(Hampir) Rujuk

an IchiRuki fic

.

.

.

Jam sibuk di Karakura. Sebuah rumah sakit di kota itu terlihat sangat sibuk. Beberapa pegawainya bolak-balik mengurusi pasien atau sekedar mengurusi berkas-berkas kesehatan yang harus dikerjakan. Seorang pria berpostur tinggi juga terlihat sibuk. Sambil berjalan, dia membolak-balikan kertas yang terkumpul di map yang dipegangnya. Mata hazelnya yang hangat berkali-kali bergerak mengikuti arah tulisan di berkas itu.

"Pagi Kurosaki-sensei."

"Oh pagi," balasnya singkat. Benar, orang-orang tidak perlu melihat tanda pengenal yang tersemat di dadanya. Rambut orange menyala hanya dimiliki oleh seorang dokter bernama Kurosaki Ichigo.

Tidak akan ada yang menyangka seorang pria jangkung bertampang berandal itu menjadi dokter di rumah sakit terbesar di Karakura. Siapa sangka image-nya berubah begitu dia memakai jas putihnya. Awalnya teman-temannya sempat tak percaya saat Ichigo mengatakan bahwa dia masuk jurusan kedokteran. Namun ketika mereka mendengar pria itu dipanggil 'Sensei' oleh para perawat di sana, mereka langsung bungkam.

Ichigo mengecek kondisi pasien di setiap kamar. Senyumnya mampu membuat para pasien wanitanya terkapar tak berdaya agar dokter muda itu mendekati mereka. Bahkan keramahannya mampu membuat para manula ikut menyukainya. Para orang tua juga selalu memaksanya melamar anak gadis mereka. Tapi sayang sekali, cincin di jari manis Ichigo menjadi sebab kekecewaan mereka. Betapa beruntung istrinya, pikir mereka.

Ichigo membuka pintu sebuah ruangan yang tak jauh dari kamar pasiennya. Ruangan itu biasa dipakai untuk para pegawai rumah sakit yang sedang beristirahat. Ada mesin kopi otomatis yang paling laku dijamahi pegawai rumah sakit itu. Biasanya para pegawai rumah sakit sering berbincang-bincang dengan rekannya di ruangan itu. Benar saja, ada dua orang yang sudah berada di ruangan itu sebelum Ichigo masuk. Mereka berdua langsung menyapa Ichigo begitu mengetahui bahwa yang masuk adalah dokter pujaan sejuta pasien.

"Selamat malam, sensei," sapa mereka.

"Aa, malam," jawab Ichigo. Dia melangkah menuju mesin kopi otomatis dan mulai meimijit-mijit tombol di sana. "Shift kalian kosong?"

"Ah begitulah," jawab salah satunya. "Pasien yang kami awasi sudah ditangani semua. Kami langsung ke sini karena kami belum mengambil jatah istirahat kami sebelumnya."

"Ya ya, benar. Padahal tadi kami kelabakan mengurusi pasien. Ini semua berkat anda, sensei. Terima kasih sudah membantu kami," sahut yang lain. Ichigo hanya mengeluarkan tawa kecil. Sambil memegang cup kopinya yang masih panas, dia menoleh ke arah rekan-rekannya itu.

"Itu memang pekerjaanku. Kalian juga sudah berusaha dengan baik. Terima kasih," ucap Ichigo. Dia duduk di samping jendela untuk menghabiskan kopinya. Saat itu dia membiarkan kedua orang itu mengobrol.

"Kenapa pasien tadi banyak mengeluh ya? Apalagi tadi banyak sekali orang yang datang. Wah, kau harus tahu, tadi siang ruang resepsionis jadi penuh! Aku sampai pusing memikirkannya."

"Aku juga kebingungan saat menerima berkas. Suster yang memberiku berkas itu juga pasti kebingungan karena itu bukan berkasku sama sekali! Huh, aku harus merelakan jatah makan siangku diambil pasien."

"Ngomong-ngomong, kita belum makan. Bagaimana kalau kita makan di restoran yang di seberang itu?"

"Aku tidak bawa banyak uang."

"Tenang saja, aku bisa bayar untukmu hari ini. Daripada kau pulang ke rumah tanpa makan apapun hahaha!"

Ichigo menenggak habis kopinya lalu membuang cup-nya di tempat sampah yang tak jauh dari situ. Mendengar pembicaraan kedua orang itu, dia jadi ingat dengan perutnya sendiri. Maka dia segera beranjak dari tempatnya duduk dan mampu membuat kedua orang itu menoleh ke arah Ichigo.

"Pergi, sensei?"

"Ya, aku mau pulang. Aku juga harus makan."

Salah seorang dari mereka mendesah. "Sensei enak sekali ya? Pulang ke rumah, ada istri. Pasti disuguhkan makanan enak."

"Iya betul. Kehidupan anda sungguh lengkap dengan istri anda. Kalau aku, pulang ke rumah tidak ada siapa-siapa. Sepi."

"Aku juga begitu," ucap Ichigo tiba-tiba. Mereka berdua terkejut mendengar jawaban Ichigo.

"Apa maksud sensei?" Namun mereka harus menelan rasa penasaran mereka karena seseorang membuka pintu dari luar. Pria berkacamata itu juga mendapat salam dari kedua orang pegawai itu namun tidak dari Ichigo. Mereka berdua malah sempat bertatapan sinis. Lalu kegiatan itu berakhir saat pria berkacamata itu berjalan ke arah mesin kopi otomatis.

"Kalau begitu, aku duluan." Ichigo berjalan ke arah pintu dan dalam sekejap dirinya sudah tidak ada di ruangan itu lagi.

Jawaban kedua orang itu bertumbuk antara 'hati-hati di jalan, sensei' dan 'iya, sampai jumpa'. Pria berkacamata itu berdiri sambil memegangi cup-nya seraya mendengarkan obrolan kedua orang itu.

"Eh, Kurosaki-sensei sudah menikah kan?"

"Iya, kalau tidak salah baru 2 tahun. Apa maksudnya sensei kesepian? Apa istrinya sibuk bekerja?"

"Atau jangan-jangan―"

"Kalian di sini bukan untuk bergosip," potong pria berkacamata itu. Tiba-tiba dia sudah berada di dekat mereka dan berhasil membuat kedua orang itu terkejut.

"I-Ishida-sensei!" sahut mereka berdua. Tanda pengenal yang tersemat di jas putih dokter itu bertuliskan 'Ishida Uryuu'. Tapi lagi-lagi mereka tak perlu melihat tanda pengenal itu karena Uryuu juga terkenal di kalangan pegawai rumah sakit sebagai dokter yang handal di meja operasi. Mereka berdua, Uryuu dan Ichigo, adalah dokter muda yang paling terkenal dan sering sekali dijadikan bahan perbincangan oleh dokter senior karena kecakapannya.

"Maafkan kami," sahut mereka berdua bersamaan. Mereka membungkuk sebagai tanda bahwa mereka benar-benar menyesal.

"Tidak apa-apa. Kalian benar, akhir-akhir ini istrinya sering bekerja sehingga mau tak mau Kurosaki harus membeli makanannya sendiri. Tapi mereka harmonis seperti biasa," jelas Uryuu.

"Oh begitu. Ah aku jadi tambah iri dengan Kurosaki-sensei... Saat dia lelah, dia memiliki istri yang mendampinginya. Aku harus cepat-cepat menikah!"

"Iya, seharusnya aku ikut ajakan temanku untuk datang ke gokon saja. Katanya banyak wanita cantik yang ikut!"

"Benarkah? Kalau begitu aku juga akan ikut!"

Mereka berdua terus saja mengobrol tanpa menyadari bahwa Uryuu memasang ekspresi lega. Ya, mereka tidak sadar sudah ditipu oleh Uryuu. Kata-katanya yang sebelumnya benar-benar bohong.

Yang terpenting, jangan sampai kabar Kurosaki sedang pisah ranjang sampai tersebar, pikirnya.

NNN

"Kuchiki, ambilkan kain merah itu!"

"Baik!"

Wanita bertubuh mungil itu dengan sigap mengambil kain merah yang tergerai di gantungan. Dalam hitungan detik, dia sudah berada di samping atasannya, Soma Yoshino. Soma Yoshino menerima kain itu dengan agak kasar dan segera mengikatnya pada seorang model yang ada di depannya. Kuchiki Rukia, wanita mungil itu memerhatikan bagaimana atasannya memasang kain merah yang baru saja diberikannya, merapikan bentuknya sehingga sesuai dengan gaun yang dipakai sang model. Belum selesai memasang kain merah itu, Soma Yoshino mendelik ke arah salah satu model yang agak jauh dari tempatnya.

"Hei, kamu! Kenapa gaunmu acak-acakan begitu? Dasar model! Seenak jidat mengacak-acak gaunku! Kuchiki, betulkan gaunnya!"

"Baik!" sahut Rukia. Dia segera berjalan ke arah model yang ditunjuk Soma Yoshino dan segera merapikan gaun yang dimaksud. Senyum kecil terkembang, mendengar omelan atasannya yang tak kunjung reda.

Suasana ruang ganti model saat itu sangat ramai. Ramai oleh teriakan dan suruhan Soma Yoshino yang menggaung dalam ruangan. Fashion show akan dimulai 15 menit lagi dan masih banyak model yang harus dirapikan kembali dandanan maupun pakaian yang dipakainya. Sang designer selalu menyalahkan modelnya yang kurang berhati-hati dalam menjaga make-up dan baju rancangannya. "Akan kusuruh mereka membayar denda setelah acara ini selesai," begitulah ancaman Soma Yoshino, yang selalu diulang-ulang setiap 5 menit mengomel. Rukia, sebagai bawahannya, juga ikut pusing dalam menghadapi para model itu. Tapi dia tidak ambil pusing oleh rentetan kata-kata Soma Yoshino yang cukup menusuk hati. Dia malah senang bisa mengambil pelajaran dari Soma Yoshino. Ini bukan pengalaman pertamanya jadi ia mahir dalam hal seperti ini.

Soma Yoshino berjalan-jalan, mengamati para model dengan seksama. Riasannya, tata rambutnya dan keserasiannya dengan baju desainnya. Matanya terhenti pada satu model. Dia memerhatikan dari atas sampai bawah lalu melotot sampai si model mengira mata Soma Yoshino akan keluar.

"Hei, rapikan wajahnya! Aku tidak suka melihat model seperti ini!" Rukia, yang sudah dua tahun mendengar komentar pedas atasannya, shock saat mendengar kata-kata itu. Dengan hati-hati dia menatap wajah model itu. Benar saja, ekspresi si model terlihat di situ. Kesal, malu, tidak percaya.

Seorang pria berambut bob mendatangi sang model. Dia membawa box hitam. Sambil tersenyum, dia berkata pada model itu, "Tenang saja. Akan kubuat atasanku menarik ucapannya."

Berbeda dengan bawahan yang lain, Ayasegawa Yumichika terlihat santai dengan atasannya yang suka marah-marah. Dia malah yang menenangkan mood para model setelah dikata-katai oleh Soma Yoshino. "Meskipun sudah didandani tapi model tidak akan terlihat cantik kalau mood-nya jelek," ucap Yumichika sebagai alasan mengapa dia selalu menenangkan para model. Pekerjaannya lebih sebagai penata rias ketimbang asisten designer, tetapi dia yang paling dipercaya oleh Soma Yoshino. Bahkan wanita itu sering meminta saran tentang desainnya dari Yumichika yang kepekaan estetisnya lebih tajam daripada sang designer sendiri.

Akhirnya masalah di ruangan itu sudah selesai. Para model sudah siap naik ke atas panggung. Sebelum beraksi, seperti biasa, Soma Yoshino mengatakan sesuatu yang memotivasi para model. Meskipun Soma Yoshino keras dan kasar namun dia mampu menaikkan rasa percaya diri model dengan mudah. Para model yang sempat kesal dengannya langsung berubah menyukainya. Rukia yang menonton itu semua hanya tersenyum. Dia meresapi setiap kata-kata Soma Yoshino yang penuh semangat dan berapi-api namun memiliki ciri elegan tersendiri.

"Tunjukkan pada mereka bahwa kalian pantas berada di atas panggung ini! Malam ini adalah malam kalian!" ucap Soma Yoshino sebagai penutup pidatonya. Para model langsung menuju ke belakang panggung dengan penuh percaya diri.

"Nah, mereka terlihat lebih cantik kan?" bisik Yumichika pada Rukia.

"Aa. Soma-san memang hebat."

"Maksudku riasannya. Kenapa malah si tua itu yang kau puji?" Rukia hanya tersenyum.

Fashion show berjalan lancar. Acara itu ditutup dengan adanya Soma Yoshino di atas panggung. Senyum angkuhnya menghiasi wajahnya seiring dengan tepukan tangan yang menggema di hall. Para model yang sudah tampil di atas panggung merasa sangat puas dan lega karena suksesnya acara tadi. Hingar bingar itu melupakan segala dendam yang tertanam di hati para model sebelum acara dimulai.

"Terima kasih, sensei."

"Anda memang hebat, Soma-sensei."

"Senang bekerja untuk Anda."

Dan begitulah semua pujian yang ditebarkan para model. Sementara Soma Yoshino hanya merespon, "Aku tetap akan mengomeli kalian kalau kalian masih tidak becus." Tapi toh, para model dengan entengnya menjawab iya hanya karena terbawa emosi. Mereka lupa konsekuensi dipermalukan akan mereka alami lagi.

"Wah wah, model-modelmu memujimu tuh. Bisa-bisanya kau mengancam mereka," ledek Yumichika. Rukia hanya terkekeh mendengar itu namun langsung bungkam saat melihat tatapan mengerikan Soma Yoshino. Namun bukan rentetan kata-kata pedas yang didengar Rukia, malah hanya hembusan napas lelah.

"Aku mau pulang. Aku sudah lelah sekali sampai-sampai aku merasa kerut di dahiku bertambah banyak," kata Soma Yoshino sambil mengusap dahinya seakan kerutnya benar-benar bertambah. "Kalian juga pulanglah. Kalian pasti lelah setelah mengatasi amukan badai barusan."

"Kaulah badai itu," desah Yumichika. Namun sebelum Soma Yoshino sempat mendelik, Yumichika buru-buru meralat. "Kerja bagus, Soma Yoshino-sama! Semoga fashion show selanjutnya sama suksesnya dengan yang sekarang!"

"Selamat atas suksesnya acara ini, sensei. Senang bisa membantu Anda," ujar Rukia sambil membungkuk. Soma Yoshino tersenyum. Senyum itu bukan senyum angkuh yang selalu ditunjukkannya pada orang lain. Senyum itu hangat, senyum yang selalu ingin Rukia lihat dari figur seorang ibu.

"Aku juga senang kau membantuku, Kuchiki. Sampai bertemu di pekerjaan selanjutnya." Soma Yoshino memakai jaketnya dengan sekali gerakan lalu dia mengambil tas tangannya di meja rias. Dia sudah akan keluar dari ruang rias ketika kata-kata Yumichika menghentikannya.

"Apa kau juga senang aku ikut membantumu?" Soma Yoshino menoleh dan langsung menatap sinis lelaki cantik itu.

"Kau harus datang ke kantor besok atau gajimu kupotong 40%!" ancam Soma Yoshino lalu kembali berjalan meninggalkan ruang rias. Rukia langsung tertawa, mengagetkan Yumichika yang ada di sebelahnya.

"Wah Rukia-san! Tawamu keras juga."

"Itu karena kau berani-beraninya menanyakan hal itu pada Soma-sensei. Tentu saja aku tertawa," jelas Rukia. Dia akhirnya berhenti tertawa meski tawa itu diganti oleh senyuman lebar.

"Itu karena nenek tua itu tidak pernah bersikap baik padaku bahkan saat aku masih menjadi penata rias baru. Bayangkan, dalam sehari aku sudah diomeli selama lebih dari enam kali! Menurut senpai-ku saat itu, aku berhasil memecahkan rekor pegawai-yang-sering-diomeli-di hari-pertama-kerja," kata Yumichika dengan mimik wajah yang dilebih-lebihkan. Rukia kembali terkekeh mendengar cerita seniornya itu. Di antara semua rekan kerjanya, Yumichika paling dekat dengannya. Yumichika adalah seniornya yang dapat dijadikan panutan dan temannya yang dapat diandalkan.

Mereka berjalan meninggalkan ruang rias. Di gedung itu, masih banyak para pekerja yang sedang membereskan properti panggung fashion show.

"Setidaknya kau dapat rekor."

"Kau bercanda? Oh aku harus pulang. Sebaiknya kau juga pulang, Rukia-san."

"Ah, iya. Terima kasih atas kerjasamanya."

"Kenapa kau bersikap seperti itu? Aneh sekali. Mau pulang bersamaku?"

"Tidak usah, senpai. Aku mau makan dulu."

"Kalau begitu hati-hati ya! Sampai jumpa," ujar Yumichika sambil melambaikan tangan. Rukia balas melambaikan tangan dan melanjutkan perjalanannya. Rukia tidak seperti pegawai yang lain yang sering membawa kendaraan pribadi. Dia lebih menikmati naik kendaraan umum. Itu karena dia senang memandangi indahnya kota Karakura. Karena jika ia membawa kendaraan pribadi, Rukia tidak akan sempat menikmati pemandangan karena harus berkonsentrasi di balik kemudi.

Rukia berjalan agak cepat menuju halte bus. Jam segini akan sangat lama jika dia memilih naik kereta. Makanya dia memilih bus kota yang memang sebentar lagi akan datang. Benar saja, tidak sampai lima menit Rukia menunggu, bus sudah datang. Rukia segera mengambil tempat dekat jendela dan langsung terhipnotis oleh pemandangan di luar sana. Jarak ke tempat tujuannya masih lumayan jauh sehingga Rukia memutuskan untuk melamun sambil melihat pemandangan malam.

Tidak sampai setengah jam, bus sudah berhenti di halte tujuan Rukia. Rukia segera beranjak dari kursinya dan turun dari bus. Matanya meneliti jalanan yang masih ramai oleh terangnya lampu jalan dan beberapa orang yang masih lalu lalang. Pantas saja karena Rukia berada di pusat kota sehingga masih ada detak kesibukan meskipun sudah selarut ini. Perut Rukia yang mulai bergerumul membuat Rukia mempercepat langkahnya. Ah, benar juga. Aku belum makan siang... Dia tidak tahu bahwa sakit perutnya sangat menyiksa hanya karena dia belum makan siang. Dia berjanji dalam hati, lain kali dia tidak akan menolak tawaran Yumichika untuk makan siang.

Wajah Rukia berubah cerah begitu melihat sebuah restoran di pinggiran jalan. Gadis itu menoleh-noleh, memastikan jalanan aman untuk diseberangi. Dia sedikit berlari dan langsung menerobos masuk pintu restoran itu. Suara bel terdengar begitu dia masuk, disusul dengan sambutan selamat datang dari beberapa pelayan.

"Selamat datang!" seru beberapa pelayan secara acak. Rukia hanya tersenyum, meskipun ia tidak tahu siapa saja yang menyapanya, lalu berjalan menuju salah satu meja yang kosong. Seorang pelayan mendatanginya sambil membawakan menu. Dia tersenyum ramah begitu mendapati Rukia memandanginya.

"Selamat malam, nona. Ini daftar menunya," ujar pelayan itu seraya menyerahkan daftar menu yang dipegangnya. Rukia menerimanya dan dengan cepat membaca seluruh isi menu. "Sudah memutuskan akan memesan apa?"

"Ya," ujar Rukia. "Saya pesan paket 2 ini lalu blueberry soda. Ah tidak, Café Bombón saja. Oh, saya juga pesan Chicken Cream Soup dan Banana Split dengan chocolate ice cream." Rukia menengadah untuk mendengar pesanannya diulang kembali namun yang dilihatnya adalah tatapan tidak percaya si pelayan.

"Saya belum makan siang," dalih Rukia sambil melihat ke arah lain. Dia bisa melihat dari ujung matanya si pelayan mengangguk kaku lalu pergi sambil membawa daftar menu dan pesanannya. Dia pasti menganggap gadis ini rakus sekali padahal Rukia memang sangat lapar karena belum makan siang.

Suasana restoran itu terbilang cukup ramai oleh orang-orang yang baru selesai kerja. Banyak pria-pria yang berkumpul dan tertawa terbahak-bahak di kursi pojokan tapi ada juga yang makan sendirian maupun hanya sekedar menikmati secangkir kopi. Suara dari dapur bahkan sayup-sayup terdengar namun hal itu membuat restoran ini tidak terkesan mati. Restoran itu terasa hangat oleh sahut-sahutan orang yang mengobrol dan seruan pelayan-pelayan yang menyapa pelanggannya.

Sembari menunggu pesanannya, Rukia memain-mainkan botol garam di depannya. Dia tidak berani memainkan botol merica karena dulu sekali, botol merica yang dia manfaatkan untuk mengatasi rasa bosannya terjatuh dan membuatnya bersin-bersin cukup lama. Gadis itu memperhatikan botol garam, tanpa menyadari ada seorang pria jangkung yang berdiri tak jauh darinya sedang memperhatikannya.

"Hoh, rupanya kau."

Rukia sayup-sayup mendengar kalimat itu dan menoleh untuk mengetahui sang sumber suara. Begitu matanya menangkap sosok jangkung berkepala orange, wajahnya yang cerah berubah menjadi masam. Bahkan mulai menunjukkan ekspresi tidak suka. Sayang sekali mereka harus bertemu di saat yang tidak tepat, setidaknya menurut Rukia.

.

.

To Be Continued (harusnya #plak)

.

.

.


aduh no comment deh di fic yang ini. udah judulnya ga jelas begitu, eeeeh malah belum jelas gini ceritanya -_- sebenernya hikari udah lama kepikiran mau buat fic kayak gini, menceritakan Ichigo dan Rukia yang sudah menikah. Karena menurut hikari, mereka lebih cocok menjadi pasangan suami-istri daripada pasangan kekasih (apa itu keinginan pribadi hikari ya? hmmmmm...)

masih ingat Soma Yoshino kan? Dia ada di filler 'Bount Invasion' dan di fic ini dia hadir sebagai bos Rukia yang sangat tegas! apakah OOC? kayaknya iya deh ._. semua tokoh di sini berpenampilan sama seperti saat di Bleach season 2. KECUALI YUMICHIKA! ga tau kenapa agak susah ngebayangin Yumichika dengan gaya rambutnya yang baru. soalnya Yumichika jadi...lebih cantik. sebagai seorang perempuan, hikari merasa gagal...

oh ya, di sini interaksi Rukia dan Ichigo masih belum diketahui. apakah mereka adalah pasutri yang lovey-dovey atau pasangan S dan M =.=a kayaknya saya harus berhenti ngasih hint yang aneh-aneh.

sampai jumpa di chapter ke-dua :)