Warning : OOC, Typos, Crime, Drama, Romance, Marriage Life, SasuHina.

Disclaimer : Naruto sepenuhnya milik Masashi Kishimoto-sensei... Saya hanya meminjam tokohnya. Tapi Nightmare sepenuhnya milik author, dilarang mengcopy-paste sebagian atau keseluruhan cerita tanpa seizin author.

.

.

.

.

.

Apa kau pernah bermimpi buruk?

Setiap hari yang ia lalui adalah mimpi buruk. Sejak saat keluarganya memutuskan bahwa seluruh hak waris Hyuuga jatuh ke tangan Hinata, sejak saat itu, mimpi buruknya dimulai.

Musim dingin dengan sejuta keindahannya. Ketika tepian jalan memutih oleh salju, dedaunan tertutup salju, dan jalanan licin oleh salju. Mobil merah itu melesat menembus kabut tebal di malam yang dingin. Di kursi kemudi duduk seorang wanita berparas cantik dengan rambut indigo panjang yang digerai. Kedua iris sewarna mutiara berkilauan menatap lurus ke depan. Fokus pada jalan yang dilaluinya. Sesekali anak rambutnya bergerak-gerak terhempas angin. Namun tak digubrisnya semua itu. Jalanan yang gelap dan sepi jauh lebih menyedot perhatiannya.

Maserati merah miliknya pun melesat menerobos kegelapan malam berawan. Dalam kesendiriannya, alunan pelan musik blues menemani wanita penyangga gelar 'pemimpin' keluarga Hyuuga itu.

Sampai pada pekarangan sebuah bangunan sederhana bertuliskan 'Kantor Detektif Swasta Uchiha' Hinata memarkirkan mobilnya. Mematikan mesin mobil sebelum meraih tas tangan yang ia taruh di kursi sebelah lantas keluar. Dipandanginya bangunan kecil berlantai satu itu dari atas hingga ke bawah. Raut wajahnya yang semula kaku melembut, ia tersenyum tipis dalam diamnya.

Ia pun melangkah mendekati pintu masuk. Sepintas membaca deretan huruf bertuliskan 'Ketuk sebelum masuk' yang membuat perasaannya geli seketika sebelum kemudian tangannya bergerak mengetuk pintu. Satu, dua, tiga detik ia menunggu hingga terdengar derap langkah seseorang mendekati pintu, suara kunci yang diputar, dilanjutkan dengan suara kenop pintu yang digerakkan. Pintu pun terbuka menunjukkan wajah seseorang di baliknya. Hinata menyunggingkan senyuman termanisnya.

"Hai." sapanya kaku.

Seseorang dari balik pintu itu bergerak membuka lebar pintu yang dipegangnya. Tubuhnya tinggi tegap dan kekar. Sementara wajahnya kaku dan tanpa ekspresi. Bukan kerena tidak senang akan kedatangan Hinata, hanya saja ia memang dilahirkan dengan ekspresi datar seperti itu. Hanya sedikit saja senyuman yang terlihat dari wajahnya kala melihat Hinata, yang bagi wanita Hyuuga itu, meskipun sedikit tapi menyenangkan.

"Masuklah." tawarnya lembut. Ia sempatkan meneoleh ke luar memastikan sesuatu.

"Tidak ada penjaga atau apa pun itu. Aku benar-benar seorang diri kali ini." Hinata menjelaskan.

Ah ya pria itu benama Uchiha Sasuke, orang-orang setempat mengenalnya sebagai Pak Detektif. Sasuke memang seorang detektif swasta yang menerima permintaan dari klien yang membutuhkan bantuan dirinya. Hanya seorang detektif, tidak kurang dan tidak lebih dari itu.

Hinata masuk, menyampirkan coat panjang miliknya pada gantungan mantel. Menaruh tas tangannya pada sofa lantas melangkah menuju dapur.

"Kau sudah makan?" tanyanya sambil membuka-buka isi lemari dan kulkas.

Sasuke melangkah mendekati Hinata. Menyusupkan kedua tangannya diantara lengan dan pinggang wanita itu. Menaruh dagunya di pundak hinata lalu berbisik.

"Aku lebih membutuhkanmu saat ini dibandingkan makan atau apa pun itu."

Hinata merasakan gelenyar aneh yang lama tidak dirasakannya. Tangannya terangkat menyentuh garis rahang Sasuke. Dalam hatinya terasa miris dicubiti sesuatu. Ada perasaan pedih yang mendalam mengiris hatinya. Perasaan yang kerap ia rasakan setiap kali bertemu dengan pria ini, dengan suami sahnya. Seorang yang menyandang nama suami meski bahkan begitu jauh. Hal yang indah dan jauh, yang sesekali hilang dari pandangannya. Mau bagaimana lagi? Jika takdir sudah menggariskan hidupnya harus terpisah dengan orang-orang yang ia cintai seperti ini. Hinata hanya bisa menerimanya dengan pasrah, meskipun menyakitkan. Sungguh ironi menyedihkan baginya pemilik takhta kaluarga Hyuuga yang bagi semua orang memiliki segalanya, justru telah kehilangan banyak hal.

"Ikut aku." Sasuke menarik tangan Hinata mengikutinya menuju suatu tempat. Sedikit membuat Hinata berdebar, apakah mungkin suaminya menyiapkan sebuah kejutan untuknya?

.

.

.

Jauh di tempat lain, di atap sebuah bangunan. Seorang pria berambut panjang berjalan tergopoh-gopoh. Napasnya tersengal menahan rasa sakit yang menjalar dari kakinya yang terluka. Tak jauh di belakangnya, sekitar sepuluh orang berbaju hitam mengejarnya dengan membawa senjata lengkap di tangan mereka. Tidak bisa disebut mengejar, ketika pada kenyataannya orang-orang berbaju hitam itu hanya berjalan dengan santai mengikuti langkah pria yang terluka. Menginjak bekas ceceran darahnya di permukaan lantai atap. Angin bertiup sangat kencang membawa udara lembab yang sekaligus membuat basah baju mereka. Membekukan genangan darah.

"Menyerahlah, Hyuuga Neji, dan buatlah kesepakatan dengan kami. Jika tidak..."

Pria itu, Hyuuga Neji menghentikan langkahnya yang terseok ketika jalan yang ia lewati terputus oleh pembatas gedung. Ia terpojok. Memutar badan, memasang tatapan penuh kebencian pada segerombolan pria berbaju hitam itu.

"Jika tidak?" tantangnya dengan suara menahan geram sekaligus sakit yang ia rasakan.

"Jika tidak maka kau akan mati. Dan adik tercintamu, Hime-sama yang akan menanggung akibat dari kematianmu." Tawa orang-orang itu terlepas ke udara yang dingin menusuk tulang.

"Jangan sebut-sebut namanya, brengsek! Kalian! Katakan, siapa yang sudah memerintahkah kalian? Biarkan bajingan itu menunjukkan wajahnya dan bertarung langsung denganku! Tidak dengan cara penegcut seperti ini!"

"Hime-sama lah yang memerintahkan kami." Pemimpin orang-orang itu yang sejak tadi berbicara di depan menyeringai jahat. "Hime-sama yang memerintahkan kami membunuhmu. Apa kau tidak percaya?"

Neji semakin dibuat geram olehnya. Sialan. Mereka malah mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Orang-orang itu melangkah perlahan mendekat. Neji semakin dibuat waspada. Ia merasakan sakit mulai menjalari seluruh tubuhnya yang yang lebam karena sebelumnya sempat terjadi perkelahian di lantai 14 sebelum kakinya tertembak dan melarikan diri ke atap bangunan.

"Kau harus membaca surat perintah ini." Orang itu menunjukkan selembar kertas berisi tulisan yang dibuat dengan tetesan darah membentuk suatu huruf. Membuat Neji tercengang saat melihatnya. "Seseorang harus membalaskan dendammu pada Hime-sama suatu hari nanti." Ia tertawa puas mempermainkan emosi mangsanya.

Neji mulai merasakan pandangannya berkunang-kunang. Tatapannya memburam seiring kesadarannya yang menipis. Hime-sama, tolong maafkan ketidakmampuanku ini. Batinnya dalam hati.

.

.

.

Sasuke menarik Hinata menuju atap bangunan kecil miliknya. Di sana terdapat taman sederhana yang dipenuhi beragam jenis tanaman bunga. Musim semi nanti bunga-bunga itu akan mekar dan menguarkan wangi ke seluruh tempat. Di tengah-tengah taman terdapat sebuah ayunan kayu yang berbentuk kursi. Sasuke membersihkan permukaannya yang basah sebelum mempersilahkan Hinata duduk.

"Aku sudah tahu tempat ini. Apa yang mau kau lakukan Sasuke-kun?"

"Coba perhatikan," Sasuke menunjuk sungai yang berada tak jauh dari tempatnya. Beberapa waktu lalu di tepian sungai itu dibangun sebuah restoran itali mewah. Namun bukan itu yang menjadi objek menarik di sini, melainkan pantulan cahaya restoran di atas air sungai yang terlihat sangat indah pada malam hari. "Pada musim panas jauh lebih indah dengan hiasan bintang dan bulan."

Hinata tersenyum takjub akan keindahannya. Ia sudah lama tahu keberadaan taman bunga di atap rumah Sasuke, tapi baru kali ini melihat pemandangan yang indah dari atap sini. Pandangannya berbinar menunjukkan kekagumannya

"Sejak kapan tuan Uchiha jadi seromantis ini?" Hinata memukul pelan bahu Sasuke yang duduk di sampingnya.

Perasaan sakit dan sedihnya yang beberapa saat lalu ia rasakan seolah memudar seriring Sasuke membuatnya tersenyum. Mereka mungkin terpisahkan oleh ruang takdir, tapi Hinata selalu yakin jika cinta dan keberadaannya bukan sesuatu yang salah. Pada kenyataannya keterpisahan tak bisa menghalangi perasaan bernama cinta bagi dua insan itu. Hinata selalu secara diam-diam pergi dari kediamannya sekedar menemukan kenyamanan dari pelukan suaminya. Bersandar pada bahu kokoh Sasuke dari tekanan-tekenan pekerjaan yang kadang membuatnya setengah gila. Bersantai sejenak dari kerasnya kehidupan yang ia jalani sebagai pemimpim Hyuuga. Meskipun kekuasaan berada di tangannya, tak dapat dipungkiri jika Hinata hanyalah seorang manusia dan wanita. Yang membutuhkan perlindungan dari orang tercintanya. Melihat wajah Sasuke, bahkan hanya jika sekali dalam satu bulan adalah sesuatu yang membuatnya merasa sangat bahagia. Seperti itulah bagaimaa seorang puteri menjalani hidupnya selama satu tahun terakhir.

Sasuke menarik Hinata dalam pelukan hangatnya. Melindunginya dari dingin angin malam di musing bersalju.

"Aku sangat merindukanmu." lirihnya pelan di telinga sang isteri.

"Maafkan aku." Hanya itu kata yang lolos dari mulut Hinata untuk ketidakberdayaannya menentang takdir. Kesakitan yang mereka rasakan adalah disebabkan dirinya. Semua hal buruk yang terjadi selalu karena dirinya. "Aku mohon jangan pernah menyesal mengenalku." Dadanya terasa begitu sesak. Ini terlalu menyakitkan.

"Aku hanya mengatakan aku merindukanmu. Dan kau tidak perlu meminta maaf."

Sasuke melepaskan Hinata dari pelukannya. Menggenggam kedua bahu rapuh puteri Hyuuga itu. Tatapan Hinata dan Sasuke pun bertemu dalam satu perasaan yang kian hari memberontak dirinya. Sarat akan kerinduan. Perlahan Sasuke mengeliminasi jarak diantara keduanya. Semakin mendekat semakin membuat dada Hinata ingin meledak rasanya. Perlahan ia pun menutup matanya. Dan Sasuke memagut bibir ranum isterinya. Menyalurkan rasa rindu yang sekian lama ia pendam setiap malamnya, atau pagi-pagi yang ia lewati, atau hari-hari yang ia jalani tanpa Hinata. Ia ingin menyalurkan semuanya. Agar Hinata tahu seberapa dalam ia menyimpan perasaan itu untuknya.

.

.

.

DORRR

Satu tembakan lagi tepat mengenai dada Hyuuga Neji dan membuatnya ambruk ke bawah. Orang-orang itu memegangi tangan dan kaki Neji. Di setengah kesadarannya Neji sempat melihat wajah penjahat itu. Orang yang tersenyum meledeknya.

"K-kau..." geramnya seraya memuntahkan darah berbau anyir dari mulutnya. Organ dalam tubuhnya sudah terkoyak habis oleh peluru, tidak ada harapan lagi untuknya hidup.

Sesaat sebelum orang-orang berbaju hitam itu mengangkat tubuhnya ke pembatas gedung, Neji bisa merasakan orang itu menyelipkan sebuah kertas pada telapak tangannya.

"Matilah, dan jerat Hime-sama dalam kematianmu." Terdengar tawa keras sebelum kemudian Neji merasakan tubuhnya melayang di udara. Orang-orang itu menjatuhkannya dari atap gedung di ketinggian lantai 50. Neji menejamkan matanya.

Hime, maafkan aku.

.

.

.

Sasuke melepaskan pagutan bibirnya dan berbisik. "Aku mencintaimu, Hinata."

Hinata mengambil nafas dalam-dalam sambil menunduk mentralkan perasaannya yang menggebu. Lantas tersenyum.

"Atashi mo, Sasuke-kun."

.

.

To Be Continued

Ahahahay Author balik bawa fict gaje. Akhir-akhir ini taulah saya sibuk sama kerjaan sampai semua draft cerita terabaikan. Asek dari dulu kerjaannya sosib mulu ya. Semoga fictnya menghibur. Mungkin jika responya bagus akan author lanjut... maybe.

Happy reading ^^

Jangan lupa riviunya ya reader.