Warning
OOC, Typo(s), Non Shinobi story
Fanfic fantasy yang gak ada unsur ninja-ninjanya sama sekali. So, jangan berharap lebih pada story ini
FYI, fanfic ini lebih dulu muncul di fb dan blog author. Jadi klo ada yang pernah baca dengan chara yang berbeda jangan kuatir. Ini bukan plagiant tapi memang milik fic author yang sudah agak dirobah sana sini. Nikmatin aja yaaa...
Prolog
Suara tembakan mengudara ditengah malam. Aku berlari cepat menuju ke arah hutan. Aku melihat sekelebat seorang pria memegang senapan sambil berlari dan menghilang dikerumunan pohon.
"Dor,dor,dor", terdengar suara tembakan beberapa kali lagi.
Aku tetap berlari lebih dalam ke arah hutan. Beruntung sedang bulan purnama. Langit yang cerah menelusupkan sinarnya di celah pepohonan membuat suasana yang kelam diselimuti pendar-pendar berwarna perak.
Aku menghentikan langkahku sejenak. Kutajamkan telingaku berharap mendengar suara tembakan atau derap langkah kaki. Aku tidak mendengar suara lain kecuali suara binatang malam yang dengan riuh lirih berdering.
Aku berjalan pelan menyeret kedua kakiku yang mulai kelelahan. Kedua tanganku gemetar.
Aku masih ingat dengan jelas ketika terakhir kali Dave memelukku sebelum menghilang ke dalam hutan. Aku takut. Aku takut tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.
Setahun sudah berlalu. Setiap malam aku menyusuri hutan demi bertemu dengannya. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Apakah karena ini aku harus pulang? Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku?
Langkah kakiku terhenti didepan gubuk rumahku. Melihatnya semakin kurus membuatku menitikkan air mata. Aku berderap ke arahnya dan menghambur kepelukannya. Ibu mengelus kepalaku pelan. Ia ikut menangis bersamaku.
"Ibu, ibu", suaraku beradu dengan suara angin malam. Kueratkan pelukanku sambil mengajaknya masuk ke dalam rumah.
"Berhentilah mengejar kakak-kakakmu. Berhentilah berharap, Nak. Lanjutkan hidupmu, Nak. Kembalilah ke kota. Jangan sampaikan berita ini kepada kakak-kakak perempuanmu. Berjanjilah pada ibu".
Ibu menggenggam tanganku erat kemudian mengecup puncak kepalaku. Aku mengepalkan tangan kiriku yang bebas. Aku tak akan kembali ke kota jika aku belum bisa menemukan ayah dan ketiga kakak laki-lakiku. Aku harus tau apa yang terjadi pada mereka. Mengapa mereka lama sekali karena mengejar seorang pemburu? Mengapa mereka lama sekali?
Hal terakhir yang kutahu saat itu, ayah dan kedua kakakku, Boruto dan Mitsuki sedang beradu mulut. Beberapa kali kulihat ayah menghela napas. Aku melihat mereka dari kejauhan. Hanya suara keras Mitsuki yang beberapa kali tertangkap telingaku ketika ia berteriak meminta Boruto dan ayahku untuk diam. Aku melihat mereka serius membicarakan sesuatu dan sesekali menunjuk ke arah hutan. Boruto terlihat begitu frustasi sambil berdiri dan menghentak-hentakkan kakinya. Sedangkan Mitsuki, raut mukanya terlihat mengeras. Ayah kemudian mengambil senapan yang berada didepan mereka dan mengisyaratkan kedua kakakku untuk ikut serta mengambil senapan mereka.
Saat itu Shikadai datang menghampiriku dan mengajakku pergi ke suatu tempat. Aku bersikeras menolaknya dengan alasan ada konflik dalam keluargaku. Namun ia berkata ada hal yang teramat penting yang harus ia tunjukkan. Dengan berat hati aku berjalan mengikutinya dan menjauhkan pandanganku dari ketika laki-laki yang sedang berdebat dibelakang rumah.
Shikadai berlari kencang sambil menyeret tanganku. Kami beberapa kali terpeleset tapi dia bersikukuh tetap bangun dan tetap menyeretku berlari cepat ke arah bukit.
Kami sampai diatas bukit ketika aku merasa napasku tinggal setiupan saja. Tiba-tiba Shikadai menggoncang kedua tanganku sambil menunjuk kearah hutan. Aku menyipit memandang ke arah hutan sambil mengatur napasku yang masih tersengal sengal. Aku membungkuk sambil menangkapkan tanganku kearah lutut dan tetap memandang kearah hutan yang sampai sekarang aku belum tau apa yang membuat Shikadai tertarik melihat kearah hutan yang
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Aku berdiri tegak sambil menatap kearah Shikadai.
"It-itu tadi a-apa?", tanyaku tergagap.
"Ya, ya. Kau melihatnya bukan. Pendar pendar perak tadi berlalu lalang dihutan?" Dia menatapku sambil terlihat binar cerah dimatanya.
"Iyaa, itu apa tadi itu?", tanyaku tak sabar sambil mengguncang badannya.
"Aku juga tidak tau. Beberapa hari ini aku lihat seperti itu. Waktu aku mengatakan hal ini pada penduduk desa, mereka malah kelihatan takut tapi tidak mengatakan apa-apa. Aneh bukan? Kata ayahku, setelah bulan sudah melewati masa purnama pendar-pendar itu akan hilang. Pendar-pendar ini akan selalu ada setiap purnama tapi hanya setiap tahun pendar-pendar itu akan seperti saat ini. Berloncatan seperti ah entah kau bisa lihat sendiri seperti apa"
"Lalu, mereka itu, pendar-pendar itu apa? Sebenarnya mereka itu apa?"
"Entahlah, ayahku hanya mengatakan itu dan dia tidak mau membahas hal itu lagi. Ayah memintaku menjauhi hutan sampai purnama menghilang".
Saat kami kembali kerumah, ayah dan kedua saudaraku sudah pergi. Ibu berkata bahwa mereka sedang berada dihutan mengejar seorang pemburu. Tapi sampai pagi menjelang, ayah dan kedua kakaku tak kembali.
Sore harinya Inojin datang sambil membawa buruannya. Ia datang dari hutan sebelah timur, bukan hutan di sebelah barat yang berada di belakang rumah kami tempat ketiga laki-laki dalam keluargaku yang menghilang.
Muka Inojin yang memang sudah pucat semakin memucat ketika kuceritakan peristiwa ketika Shikadai mengajakku ke bukit tadi malam.
"Aku minta kau untuk menghindari hutan saat malam sampai purnama berakhir" kata Inojin sambil meminyaki senapannya. "Kau mengerti Himawari? hindari hutan dan pergilah ke laut atau kemana saja sesukamu".
"Untuk apa aku ke laut?", tanyaku heran.
"Ya lebih baik kau ke laut. Terserah kau mau apa asal jangan ke hutan. Mengerti? Sudah jangan tanya apa-apa lagi".
Beberapa jam kemudian ketika langit malam sudah mulai menggelap, Inojin muncul dari dalam rumah membawa senapan kesayangannya. Wajahnya mengeras. Beberapa kali kulihat ia tersenyum masam sambil menatap ibuku yang sedang menahan tangis.
Aku datang menghampirinya.
"Kau mau kemana?" Tanyaku sambil memeluknya. "Baru saja pulang, kenapa harus pergi lagi?"
"Jagalah ibu. Aku akan menyusul ayah dan kakak. Kau ingat kata-kataku baik-baik. Apapun yang terjadi, kau tidak boleh masuk ke dalam hutan sampai bulan purnama berakhir. Berjanjilah padaku untuk selalu menjaga ibu. Jika sampai bulan purnama berakhir aku, ayah dan kakak belum kembali, kau harus kembali ke kota bersama ibu", ia segera membenarkan jaketnya dan membawa senapannya berjalan kearah hutan.
Aku menyusulnya dan berlari tepat di belakangnya.
"Kau tuli? Kau tidak dengarkan kata-kataku?" Ia mendelik sebal dan menatapku putus asa.
"Aku, bolehkah aku ikut?", tanyaku sambil menatap takut-takut kearahnya.
"Kau menyayangiku bukan, Himawari?", tanyanya serius.
"Tentu saja, kita bersama sejak dulu. Aku tak ingin kau meninggalkanku lagi. Aku tak ingin kau pergi dan tak kembali. Perasaanku berkata, jika akau membiarkanmu pergi sekarang aku tak akan pernah bertemu denganmu lagi".
"Aku tau kau menyayangiku. Akupun begitu. Berjanjilah kau menuruti nasehatku kemarin. Hanya itu yang kuminta. Kasih sayangmu akan membawaku kembali".
Ia memelukku erat beberapa saat. Kemudian ia melepaskan pelukannya, mengecup kepalaku sekilas kemudian mengisyaratkan aku untuk pergi.
Ia masuk kedalam hutan lebat yang diselimuti pendar-pendar perak yang berloncatan. Beberapa saat aku masih melihat sosoknya yang tegap dan suara derap kakinya yang lebar. Kemudian bayangannya benar-benar hilang menembus hutan yang lebat.
Setahun sudah berlalu dan tak ada seorangpun didesa ini yang membuka mulut mereka untuk menjelaskan apa yang terjadi pada keluargaku. Seakan mereka tak mau tau. Seakan mereka tak pernah menganggap keluargaku ada.
Aku bertanya pada siapa saja. Pada istri kedua kakakku, pada ibuku, Hinata, pada Shikadai dan pada semua orang yang kutemui. Dan semuanya tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasaranku.
Bahkan Shikadai dengan sengaja mulai menjauhiku. Aku terluka melihatnya menjauh ketika aku sangat butuh seseorang untuk menemaniku. Aku kesana kemari berharap menemukan jawaban atas kejadian yang menimpa keluargaku.
Aku sedih melihat ibu yang setiap hari terus menangis. Aku tau beliau juga merindukan ayah dan ketiga kakakku.
"Aku akan pergi, Ibu. Tapi biarkan aku pergi dengan hati yang damai. Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi".
Ibu memandangiku sejenak. Kemudian ia terisak sambil menundukkan kepalanya. Aku mengguncang kedua bahunya meminta penjelasan. Setahun adalah waktu yang sangat lama. Dan aku tak mendapat kejelasan sama sekali.
Aku tetap mengunjungi hutan setiap malam. Melihat sekelebat bayangan di sela-sela pepohonan. Setiap kali kudengar suara tembakan mengudara. Tapi tak sekalipun kujumpai seseorang. Seorang pemburu sekalipun.
Aku memendam rasa penasaranku begitu lama, aku bahkan beberapa kali bermalam dihutan sambil membawa senapan kepunyaan Inojin yang masih tertinggal di rumah. Tapi tetap saja tak pernah kujumpai seorangpun yang berkeliaran dihutan ini selain aku.
Beberapa bulan kemudian kulihat Shikadai dengan tubuh yang semakin kurus dan bermuka pucat datang menghampiriku. Dibelakangnya muncul seseorang yang tak pernah kusangka-sangka. Shinki, si anak pendeta.
"Ada apa?", tanyaku datar. Kulihat Shikadai menunjukkan wajah menderita. Ia semakin mendekat padaku.
"Aku merindukanmu", ucapnya lirih.
Aku melepaskan pelukannya dan mengibaskan tangannya yang hendak memelukku lagi.
"Hanya itu?", tanyaku ketus.
"Maafkan aku", lirihnya lagi. "Aku tau kau tak akan pernah memaafkanku. Tapi aku benar-benar minta maaf".
"Kau tidak mengajakku kesini hanya untuk menyaksikan adegan memalukan seperti ini, kan?" Dengus Shinki.
Bocah itu sama seperti saat kami kecil dulu. Sangat menyebalkan dan angkuh.
Aku menatap tajam kearahnya.
"Lalu, ada apa sebenarnya sampai-sampai kau mengajak orang menyebalkan seperti dia menginjakkan kaki ditanahku?",aku belum mengalihkan pandangan tajamku pada Shinki.
Shikadai menghela napas panjang kemudian melerai kami berdua.
"Sudahlah, kalian ini", katanya kemudian. "Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu kepada Himawari. Ya, kepadamu Hima. Aku mengajaknya karena mungkin dia bisa membantuku menjelaskan padamu dengan lebih rinci karena sebelum ini semua terjadi padamu, ini sudah terjadi pada keluarganya lebih dulu".
"Maksudmu?", aku menatap mereka bergantian mencari penjelasan.
"Keluargaku diambil lebih dulu", jawab Shinki sambil mengalihkan pandangan dari tatapanku.
"Kami akan menjelaskan, aku berjanji" lanjut Shikadai sambil menggenggam kedua tanganku.
Continue
Or Not?
.
Your review will answer my question. Thankyouuu... :*
