Avant l'aube
.
Pairing : Mainly Rivaille/Eren
Rating : T
Disclaimer : Shingeki no Kyojin belongs to Isayama Hajime, Cover Image not my own.
Warning : Typo(s), misstypo(s), lil!OOC.
.
.
"Dia aneh. Apa kau dengar dia bisa membuat seseorang menjadi sial?"
"Hieee~ apa kau serius? Tapi dia terlihat tidak seperti itu."
Segerombolan wanita itu tak hentinya melirik dan berbisik satu sama lain. Rok yang sedikit berantakan menyingkap kaki jenjang yang dengan sengaja mereka perlihatkan. Wangi parfum yang semerbak bercampur aduk di udara. Mereka saling merengkuh lengan teman di sebelahnya terkikik pelan sembari menunjuk seseorang.
Dua pemuda lewat di belakang mereka, nampak tidak tertarik dengan omong kosong yang sedang mereka bicarakan. Ketika mereka mendengar tawa para wanita itu makin mengeras salah seorang di antaranya melirik dengan mendecak, "Lihat itu, mereka benar-benar terlihat bodoh," gumam seorang pemuda dengan pakaian yang sangat rapih dan teratur, rambut coklat pucatnya membuat orbs abu-abu itu bersinar terang. Ia memakai baju yang lengannya lebih besar, menggulungnya sampai siku.
"Kau itu seperti baru mengenal mereka saja," jawab pemuda satunya. Rambut hitam dengan bagian bawah tercukur rapih dengan poni yang terjuntai menutupi pipinya tidak mampu menyembunyikan kulit putih pucat dengan pandangan tajamnya. Ia mendekap buku besar dengan tulisan sastra di lengan kiri, melirik temannya dengan senyum sinis.
Si rambut coklat pucat tertawa kecil, menanggapi dengan santai, "Oh, bahkan aku tidak mengenal mereka."
Hari sudah menjelang malam ketika mereka berdua keluar dari gedung fakultas sastra. Langit sore dengan aksen warna oranye bercampur ungu gelap mendekati hitam semakin menyelimuti mereka. Udara kian mendingin dan banyak orang yang bercakap-cakap sembari berjalan di sekitar mereka.
Hanya dengan diam kalian bisa lebih mudah mengamati seseorang, setidaknya itu yang dipikirkan oleh pemuda dengan rambut hitam legam itu. Sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di universitas ini, ia bisa langsung mengira banyak idealisme yang tidak berguna di dalamnya. Hidup itu keras dan tidak sebaik yang mereka kira.
Gosip, penindasan, dan labeling untuk beberapa anak dengan status sosial yang di bawah rata-rata sudah menjadi hal yang biasa di negeri ini. Terlebih lagi anak perempuan, dia tidak tahu bagaimana cara membuat mereka diam dengan mulut besar itu.
Karena tetap saja, rumor menyebar lebih cepat dibandingkan angin.
Mereka berjalan dengan santai, sebenarnya hanya salah satu dari mereka yang terlihat menikmati perjalanan membosankan itu. Sedangkan yang satunya terlihat tidak peduli dan hanya mengiyakan semua ucapan temannya. Tidak berniat menanggapinya terlalu jauh.
"Ah, Levi apa kau tahu jika kita akan mengadakan acara bakti sosial?"
Pemuda yang mengenakan pakaian dominan hitam itu menoleh ke arah temannya yang berambut pirang, "Huh? Kau tahu dari mana?"
Si rambut coklat–atau yang akrab dipanggil Farlan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, ekspresinya terlihat mengejek lalu bergumam dengan nada sinis, "Eiii, kau benar-benar tidak tahu."
Levi Ackerman, nama yang tidak begitu asing di sana karena dia adalah salah satu anak dengan prestasi tinggi yang dengan begitu mudahnya mendapatkan beasiswa. Lulusan universitas terbaik yang membawanya menjadi dosen literatur yang paling disegani.
Namanya berasal dari bahasa perancis, terkadang logat kental dari tempatnya tumbuh itu masih ikut terbawa. Ayahnya memang berasal dari negeri yang terkenal dengan brand fashion-nya itu.
Terkenal dengan kejeniusannya, sudah hampir lebih dari delapan tahun ia tinggal di Jepang–negeri kelahiran ibunya. Menjelaskan kenapa ia memiliki wajah khas asia karena ibunya merupakan wanita asli Jepang dengan rambut hitam legam dan mata sipit dengan garis pandang tajam. Setidaknya itu yang pamannya ceritakan, Kenny Ackerman. Kedua orang tuanya telah lama meninggal, yatim piatu dari lahir.
Ia orang yang mandiri, bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa perlu mengemis kepada orang tuanya. Kuliah di Jepang bermodal beasiswa dari sana-sini, terkadang bekerja paruh waktu di beberapa perusahaan kecil yang masih berkaitan dengan literatur. Dan sekarang bisa menjadi dosen dengan usahanya sendiri adalah suatu kebanggaan yang cukup mendalam.
Sebenarnya Levi tidak perlu takut dengan masa depannya, saat ia SMA sebuah perusahaan yang bergelut dalam bidang kesastraan dan sangat terkenal di Jepang telah merekrutnya dan ia resmi menjadi salah satu anggota dengan bayaran tinggi saat ia menyelesaikan kuliahnya. Bisa dibilang saat ini ia merangkap dua pekerjaan, walau tidak banyak yang tahu.
Tidak ada paksaan, semuanya bahkan terlihat santai. Bahkan Farlan yang hanya berkecimpung di dunia pendidikan masih kewalahan menyusun materi ajar untuk besok pagi. Yang sampai saat ini sering dikatai bodoh dan tidak bisa mengatur waktu oleh Levi. Heh, Levi sahabatnya itu jenius sejak lahir–setidaknya begitu pikir Farlan.
Keluarganya kaya, jangan ingatkan aku tentang kesuksesan nama keluarganya di negeri sebrang sana. Namun tak apa, ia bukan seseorang manja dan sudah lama membuang jauh-jauh pengharapan dari hasil nama keluarga, dia bisa sukses dengan caranya sendiri. Farlan Church bisa menyadari itu.
Mereka teman sejak kecil dan hal itu bisa dengan mudah menjawab semua hal yang Levi lakukan akan sangat mudah ditebak oleh Farlan. Ia teman yang baik–aku tidak bisa mengatakan Levi yang sekarang adalah Levi tanpa siapa-siapa. Ia memiliki teman seperti Farlan, walaupun terlihat memuakkan dengan tingkahnya. Ia terkadang bisa sangat membantu.
Dan mereka hidup biasa-biasa saja, tidak dalam sesuatu yang berlebihan seperti orang-orang sering gunjingkan tentang mereka. Entah Levi yang terlalu malas menanggapi atau Farlan yang terlalu bodoh untuk begitu peka terhadap pembicaraan orang lain.
Cukup dengan latar belakang pemuda yang sangat jarang memperlihatkan senyumannya itu. Farlan masih menunggu respon Levi, berjalan agak cepat pura-pura ngambek karena tidak ditanggapi.
Ia sudah tahu trik lama Farlan sok marah walau terlihat jahil. Membuat Levi mau tak mau angkat suara, "Bukan begitu maksudku," Levi membantah, matanya terlihat tidak terima dengan perkataan Farlan.
Levi melirik Farlan tajam tanpa banyak berkata, memintanya untuk tidak meninggalkan dirinya begitu saja. Jelas ia terlihat tertarik dan Farlan mau tak mau bertambah lebar senyumannya. Ia merangkul Levi secara sepihak, "Sudah kuduga kau akan menyukainya. Apa kau mau ikut bersamaku untuk melihatnya?"
"Tentu saja."
"Baiklah kalau begitu lusa aku akan menjemputmu di rumah. Mereka melakukannya di panti asuhan di pinggir kota."
Acara amal adalah salah satu hal yang rasanya tidak pernah absen dari kegiatan dua manusia ini. Memang mereka tidak bisa berbuat banyak. Hanya saja melihat Levi hanya menyukai hal-hal yang tidak jauh dari membaca buku dan bermain catur, mengajaknya ke dunia luar seperti acara amal adalah salah satu ide brilian yang Farlan pikirkan.
"Kali ini apa yang akan kau bawa? Jangan katakan kau akan memberi mereka satu truk buku!"
"Kau ini bodoh ya? Mana mungkin aku melakukan hal seperti itu," Levi membalas tajam candaan dari Farlan yang terdengar membosankan itu. Farlan tertawa kecil, tidak menyadari betapa bodohnya ia di mata Levi sekarang ini.
"Oh, oh, aku baru ingat para junior dari fakultas lain juga akan datang. Uuughh~ pasti akan sangat menyenangkan," ujar Farlan dengan senyum berbunga-bunga, membuat Levi tak tahan untuk tidak memukulnya di kepala dengan buku sastra yang dipegangnya.
"Auh! Levi apa yang kau lakukan?!" Farlan meringis, Levi tak peduli.
"Lebih baik kau tutup mulutmu sebelum aku menendangmu karena kau mulai menjengkelkan."
Menggoda mahasiswi seenak jidatnya, dosen macam apa itu? Terkadang Levi berharap lelaki di sampingnya ini jomblo seumur hidup. Biarkan saja, doa itu kejam, Levi tidak peduli.
"Haha, kau manis sekali jika seperti itu."
"S'en aller."
"Ow, kau kesal."
Farlan mengangkat tangan, tidak ingin membuat orang di sebelahnya ini bertambah kesal.
Mereka sampai di gerbang masuk universitas, seperti biasa tak ada mobil mewah atau limosin yang menjemput Levi karena dia akan selalu naik kendaraan umum. Ia berkata itu lebih menyenangkan dan membuat Farlan menggumam tak percaya. Levi tidak selalu sebaik itu.
"Apa kau yakin tidak ingin bersamaku?"
"Harus ke toko buku terlebih dahulu. Kau pulanglah duluan," ujar Levi. Farlan tidak membantah dan hanya memberi Levi salam perpisahan seperti biasa, menepuknya di atas kepala. Dan asal kalian tahu saja, Levi membenci itu.
"Apa kau lupa siapa yang lebih tua disini?"
"Oh? Maafkan aku kau pendek sekali sehingga aku tidak menyadarinya," canda Farlan sebelum dengan gesit masuk ke dalam mobilnya dan melambai-lambaikan tangannya kepada Levi.
"Semoga saja Maserati cantikmu itu tidak karatan di basement."
Ahhh, terkadang Farlan bisa sangat menyebalkan.
.
.
Levi berjalan dalam kesibukan pikirannya seperti biasa. Suasanya di sekitarnya kurang lebih hanya memacu otaknya untuk berpikir kenapa ada orang lain yang sangat ingin mencampuri urusan yang bukan miliknya. Ia tahu beberapa diantara mereka memang benar-benar tulus membantu, hanya saja ia tidak menyukai bagaimana hubungan antar manusia itu tercipta.
Kau bisa saja menjadi obat bagi orang lain, namun kau juga bisa menjadi racun yang mematikan untuk orang lain.
"Oi, kau ini benar-benar ingin cari mati, ya?"
Langkah terhenti, Levi menelusuri pandangannya kepada gang sempit nan gelap. Beberapa pria bertubuh besar dengan dandanan khas preman sedang menantang seorang anak berseragam sekolah, terjepit di paling pojok jalan buntu.
Oh, penindasan lagi.
Mungkin tak banyak orang yang peduli, di tengah kesibukan masing-masing–jam pulang kerja. Langit sore dengan suhu yang semakin menurun, membuat banyak orang tergesa untuk segera pulang. Dan Levi juga salah satu dari mereka.
Ia baru saja ingin melangkahkan kakinya ketika suara itu samar-samar mengena di hatinya sarat akan keberanian walau jelas-jelas ia tidak berdaya.
"Was willst du?" suaranya agak terbatuk, namun penuh ancaman.
Oh? Jerman. Levi masih mendengarkan dengan satu tangan masuk ke dalam saku celana.
"Fuck you!"
Bruk!
"Berani sekali."
Suara benturan cukup kuat terdengar, kepala anak itu dibenturkan ke dinding? Terdengar tawa mengejek dari para orang-orang itu. Levi tertarik, melangkah pelan dengan tenang. Membuat tidak ada yang sadar dengar keberadaannya.
Mungkin omongan batinnya yang barusan tadi malah menjadi bumerang. Pikir sekali lagi, jika dia meneruskan, paling tidak berdiri agak lebih lama di sini mau tak mau dia akan ikut terseret dalam masalah bocah ingusan yang tidak penting.
Tapi masalahnya kakinya tidak ingin melangkah dan kupingnya masih setia mendengarkan apa yang terjadi.
Rambut coklat gelap, kulit sawo matang yang mengkilat dan Levi bisa melihat kilat mata hijau berhasrat ingin membunuh itu. Giginya menggeretak, tidak peduli dengan tendangan di perut yang sekali lagi menimbulkan erangan dari pemiliknya.
"Quel imbécile," Levi berbisik pelan, tidak sengaja pada awalnya. Nada datar dan terkesan angkuh. Menyusup bersatu dengan hembusan angin cukup didengar oleh targetnya. Mereka menoleh, Levi menyilangkan kedua tangan di depan dada gaya bos besar. Sombong.
Satu diantara mereka maju, mendekati Levi sok sangar. Wajahnya mendekat, bau alkohol samar-samar tercium, membuat Levi ingin muntah. Levi memalingkan wajahnya, yang lain tertawa mengejek, "Apa yang kau lakukan bocah pendek?"
Jika saja ada Farlan di sini, laki-laki jangkung itu pastilah ingin meludah di depan mereka. Asal bicara, satu yang paling dibenci oleh sahabatnya itu.
"Menghabisi seorang bocah di gang sempit seperti ini, manusia menjijikan," ujarnya pelan. Melirik anak lelaki yang sudah tersungkur dan masih terbatuk kecil, sudut bibirnya terluka. Levi tak bisa memandang wajahnya yang tertutupi oleh bayangan lelaki besar agak gemuk dan jelek itu.
"Bocah pendek, memangnya apa urusannya denganmu?"
Satu orang yang lain mendekat, merangkul teman di sebelahnya. Dengan gaya asal-asalan, bicara omong kosong di depan Levi.
"Ngomong-ngomong apakah kau mau diinjak juga seperti bocah sok jagoan di sana?"
"Aku bukan bocah!"
Brugh! Satu tendangan di perut.
"Argh!"
Obsidian kembali menubruk emerald bening, tidak ada kata-kata menyerah atau sekedar pura-pura minta maaf agar masalahnya bisa cepat selesai. Anak itu keras kepala sekali.
"Ini terlihat tak menarik, tapi itulah yang kau dapatkan ketika sok pahlawan. Bukan begitu, huh?" satu tangan menepuk pundak Levi, secara refleks ditepis dengan kasar.
"Ne t'affaires pas avec moi."
"Ho? Hari ini kita mendapati banyak darah campuran. Hei, kenapa kalian suka sekali bicara dengan bahasa bodoh seperti itu?" ejek salah satu dari tiga orang itu. Levi masih diam, rambut hitamnya secara samar bergerak tertiup angin.
"Kalau dilihat-lihat kalian berdua ini cantik juga, bagaimana jika bersenang-senang saja dengan kami?"
Satu langkah mendekat. Levi merenggangkan jemarinya, suara tulang terdengar.
"Ayolah, jangan takut begitu. Laki-laki ataupun wanita aku tidak masalah."
Remaja berambut coklat itu membuka matanya lebar-lebar, bisa merasa hawa dingin dan gelap yang tiba-tiba menyeruak. Obsidian itu semakin menggelap, ia bergidik ngeri. Levi memukul-mukul pelan lehernya, memberi sedikit perenggangan. "Semoga hari kalian menyenangkan."
Lalu tiba-tiba semuanya menjadi hitam, hanya suara teriakkan yang tersamarkan oleh bisingnya kendaraan yang memadati jalan. Sang emerald tidak bisa melihat dengan jelas siapa pemilik obsidian itu, begitu pula obsidian kelam itu tak bisa melihat apa-apa kecuali terangnya nyala hijau di balik kegelapan.
.
Levi berulang kali mendecak sebal, jadwalnya sedikit berantakan karena insiden anak kecil tadi. Bahkan ia tidak sempat bicara karena remaja berambut coklat tadi keburu menghilang, Levi tidak sadar bahkan ia lupa wajahnya karena terlalu gelap. Atau mungkin ia terlalu bersemangat mengingat kemampuan bela diri saat SMAnya hingga tidak peduli dengan alasannya melangkahkan kaki di dalam sana.
Tidak ada yang kotor, bahkan ia tampak seperti orang-orang lainnya yang habis pulang kerja dan buru-buru sampai rumah karena istrinya menunggu. Bukan seperti orang begajulan yang baru saja menghajar tiga preman jalanan sampai pingsan.
Tch, tapi tetap saja ia merasa itu sia-sia.
Seharusnya ia tidak ikut campur begitu saja dengan urusan orang lain. Kurang lebih seperti itulah idealisme dalam benaknya terbentuk. Ia menghargai orang lain tetapi tidak untuk ikut campur dalam urusannya. Ya, dia adalah salah satu orang yang tertutup. Dan Farlan mengerti itu.
Untuk kejadian yang barusan itu tadi, entahlah, dia hanya tertarik. Lagipula membiarkan tiga preman menghabisi seorang bocah SMA agak terlalu berlebihan di dalam benaknya.
Kakinya kembali membawanya ke suatu tempat. Dari luar bangunan itu terlihat agak tua dengan desainnya yang lebih ke arah cafe tradisional, dominan dibalut warna coklat tua dan krem. Alunan musik klasik samar-samar sampai ke telinga Levi.
"Ah, kau datang rupanya!"
Levi menoleh ke arah sumber suara dan menemukan seorang gadis mungil dengan rambut sebahu berwarna coklat terang sedikit kekuningan–ah, ia tidak tahu warna apa itu. Ia memakai pin di rambutnya, mencegah poninya turun sampai ke wajah. Ia terlihat cantik dan menggemaskan dengan pakaian kasual paling sederhana sekalipun dan Levi mengenalnya sebagai salah satu karyawan toko buku itu.
Dia berjalan kesusahan karena mengangkat beberapa tumpuk kardus besar yang menghalangi pengelihatannya. Levi tidak yakin kardus itu ringan dari cara melihat seseorang wanita di depannya agak tergopoh untuk mengangkatnya oleh karena itu ia memutuskan untuk membantu membawakan beberapa kardus.
"Petra apa yang kau lakukan?" Levi segera menghampirinya dan membantunya untuk mengangkat beberapa kardus yang dia bawa seorang diri. Ah, Levi lebih mengetahui bagaimana gadis ini bisa sangat ceroboh dalam melakukan sesuatu tertentu.
"Aa-ah! Terimakasih banyak, Kapten," ujarnya dengan senyum lebar. Levi mengerutkan alisnya, ia mengikuti Petra masuk ke dalam toko, "Bukankah sudah aku bilang untuk tidak menciptakan panggilan aneh seperti itu? Kau menakutkanku."
"Tapi kau benar-benar cocok dipanggil seperti itu. Kau seperti ketua kami, haha," Petra tertawa pelan. Levi mau tak mau ikut tersenyum kecil mendengarnya namun garis-garis senyum itu terlampau tipis untuk disadari banyak orang.
"Cukup panggil Levi, aku sudah berulang kali mengatakannya kepadamu."
Toko buku ini sudah seperti rumah keduanya. Semenjak ia pindah ke Jepang beberapa tahun silam, hanya tempat inilah yang ia kunjungi selain sekolahnya. Toko buku ini tidak bisa dibilang megah walaupun tidak terlihat buruk. Ini tempat yang nyaman dengan kondisi yang bersih dan suasana yang tak jauh berbeda dengan kafe. Sangat menyenangkan bisa membaca diiringi dengan musik klasik di tempat yang sunyi, menambahkan nilai plus bagi calon pembelinya. Lagipula menurut Levi musik-musik klasik lebih menyenangkan dibandingkan musik lainnya. Tidak membuat telinga sakit, dan tidak ada lirik dengan omong kosong yang bercerita seputar percintaan bodoh.
"Oh! Disini kau rupanya," sapa seseorang dengan tubuh cukup besar dan perawakannya yang maskulin. Seseorang itu dengan cepat mendatangi Levi dan memindahkan bawaannya. Levi melambaikan tangan untuk balas menyapanya, "Yo."
"Eld, jangan kau letakkan benda itu di sana. Koleksi baru akan datang sore nanti, jangan mengacaukannya!"
"Apa itu koleksi buku terbaru?" tanya Levi, ia meletakkan tas nya di atas meja bundar yang terletak tak jauh dari tempat ia berdiri. Levi menggulung lengan bajunya dan menghampiri Eld, mengambil beberapa buku untuk meletakkannya di beberapa tempat. "Ho? Ini menakjubkan, kau dapat ini darimana?" Levi mengamati satu buku dengan wajah penasaran.
"Apa menurutmu itu menarik?" Petra mendekat dengan wajah sumringah, lalu melanjutkan kata-katanya, "Buku itu sedang sangat laris di pasaran, ceritanya tentang kehidupan di masa lampau. Apa kau percaya dahulu kala bumi ini dikelilingi oleh tembok besar dengan makhluk aneh yang membahayakan hidup manusia?"
"Apa maksudmu Titan?"
"Petra itu pelajaran sejarah yang selalu diulangi gurumu sejak sekolah dasar, aku yakin itu," Eld menambahkan. Masih bingung bagaimana cerita tentang Titan yang sejak mereka lahir selalu diulang-ulang membuat gadis muda itu sangat tertarik.
"Ayolah, Eld. Jangan kaku begitu, buku ini berbeda dari yang lain. Bahasa dan pembawaannya sangat tepat, membuatmu tidak bisa berhenti membaca walau sejenak."
"Apa judulnya?" Eld mendekati Petra, mengintip sesuatu yang sedang digilai wanita mungil itu.
"BTD! Before the Dawn."
"Uh, terdengar seperti judul lagu boyband dari Korea bagiku."
"Kau tidak lucu, Eld."
"Siapa pengarangnya?"
Petra memutar buku itu bulak-balik, lalu mendengus sebal, "Lagi-lagi dia tidak mencantumkan namanya, hanya ada huruf R dengan font besar menarik." Lalu ia meletakkannya kembali ke dalam kardus.
Levi hanya diam mendengarkan dua teman dekatnya berceloteh dengan hal yang tidak masuk akal. Jujur saja Levi merasa tertarik dengan buku itu tetapi ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin berlama-lama dengan buku di depannya itu. Ia meletakkannya kembali dan mengangkat kardus itu menuju tempat yang seharusnya.
"Levi-kun kau tidak perlu melakukan itu!" Eld menyadari dan berusaha mengambil alih apa yang Levi kerjakan.
Levi mendecak tak puas, "Kau pikir aku tidak bisa menuntaskan hal sederhana seperti ini? Jangan bercanda."
"Bukan seperti itu, hanya saja kau sudah lebih dari cukup membantu kami," kekeh Petra diiringi tawa kecil. Ia memegang kemoceng dan terlihat bersiap-siap membersihkan setiap sudut ruangan. Levi mendesah, "Kalau begitu berikan aku sapu," gumamnya tanpa ekspresi berarti.
Eld dan Petra saling melirik, akhirnya tak tahan untuk tidak tertawa. Clean Freak. Hal yang tidak pernah berubah dari diri Levi.
Beberapa saat berlalu tanpa hal yang berarti, alunan piano dari pemutar musik tua menjadi satu-satunya pemecah keheningan di ruangan itu. Eld mengurusi kasir dan Levi sedang membersihkan beberapa sudut di belakang lemari buku. Toko buku sederhana ini tidak memiliki banyak pegawai.
"Kau tahu, akhir-akhir ini banyak sekali anak sekolah yang datang," ujar Petra pada akhirnya. Levi melirik sekilas, "Bukankah itu bagus? Anak-anak zaman sekarang sangat jarang ada yang ingin menginjakkan kakinya di tempat seperti ini."
"Ya, kurasa itu memang bagus. Tapi tempat ini ramai oleh anak-anak yang bukan seperti Levi terasa sangat aneh," Eld tertawa ringan membuat Petra hanya bisa mengangguk-angguk setuju.
Lalu di dalam ruangan itu hanya terlihat mereka bertiga berlalu-lalang memindahkan sesuatu. Detik demi detik berjalan, membunuh waktu yang membuat mereka semua lupa akan sekitar. Tumpukan kardus berisi koleksi buku terbaru berulang kali dipindahkan dan dirapihkan.
"Huh? Kenapa tiba-tiba gelap?" Eld berjalan menuju jendela yang terbuka, menjulurkan kepalanya sebentar dan memutuskan untuk menutupnya. Angin terasa lebih kencang dari biasanya.
"Ini sudah jam setengah delapan malam, Eld."
Eld mengabaikan Petra.
"Levi apakah kau membawa payung?" Yang ditanya mengangguk singkat tanpa menjawab.
"Baguslah, kurasa akan hujan deras hari ini."
"Ahhh, mereka tidak mengatakan apa-apa di ramalan cuaca hari ini," keluh Petra.
"Apa kau tidak pernah dengar pepatah sedia payung sebelum hujan?"
"Tasku berat, aku melupakan payungku di kamar."
Tak lama dari itu mereka bisa mendengar suara gerimis yang makin lama terdengan seperti tumpahan air dari langit menyerbu tanah tanpa segan-segan. Mengangkat bau basah tanah dengan kelembapannya seketika.
Kriinnggg–!
Petra buru-buru melihat ke arah pintu depan yang terbuka paksa, lonceng yang di pasang di atasnya berbunyi kasar menimbulkan suara berisik, membuat semua orang di ruangan itu menoleh spontan.
"Maaf tapi hari ini kami tidak buka, silahkan datang lain–"
Bruk!
Ucapan Petra terhenti kala ia melihat seorang anak sekolahan yang seragam SMAnya basah kuyup yang menerobos masuk sedang terengah, napasnya sedikit tercekat dan ia terlihat sedang memeluk sesuatu. Petra hampir berteriak.
Eld melirik Levi tanpa berkata apapun, Petra dengan takut mendekatinya dan berusaha memegang bahu anak lelaki dengan rambut coklat itu. "Kau tidak apa-apa?"
Ia terbatuk beberapa kali, Petra tidak yakin kenapa tetapi baju anak itu terlihat seperti terkena cipratan air di jalan. Ia terlihat kotor, dan mereka tahu pasti Levi sangat tidak menyukainya.
"Apa kau terluka?" tanya Petra lagi, ia menggeleng.
Levi tanpa sadar mendekat, terlihat kesal karena ruangan yang tadinya bersih tanpa cela harus kembali becek karena tingkah seorang bocah yang bahkan asal usulnya belum diketahui.
"Oi, mau sampai kapan kau berlutut dan meringkuk di sana? Singkirkan tubuh kotormu," ujar Levi dengan nada suaranya yang terdengar cukup terganggu.
Petra merasa tak enak, Eld akhirnya keluar dari kasir dan membantu Petra untuk mengangkat anak lelaki tadi. Levi masih diam dan menyilangkan tangannya di depan dada.
"M-maaf," ujar anak itu pelan. Ketika ia berusaha menggerakan tubuhnya seekor anak anjing keluar dari pelukannya dan mengibaskan bulu-bulunya. Membuat air terciprat kemana-mana.
Ahh, Levi benar-benar kesal sekarang.
Ketika anak tadi ingin mengejar anak anjing yang kini lari ke dalam pelukan Eld yang telah mengambil handuk kecil, Petra menahannya, "Lutut dan sikumu terluka, ya ampun wajahmu kenapa? Kemarilah, aku akan mengobatinya."
Levi mendecih pelan dan akhirnya pergi masuk ke dalam sebuah ruangan. Petra dan Eld mau tak mau hanya menghela napas maklum.
.
"Jadi siapa namamu?" tanya Petra pelan, sembari mengolesi siku anak tadi dengan obat merah. Ia terlihat meringis.
"Eren. Eren Yeager."
Mereka duduk di dalam sebuah ruangan, tepatnya di sebelah toko. Tampaknya ini ruangan pribadi staff, tak banyak yang bisa dilihat di sini. Hanya dapur sederhana di bagian selatan, sedangkan yang lainnya hanya sebuah sofa yang terlihat empuk di tengah-tengah ruangan dan meja kayu dengan empat kursi di bagian timur merapat ke dinding.
"Nah Eren, apa yang kau lakukan sampai seperti ini? Wajahmu terlihat seperti habis berkelahi."
Eren masih mengernyit, bau alkohol dan obat merah masih belum hilang sempurna dari penciumannya. Mereka duduk di pojok ruangan, Petra menarik satu kursi dengan arah agak menyerong menghadap Eren. Eld berada tak jauh dari mereka, sibuk mengeringkan si anak anjing lalu menghilang ke ruangan di sebelahnya.
"Aku tak sengaja melihatnya hampir tertabrak mobil."
"Jadi kau berlari dan menubruk aspal untuk menyelamatkannya?" suara bariton itu muncul dari ruangan lain, tatapan matanya tajam ke arah Eren, "Bocah."
"Aku tidak punya pilihan, Sir," Eren menunduk, masih merasakan setiap gerakannya diawasi. Perban yang membalut sikunya kini hampir tak terasa sakit lagi. Bajunya hampir kering dengan sendirinya. Levi mendekat, walau masih berdiri agak jauh lalu melemparkan sesuatu.
Thud!
Handuk kering dengan sukses mendarat di puncak kepalanya, Eren mengintip dari balik helai poni-nya yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Levi duduk di kursi yang bersebrangan dengan dirinya, agak jauh.
Di luar sana angin masih bertiup kencang, beradu tak waras dengan hujan yang hanya semakin buruk. Kilatan petir hanya menambah buruk suasana, dalam hati Eren benar-benar tak bisa memikirkan apa-apa, membatin saja sulit.
"Yap, sudah selesai." Petra menepuk kedua tangannya. Eren mengangguk dan tersenyum tipis, tidak tahu harus mengatakan apa. Tetesan air menitik dari helaian rambut coklatnya, perban kecil berwarna hampir senada denga kulitnya menutupi luka dimana-mana, tapi sepertinya ia tak peduli.
"Aku akan mencarikanmu baju ganti, kau tunggu di sini sebentar."
Petra sudah bagaikan dewi yang nyata di dunia ini. Eren hanya bisa menggumamkan kata terimakasih berulang kali, Petra tersenyum saja kemudian pergi.
"Oi."
"Uh... ya?"
Levi hanya memakai kemeja putih polosnya yang bagian lengannya digulung sampai siku. Rambut hitam legamnya membingkai sempurna raut tegas pahatan dari setiap inchi wajahnya. Eren tak bisa menebak seberapa jauh usia mereka berbeda. Tetapi lelaki di depannya ini penuh dengan aura kedewasaan.
"Dimana rumahmu?"
Untuk sesaat rasanya Eren kehilangan dirinya sendiri, tatapan mata yang begitu dalam itu membuatnya lupa untuk menjawab. Eren terbata menjawab, berusaha tegas namun tetap gagal, "Shiganshina, Sir," suaranya agak bergetar.
Eren belum bisa menemukan hal baik yang bisa ia jadikan penopang senyum untuk menghadapi lelaki di depannya. Eren baru saja ingin menarik napas ketika Petra dengan terburu mendatangi mereka.
"M-maafkan aku, aku tidak bisa menemukan apapun untukmu."
"Tidak perlu merepotkan, nanti dia akan kering sendiri," ujar Eren sigap. Merasa tidak enak dengan Petra yang terlihat kerepotan.
"Kau sekolah di Trost?"
Eren dan Petra menoleh ke arah Levi secara serentak, Levi masih terlihat sama–menolehkan kepalanya ke arah lain, terlihat tak peduli. Eren melihat ke saku seragamnya, jelas-jelas lambang sekolahnya tercetak di sana.
"I-iya, Sir." Eren menyadari seragam sekolahnya kotor terkena cipratan dari air di jalan, dan ia sangat bersyukur tidak ada yang robek walau lututnya berdarah. Dan dia tak ingin berkomentar tentang bercak darah dimana-mana. Tubuhnya masih sangat sakit karena sesuatu yang tentu saja bukan hanya karena menubruk aspal.
"Benarkah itu? Eren kau kelas berapa?" Eren kembali mengalihkan pandangannya, mencari sesuatu untuk jadi fokus pandangannya. Wanita mungil di depannya berdiri agak terlalu dekat dan membuat wajah Eren memerah karena alasan tak jelas.
"Aku baru saja masuk SMA, Miss–"
Dan pandangannya justru menubruk sepasang obsidian yang sangat kelam dan tajam, meliriknya tanpa ada niatan berarti. Eren hampir tersedak.
"Ah, benarkah? Kau masih muda sekali."
Lagi-lagi suara lembut Petra membuatnya memalingkan wajah. Ia mengangguk singkat sambil tersenyum, "Terimakasih banyak Miss, maaf merepotkanmu. Bisakah aku meminjam payung saja? Sudah malam, aku takut ayahku khawatir."
"Tapi hujan di luar masih terlalu deras. Kau bisa tinggal di sini beberapa lama lagi."
Levi mendesah pelan, menghembuskan napas berat terdengar terganggu. "Petra, bisakah kau memperkanalkan dirimu terlebih dahulu? Sangat mengganggu mendengar dia memanggil Miss dan Sir seperti orang bodoh."
Eren tidak tahu apa yang salah dengan orang di depannya ini, sikapnya buruk sekali. Eren mungkin terlihat polos, tetapi berulang kali dikatai bocah dan bodoh membuat perasaannya sangat konyol.
Petra terkekeh pelan, melihat semburat garis kekesalan di wajah Eren yang wajahnya tertutupi rambutnya sendiri.
"Maafkan kami tidak memperkenalkan diri dulu. Aku Petra dan yang sedang mengurusi anak anjingmu itu Eld, dan orang yang di sana itu... dia Levi, kau bisa memanggilnya Kapten jika ingin."
Tawa pelan dari Petra diiringi tatapan tak suka dari Levi, tapi Eren hanya diam saja.
"Oi, bocah. Apa yang kau lakukan di Trost?"
"Aku tinggal bersama ayahku di Trost."
"Lalu sekarang dimana alamat rumahmu? Shiganshina dan Trost cukup jauh," tanya Petra lagi. Dan ketika Eren memberitahukan dimana tempatnya, mata Petra berbinar.
"Levi bukankah itu apartemen yang sama denganmu?" Eld tiba-tiba masuk dengan seekor anak anjing yang kini lebih terlihat ceria. Bulu cokelatnya terlihat hampir mengering sempurna.
"Lalu kenapa?" tanggap Levi tak peduli.
"Kau bisa mengantarnya. Itu tak jauh dari sini, ia terluka," tambah Eld lagi, menyerahkan anak anjing itu kepada Eren. Wajahnya berubah bahagia, Levi tak mengerti apa yang salah dengan anak di depannya itu.
"Tidak usah, aku bisa pulang sendiri," kata Eren berusaha meyakinkan. Dia tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan laki-laki bernama Levi atau siapapun ini.
"Kau bisa sakit."
Eren rasa Petra itu benar-benar seperti seorang dewi yang datang tepat pada waktunya.
Levi bangkit dari tempat duduknya, terlihat pergi ke sudut ruangan. Ia mengambil tasnya dan melihat ke keadaan, mengeluarkan jaket yang ia simpan di dalam tasnya dan payung kecil.
"Kau mau kemana?" tanya Eld. Levi melewatinya tanpa banyak berkata, ketika ia sampai di ambang pintu Levi kembali menoleh ke arah Eren, "Jika kau ingin pulang, cepat angkat tubuhmu itu dari sana."
Hening. Levi mendecak tak suka.
"Jika kau mau pulang tengah malam, tidak apa-apa. Aku pergi duluan."
Otaknya mungkin tidak bisa bereaksi secepat tubuhnya yang dengan patuh berdiri dan berjalan menuju Levi, tak lupa setelah mengucap salam canggung kepada Petra dan Eld.
.
.
Jalanan macet, hujan masih turun cukup deras. Para pejalan kaki sudah lengkap dengan jas hujan dan payung mereka masing-masing. Tak jarang juga melihat beberapa orang berlarian karena lupa membawa payung, menutupi kepala mereka dengan tasnya.
Tak jauh di sepanjang pinggir jalan banyak orang-orang meneduh di bawah pertokoan. Mobil masih dengan santai berlalu lalang, tak terpengaruh cuaca. Namun kendaraan roda dua membuat keadaan lalu lintas tak begitu baik. Di lampu merah kemacetan parah terjadi, bunyi klakson dimana-mana, kacau.
Paradoks, rasanya begitu sepi di tengah keramaian orang-orang. Dua pemuda itu berdiri di pinggir jalan menanti lampu hijau untuk penyebrang penyebrang jalan.
Levi memasukan satu tangan ke dalam saku, satunya lagi memegang sebuah payung yang digunakan untuk menaungi dua orang. Bukannya tak menyadari, tapi karena perbedaan tinggi badan yang kira-kira mencapai 10 cm membuat seseorang di sebelahnya agak menunduk. Tapi dia tak mengatakan apa-apa sejak tadi.
Raut wajah Levi masih datar sama seperti biasanya, getaran di sakunya menandakan seseorang sedang berusaha menghubunginya. Namun tetap Levi abaikan, tidak suka memainkan ponsel di tengah keadaan seperti ini.
"Err, Levi-san?"
Oh, dia angkat bicara juga rupanya.
"Jika kau merasa keberatan aku bisa pulang naik taksi, Sir."
"Silahkan cari taksi yang mau mengantarkan dirimu di tengah-tengah kemacetan seperti ini."
Ok. Eren tidak tahu harus bagaimana. Ia baru beberapa minggu ada di Trost, belum hapal jalan dan dengan sedikit uang saku di dalam kantung seragamnya. Lelaki di sampingnya ini terlihat cuek, acuh tak acuh. Eren merasa tak enak.
"Sir, biarkan aku memegangi payungnya jika kau tidak keberatan," ujar Eren lagi. Ransel di depan tubuhnya dengan sleting terbuka, kepala anjing berbulu lebat menyembut di baliknya.
"Shitty brat, kau memanggilku seolah-olah aku ini sangat tua. Dan kau sangat berisik."
"M-maaf, Si–Levi-san," Eren memotong kalimatnya sendiri, lampu jalan sudah berubah warna menjadi hijau, Levi dengan cepat berjalan mengabaikan Eren yang sedikit tergopoh di sampingnya.
Eren memutuskan untuk tidak banyak bicara, hujan yang dengan perlahan mereda membuat jalanan tidak terlalu becek lagi. Eren dengan samar bisa melihat kerutan jijik setiap air genangan di aspal memerciki Levi. Oh, maniak kebersihan?
Akhirnya apartemen besar itu terlihat juga, tampak berkelas dengan eksterior kelas atas. Dilapisi kaca bening transparan, tak jauh dari pusat kota. Apartemen yang sama seperti yang Levi tempati.
"Aku tak pernah melihatmu," ujar Levi, melepas jaketnya berjalan masuk dengan gaya pria dewasa. Pintu lobby terbuka otomatis, beberapa pegawai wanita menyapa Levi agak genit. Ia mengabaikannya.
"Aku jarang keluar rumah, Sir. Ayahku jarang ada di rumah."
Levi tak menjawab, menekan tombol ke atas di lift. Menunggu dengan sabar, menenteng jaket di satu lengan. Kemeja putihnya terlihat agak basah, Eren hanya diam. Layaknya sekretaris pribadi yang hanya mematung di belakang Levi, bedanya ia mengenakan seragam sekolah.
Saat pintu lift terbuka, Levi melangkah masuk diikuti oleh Eren. Jemari bersentuhan tidak sengaja, ingin menekan tombol di lantai 13. Tapi tidak ada yang berkomentar, Levi tak tertarik untuk angkat bicara.
Drrtt–drrtt–
"Hallo?"
Eren berjengit, tidak ada siapa-siapa di dalam lift selain mereka berdua. Suara bariton dalam mengalun menggelitik telinganya. Levi sedang berbicara dengan seseorang.
"Uh, ya? Tidak. Tidak perlu," ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kapan deadline-nya? Lusa? Farlan jangan menguji kesabaranku."
Eren terlihat hilang, manik mata hijau jernihnya hanya terpaku dengan nomor lantai yang mereka lewati, entah kenapa terasa lama sekali.
Akhirnya suara lift berdenting tepat di lantai 13, Levi mengakhiri panggilannya. Eren buru-buru keluar dari dalam lift, ingin cepat sampai rumah. Ketika ia tanpa sadar berjalan agak terlalu cepat tanpa menoleh lagi, alunan nada berat menghentikannya.
"Oi, apakah kau ingin pergi begitu saja?"
Eren berhenti seketika, menoleh ke belakang hanya untuk mendapati Levi yang sedang merapihkan kancing kemejanya yang terasa mencekat leher.
"Anak zaman sekarang memang tidak tahu sopan santun," gumamnya pelan namun masih sanggup untuk di dengar oleh Eren. Levi mengayunkan kakinya, berjalan pelan dengan bunyi sol sepatu yang beradu di lantai keramik.
"Sir?"
"Je n'en ai rien à fiche, lakukan sesukamu."
Eren menatap punggung kecil itu dalam diam. Dia ingin melawan sebenarnya, tapi Carla bisa menyumpahinya untuk alasan tidak sopan kepada orang yang lebih tua. Dia selalu berceloteh bahwa melawan ucapan orang yang telah menolongmu itu kurang ajar. Walau ibunya jauh di Shiganshina sana, dia tidak ingin mengabaikan nasihat yang sudah ia dengar dari umur 3 tahun.
Eren merasa tidak asing dengan logat kental dan suara dingin itu.
Mereka sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi. Keberuntungan? Aku rasa tidak. Atau rasanya Tuhan sedang senang untuk membuat mereka saling menatap muka satu sama lain.
"Lalu kenapa kau mengikutiku?" Levi berdiri di depan pintu apartemennya–1319. Melihat Eren dari ujung kaki hingga kepala, lalu kembali ke arah wajahnya.
Eren menggaruk belakang lehernya yang bahkan tidak gatal sama sekali. Menunjuk pintu dengan papan nomor bertuliskan 1320.
"Sebenarnya ini rumahku, Sir," jawabnya, menghindari tatapan tajam dari Levi.
Great.
Levi punya tetangga baru yang selama ini tidak dia ketahui.
"Dokter Grisha?"
Eren mengangguk pelan. Rupanya Levi tahu mama ayahnya, bodoh juga sejak tadi Levi tak menyadarinya. Levi terdengar menghela napas pelan, melirik Eren sekilas lalu membuka pintu apartemennya. Membuat bunyi bedebum pelan ketika ia menutupnya di depan wajah Eren tanpa peduli.
.
Ruangan serba putih campur hitam, selera simpel untuk gaya hidup yang sederhana. Oh iya, ini apartemen mewah yang tadinya ditolak mentah-mentah oleh Levi. Pemberian dari Kenny, syarat saja sebenarnya. Dia bersumpah akan ikut ke Jepang jika Levi tidak tinggal di tempat yang dia sediakan. Levi sempat tidak pulang ke apartemen selama dua bulan dan menginap di tempat Farlan, membuahkan hasil ia harus berurusan dengan anak buah Kenny dimana-mana.
Levi meletakkan tasnya di meja ruang tamu. Menghempaskan tubuhnya di atas sofa panjang agak melengkung yang mengikuti pola meja yang dipasangi kaca bening.
Setiap sudut terlihat rapih karena tidak banyak barang yang ia simpan di dalam sini. Hanya keperluan kuliah dan beberapa hal yang menyangkut pekerjaan di luar universitas. Laptop hitam dengan charger yang masih tersambung ada di tengah meja, beberapa buku yang terbuka hasil pengerjaan laporannya kemarin malam terlihat memanggilnya untuk dijamah. Satu-satunya tempat yang memiliki aura kehidupan–tempat yang lain seperti tidak terjamah sangking rapihnya.
Levi bangkit dari tempatnya berbaring, rasanya sudah cukup untuk bermalas-malasan. Tubuhnya lengket dan itu terasa sangat menjijikan. Ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Satu kancing terbuka, disusul oleh kancing yang lain. Lalu kemeja putih itu meninggalkan pemiliknya, memperlihatkan tubuh putih polos yang maskulin. Otot terbentuk sempurna walau tidak sekekar binaragawan. Tentu saja itu akan mengerikan melihat Levi dengan otot sebesar itu, tubuhnya yang sekarang sudah lebih dari cukup untuk membuat wanita di universitasnya mengincar tubuh Levi dengan mata kelaparan.
Seiring dengan air dari shower yang mengucur membasahi tubuhnya dari ubun-ubun, mengalir menelusuri bentuk tubuhnya yang sempurna. Sabun menutupi kulit porselen, mengangkat lemak dan keringat terbawa oleh kucuran air. Uap yang berkumpul di dalam shower terasa hangat, membuat pegal-pegal di tubuhnya perlahan menghilang.
Eren Yeager.
Levi memutar kran shower ke arah sebaliknya kucuran air berhenti perlahan, tiba-tiba merasa aneh karena mengingat tetangga barunya itu. Pertemuan klise seperti di film-film romantis, dia juga tidak percaya hal seperti itu bisa terjadi.
Jujur saja, Levi seperti tidak asing dengan wajah itu.
Lelaki dengan rambut hitamnya yang kini basah, menutupi bagian depan wajahnya keluar dengan handuk putih terikat di pinggang. Berhenti ketika melewati cermin besar yang bisa memperlihatkan tubuh Levi dari atas sampai bawah.
Beruntung sekali cermin itu bisa menelanjangi tubuhnya. Levi punya seorang kenalan yang rela mati hanya untuk mendeskripsikan betuk tubuh itu. Wanita jadi-jadian, freak. Dia tidak ingin membahasnya.
Ponselnya kembali bergetar di atas kasur, Levi tak peduli dan masih sibuk di depan almari pakaiannya. Memilih kaus hitam dan celana selutut untuk bersantai.
"Ada apa Petra?"
'Kau sudah di rumah?'
"Sudah," jawabnya singkat, menggosokkan handuk kecil di atas kepala, mengeringkan rambut pendeknya. "Anak itu selamat."
'Aku belum mengatakan apapun.'
"Aku akan menutupnya sekarang."
'E-eh?'
Tuuuuttt– bunyi panggilan terputus.
Thud!
Ponsel hitam itu mendarat sukses di atas kasurnya, Levi keluar dari kamarnya menuju ke arah ruang tengah. Duduk manis di depan laptop, dengan pena di sela-sela jemari–mengetuk meja perlahan. Tak jauh dari sana beberapa buku dengan lembar penuh coretan tangan terbuka secara acak. Kacamata minus kini bertengger di hidungnya, mata menyipit melihat deret huruf di depan laptop.
Sekalinya laptop itu tersambung ke internet, sebuah pemberitahuan email menarik perhatiannya. Jemarinya tanpa sadar mengarahkan kursor untuk membuka email tersebut. Ada sebuah lampiran yang membuat Levi lebih dulu membukanya, sebuah foto dengan latar pegunungan. Tidak ada orang di dalamnya, hanya terlihat dua jari menyerukan 'peace' di pojok foto tersebut.
'Apa email ini sampai padamu? Aku benar-benar menikmati tempat ini, lain kali kau harus pergi ke sini bersamaku. Oh, iya aku harap kau baik-baik saja. Aku sangat merindukanmu :)
Salam, I.M'
E-mail singkat yang dikirim satu bulan sekali, Levi hanya menarik napas lega. Apakah sudah selama itu? Iya melirik tanggalan digital yang ada di pojok kanan laptopnya. Mengetikkan beberapa kalimat lalu bangkit dari tempatnya duduknya. Menuju ke arah dapur, yang sudah bisa diduga keramik putihnya dapat bersinar sangking bersihnya.
Levi membuka kulkas, mendecak pelan karena benda yang dicarinya tidak ada. Lalu beralih ke lemari-lemari kecil yang tergantung di dinding. Namun tetap tidak bisa menemukan apa-apa. Oh, sepertinya dia kehabisan stok kopi hitamnya.
Mengeringkan rambutnya sekali lagi, memasukkan handuk kecil ke mesin pengering. Levi mengambil dompetnya untuk pergi ke minimarket yang ada di lantai dasar.
Haatchim!
Levi berjengit walau tidak mengatakan apa-apa, wajahnya masih datar seperti biasa. Langkahnya terhenti begitu saja ketika melihat anak lelaki yang sekarang dihafal namanya oleh Levi sedang duduk meringkuk di depan pintu samping apartemennya. Anak anjing di dalam pelukannya terlihat menjilatinya dengan bahagia, berusaha menghibur. Tubuh Eren terlihat gemetar pelan, nampaknya tidak menyadari Levi berdiri di sampingnya sejak tadi.
"Oi, Shitty brat, apa yang kau lakukan seperti pengemis di depan situ?"
Eren menoleh kaget, bola matanya membesar sebentar, lalu berusaha tersenyum walau ujung bibirnya terlihat mulai memucat. Ia berdiri agak kesusahan.
"L-Levi-san."
"Kenapa kau tidak masuk ke dalam? Apa kau yakin itu rumahmu?" tanyanya sinis.
"Ayahku bilang ia akan pulang larut, dan aku lupa membawa kuncinya."
Alis Levi terangkat satu, bingung. "Kau sudah menghubunginya?"
Eren mengangguk, "Aku bilang aku belum sampai rumah dan masih berada di tempat teman. Aku tidak ingin dia khawatir."
Demi buku dengan sampul berdarah yang sedang digilai Petra. Levi hampir saja ingin menendang wajah Eren tepat di muka. Apa yang bocah ini katakan kepada ayahnya? Naif sekali. Dia masih terlalu polos rupanya.
"Lalu kau akan menunggu di sini sampai dia pulang?"
Tidak ada jawaban. Levi menyerah, "Terserahmu saja." Lalu ia berjalan pelan meninggalkan Eren yang kembali duduk di depan apartemennya.
.
Pelipis Levi berkedut sakit, plastik belanjaan masih ia bawa di tangan kirinya. Tubuh berdiri tegak di depan apartemennya, melirik sakit pada hewan berbulu nan gempal yang menggeliat-geliat di bawah kakinya. Menatap Levi penuh harap yang dibalas tatapan jijik kepada hewan yang menjilat tubuhnya sendiri lalu menggesekkan bulunya di kaki Levi.
Calon pemiliknya, entahlah. Eren kini tertidur dengan sukses tanpa memedulikan sekitarnya. Meringkuk memeluk kedua lututnya, baju sekolahnya kini benar-benar mengering.
Baiklah, melihat wajah memelas anak anjing di kakinya nampak tak jauh berbeda dari pemiliknya ketika sedang bicara. Mereka kembar? Itu pemikiran absurd Levi.
Menyerah, Levi menggoyangkan kaki Eren dengan ujung jemari kakinya. Berharap anak di depannya itu akan segera bangun.
"Oi, Shitty brat."
Tidak ada balasan, nampaknya dengan posisi seperti itu ia bisa tertidur dengan lelap.
Sekali lagi.
Kepalanya malah merosot, untung saja dengan cepat kembali bersandar ke dinding. Levi berjongkok di depannya, mengamati ekspresi kelelahan yang ada di wajah remaja polos yang style-nya terlihat urakan.
Mengamati alis tebal dan tegasnya, bulu matanya cukup panjang. Garis hidung dan rahang yang tegas, Levi yakin anak di depannya ini ialah orang yang keras kepala. Bibirnya penuh, warna aslinya merah muda sekarang agak pucat. Dan bola mata yang tertutupi kelopak itu, berwarna emerald atau zamrud? Hijau bening penuh sarat, menarik.
Levi yakin pernah melihatnya di suatu tempat.
"Oi..."
Levi menepuk pipi lelaki itu sekali dan justru kepalanya terhuyung ke depan. Jatuh tepat di dalam rengkuhan Levi, yang bersangkutan hanya diam saja. Tetap pulas, air liur menetes ke tangan Levi.
"Ich bitte Dich–hnngh," ia menggumamkan kata-kata tak koheren. Levi tersadar, "Bocah brengsek, lebih baik kau bangun sekarang."
Eren terbatuk beberapa kali, badanya bergetar pelan. Kesadarannya sepertinya benar-benar hilang. Levi tidak sabar untuk menendang bokong anak ini ketika bangun nanti.
Tak ada pilihan, Levi harus menggendongnya ala putri seperti dalam film-film dan membawanya ke dalam apartemennya. Ia berhenti sejenak, mengingat apakah ia benar-benar pernah bertemu dengan anak ini atau tidak.
Sifat keras kepalanya, rambut coklat gelap dengan warna kulit sawo matang. Bola mata hijau bening yang menyala nyalang ketika ia marah, bahasa Jerman–ah, Levi ingat.
"Kau benar-benar tahu cara menyusahkan orang, heh?"
.
Levi merebahkan tubuh Eren di atas kasur miliknya, dan yang direbahkan mengerang sedikit karena luka di sikunya menekan kasur empuk. Yang lebih tua bangkit, mencari tisu basah di dalam lemari kecil untuk mengelap tangannya yang terkena liur Eren.
Eren menggeliat, lalu meringkuk kedinginan. Oh, Levi menghidupkan pendingin ruangan dengan suhu yang tidak cocok di tengah hujan deras.
Lemari pakaian terbuka, mencari-cari baju yang sekiranya pas untuk ukuran tubuh Eren. Mendecak sebal antara setengah hati dan buru-buru, mencomot asal piyama dan dilemparkan ke atas tempat tidur.
"Shitty brat, jangan menggeliat terus," geram Levi. Eren tidak bisa diam, entah mimpi apa yang ada dalam benaknya sehingga setiap Levi menyentuhnya ia akan refleks menendang, menepis, dan yang paling ringan adalah mengumpat.
Levi kewalahan.
"Kelakuanmu lebih buruk dari orang mabuk," gerutunya. Berhasil melepaskan kemeja sekolah yang kotor, tidak terlalu dipikirkan oleh Levi. Ia bisa menyucinya nanti.
Hilang sebentar dari ruangan, kembali dengan seember kecil air hangat dan handuk. Ia tidak ingin seprainya menjadi lebih kotor dan lengket.
"Ngghh..."
Mengabaikan apa yang dilakukan Eren, entah itu menggeliat atau mengerang kesakitan dengan telaten Levi mengelap tubuhnya dengan air hangat. Sekali lihat pun dosen itu tahu bekas tendangan membuat perut itu memar. Ia mengompresnya.
Ketika Levi ingin mengelap wajah dan leher belakang tiba-tiba kedua lengan menggelayut di leher Levi, membawanya mendekat. Iris mata itu membulat besar karena jarak wajah mereka yang tidak lebih dari beberapa centi, nafas keduanya beradu.
"...dingin," bisik Eren. Berusaha memeluk Levi erat, menganggapnya sebuah guling.
"Ya, Nak. Ini dingin karena kau bertelanjang dada," umpat Levi. Tidak ada balasan, tentu saja. Levi terjatuh, tepat di samping Eren.
"Darimana kau belajar menggoda orang, Shitty brat," Levi mendengus. Menyerah untuk saat ini, membiarkan dirinya menjadi guling imajiner untuk sementara.
Lengan melingkari pinggang, menarik lebih dekat. Eren menyembunyikan kepalanya di dada Levi, menggesekan pipinya di dada bidang penuh dengan aroma maskulin.
Alis Levi mendatar, tidak tahu harus berbuat apa. Tubuh seorang remaja dengan harum susu khas anak kecil walau ia sudah jatuh dan tersungkur dimana-mana. Jika ada kenalannya yang bernama Mike, sudah pasti dia bisa berceloteh dengan aroma apa saja yang menguar dari anak polos ini.
Rambut itu menggelitik hidungnya, menciptakan perasaan aneh yang membuat dadanya sesak. Levi harus bisa menahan diri sebelum hal-hal aneh yang biasanya terjadi di dalam novel pasaran terjadi.
Guk! Guk!
Horror, seekor anak anjing menyalak seperti ingin menghajar Levi jika ia seorang manusia. Muncul dari balik punggung telanjang Eren, kaki mungilnya mengotori seprai putih bergaris hitam.
"Apa? Aku bukan orang sekotor itu."
Tiba-tiba Eren mendekapnya, kakinya mengapit di tengah kaki Levi. Menggesek sesuatu di bawah sana, ekspresi Levi mendatar. Merasa terhina di depan seekor anak anjing.
"Kau menang anjing galak, aku tidak akan berbuat macam-macam dengan bocah ingusan seperti dia."
Levi melepaskan diri, menarik piyamanya dan memakaikannya kepada tubuh telanjang Eren. Eren berbalik ke arah, kembali meringkuk memunggungi Levi. Yang lebih tua menghela napas. Menarik selimut sampai menutupi Leher Eren, yang diselimuti terlihat lebih rileks dan nyaman. Lalu kembali bergulir menghadap ke arah Levi. Melihat itu ia hanya mencari sebuah guling dan menempatkannya di samping Eren.
Hening beberapa saat, Levi meletakkan punggung tangannya di dahi Eren memastikan ia tidak demam. Melihat semuanya baik-baik saja Levi keluar dari ruangan itu dengan ekspresi tak tertebak.
.
.
Sinar matahari berlomba-lomba masuk dari celah sempit gorden berwarna putih gading. Suara kicau burung yang katanya ada di setiap deskripsi pagi terdengar samar oleh indra pendengaran Eren. Aroma dari kopi pahit menyeruak bercampur dengan aroma kayu manis dan citrus.
Eren mengerjapkan matanya, terasa berat dan pandangannya mengabur. Badannya terasa pegal, dia tidak ingat kapan ia masuk ke kamarnya. Apakah Grisha membopongnya ke dalam sini? Dia tiba-tiba merasa tak enak.
Tapi walau baru beberapa minggu Eren yakin tidak ada ruangan seperti ini di dalam apartemennya. Ruangan Grisha terlalu rapih jika penampakannya seperti ini. Tak ada berbagai buku dengan label kesehatan yang menumpuk, laptop terbuka yang biasanya selalu ada di atas meja kerja, gantungan dengan jepitan foto-foto x-ray yang berada tak jauh dari meja kerja. Tidak, kamar ini terlalu rapih.
Dimana dia?
Guk! Guk!
Eren menoleh cepat, seekor anak anjing dengan bulu coklat gelap seperti rambutnya melompat ke dalam pelukan Eren. Ah, sepertinya dia resmi jadi pemilik anjing ini. Harus dia beri nama siapa? Dia terlihat menggemaskan, apakah Sebastian?
Tidak, tidak. Itu lebih cocok untuk nama seorang anjing besar dengan bulu panjang milik seorang bangsawan. Lagipula nama itu terdengar seperti tokoh fiksi yang digilai oleh saudari angkatnya, butler iblis atau apalah itu Eren tak mengingatnya.
Pintu yang terbuka tak menimbulkan suara, tapi cukup untuk membuat Eren kaget karena melihat Levi bersandar pada ambang pintu yang terbuka.
"Kau tuan yang ada di toko buku kemarin," seru Eren polos. Matanya menatap lurus, berusaha mengingat, "...Levi-san?"
Eren turun dari ranjang, menggendong anak anjingnya. Lupakan soal pemberian nama sekarang, itu bisa nanti-nanti.
"Levi-san apa yang anda lakukan di sini?"
"Ho, anak zaman sekarang benar-benar. Apa yang mereka ingat di dalam otak mereka, tch." Levi berlalu, meninggalkan Eren penuh tanda tanya.
Otaknya masih terlalu lama untuk mencerna keadaan yang terjadi. Ia melihat tubuhnya yang kini terbalut dengan piyama biru yang agak kekecilan, matanya berkilat bingung.
Coba dia amati ruangan ini sekali lagi, semuanya serba hitam putih. Dinding putih dengan wallpaper daun mapple hitam yang hanya terletak di bagian dinding yang sama dengan kepala ranjang. Di dinding lainnya banyak penghargaan yang di bingkai, hampir semuanya berhubungan dengan kesastraan. Matanya menangkap baju sekolahnya sendiri yang digantung dekat lemari pakaian.
Oh...
Dengan cepat ia mengambilnya, melucuti pakaiannya dan menggantinya dengan seragam sekolahnya. Hari apa ini? Sabtu. Bersyukurlah, tidak ada jadwal sekolah atau Grisha akan mengurangi uang sakunya selama satu bulan kedepan karena bolos sekolah. Apa ini rumah milik Levi? Mengaggumkan, terlalu rapih untuk seorang pria dewasa yang nampaknya tinggal sendiri.
Matanya bergulir ke arah meja kecil di samping tempat tidur. Hanya ada jam digital, foto Levi bersama dua orang temannya. Dan fotonya bersama seorang wanita, ekspresinya terlalu ceria dan terkesan tomboy dengan kaus kebesaran, merangkul Levi yang hanya memasang wajah datar. Wanita yang sama berada di dalam bingkai yang memuat Levi dan 'dua orang' temannya.
Mungkin ia harus meralat bagian pria dewasa yang tinggal sendiri.
Eren mengecek ponselnya, hanya mendapati beberapa pesan dari teman sekolahnya dan saudari angkatnya. Ah, Grisha bilang ia tidak jadi pulang dan meminta Eren untuk tidur di rumah temannya.
Benar juga, Eren mengatakan kepada ayahnya bahwa ia belum ada di rumah dan sedang bermain di rumah temannya. Oh... hati Eren mencelos, sudah pasti ini rumah Levi. Apartemen mereka bersebelahan secara tidak sengaja.
Lelaki yang ia temui di toko buku kecil di pinggir jalan bersama dua orang lainnya.
Eren dengan perlahan membuka pintu kamar, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Tapi gagal, Levi yang sedang duduk di sofa dengan secangkir kopi hitam menoleh kepadanya.
"Sudah sadar?"
"Er...yes, Sir."
"Masukkan pakaian kotormu ke dalam mesin cuci, ada di sebelah sana," ujarnya tanpa melihat ke arah Eren. "Dan sarapanmu ada di atas meja makan."
Lalu lelaki dengan surai hitam itu kembali terfokus dengan laptopnya. Sesekali menyeruput kopi hitamnya, menuliskan beberapa kalimat di buku. Eren mematung entah kenapa enggan berpindah tempat, melihat pria di depannya tiba-tiba membuatnya kenyang begitu saja.
"Oi Shitty brat, apa yang sedang kau lihat?"
Eren terlihat tak mengerti dengan panggilan Levi untuknya. Ia mengernyit bingung, tapi Levi tak mau repot-repot menjelaskannya.
"Sir, boleh aku bertanya kenapa aku ada di sini?"
Levi menyeruput sedikit kopi hitamnya, "Jika kau tidak ingat maka tidak ada alasan untukmu mengetahuinya."
"Justru karena aku tidak ingat–"
"Aku bukan orang bodoh yang membiarkan anak kecil mati kedinginan meringkuk di luar apartemenku."
Bola mata hitam kelam itu menubruk kilatan hijau di mata Eren.
"Kau terlihat menyedihkan."
Eren kehilangan kata-kata, ia memang bocah yang mungkin terlihat menyedihkan kemarin malam. Sejujurnya ia benci dikasihani, hatinya menolak untuk terus menerus dihujat oleh lelaki di depannya namun kalimat protesnya ia telan mengingat baju kering dan tempat tidur nyaman yang Levi berikan kepadanya, "Terimakasih, Sir."
"Urusi keperluanmu lalu pergi dari sini."
Kasar. Tidak bersahabat. Levi tidak peduli dengan tanggapan sekilas yang berkecamuk dalam pikiran anak kecil di depannya.
Eren tersadar, buru-buru pergi dari hadapan Levi menghilang di balik pintu ruang makan yang baru saja dikatakan. Levi hanya meliriknya, lalu kembali fokus kepada laptopnya. Satu detik, tiga detik, Levi meremas jemarinya–tidak bisa fokus dan mengetikkan apa-apa.
Ia bersender pada kaki sofa yang empuk, pemandangan kota terlihat jelas dari atas sini. Gorden terbuka lebar, kaca jernih yang meneruskan pantulan-pantulan cahaya matahari. Membuat ruangan menghangat di awal musim semi.
Ia tak biasa berkenalan dengan orang asing, terlebih lagi mengurusinya sampai seperti ini. Dia hanya tahu nama Eren, selebihnya ia hanya menghayalkannya. Mungkin anak itu keras kepala, mungkin dia berisik, mungkin dia terlalu polos dan segala kemungkinan yang Levi ciptakan setiap melihat pantulan mata itu kebingungan menghadapinya.
Tentu saja. Mereka baru bertemu kemarin. Siapa dia bisa mendapatkan salam hangat penuh kekeluargaan.
Drrtt–drrtt–
Ponsel itu bergetar di atas meja kaca, mengganggu sehingga Levi dengan cepat mengambilnya.
"Ada apa?"
...
"Ke agensi sekarang juga?"
...
"Ya, tunggu sebentar," Levi menjeda, melihat ke arah ruangan lain, "Setengah jam lagi aku sampai di sana."
Panggilan terputus, Levi berdiri dari tempatnya menyusul seseorang yang tampaknya sedang makan dengan terburu. Levi memperhatikan, tidak percaya sikap bringas dan tak takut mati yang kemarin berubah menjadi remaja kikuk yang seperti sedang panik, mencuci piring diawali dengan kran cuci piring yang terbuka kebesaran dan kekacauan kecil lainnya.
Bocah sialan.
"Oi, belum selesai?"
Eren berjengit, sudah selesai membersihkan sabun yang menempel lengket di kulit tangannya. Levi tadinya berdiri di ambang pintu, tangan tersilang di depan dada.
"Aku akan segera pergi, maaf merepotkan," ujar Eren seperti seseorang yang habis mabuk lalu bangun di apartemen orang lain yang tidak ia kenal dengan keadaan bugil. Memikirkan itu saja Eren meringis, antara ngeri dan malu.
"Aku harus pergi," kata Levi, melewati Eren menuju ke arah kulkas. Menuangkan segelas air dingin dan meneguknya sampai habis.
"Kunci cadangan ada di bawah pot dekat pintu depan, kau di sini saja dulu membereskan kekacauan yang kau buat." Levi meletakkan gelasnya di tempat cuci piring.
Eren mengernyit bingung, "Maaf?"
"Kau harus cepat belajar, Nak. Ulangi caramu membersihkan piring. Dan cuci seprai dan selimut yang kau pakai semalaman." Mencuri pandang kepada reaksi Eren yang tak mengerti, "Tentu saja jika kau tidak ingin mengerjakannya kau boleh pergi sekarang."
Kaki Eren hampir melangkah, "Tapi mungkin saja aku akan mengatakan kepada Dokter Grisha anak lelakinya terlibat pertengkaran dengan preman dan berakhir tidur di ranjang lelaki yang tidak ia kenal."
...apa?
Levi melewatinya lagi, aroma citrus nan maskulin menampar Eren ke kenyataan. Tubuh yang lebih pendek darinya itu berlalu tanpa peduli. Dan Eren bersumpah kilatan obsidian dengan bibir tanpa senyum itu berinteraksi dengannya. Sama seperti kemarin, saat semuanya gelap, saat ia dihajar habis-habisan karena menolong anak anjing yang dilempari batu oleh preman-preman kurang kerjaan.
Eren menahan tangan Levi persis seperti film-film dramatis yang menghalangi kekasihnya pergi. Levi menoleh dengan pandangan tak suka.
"Ho? Sudah ingat, Shitty brat?"
.
Eren terduduk di atas tempat tidur Levi, bola matanya bergulir menyusuri setiap sela dari kamara lelaki yang baru dikenalnya kemarin. Lalu tanpa sadar wajah lelaki dingin itu muncul dalam pikirannya. Rambut yang tercukur rapih dari bawah, membuat poninya bergerak halus seiring hembusan angin.
Mana mungkin ia bisa melupakan wajah tenang dan namun mengerikan itu. Caranya bertarung membuat nafas Eren tercekat sampai tidak tahu harus bagaimana. Ia keburu kabur karena melihat anak anjingnya berlari menuju jalan raya.
Dia terlalu mengerikan untuk didekati, kata-katanya dingin dan tajam menohok hati. Mungkin banyak dari kalian yang menebak setelah ini ia akan terjadi adegan saling ejek, saling tindas, benci-bencian seperti anak remaja kesetanan.
Ini seperti cerita romantis yang pernah saudarinya baca dan diceritakan berulang-ulang. Apalagi setelah ini? Saling dekat, bermanja-manjaan, berkencan, kekasih yang tinggal bersebelahan? Err... tapi bukankah dia ini laki-laki? Dia masih normal, oke.
Eren menepuk kedua pipinya agak keras, "Jangan berpikir yang aneh-aneh, Yeager."
Jujur saja setelah ini ia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan Levi. Tidak ada niatan memperpanjang urusan dengan tetangga barunya. Tapi dia sangat keren, berkharisma dan–Eren hanya ingin menjadi seperti dirinya.
Anggap saja untuk saat ini dia menghormati lelaki yang sifatnya mengerikan itu. Lagipula dia yang sudah menyelamatkannya dua kali. Paling tidak Eren harus membalas budi sebelum ia bisa berlaku macam-macam.
Memantapkan hati dengan apa yang ia lakukan setelah ini. Ia berdiri, mengambil seprai dan selimut membopongnya menuju tempat tujuan.
.
.
Bangunan di tengah kota metropolitan, papan iklan besar terpampang di bagian paling atas dengan tulisan Wings of Freedom. Di pintu masuk bisa dilihat sebuah lambang sayap dengan huruf W dan F saling bertumpuk. Levi masuk ke dalam sebuah kantor berlantai sepuluh dengan gaya santai namun penuh wibawa.
Setelan necis dengan kaus V-Neck putih yang dilengkapi blazer hitam tangan ¾, jeans hitam ketat dengan sepatu trendi berwarna senada. Baru sampai di lobby saja para pegawai wanita langsung memekik tertahan. Ingin menyapa namun surut karena aura tidak bersahabat yang dilontarkan dimana-mana.
Pintu lift terbuka saat Levi baru berada di lantai tiga, seorang berkumis dan berambut pirang masuk. Wajahnya berbinar cerah melihat Levi.
"Rivaille!"
"Yo, Mike."
"Avez vous beaucoup travaillé dérnièrement?"
Levi mengangkat bahu menggeleng pelan, "Tidak juga. Semua berjalan dengan baik."
Mike tersenyum sendiri, "Sudah hampir dua bulan kau tidak datang, bagaimana kabar bukumu? Kudengar penjualannya sangat baik."
"Entahlah, mungkin karena itu Erwin memanggilku."
Percakapan singkat terhenti ketika lift terbuka di lantai 7, Mike keluar dengan melambaikan tangan agak berlebihan kepada Levi. Belum sempat membalas pintu lift kembali tertutup dan mengantarkannya ke lantai 9.
Dia sampai di lantai 9, tempat para atasan tertinggi. Pemilik dari WF yaitu sebuah perusahaan yang kusebutkan di atas tadi. Tak jauh-jauh dari literatur, kau bisa menyebutnya ini perusahaan penerbitan baik fiksi maupun non fiksi.
Sampai di depan pintu dengan tulisan C.E.O Levi mengetuknya beberapa kali, lalu masuk seenaknya. Dilihatnya seorang wanita tinggi dengan rambut diikat satu sedang berceloteh dengan gaya paling absurd yang pernah Levi lihat. Di depannya ada lelaki bertubuh kekar yang dibalut jas mahal berwarna coklat gelap. Rambut klimis warna pirang pucat yang disisir rapih, warna iris biru terang layaknya langit dengan cepat menangkap sosok Levi di belakang sana.
"Rivaille kau sampai juga."
Belum sempat menjawab wanita di depannya menoleh lebih cepat, dari balik kacamata itu Levi bisa melihat kilatan penuh nafsu dilontarkan untuknya.
"Rivaille sayangku, kenapa lama sekali?" Berjalan mendekati Levi, kedua tangannya terbentang lebar. Ia memakai baju yang aneh sekali, kaus kebesaran berwarna biru langit dengan gambar titan jelek, pendek, gendut yang seperti sedang memegang mic seperti di tengah-tengah konser. Levi mengernyit, siapa orang bodoh yang menjual baju seperti itu.
"Jangan mendekat Hanji, atau kutendang wajahmu," geramnya, mengangkat satu tangan di depan wajah Hanji.
Hanji berhenti dengan gaya didramatisir, "Kita sudah lama tak bertemu, kenapa kau sangat dingin dengan editor tersayangmu ini?"
"Siapa yang ingin punya editor gila sepertimu, tanyakan Erwin saja," Levi melengos, menarik kursi di depan Erwin, mengabaikan Hanji.
Hanji menyerah walau masih menampakan cengiran aneh dan gilanya, "Kau tidak seru, ah."
Ia menyerahkan beberapa berkas kepada Levi, yang langsung diambil tanpa peduli apa-apa. Matanya dengan cermat membaca beberapa deret angka dan huruf, semua informasi dengan tenang dan cepat diserapnya. Lalu kepalanya berdenyut sakit, ia menatap Erwin tak terima.
"Apa maksudnya ini?"
"Kau bisa lihat sendiri, penjualanmu meningkat tajam setidaknya itu kabar baik untukmu," Erwin berkata dengan nada penuh wibawa. Menanti-nantikan respon Levi yang sudah bisa ditebak.
"Aku tahu Erwin, kau tidak perlu membahas tentang yang itu. Tapi apa-apaan ini?"
Levi meletakan sebuah berkas, hampir dilempar di meja Erwin sebenarnya. Jelas-jelas dalam tumpukan berkas itu dinyatakan berita bagus, novelnya ingin diangkat menjadi sebuah film tetapi syarat yang diajukan membuatnya berdecak tak suka.
"Romantisme? Sejak kapan di dalam adegan kejam saling bunuh ada romantisme picisan? Tidak. Aku tidak mau mengubah gaya menulisku."
Levi Ackerman seorang penulis yang lebih dikenal dengan nama Rivaille di industri ini. Penulis berbakat yang telah banyak melahirkan karya-karya fantastis dengan tema gila yang bisa membuat lupa diri dan tertarik ke dalamnya.
"Rivaille, kurasa kau tidak pernah menonton The Hunger Forrest, ya?" canda Hanji. Yang sudah bisa dipastikan mendapat respon buruk dari lawannya.
"Kau pikir aku orang udik yang tidak pernah pergi ke bioskop?"
"Sudah hentikan. Rivaille aku memanggilmu ke sini bukan hanya untuk membuat kau marah-marah." Erwin mengambil sesuatu di dalam laci, menyodorkannya kepada Levi, "Proyek ini besar, Rivaille. Kau bisa memperluas karirmu dengan menjadikan Before the Dawn live action movie sebagai yang terbaik."
Before the Dawn, sebuah novel bergenre historical dan action. Bercerita tentang masa lalu umat manusia yang hidup bagaikan hewan peliharaan yang diburu dan dikejar-kejar oleh raksasa yang tidak diketahui motifnya. Hanya tertarik memakan manusia tanpa mengenal rasa kenyang.
Ah, novel yang dibicarakan Petra.
"Erwin, kau mungkin lupa sudah sejak kapan aku berada di industri ini. Novelku bukan sekali atau dua kali diterbitkan menjadi sebuah film sukses."
Erwin mengangguk membenarkan, "Ya, aku tahu itu."
"Before the Dawn lebih menitikberatkan perjuangan dan sejarah, bukan aku tidak ingin menulis tentang dua orang yang dilanda mabuk cinta sampai harus mengorbankan nyawa. Bukan itu. Percaya padaku, itu hanya akan merusak keseluruhan ceritanya."
Hanji mendengus bosan, memelintir poni terdepannya, "Kau kaku sekali."
"Jangan mengujiku, sudah terlalu banyak yang protes dengan perbedaan naskah asli dan live action. Mau aku ingatkan bagaimana cerita Yana-sensei sangat begitu berubah di live action? Fans mana yang tidak marah ketika tuan muda mereka berubah menjadi seorang perempuan hanya untuk meluruskan adegan ciuman di detik-detik terakhir."
"Oww, jaga ucapanmu Rivaille," ujar Hanji memperingati.
Lalu mereka bertiga diam. Levi terduduk dengan kaki dan tangan menyilang, tatapan bosan tapi menantang kapada Erwin. Sedangkan Erwin hanya menunggu orang lain angkat bicara, kedua jemari bertaut di depan wajah sejajar dengan hidung. Hanji sibuk dengan ponselnya sendiri, kejadian seperti ini terlalu biasa di matanya.
Menyerah dengan tatapan intens yang diberikan oleh Erwin kepadanya, "Aku akui itu memang bagus, tapi tidak. Aku tidak ingin merusak karyaku sendiri."
"Kalau begitu buatlah romantisme picisan itu menjadi sesuatu yang lebih menegangkan dan menghasilkan banyak tanda tanya."
Levi terdiam dengan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Erwin. Hanji dan Levi sejujurnya tidak bisa menebak apa yang dipikirkan oleh bos besar mereka ini.
"Terserah kau saja, aku tidak bilang kau harus mengubah alur menulismu."
"Aku memang tidak akan pernah memasukan wanita dan pria yang saling bercumbu liar masuk ke dalam novelku yang satu ini."
"Baiklah, itu terserah kau saja."
"Erwin!" Hanji berseru, tidak setuju dengan keputusan Erwin. Hanji berbalik menatap Levi, "Tapi kali ini kita akan bekerja sama dengan perusahaan luar. Rivaille, bisakah kau pikirkan itu sekali lagi? Ini sangat menguntungkan," ujarnya geram. Nada suaranya meninggi dengan panik.
"Kau tidak bisa begitu Hanji, penulis aslinya tidak ingin merubah apapun."
Hanji sudah ingin angkat bicara lagi ketika Erwin menghentikannya, "Proyek ini memang sangat penting dan menguntungkan. Tapi hak cipta tetaplah hak cipta, itu tergantung dengan penulisnya sendiri.
"Rivaille, kau berbakat menulis apapun kenapa susah sekali hanya untuk merubahnya sedikit?"
"Pemeran utamanya laki-laki, dan dia hanya dekat dengan komandannya karena ingin seperti orang itu," gumam Levi menjelaskan. Tidak peduli lagi dengan celotehan yang akan diberikan Hanji.
"Tapi kan dia punya saudara angkat perempuan? Dan masih banyak pemeran wanita lainnya, kenapa sulit sekali?"
"Wanita dalam kehidupan komandan sudah mati semua, tidak ada genre fantasi yang melibatkan hubungan dengan arwah di sini."
"Kalau begitu pemeran satunya lagi, dengn saudari angkatnya!"
"Tidak tertarik dengan incest, maaf saja."
"Komandan dengan si saudari angkat!"
"Sifat mereka terlalu berbenturan, wanita itu terlalu menggilai saudaranya. Tidak mungkin."
Menggeram kesal, sikap nyelenehnya hilang sudah. Hanji menunjuk Levi, "Erwin katakan sesuatu! Orang ini keras kepala sekali," Hanji hampir menjambak rambutnya sendiri, agak berlebihan memang.
"Rivaille, bukankah kau selalu suka dengan sesuatu yang membuat pembaca penasaran setengah mati? Sesuatu yang melibatkan psikologi pembaca?"
"Kau mengenalku lebih dalam dari itu Erwin." Levi masih menyilangkan kedua tangannya, sikap tidak ingin mengubah keputusannya terlebih dahulu.
"Bisa kau ceritakan bagaimana perasaan si tokoh utama? Terlebih lagi dengan komandannya."
"Kenapa kau sangat tertarik?"
"Ayolah Rivaille, kau tidak bisa membuat kami melepas proyek ini begitu saja."
"Permainan bisnismu terkadang licik, Erwin."
Alis Levi terangkat satu, walau jengah ia menceritakannya. Akhirnya Hanji diam juga mendengarkan. Mereka seperti sedang memperhatikan persentasi paling menarik di seluruh dunia, bahkan Hanji sampai lupa dengan ponsel dengan latar belakang bayi-bayi titan imut. Sikap absurd marah-marahnya kepada Levi juga senyap seketika.
"Wow Rivaille aku yang editormu saja melupakan itu."
Levi memutar bola matanya secara imajiner, "Itu karena kau terlalu sibuk mengejarku dengan deadline."
"Bagaimana Erwin? Apa saranmu?" tanya Hanji, tiba-tiba merasa buntu.
"Tentu saja itu sangat menarik, hampir tidak mungkin ada kisah cinta di sana. Aku paham itu."
Erwin tersenyum seadanya, mengangkat bahunya yang rileks. Gayanya terlampau santai untuk menghadapi seorang Rivaille.
"Aku merasa ada yang aneh di sini. Lebih baik kau mengatakan apa yang ada di dalam kepalamu itu, Erwin."
"Kau memang sahabatku yang luar biasa Rivaille, aku tidak bisa menyembunyikan apa-apa darimu," tawa kecil dari Erwin hanya menambah iritasi pada mata Levi. Ia tidak mengerti, sabar menunggu.
"Tidak usah bertele-tele, waktuku tidak banyak."
"Kapan light novel yang lain keluar?"
"Aku sedang mengerjakannya kira-kira akhir April akan kubawa draft-nya ke sini. Ada apa? Itu tidak ada hubungannya dengab BTD, hanya beberapa kisah sampingan."
"Novelmu menjadi yang terlaris di awal tahun Rivaille, tidak akan ada yang melewatkan apapun tentang kisah mereka."
"Tetap saja Erwin aku tidak akan merubah apapun," ujarnya ketus. "Sudah aku bilang aku tidak tertarik memasukan wanita–"
"Lagipula aku tidak bilang romantisme yang dimaksud melibatkan laki-laki dan perempuan."
Hening.
Levi sudah memasang wajah sedatar yang ia bisa,tidak ingin terlihat kalah maupun terjebak permainan Erwin yang sudah membuatnya terlihat tolol. Ia mengabaikan wajah bodoh Hanji yang mungkin ingin menginjak otak Erwin yang terkadang gila itu. Tak lama dari itu Hanji tertawa terbahak-bahak, air mata mengalir dari sudut matanya.
"Kuakui, idemu memang selalu tidak waras."
.
.
To be continued.
.
Hallo readers semuanya~ author baru di fandom SnK semoga bisa diterim dengan baik =)
Untuk chapter pertama, ini panjang sekali ya? Haha, Author berharap ini tidak membosankan sampai kalian harus menekan tombol exit sebelum sampai paragraf paling bawah.
- S'en aller = Go Away, Fuck Off.
- Was willst du? = What do you want?
- Quel imbécile = What a moron.
- Ne t'affaires pas avec moi = Don't mess with me.
- Je n'en ai rien à fiche = I don't give a damn.
- Ich bitte Dich = I'm begging you.
- Avez vous beaucoup travaillé dérnièrement? = Have you worked a lot lately?
- The Hunger Forrest plesetan dari The Hunger Game.
- Before the Dawn yang dibicarakan Eld adalah lagu dari Infinite.
- Live action yang dibicarakan Levi adalah Kuroshitsuji. Sebenarnya itu hanya pendapat pribadi author, huhuhu, mohon dimaafkan.
.
Bagaimana respon kalian? Apakah FF ini harus dilanjut? Maafkan bahasa asing yang agak mengacau di sana, author sebisa mungkin mengeceknya lebih dari satu kamus. Tolong berikan kritik yang membangun dan sarannya, Author dengan senang hati belajar di sini~
Author dengan senang hati menunggu komentar dari teman-teman semua. Terimakasih (*.*)/
