Author : Itami Shinjiru

Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto. Sedikit bumbu "Parody," dari Eragon, How to Train Your Dragon, dan Percy Jackson & The Olympians

Note : Semua nama naga, peralatan, atau kemampuan dan seluruhnya yang tidak terkait dengan Naruto merupakan hasil pemikiran Author dan TIDAK terkait dengan fanfiction manapun, semirip apapun judul atau plotnya. Beberapa OC baik karakter manusia atau makhluk mitologi diambil dari legenda dan mitologi nyata dengan pengubahan seperlunya.

Rated : T

Warning : Alternate Universe, Original Characters. Maybe contains some Out of Characters and Typographical Error

About this fic : Ini merupakan sekuel dari fic Paradox –by Itami Shinjiru

Genre: Fantasy, Adventure, Action, Romance. Little bit of Mystery

Any Little Note: Tebak sendiri POV dalam tiap chapter


~ PARADOX 2 ~

The Blood of Pomegranate

パラドックス 2 - ザクロの血液

CHAPTER SATU:

Entering the Trouble

Konohagakure

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

PADA DASARNYA, BERJALAN-JALAN DI MUSIM GUGUR di taman bunga bersama seseorang bukan hal buruk.

.

Ini semua ide Naruto. Dengan berdalih dia terlalu banyak meringkuk dalam selimut dan bergelung di tempat tidurnya yang nyaman ketika musim gugur tiba tahun lalu, dia mengajakku jalan-jalan keluar. Kau bukan beruang yang berhibernasi tiga bulan –apalagi di musim gugur. Aku sudah mengingatkannya, tapi dia tetap dia yang kukenal, selalu ceroboh dan bodoh, dan aku tidak mau berlagak keibuan.

Atau pacar, barangkali?

.

Tidak bisa disebut begitu, sih. Kami sudah menyusuri taman ini sekitar sepuluh menit lamanya, tapi tidak ada tempat yang tepat untuk meregangkan kaki –dan selama itu aku dan Naruto berjalan beriringan tapi terpisah dengan jarak sekitar empat puluh senti. Beberapa orang mencuri-curi pandang ke arah kami, tapi aku tidak mempedulikannya.

"Cari tempat untuk beristirahat," dengusku, "atau kuceburkan kau ke sungai selagi airnya masih dingin."

Naruto hanya menyeringai seperti biasa, memamerkan deretan gigi-gigi putihnya dengan sepaket ekspresi jahil yang mulai bosan kulihat tujuh kali seminggu, dua puluh delapan sampai tiga puluh satu kali sebulan. Rambut kuning blondenya berkibar diterpa angin, yang turut membawa ratusan helai daun mapel, birch, dan ek di sekitar kami dengan warna merah tua sampai kuning. Dia mengenakan jaket oranye tipis dan lengannya dimasukkan ke dalam saku, terlihat cukup memenuhi standar cowok keren sampai kakinya terantuk sebuah batu dan nyaris jatuh.

"Mengalahkan Keturunan Ketiga, menggagalkan pemekaran bunga Shinjuu, dan menyelamatkan dunia," ujarku. "Dan kau hampir kalah oleh sebuah batu?"

"Mengangkat gunung, membantai Kaum Kolosal, dan menjadi naga terkuat. Tapi minta istirahat setelah berjalan-jalan sepuluh menit," balasnya enteng.

Kalau saja aku baru mengenalnya satu-dua hari, isi keranjang piknik di tangan kananku pasti sudah berhamburan. Ditambah sebuah pohon mapel yang tercabut sampai ke akar-akarnya, barangkali. Aku mengibas tangan. Telingaku sudah terlalu sering mendengar ocehan Naruto yang semacam itu.

"Disana," aku menuding sebuah tanah datar dengan hamparan rumput yang masih hijau seluas lapangan tenis. Naruto mengiyakan dan menggelar karpet disana, langsung berbaring dan menghirup napas dalam-dalam. "Udaranya akan jauh lebih dingin tiga bulan kemudian," katanya pada dirinya sendiri. "Ah, biasanya dingin-dingin begini aku sedang berada di rumah, meringkuk dalam selimut sambil ..."

"Minum secangkir teh panas," pungkasku, lantas menyodorkan gelas plastik berisi teh hijau yang uapnya masih mengepul.

Dia terkekeh. "Kau selalu tahu apa yang kuinginkan."

Aku memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan sedikit rona merah yang mendadak terbit, tapi Naruto sudah hafal semua bahasa tubuhku sejak setahun terakhir ini kami banyak –eh, yang kira-kira sekali seminggu –oke deh, minimal dua kali seminggu, aku dan Naruto biasanya bersama, entah sedang melakukan apa. Baiklah, baiklah. Aku tidak bisa jauh-jauh darinya, puas? Pokoknya, keadaan berangsur-angsur membaik setelah Perang Dunia Naga Keempat dinyatakan selesai, tuntas dengan kemenangan besar digenggam di pihak kami, Aliansi Dracovetth Lima Negara Besar dan Etatheon beserta seluruh naga pendukung dari berbagai penjuru dunia.

Kami merenovasi rumah Naruto sebulan setelah itu, tidak begitu banyak dipreteli atau dipasang ulang karena dia lebih suka desainnya yang dulu, tanpa mengabaikan ruangan rahasia di bawah tanah dan koleksi perpustakaan pribadi ayahnya sekaligus pengendaraku sebelumnya.

Rouran menjalin kerjasama dengan Sunagakure –tidak lagi terasing seperti dulu, meskipun keduanya masih independen. Keberadaan Perpustakaan Besar Alexandriana di Gurun Utara Tsuchi no Kuni sempat membuat Yondaime Raikage agak berang karena perpustakaan di Kumogakure tidak lagi menjadi yang terbesar dan terlengkap, namun setelah berdiskusi selama beberapa pertemuan, kami sepakat hanya mengedarkan nama Perpustakaan Alexandriana –berikut Oedipus dan Ladon beserta para harpy dan potongan kecil Shinjuu di ruangan rahasia itu, pada Lima Kage saja.

Deavvara kakakku telah mengucapkan permintaan maaf secara pribadi dan juga mewakili Styx dan Droconos kepada Rouranian atas pembunuhan tiga ratu sebelumnya, nenek dan ibu Sara, juga Konohagakure, dan Sunagakure; garis besarnya, Lima Negara Besar. Tidak ada yang mempertimbangkan permintaan maafnya lebih dari tiga puluh detik karena Deavvara terbukti sangat membantu dalam Perang Dunia Naga Keempat.

Kedelapan naga dewa sedang bebas-bebasnya. Dalam artian lain: mereka tercerai-berai lagi. Deavvara menghilang entah kemana, Styx memeriksa buku-buku di Perpustakaan Alexandriana, Pyrus seperti biasa, keliling dunia dengan maksud tidak jelas, Hermes dan Beleriphon barangkali sudah keluyuran sampai Kutub Selatan. Parthenon berada di Pulau Apocalypse untuk sementara, dan aku di Konoha sini, bersama remaja 17 tahun yang mengidap penyakit hiperaktifitas.

"Kau imut waktu tersenyum," celetuk Naruto tiba-tiba dengan mata setengah terpejam.

Aku tidak menanggapinya. Pertama kali memulai perjalanannya meninggalkan desa sebagai Draco P, dia canggung kalau berada di dekat perempuan. Sekarang ... tidak. Atau mungkin itu hanya berlaku untukku saja?

Ia duduk dari posisi tidurnya.

"Ardhalea."

Aku menoleh.

"Kau tidak terlihat menua, ya," desisnya lirih.

"Begitulah."

Ia meneguk ludah. "Kalau aku –suatu saat, mati karena usia tua ... kau akan mencari pengendara lain, kan?"

Aku terdiam sejenak.

"Manusia bukan makhluk abadi, Naruto," bisikku. "Setidaknya tidak sepertiku. Tapi ... apa yang kau maksudkan?"

Naruto mengangkat satu alis, lantas menggosok kepala. "Duh. Kau ini memang kurang peka, ya."

"Soal apa?"

"L-lupakan," katanya tergagap. Ia membuka keranjang piknik dan mengeluarkan dua potong roti segitiga. Membelah bagian tengahnya dengan pisau, lantas mengisinya dengan selada, tomat, potongan daging, dan mustard. Ia menyodorkan satu padaku.

Kami makan dalam hening. Memperhatikan beberapa Dracovetth yang beterbangan bersama naganya, menukik menyentuh sungai berarus tenang kemudian melancong jauh lagi. Awan-awan berarak damai diiringi hembusan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Taman ini sedang lumayan ramai, tapi mereka semua cukup tahu diri untuk tidak mengusik dua pahlawan penyelamat dunia yang sedang bersantai bersama.

Aku dan Naruto tidak membawa apa-apa selain keranjang piknik dan terpal. Aku nyaris tertawa memikirkannya, sebab aku hampir tidak pernah meninggalkan pedang perunggu-perak yang senantiasa bertengger di pinggangku, atau setidaknya sebuah belati. Aku membaringkan tubuhku diatas terpal, menyilang kedua tangan ke belakang kepala, dan memejamkan mata. Semilir angin yang membawa aroma bunga dan dedaunan kering membuat kedua mataku serasa seberat timbal.

Naruto beringsut mendekatiku, tidur di sampingku. Ia mengecup pipiku singkat dan tersenyum kecil.

"Aku selalu tahu kau tidak akan pernah meninggalkanku," bisiknya lirih. "Banyak hal yang bisa menjelaskan itu. Dan sekarang ini aku tidak perlu bukti untuk memberitahu bahwa itu semua benar, kan?"

"Tidak," jawabku singkat dengan pipi memerah. "L-lain kali kau harus melakukannya di tempat yang lebih sepi," gerutuku.

Ia mengedikkan bahu. "Seperti di tepian tebing danau dekat rumahku dulu?"

"Itu kejadian lain, bodoh."

Dia tertawa.

.

.

.

"AKH!"

Naruto berjengit, lantas berdiri. "Suara apa itu?"

Sudut mataku melihat kerumunan orang berkumpul dibawah pohon mapel besar. Tanpa menunggu Naruto, aku berlari ke arah kerumunan, dan orang-orang membukakkan jalan. Naruto menyusul setengah menit kemudian, dan kami mendapati seorang laki-laki berjas terkulai di akar pohon. Matanya terbuka, dan dari mulutnya keluar buih.

"Mati?" Selidik Naruto, mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Beberapa orang mengangguk-angguk. Aku mendekat dan memeriksa denyut nadinya.

"Ya," konfirmasiku. "Ada yang melihat detik-detik terakhirnya?"

"Tentu," salah satu perempuan mengangkat tangan. "Keadaan sekitar pohon tempat orang ini berjalan tadi sepi, lebih banyak orang berkumpul di sebelah sana," tudingnya, "karena ada pertunjukan panggung boneka. Tapi aku sendiri melihatnya meminum ini, lantas mendadak bangkit dari kursinya, sempoyongan seperti orang mabuk, menabrak pohon, lalu jatuh," lapornya sambil menyerahkan gelas minuman plastik itu padaku.

Aku mengamatinya. Tidak ada yang aneh. "Minuman apa ini?"

"Jus kacang hijau," seseorang mendadak menyeruak diantara kerumunan orang. "Dia membelinya di tokoku tadi."

Naruto mengamati orang itu dengan pandangan menyelidik. "Sepertinya kami perlu menggiringmu ke polisi."

"Hentikan itu," aku menggerutu. "Kau selalu main serobot sana-sini. Mana ada penjahat yang dengan mudahnya mengaku dia telah membunuh seseorang dengan minuman yang dia jual?"

Si blonde menggaruk kepala. "Bisa jadi ini pengecualian?"

Aku menghela napas. Kubuka tutup gelas minuman itu dan mengendus aromanya. Kacang hijau, sih.

Tapi ada yang aneh.

"Racun," desisku, membuat kerumunan orang maki merapat. Kuaduk-aduk minuman yang baru setengah habis itu dengan tangan, lantas setelah kurasa cukup, aku mengeluarkannya. Diantara cairan hijau tua kental berserat kacang hijau di tanganku, ada sedikit bilur hijau yang lebih muda. "Racun dari seekor Pinthowra."

"Seperti naga milik Hanzo di Amegakure itu?" Tabrak Naruto. Aku mengangguk.

"Tapi bukannya Hanzo no Sashuoo dan naganya sudah mati saat Perang Dunia Naga Keempat?" Serobot salah satu pengunjung.

Aku mengangguk sekali. "Kalian pikir Pinthowra cuma milik Hanzo?" Aku melirik si penjual minuman. "Kau punya jenis itu di rumahmu?"

"Punya naga saja tidak," akunya.

Aku mengedarkan pandangan berkeliling. "Ada yang menemukan bukti lain selain minuman ini?"

Wanita yang mengaku sebagai saksi itu berjalan ke arahku dan menyodorkan sebuah tisu. "Ini ditemukan bersama minuman itu."

"Oh, tokoku memang memberi bonus sehelai tisu untuk jaga-jaga kalau-kalau minumannya tumpah," imbuh si penjual. Aku mengendus tisu.

Bau kunyit.

"Ada yang melihat seseorang yang mencurigakan di sekitar sini?" Kali ini Naruto yang bertanya. Tidak ada yang menjawab.

"Ayo, Naruto," ajakku. "Kita ... pergi dari sini. Yang lainnya, hubungi ambulans. Kami sendiri yang akan menemukan siapa pelakunya."

.

.

.


Naruto's Home

"Bau kunyit?" Selidik Naruto setelah mengendus tisu tadi. Aku mengangguk.

"Apa hubungannya kunyit dengan kacang hijau? Kalau keduanya dicampur bukannya rasanya jadi aneh?"

Aku mendecih. "Sekarang bukan saatnya memikirkan minuman."

"Sungguh," Naruto bangkit dari kursinya, mencari-cari sebuah buku di rak perpustakaan mini ayahnya. "Kunyit dan kacang hijau itu bagai bumi dan langit! Mereka berdua berbeda sekali, kan?"

"Si pelaku menyeludupkan racun Pinthowra dalam dosis yang sangat tepat," aku menggumam sendiri. "Cukup banyak untuk membunuh manusia, tapi cukup sedikit sehingga tidak mengubah bau dan rasa serta warna minuman yang sama-sama hijau. Durasinya juga tepat. Korban sempat meminum separuh isi gelas sebelum tewas. Kalau terlalu banyak, baru beberapa teguk saja seharusnya dia mati. Dompet dan barang berharga si korban tidak diambil, yang menurutku aneh. Ini bukan pembunuhan biasa."

"Mungkin tidak si pembunuh meninggalkan pesan?" Selidik Naruto datar.

Aku mengamati tisu, lantas berlari ke kamar mandi.

Dua menit kemudian, aku membeberkan tisu itu diatas meja. Tulisan samar-samar tampak.

'Menara Anglelo, 22.22'

"Bagaimana bisa ini ada disini?" Gerutu Naruto.

"Kunyit adalah senyawa asam," aku menjelaskan. "Dan untuk bisa melihatnya dengan jelas, kita butuh lawan dari asam, yaitu basa. Dan bahan basa yang paling mudah ditemukan di rumah seperti ini adalah ... sabun. Membasahinya dengan air sabun sudah cukup untuk menampakkan tulisan itu."

"Bagus sekali," ucapnya pendek, "lalu apa maksud ini? Menara Anglelo bukannya menara yang di sebelah Timur Otafuku Gai? Itu kira-kira 12 kilometer dari sini, kan. Kudengar Menara Anglelo sudah runtuh dua tahun yang lalu gara-gara tersambar petir dan tidak pernah dibangun lagi karena sudah dianggap tidak ada gunanya?"

"Reruntuhannya bisa dijadikan semacam markas," kataku. "Masalahnya ... kita tidak tahu pada siapa pesan ini ditujukan. Bagaimana kalau ternyata si korban sendiri yang menulisnya, tapi tiba-tiba dibunuh?"

"Hanya ada satu cara," kata Naruto misterius.

"Apa?"

"Kita harus pergi ke tempat itu pukul 22.22. Jam sepuluh malam lewat dua puluh dua menit."

"Darimana kau yakin?"

"Menebak-nebak saja. Panggil Kurama dan Demetra bersama untuk jaga-jaga. Kalau itu benar markas musuh, berarti mereka sudah memanggil ular ganas nan mematikan ke sarang tikus."

.

.

.

BLAAARR!

Naruto mengumpat. "Ada apa lagi sih?"

Kami berlari keluar. Sebuah kawah berdiameter tiga meter tampak persis di depan halaman depan rumah. Dari kepulan asap, muncul seekor naga berwarna abu-abu dengan rahang seperti sumpit –panjang dan kecil, dengan deretan gigi-gigi seperti jarum di mulutnya. Sekujur tubuhnya dipenuhi duri dan sepasang sayap besarnya terlihat seperti jalinan kawat baja. Ia menatap kami dengan mata berwarna merah marunnya, lantas melontarkan sebuah benda berbentuk duri ke depan.

Aku menumbuhkan sayap, mengepakkannya. Duri itu berbalik nyaris menghantam si naga, membuat satu kawah lagi di tanah. Ia berkelit menghindar dan terbang, menukik langsung ke arah kami. Aku mengepakkan sayapku untuk kedua kalinya dan dia terlempar lagi.

"Tipe yang aneh," desis Naruto. Ia melakukan Kagebunshin dan merengsek maju, masing-masing dengan Rasengan di tangan.

Naga itu gesit, menghindar dari semuanya dan menukik lagi ke rumah. Kulayangkan tinjuku ke rahang atas depannya –BUK!

Dia jatuh dengan suara berdebum. Momentumnya yang besar membuat pukulan itu terasa sepuluh kali lebih menyakitkan, pasti menggetarkan rongga kepalanya dan meretakkan tengkoraknya.

"Semudah itu?" Naruto menggaruk leher. "Hanya cari masalah saja."

"Kita apakan dia?" Tanyaku, menyadari ada bangkai naga seberat beberapa kuintal teronggok bisu di halaman rumah Naruto.

Tapi dia sudah tidak ada.

Naruto menggaruk kepala. "Barangkali dia hanya pura-pura mati. Sepertinya aku harus mengirim pesan ke Sasuke untuk datang segera, membantu memecahkan teka-teki ini."

Malam tiba. Kami makan malam lebih awal hari ini –pukul setengah tujuh, lantas bersiap-siap tidur sebentar pukul sembilan. Cuma tidur-tidur ayam, tapi itu akan membantu memulihkan tenaga dan pikiran yang terkuras hari ini.

Membaringkan diri di kamar orangtua Naruto, aku menghela napas. Entah kenapa hari ini terasa begitu aneh, dan bukan cuma karena misteri pembunuhan terencana atau seekor naga yang mendadak menyerang rumah, tapi karena aku merasakan sumber kekuatan lain yang menakutkan di dekat sini. Tidak begitu jauh ... pasti kurang dari 20 kilometer. Bahkan dari jarak seperti itu, aku masih bisa merasakannya.

Kekuatan yang bersumber dari makhluk hidup tua yang telah hidup lama bahkan sebelum Etatheon dibentuk.

Sebelum Etatheon dibentuk?

Aku mengenyahkan pikiran itu. Tidak mungkin.

Tidak mungkin dia.

Mustahil Laramidia masih eksis. Aku melihatnya sendiri hancur berkeping-keping, tercacah jadi triliunan atom tak berarti ketika jutsu Delapan Cincin Naga Penjuru menghantamnya. Kedua saudaranya juga ... apalagi. Lebih tidak mungkin.

Kurasa memang bukan. Kekuatan ini bahkan lebih tua daripada Laramidia itu sendiri.

Horus dan Haumea? Mana mungkin. Mereka telah melakukan gencatan senjata seumur hidup –yang mungkin tidak lama lagi karena mereka sudah sangat sepuh- dan menghilang dari sorotan dunia entah kemana.

Kaum Kolosal? Masih menunggu 274 tahun lagi untuk bangkit.

Jengah memikirkannya, aku akhirnya terlelap.

.

.

.

.

"Ardhalea."

Aku membuka mata. Bunyi air mancur terasa akrab di telingaku, dan delapan ruangan berhiaskan simbol-simbol naga kuno di ruangan mewah bergaya Yunani mulai mengisi energiku. Kuil Etatheon.

Sosok itu berdiri tepat di sebelah air mancur. Sayap berbulu sehitam malamnya tampak layu. Wajah tirusnya diprogram untuk menampilkan ekspresi datar yang membuatku bosan setengah mati, tapi aku sudah merindukan makhluk beriris ungu di depanku.

"Ada masalah apa, Kak?" Sambutku datar. "Sampai mengirim telepati mimpi tanpa bilang-bilang."

Deavvara tertawa kikuk –sungguh deh, dia malah lebih cocok tertawa jahat penuh ambisi daripada tawa akrab yang masih kelihatan dibuat-buat walau sudah setahun lebih dia memutuskan untuk berubah baik.

"Kau masih sama, langsung terabas sana-sini ke pembicaraan inti. Apa Naruto tidak mengajarimu basa-basi dengan lawan bicara sebelum membahas persoalan utama?"

"Tidak."

Deavvara memijat keningnya. "Ini memakan waktu. Tadinya aku ingin menghubungimu sore-sore, tapi baru bisa malam ini. Dengar, Ardhalea. Mengesampingkan sifatmu yang tidak berubah, emm ... apa kau merasakan tarikan Gaya Koroiois di sekitar Konoha?"

Aku mengernyit. "Gaya Koroiois."

"Iya."

"Apaan tuh?"

Deavvara menabrakkan kepalanya ke mangkuk air mancur.

"Aku pernah mendengarnya, tapi tidak tahu lebih jauh," tuntutku.

"Gah," gerutunya, "aku tidak ingat kau belum tahu soal ini. Gaya Koroiois. Semacam medan magnetik alami yang hanya dimiliki oleh beberapa spesies naga –antara lain Saxoen Angelo, Treppondhliala, Nrerema, dan Koeios."

"Semua yang kau sebutkan adalah spesies naga yang sudah punah berabad-abad lalu."

Deavvara mengangguk mengiyakan. "Tepat. Mereka diburu karena semua naga yang punya Gaya Koroiois dianggap punya kemampuan untuk memanggil iblis, tapi ya ampun, makhluk macam apa sih itu? Dasar manusia, mau saja percaya pada isapan jempol begituan. Omong-omong, Gaya Koroiois ini, adalah medan magnetik yang dapat mengganggu chakra dan kemampuan dasar naga manapun –tak terkecuali Etatheon- kalau berada di dekatnya dalam radius beberapa ratus meter. Um, semakin kuat naganya, biasanya semakin kuat Gaya Koroioisnya."

"Dan kau merasakannya."

"Tepat," sahutnya. "Semua naga yang punya Gaya Koroiois adalah naga-naga kelas atas, bisa disetarakan dengan Wivereslavia. Hari ini aku menjumpai seekor Saxoen Angelo di Takigakure –bukankah itu sangat hebat? Kita semua mengira mereka sudah punah, tapi ini satu-satunya Saxoen Angelo yang ada. Dan, Ardhalea ... dia masih anak-anak. Usianya kira-kira baru 17 tahun, padahal Saxoen Angelo bisa mencapai umur hingga seperempat milenia. Aku akan melindunginya sampai saat itu tiba, dan ... bisakah kalian kesini? Terlalu beresiko untukku yang masih punya sedikit stempel naga jahat bagi orang-orang udik. Kita harus membesarkan naga ini baik-baik sebelum dia mengenal dunia yang sesungguhnya, dimana ada kemungkinan dia jadi jahat."

"Kau mau kami kesana kapan?"

"Secepatnya," ucap Deavvara. "Selambat-lambatnya besok."

"Baiklah," jawabku cepat. "Di Takigakure."

Deavvara mengangguk. "Si kecil itu sedang tidur di gua bersamaku. Oya, satu lagi, Ardhalea. Kau tahu naga mana yang pertama punya kemampuan menghasilkan Gaya Koroiois?"

Aku mengingat-ingat.

"Parraryon."

"Yap," Deavvara membenarkan. "Parraryon. Naga Gatpura tertua. Kakak dari Taksaka, yang paling kuat dari Keturunan Kedua. Dan aku baru terima kabar dari Hermes –dia tadi lewat sekilas di desa ini dan mengatakan padaku bahwa dia barusan melihat Parraryon, di pantai persis di sebelah Selatan Hi no Kuni. Semoga saja dia hanya bercanda, tapi waktu itu wajahnya sangat serius. Mau tak mau, aku harus –ah! Si Saxoen bangun, aku harus menutup percakapan ini segera. Baik-baik di rumah, Dik!"

Deavvara menepukkan tangan, dan tubunya lumer jadi kabut yang langsung menghilang ditelan angin semeribit.

.

Aku terbangun, mengerjap-ngerjapkan mata. Tidak salah lagi. Paling tidak ada dua hal penting yang kudapat dari telepati kakakku barusan: pertama, seekor Saxoen Angelo –yang sekarang jadi naga terlangka di dunia yang jumlahnya hanya separuh jumlah Wivereslavia, ada di tangan kakakku, dan yang kedua, Gaya Koroiois ini kemungkinan berasal dari ...

Jam di ruang tengah berdentang sepuluh kali. Pukul sepuluh malam. Lebih awal dua puluh dua menit daripada yang tersurat di pesan misterius tadi pagi, tapi aku menyibak selimutku dan berjalan ke kamar Naruto. Tidak dikunci.

Sebuah bantal mengganjal pintu. Seprai dan selimutnya sudah seperti habis dipakai bergulat. Kepalanya menggantung di ujung kasur, telentang. Aku menggoyang bahunya beberapa kali, tapi suara dengkurannya makin keras.

Lima menit sia-sia. Aku bisa saja membangunkannya dengan meledakkan Ryuudama di ranjangnya, tapi aku tidak berselera melakukan itu.

"Baru setahun," gumamku pada diriku sendiri. "Dan satu lagi kabar buruk datang. Naruto ..."

Aku meneguk ludah.

"...tetaplah disini. Biar aku sendiri yang memeriksa menara itu," bisikku. Tentu saja dia tidak dengar. Aku mengecup keningnya singkat lalu berlari keluar, mengubah fisik manusia menjadi naga dalam hitungan detik, dan membubung melebihi awan. Tujuanku: Otafuku Gai, Menara Anglelo.

Aku berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran gila dari kepalaku selagi terbang, tapi berhubung tidak ada apa-apa di angkasa gelap atau di bawah sana, pikiran terburukku muncul. Satu-satunya naga yang cukup kuat untuk bisa memancarkan medan Gaya Koroiois seluas ini ... dan yang punya kemungkinan masih ada di planet. Saxoen Angelo yang dikatakan Deavvara memang sejenis naga yang sangat kuat, bahkan bisa dibilang setingkat atau hampir dua tingkat diatas Kurama (iya, dia sudah sangat berpengalaman dalam pertarungan lapangan sekarang), tapi berhubung jumlahnya tinggal satu ...

Otafuku Gai dibawah sana.

Gemerlapan dengan cahaya lampu, kota yang luasnya hanya seperenam luas total Konohagakure ini lebih padat. Dimana-mana tampak tempat hiburan dan tempat makan yang masih menyorotkan cahaya mereka pertanda aktivitas di bawah sana belum pudar. Hanya saja ... entah kenapa lebih sedikit orang yang lalu-lalang daripada biasanya. Dan sekalipun Otafuku Gai masih tampak ramai, cahaya-cahaya lampu yang kulihat kira-kira sepertiga lebih sedikit daripada biasanya.

Gaya Koroiois itu semakin kuat. Aku menurunkan altitud hingga lima ratus meter diatas tanah. Biasanya, dengan lirikan mata saja seekor capung bisa terlihat dari jarak seratusan meter. Sekarang aku harus agak fokus sedikit untuk bisa mengenali puing-puing berwarna pualam dalam kegelapan –reruntuhan Menara Anglelo di lereng bukit timur sana.

Aku mendarat. Menara Anglelo dulu tingginya sekitar 60 meter, tapi sekarang tinggal setengahnya. Sepertiga fondasinya amblas ke tanah dan setengah dari sisanya retak-retak. Tiang-tiangnya lapuk. Sekali sabet di titik yang benar, runtuhlah sisa menara yang ada. Pintunya sudah kehilangan setengah daunnya, dan aku masuk dengan mudah.

Kau pasti bercanda.

Tidak ada tanda-tanda tempat ini pernah tersentuh selama beberapa tahun. Sepertinya setelah runtuh, Otafuku Gai mengabaikan begitu saja bangunan indah ini. Terbengkalai dengan berton-ton debu dan pasir, desain interior Menara Anglelo lapuk dimakan waktu. Lampu kristal yang mestinya menggantung di langit-langit sudah jadi kepingan-kepingan di lantai yang pecah-pecah. Sepasang air mancur kembar sudah tidak ada airnya dan rusak, membuat bentuk mereka tidak kembar lagi.

Mural di dinding sudah mengelupas. Dinding pualamnya retak-retak, berlubang di beberapa bagian. Sejauh yang kulihat, tempat ini lumayan sempit (mungkin karena aku sedang berada dalam wujud naga) dan kumuh. Rasanya cuma organisasi yang benar-benar kekurangan modal yang mau menjadikan tempat ini markas. Menara Anglelo jelas tak tersentuh selama dua-lima tahun.

Setidaknya, tersentuh tangan manusia.

Jejak rayapan ular besar tampak di lantai marmer tak jauh dari patung pemburu di sebelah kiri ruangan. Jejak itu mengarah ke sebuah lubang di dinding yang cukup untuk kulewati, setidaknya dengan menunduk, sih.

Ruangan bawah tanah. Aku tidak tahu kalau Menara Anglelo punya ruangan rahasia, kecuali ... seseorang membangunnya baru-baru ini.

Gelap. Ketujuh berlianku bersinar, memendarkan cahaya yang tidak terlalu terang, tapi tubuhku bertindak seperti cermin.

Dilihat dari pijakan yang kasar dan acak-acakan, serta langit-langit berbentuk lengkung yang kurang rapi, kukira ruangan ini barusan kena bom atau apa, tapi ternyata tidak.

Ruang bawah tanah ini baru saja ada.

.

.

.

.

.

"Kau datang, Putri."

Aku menoleh, dan mendapati seekor naga terbaring di kumpulan tulang-belulang. Tubuh panjangnya memendarkan warna putih, membalas sinarku.

"Laramidia sudah mati, ya."

.

.

.

.

.

Bersambung ...


Author's Note:

YOSHA! Setelah vakum dua bulan, fic ini kembali dengan sekuelnya: The Blood of Pomegranate. Agak-agak ambigu sih, mana bisa buah mengeluarkan darah? Tapi ... yah, begitulah saya #plok. Rencananya sih mau rilis tanggal 21 Desember, tapi yah … karena ada sedikit hambatan dari internet saya jadi molor. Hahaha –abaikan.

Anyway, fic pertama Paradox yang mengisahkan takdir Uzumaki Naruto jadi seorang Draco P dan bertualang menjelajahi dunia demi menemukan sang Paradox –Ardhalea dan mewaspadai Madara, ternyata banyak banget yang suka. Banyak diantara readers 'menuntut' saya bikin sekuelnya, jadi yah ... mumpung ada ide, jeng –JENG! Sekuel rilis.

Untuk bab satu saya rasa cukup sekian dulu, biar penasaran, huwahahaha. Yang masih haus adegan romance NaruPara saya mayoritaskan disini. Kira-kira bagaimana relasi mereka berdua selanjutnya? Dan apakah ada tokoh baru nantinya? Siapa musuh Naruto dan kawan-kawan kali ini? Terus ikuti sekuel ini sampai akhir untuk tahu jawabannya!

Dan saya ingatkan kembali bahwa review Anda sekalian akan dapat membantu memperbaiki kekurangan yang masih terdapat disana-sini, atau kalau ada saran, tulis saja di kolom review!

See you again on chapter 2!

-(Masih)Itami Shinjiru-

.