Passion
Pair:
Kim Namjoon x Kim Seokjin
Slight:
Kim Taehyung x Jeon Jungkook
Rate: M
Length: Parts
Summary:
It's like some kind of my wildest dream that become true. / NamJin, GS! Seokjin and Jungkook. / The continuation story from 'Desire'.
Notes:
All Seokjin's POV
.
.
.
.
Prolog: Absurd Morning, Absurd Proposal
This is not happening..
Aku memejamkan mataku dan mengulang kalimat yang sama hingga lebih dari sepuluh kali dalam kepalaku dan ketika aku membuka mataku, cincin berukuran besar yang melingkar di jari manisku tetap tidak menghilang. Tanganku melayang dan mengacak rambutku sendiri.
"Jangan melakukan itu. Nanti rambut yang kau agungkan setinggi semesta itu bisa rontok."
Nah, siapa lagi yang bisa mengatakan kalimat penuh nada sarkasme itu selain teman sekamar kesayanganku, si binal Jeon Jungkook.
"Kurasa aku bisa gila."
Jungkook menghempaskan tubuhnya di sebelahku dengan tangan yang memegang sebuah roti, dia menggigit roti itu dan mengapitnya di antara bibirnya kemudian memandangku. "Kenapa?" tanyanya kemudian dia menelan potongan roti itu.
"Aku tidak percaya ini terjadi. Maksudku, apa ini benar-benar kenyataan?"
Jungkook mendecih dan melanjutkan kegiatannya mengunyah roti. "Kau tidak bisa menerima kenyataan kalau kau baru saja dilamar oleh bujangan paling diminati kurang dari empat puluh menit lalu? Berikan calon suamimu padaku."
"YYA!" bentakku padanya. Duh aku ini masih dalam masa-masa tidak yakin akan kenyataan kenapa Jungkook justru menambah beban pikiranku?
Jungkook menatapku dengan alis terangkat, "Apa? Aku bersedia kok dilamar oleh Namjoon Kim. Aku juga tidak masalah dia tidak membawakan cincin dan berakhir dengan memberikan cincin yang kebetulan dipakainya." Jungkook mendesah keras, "Hell, aku bahkan tidak keberatan jika dia melamarku hanya dengan tubuhnya. Aku akan menerimanya tanpa pikir panjang."
Bibirku mengeluarkan desisan pelan, "Ingat si vokalis kesayanganmu."
"Ah, V?" Jungkook mengibaskan tangannya, "Aku terbuka untuk pria baru yang lebih berkualitas."
"Jesus Christ! Jeon Jungkook!" pekikku, "Kau dan dia sudah berhubungan terlalu jauh!"
"Apanya yang jauh? Kami hanya tidur bersama empat kali dalam dua minggu ini." elak Jungkook seolah hal itu sama ringannya seperti berpegangan tangan setelah dua minggu berkencan.
"Dan kau bilang itu tidak jauh? Aku benar-benar tidak habis pikir padamu."
Jungkook tertawa menggemaskan, dia meremas bungkus roti yang sudah dihabiskannya menjadi bola dan meletakkanya di meja. "Aku hanya mencari pria yang tepat."
"Karena itu berhentilah memberikan tubuhmu secara cuma-cuma pada pria yang kau kencani. Kau membuat si 'pria tepat' itu kehilangan kejutan yang bisa kau berikan setelah kalian menikah nanti."
Jungkook terbahak, dia menatapku dengan pandangan genit andalannya yang selalu digunakan ketika kami datang ke kelab malam. "Aku punya banyak kejutan, Jin. Banyak sekali." Jungkook tertawa dengan nada seksi dan aku langsung mendorong wajahnya dengan kedua telapak tanganku.
Jungkook mengelak dari jemariku dengan gesit, aku selalu bingung melihat bagaimana cepatnya dan lenturnya dia bergerak, kemudian menatapku. "Tapi aku serius, jangan pernah membeli kucing dalam karung."
"Maksudmu?"
"Ya kau harus memastikan semua yang ada di calonmu itu sempurna. Kau juga harus mencoba apakah gaya bercintanya sesuai denganmu atau tidak? Apakah ukurannya sesuai dengan kriteriamu atau tidak? Lalu bagaimana rasanya? Kau harus memeriksanya dulu. Jangan sampai kau menyesal setelah menikah."
Tuhanku, tolong ampuni mulut binal wanita di hadapanku ini..
Aku menatap Jungkook, "Aku tidak berniat memeriksanya."
"Kalau begitu biar aku yang memeriksanya, aku akan memberikan laporan lengkap padamu!" ujar Jungkook sambil menepuk dadanya bangga.
"ASTAGA JEON JUNGKOOOKK!" jeritku.
.
.
.
.
.
Ini semua bermula dari empat puluh menit lalu saat tiba-tiba saja Namjoon Kim datang ke rumahku dan tanpa berbasa-basi langsung mengatakan 'ayo kita menikah' seolah itu adalah hal yang sama ringannya dengan mengucapkan 'selamat pagi'.
Reaksiku saat menerima lamaran mendadak itu adalah terdiam dengan mata membulat dan rahang yang jatuh (ya aku tahu, aku menghancurkan imejku. Diamlah.) kemudian setelah melewati empat detik dengan wajah bodoh, akhirnya aku sanggup mengeluarkan suara dan kata-kata.
Tapi sialannya kata itu adalah, "Hah?"
Iya, itu. Hanya itu.
Bunuh saja aku sekarang.
Dan Namjoon justru tersenyum geli melihatku.
(Dan aku sangat ingin mengubur diriku karena aku yakin wajahku pasti jelek sekali.)
"Ya, ayo menikah." Namjoon mengulangi ucapan laknat yang membuatku nyaris sinting itu dengan nada begitu ringan.
"Tunggu, menikah? Kau.. dan aku?" ujarku tidak percaya seraya menunjuk diriku dan dia yang berdiri di hadapanku.
"Ya, siapa lagi?"
"Apa kepalamu terbentur?" ujarku dengan mata menyipit, "Apa kau memang sudah gila sejak awal?"
Namjoon tertawa lagi. Aku tidak mengerti apa yang membuat ini menjadi lucu. Bagiku ini serius, amat sangat serius. Ini menyangkut masa depanku, sialan.
"Kim Seokjin, ayo menikah." Namjoon merogoh kantungnya kemudian dia terdiam, "Ah, aku tidak punya cincin untukmu."
Hmm..
Apa aku boleh melemparnya dari gedung apartemenku sekarang?
Setelah mengagetkanku yang sedang menggalau di pagi hari bersama Jungkook, mengatakan kalimat laknat yang membuatku meragukan kewarasanku, dan sekarang ditambah dengan dia yang melamarku tanpa cincin di tangannya.
Apalagi yang akan membuat ini menjadi lebih absurd?
Aku berdiri di depan Namjoon dengan wajah bosan dan keruh luar biasa. Lupakan fakta kalau dia adalah bujangan paling diminati dan pria kaya yang berada di luar jangkauanku. Jika dia melamarku tanpa cincin, aku tidak akan menerimanya.
…
Apa?
Kau bertanya kenapa?
Jelas saja karena saat melamar yang dibawa itu harus cincin, duh. Dan aku hanya mau dilamar satu kali dalam hidupku. Aku tidak terima lamaran mendadak dan absurd seperti ini.
Namjoon menatap cincin yang sejak awal melingkar di jari tengah tangan kirinya. "Ah, ini saja." Namjoon melepaskan cincin itu kemudian dia menatapku, "Seokjin, maukah kau menikah denganku?"
Aku ingin menangis. Sumpah.
Dia melamarku dengan cincin kebesaran yang sejak awal memang sudah ada di jemari besarnya. Aku harus apa?
"Terima saja, Jin~"
Bisikan mendayu itu membuatku tergoda. Hmm, sejak kapan dewi batinku bisa berbisik sejelas itu?
Aku melirik dan mataku langsung tertuju pada Jungkook yang tengah tersenyum-senyum seraya mengintip kami dari balik dinding dekat pintu depan.
"Jungkook!" pekikku.
"Terima saja. Cepatlah, jangan membuang kesempatan emas." Jungkook berujar semangat dengan mata yang berbinar.
Duh, wanita ini benar-benar..
Kemudian tanpa aku sempat memproses, Namjoon sudah menarik tangan kiriku dan menempatkan cincin itu di jari manisku. "Hmm, terlalu besar."
Jelas saja terlalu besar! Ukuran jarimu itu dua kali ukuran jariku!
Namjoon menatapku dan tersenyum manis, "Aku akan memesan cincinnya sekarang. Nanti akan segera kuberikan padamu saat cincinnya selesai." Pria itu bergerak maju dan mengecup pipiku, "Sampai nanti, calon istriku."
Aku ingin mati saja.
To Be Continued
.
.
.
Selamat idul fitri!
Mohon maaf lahir batin yaaa~
(((serius, maafkan aku yang update tak menentu ini)))
Oke, ehem!
Apa kabar?
Sesuai ucapanku, Passion ini bisa terbit sebelum ramadhan atau setelah ramadhan. Dan sekarang sudah selesai ramadhan jadi ini kupublish sekarang. Hehehe
Semoga kalian suka!
.
.
.
Review? XD
.
.
.
Thanks
Line! blacklunalite (add me, add me! Hahaha XD)
