungsoo untuk berjalan menuju mobil. Wanita itu masih meracau tak jelas. Meluapkan semua emosi yang selama ini terpendam jauh di lubuk hatinya. Emosi yang ia sembunyikan di balik sebuah topeng ketegaran yang hari ini terlihat retak.

Kyungsoo benar-benar butuh sandaran; saat ini, dan seterusnya. Wanita itu tak bisa hidup sendirian selamanya. Ia membutuhkan tangan untuk berpegang, membutuhkan bahu untuk bersandar. Tapi siapa yang bisa mengambil peran itu dalam hidup Kyungsoo?

Setelah berjuang keras, Jongin akhirnya berhasil memasukkan Kyungsoo ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman untuk wanita itu. Mereka pulang menggunakan mobil kantor. Mobil Kyungsoo ditinggal di sana karena nanti pasti ayah Kyungsoo akan menyuruh orang untuk mengambilnya.

To be continued...


Glad's note:

Ini... sudah sangat lama. Apa kabar kalian semua?

Terhitung udah satu setengah tahun sejak terakhir aku memposting sebuah cerita, dan mungkin ini mengejutkan karena hari ini aku posting lagi padahal aku dulu bilang kalau aku udah pensiun. Sebenernya sih, aku posting lagi karena story ini emang udah lama banget aku tulis, jadi agak sedikit mengganjal buatku kalau nggak diposting. Meskipun begitu, aku belum ada rencana buat balik nulis lagi. Ya... aku cuma bakalan posting ini sampai end aja, dan karena aku belum ada niat buat main-main di dunia FF lagi, jadinya aku cuma publish ini as a two shot story. Masih ngrasa males mau buka-buka situs buat posting ini hahaha.

FF ini udah aku tulis sampai end, tapi next chapter sekaligus last chapter akan aku publish minggu depan. Aku nggak yakin bakal ada yang baca, tapi bakal tetep aku publish sampai end kok. Aku mencoba konsisten /laugh/

Oke, see you next week!