Who's My (true) Eyeshield 21?
Author : heyitchechenky
Rating : T
Pairing : [Crack!Pairing] Eyeshield21xKakei (mana yang benar? Sena Kobayakawa? Hayato Akaba? Atau….Takeru Yamato?), dan slight MizuxKakei

[A/N : Saya tidak tahu, hari-hari ini suka buat Crack!Pairing. -_-" ]

Ch. Summary : Kisah awal pertemuan Kakei dengan Eyeshield 21 di Notre Dame, Amerika.

Disclaimer : Aku tidak memiliki siapapun disini. Cuma plot sama account.

NB : Saya membuat fic ini gara2 Laventz Aru . :( jadi kalau ada apa2, salahin dia. Dia yang membuatku seperti ini.

GW BELA-BELAIN BACA ULANG MANGANYA. NEMU INSPiRASI KETIKA :

(1) Kakei mengejek Sena sebagai Eyeshied palsu. Karena ia tahu bagaimana Eyeshield 21 yang asli itu. (Kakei seperti ga terima gitu, kalau ada yang nge-claim nama Eyeshield 21 dan ngaku-ngaku jadi yang asli.)

(2) Sena dan Monta yang minta tau Kakei apakah Akaba adalah Eyeshield 21 yang asli.
(secara, katanya Cuma Kakei yang pernah 'ketemu'). tolong tanda kutipnya diperhatikan. ^_^v

(3) Kakei yang serius mengobservasi Akaba, apakah Akaba adalah Eyeshield 21 asli atau bukan.
(Kakei memperhatikan setiap gerakan Akaba. Dan membandingkannya dengan Eyeshield 21 yang asli. Ya iyalah, kan Cuma dia yang 'tahu'...)

(4) Kakei yang terkejut saat mendengar ceritanya Taka tentang Takeru Yamato.
(aku tidak bisa berbicara-apa2 disini! XD sudah ketahuan soalnya)

A/N 2 : Pokoknya cerita ini 'overall' konsen sama Kakei yang sibuk mencari 'yayang'-eyeshield 21 nya yang sebenarnya. *ditendang Kakei*


PART 1 : THE BOY WHO SITS ALONE

POV : Normal

Suasana di sebuah SMU terkenal di Amerika begitu tenang. Menyamakan dengan suasana langit sore yang tidak berawan, tapi terlihat cerah. Burung-burung berterbangan di langit, seperti ingin menyusul satu sama lain. Matahari berwarna kuning ke jingga an, menandakan beberapa jam lagi akan lenyap ke balik bukit. Angin-angin pun ikut-ikutan menenangkan hembusannya. Tapi, ada satu titik atau lokasi dari SMU itu yang memuat keramaian untuk sore yang damai ini. Titik itu jatuh pada lapangan footboll milik SMU itu sendiri. Lapangannya bisa dikatakan luas. Dilengkapi dengan pagar besi disekelilingnya, bench untuk penonton, empat lampu sorot di setiap sudut, dan didekatnya terdapat sebuah gedung dua tingkat. Diduga sebagai markas tim SMU bergengsi itu.

Di lapangan hijau itu, berdiri beberapa murid yang sudah lengkap dengan atribute pemain american football nya. Salah satu membawa bola coklat cerah yang menyempit di 2 titik yang saling berhadapan. Beberapa teriakan komando, dan semacamnya terdengar jelas oleh orang-orang yang ada di kawasan lapangan itu.

Dan anehnya, tidak mereka saja yang ada di situ. Karena disana, terdapat sesosok murid juga. Yang kelihatannya bukan murid SMU Notre Dame. Dari baju seragamnya, bisa disimpulkan bahwa anak lelaki itu adalah murid SMP. Lalu apa yang ia lakukan disana, terduduk di bench penonton? Sendirian, terlihat tenang, dan serius?

Sebenarnya, semua anggota tim football sudah tahu tentang keberadaannya di bangku penonton semenjak kira-kira dua bulan yang lalu. Dan semenjak itu juga, ia sepertinya rajin sekali memperhatikan permainan football SMU Notre Dame. Sayang, anak itu tidak pemain football disitu, tidak tahu jelas mengenai dirinya. Bukan karena mereka tidak mau bertanya. Tapi anak bermata biru itu yang tidak mau menjawab. Karena hal itulah, mereka akhirnya mencuekkannya. Ia mungkin tidak bermaksud untuk tampak dingin pada orang-orang yang lebih tinggi tingkatannya dari dia. Itu bagaikan suatu hal yang menjadi sifat dia dari lahir. Sifat alamiah anak itu. Selain mereka mengerti bahwa ia bukan mata-mata, ia juga sangat jelas terlihat sebagai murid SMP. Tapi itu bukan masalah bagi anak lelaki itu. Baginya, itu sebuah hal yang berharga sehingga ia bisa memperhatikan kegiatan latihan mereka tanpa membuat mereka merasa terganggu.

Dan sekali lagi, anak itu merasa baik-baik saja, tidak dianggap keberadaannya.

Anak itu berambut biru laut. Matanya pun mengikuti warna rambut itu. Biru sebiru berlian. Wajahnya tidak menandakan ekspresi apapun. Matanya, mata birunya itu, selalu megikuti gerak-gerik atlet-atlet SMU yang ada di hadapannya. Tapi ada satu yang selalu menarik perhatiannya, melebihi yang lain. Yaitu seorang pemuda dengan nomor punggung 21. Bukan..bukan nomor punggungnya yang membuat dia begitu. Tapi helmet nya. Di bagian depan helmet tersebut, sengaja dipasang sebuah shield berwarna hijau. Membuat siapapun yang melihatnya tidak akan bisa melihat wajahnya secara penuh. Yang dengan pasti membuat identitasnya susah dilacak. Hanya beberapa orang saja yang tahu siapa dia sebenarnya. Siapa lagi kalau bukan tim football itu sendiri.

Selain pelindung hijau yang membuatnya misterius, skill nya juga mengejutkan. Pemuda ini memiliki kecepatan di atas rata-rata anak SMU. Power dan kekuatannya bukan main tinggi. Taktik dalam setiap gerakannya pun juga selalu memukau, mengejutkan. Pemuda itu juga diberkahi dengan tinggi badannya. Itu sangat menambah point kehebatannya untuk menang.

Jika saja mereka mengerti, bahwa anak itu telah mencoba mencari informasi tentang pemuda eyeshield tersebut. Dimana akhirnya ia mendapati bahwa eyeshield duduk dikelas satu. Dan merupakan warga negara Jepang. Mengejutkan, sama seperti dirinya. Di bagian itu, ia menyimpulkan Eyeshield 21 yang selama ini ia perhatikan, adalah orang yang benar-benar hebat. Sepengetahuannya, orang jepang jarang ada yang bisa meraih gelar ace di negeri paman sam ini. Jadi, yah, sangat mengejutkan pula ia menjadi orang yang berpengaruh di SMU terbaik amerika.

Anak SMP berambut biru tersebut, kadangkala tanpa sadar memperhatikan sang eyeshield secara terus-menerus hingga pertandingan selesai. Ia terus berpikir bagaimana eyeshield bisa begitu kuat. Tanpa memperhatikan waktu tentunya. Biasanya, ia tersadar kembali begitu mendengar pintu markas tim football Notre Dame terbuka. Dan setelah ia mendapatkan kesadarannya kembali, ia selalu beranjak dari tempatnya dan pulang. Tanpa memperdulikan tatapan-tatapan pemain SMU itu jatuh padanya. Mereka pasti berpikir bahwa dia hanya anak aneh yang singgah ke tempat latihan mereka setiap sore. Dan bergegas pulang jika telah selesai. Bagi mereka, ia hanya sebagai angin yang lewat begitu saja.

Jika saja anak SMP itu menyadari, ada sepasang mata yang selalu memperhatikannya dibalik sebuah lapisan berwarna hijau transparan. Dan mata itu, meski tidak akan ada yang bisa membacanyas sebelum ia melepas penghalangnya, untuk sekejap terlihat sedih menatap kepergian anak lelaki istimewa itu. Anak yang selalu menjadi penononton satu-satunya dalam latihan mereka. Anak yang terlihat dingin tapi ,ia tahu, hatinya tidak membeku karena itu. Anak yang berwajah terlalu serius layaknya ia sedang berpikir sesuatu yang susah dipecahkan. Anak yang...

Anak yang menarik perhatiannya. Rambut birunya, mata birunya, kulit putihnya, dan..sifat misteriusnya.

Ia tidak pernah menganggap anak itu aneh atau sebagainya seperti apa yang teman-temannya katakan. Baginya anak itu istimewa. Istimewa dalam semua hal.

Berkat hal-hal itulah, ia menemukan dirinya sangat tertarik dengan anak lelaki tersebut. Meski ia tidak mengetahui siapa anak itu sebenarnya. Tapi karena itu juga, ia nekat akan mengajaknya bicara keeseokan harinya.

'Besok. Harus bicara. Apapun keadaannya. '


PART 2 : HIS INTENSE FEELING

POV : Eyeshield

Hari ini aku telah membuat rencana demi kelancaran percakapan kami. Maksudku, aku tidak mau ada hal lain yang menggangguku untuk berbicara dengan anak itu. Jika dipikirkan, tidak akan mengenakkan jika hanya berbicara sebentar pada orang yang kita ajak kenalan. Apa itu benar? Tentu saja.

Dan rencana itu begitu mudah untuk aku lakukan. Aku yakin, pihak yang terkait tidak akan keberatan untuk melakukan itu . Rencananya adalah : Meniadakan latihan football untuk sore nanti. Dengan begitu, ketika anak itu datang (aku tahu dia pasti datang!), hanya ada aku di sana. Dan di saat itulah, aku akan mengajaknya bicara. Tanpa gangguan sedikitpun. Tapi, yang aku juga harus perhatikan. Aku harus tetap menggunakan seragam football ku. Aku tidak mau ia tahu siapa aku sebenarnya. Maksudku, aku belum siap untuk memberitahunya. Bukan berarti itu menjelaskan bahwa aku jelek atau sebagainya. Tidak! Salah besar! Karena hal itu juga sebagai alasan mengapa aku bersikeras menjaga identitas dan wajahku darinya. Aku tidak mau ia menyukaiku karena tampangku. Aku mau dia menyukaiku apa adanya. Meski tanpa harus melihat bagaimana aku terlihat. Itu juga akan kumasukkan dalam tes terhadapnya. Jika ia benar-benar menyukaiku, ia pasti tak akan keberatan denganku yang masih menyembunyikan identitas yang sebenarnya. Dengan begitu, aku bisa membuktikan apakah perasaanku dengan dia sama.

POV : Normal

Dari kejauhan, tampak seorang anak lelaki berpakaian seragam SMP Phoenix berjalan kearah pintu masuk lapangan football SMU Notre Dame. Tangan kanannya menggenggam strap tas selempangnya. Sedangkan satunya, terisi oleh sebuah minuman kotak lengkap dengan sedotan yang sudah ditancapkan di lubangnya. Sesekali, ia membawanya keatas ke bibirnya untuk mengambil beberapa hisapan melalui sedotan tersebut. Wajahnya serius, nyaris tanpa ekspresi. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Tapi mata birunya yang tajam mendadak terbelalak ketika ia mendapati keheningan di lapangan football itu. Langkah kakinya berhenti secara keseluruhan tepat di ambang pintu gerbang. Genggamannya melonggar pada strap tas yang ia gunakan. Mulutnya terbuka sedikit, seakan tidak tahu apa yang harus dikatakan dengan keadaan yang tidak biasa ini. Tim football SMU Notre Dame tidak biasanya tidak melakukan latihan. Kecuali jika itu hari libur sekolah. Tapi, semua orang tahu. Hari itu adalah hari Selasa dan tidak ada event-event penting yang membuat hari itu diliburkan. Atau…memang ada sesuatu yang mengakibatkan absennya latihan mereka pada sore itu.

Ada perasaan kecewa di hatinya, tapi ia mencoba mengacuhkan itu. Ia tipe orang yang tidak mau terbawa suasana hati. Maka itu, ia dengan cepat mengembalikan ekspresinya kembali. Untuk beberapa menit, ia hanya berdiri disitu, tidak melakukan apa-apa. Ia pun tampaknya telah melupakan minuman di tangan kirinya yang lemas. Yang bergerak hanyalah kedua matanya, mencari adanya tanda-tanda bekas latihan di lapangan. Pikirannya berkata, mungkin mereka telah melakukannya. Ia kurang cepat saja untuk melihat. Sesaat, ia menyalahkan dirinya.

Tetapi pikiran itu langsung terbuyar konsentrasinya begitu ia menangkap suatu gerakan dari pinggir penglihatannya. Ia menoleh kearah sumber gerakan tersebut, bertujuan untuk mencari tahu siapa itu.

Belum ia melihat seluruhnya, ia sudah tahu siapa itu.

Eyeshield 21.

Sangat mencolok dengan shield hijaunya.

Secara kilat, ia menjatuhkan pandangannya ke tempat lain. Yang saat itu, adalah tanah yang ia pijak sebagai objek. Jantungnya berdebar keras saat ia mendengar setiap langkah pemuda itu, yang semakin lama semakin dekat. Ia berusaha keras untuk mempertahankan wajah 'tanpa-ekspresinya'. Tapi ia tidak bisa mengontrol warna merah yang muncul di pipinya. Yang ia perlukan hanyalah menghindari tatapan orang itu, supaya wajahnya yang memerah tidak akan terlihat.

Hingga sepasang sepatu football muncul di penglihatannya. Tidak usah berpikir siapa pemiliknya. Karena tanpa ia mendongak untuk tahu siapa itu, ia sudah tahu jelas siapa pemiliknya. Jantungnya masih tidak mau memelankan denyutnya. Ini adalah sesuatu yang aneh bagi dia. Baru kali ini perasaan aneh ini ia alami. Dan yang menyebabkan itu tidak lain adalah ace SMU Notre Dame yang terkenal dengan kecepatan dan kekuatannya.

"Hei," pemuda tinggi dihadapannya menyapa lembut. Suaranya begitu pas dengan perawakannya yang gagah. Anak SMP itu semakin gugup, mengetahui orang ini pasti akan memulai sebuah pembicaraan. Sebenarnya ia berpikir untuk langsung berbalik dan kabur. Tapi, dibawah tatapan orang itu, ia seakan membeku di tempat. Untungnya, waktu itu ia masih bisa mempertahankan wajah dinginnya. Walau kemerah-merahan itu semakin menyeruap ke permukaan kulitnya.

"Hello? Kau disana?" Pemuda itu berkata lagi. Nada suaranya terdengar khawatir.

Anak berambut biru itu, akhirnya memutuskan untuk 'meladeni' sang ace. Dengan memberi keyakinan pada dirinya sendiri bahwa ia pasti bisa tetap mempertahankan tampang 'tanpa-ekspresinya', ia mengangkat wajahnya untuk menghadap pada orang di depannya itu. Yang masih berdiri, menunggu responnya.

Hal pertama yang masuh dalam penglihatannya adalah warna hijau dari shield orang itu. Dalam batinnya, ia seperti berteriak, 'sial, berkat perisai hijau itu, aku tidak bisa tahu kearah mana matanya memandang.' Walau wajahnya mencerminkan yang sebaliknya. Ia tetap terlihat tenang, serius, dan dingin.

"Apa?" Anak itu menjawab pelan, tapi terdengar judes. Mata tajamnya pun menambahkan kesan dingin dan ketidak peduliannya terhadap pembicaraan yang akan dimulai antara mereka berdua. Dengan sikap itu, ia berharap lelaki dihadapannya ini akan berlaku sama seperti teman-temannya yang lain. Yang langsung mencuekkannya begitu mendengar betapa dinginnya sikapnya itu. Tapi, sayangnya, eyeshield 21 di depannya tetap memandangnya. Meski ia tidak tahu pasti, tapi ia yakin. Orang itu masih memandangnya. Lalu, sebuah senyuman terukir di bibir pemuda tersebut. Yang mana mengejutkan murid SMP Phoenix tersebut.

"Jika aku boleh tahu, mengapa setiap sore kau melihat timku latihan? Padahal kau bukan murid SMU ini. Lagipula, jarang ada yang melihat tim kami latihan meski dari SMU ini sendiri. " Eyeshield bertanya ramah, senyumannya masih terpampang jelas.

"Iseng. Aku hanya tidak ingin pulang ke rumah dulu. " Jawab anak itu datar. Tidak sepenuhnya kata-kata itu bohong. Karena memang benar, pada awalnya ia hanya iseng saja. Hingga sesuatu mengambil perhatiannya di perjalanannya ke rumah. Sesuatu itu adalah football. Pertama kali ia tahu football, tentu saja dari SMU itu. Dari pandangan pertama, ketertarikan pada olahraga itu rasanya tumbuh secara drastis. Itulah mengapa, setiap sore setelah ia menyelesaikan sekolahnya pada hari itu, ia selalu mendatangi lapangan football SMU Notre Dame. Hanya untuk menyaksikan latihan football mereka.

Mengesankan serta mengejutkan. Eyeshield 21 ini, menjadi orang pertama yang tidak terpengaruh sifat dinginnya. Dan juga orang pertama dari tim yang ia beri jawaban atas pertanyaannya. Karena selama ini, ia hanya terdiam atau memberi tatapan tajam pada setiap anggota yang bertanya tentang alasan keberadaannya disini.

"Iseng? Kau selalu datang kesini setiap sore, dan memperhatikan latihan kami sampai selesai, dan kamu menyebut itu iseng?."

Setelah Eyeshield berkata seperti itu, keheningan menyelimuti mereka berdua untuk beberapa detik. Anak itu juga merasa 'lumayan' sebal terhadap Eyeshield ini. Ia telah mengambil kesimpulan. Eyeshield bukan tipe orang yang mudah menyerah. Ia adalah tipe orang yang akan melakukan apapun atau berusaha sekuat apapun untuk mendapat apa yang ia mau. Sehingga, mendiamkan dia di sebuah pembicaraan bukan akan mempercepat akhir pembicaraan itu sendiri. Malah, ia mungkin menganggap itu sebagai tantangan untuknya, untuk mendapat jawaban dari pertanyaannya. Orang ini tidak hanya fisiknya saja yang kuat. Mentalnya pun juga kuat.

"Memang kenapa? " Pemilik mata biru berkata cepat dengan intonasi yang tinggi, membuat itu dikatekorikan dengan kata-kata 'sewot'. Anak itu semakin sebal lagi begitu Eyeshield menanggapi sikap kasarnya barusan dengan tawaan enteng.

"Kau ini… memang anak yang unik."

'Unik?'

Anak itu memandang Eyeshield dengan tatapan tidak percaya. Baru kali ini, ada orang yang menyebutnya unik. Ketika pendengarannya telah terbiasa dengan kata-kata 'aneh', 'gila', 'anti-sosial', 'autis', dan semacam kata-kata negative lainnya.

Eyeshield, yang hanya dipandang anak itu tanpa respon lain, akhirnya mengisi keheningan dengan pertanyaan lain. "Siapa namamu? Kurasa aku perlu tahu namamu. Karena kau selalu memperhatikan timku berlatih."

'Alasan yang tidak masuk akal…' batin Anak berambut biru tersebut. Tapi ia tetap menjawab pertanyaan ace runner itu. "Kakei," Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Namaku Shun Kakei."

Senyuman Eyeshield melebar, mendapati anak itu mau memberi tahu namanya pada dirinya. Ini baginya adalah prestasi. Ketika teman-teman lainnya tidak berhasil mengetahui sedikitpun informasi dari anak unik ini, Ia bahkan bisa mendapat namanya. Bukan hanya nama. Tapi nama panjangnya juga.

"Shun?" Eyeshield menyebutkan nama depan anak itu, seakan merasakan bagaimana pengucapannya dari bibirnya. "Pantas saja, kau begitu misterius." Komentarnya.

"Misterius?" Anak bernama Kakei itu bertanya. Ia tidak paham bagaimana cara pikir Eyeshield, sehingga bisa mengatakan ia misterius hanya melalui nama depannya.

"Iya. Shun, dalam bahasa inggris, artinya menjauhkan diri dari sesuatu."

Kakei menghela napas sambil memutar bola matanya. 'Bagaimana bisa, namaku dikaitkan dengan kosa kata bahasa inggris. '

"Cocok dengan sifatmu yang selalu menghindari orang lain. " Eyeshield menambahkan, sambil tetap memandang anak berambut biru tua itu.

Kakei, di kata-kata itu, memicingkan mata pada Eyeshield. "Sok tahu."

Tapi reaksi lelaki itu sungguh menambah amarahnya. Lelaki itu tertawa. Bukan tertawa sembarangan. Ini seperti tawaan jika kamu habis mendengar sesuatu lelucon yang lucu bagimu. Atau tawaan ketika kita melihat teman kita tidak sengaja melakukan sesuatu yang menimbulkan kejadian-kejadian lucu.

"Untuk ukuran anak SMP, kau galak sekali." Eyeshield berkata di sela-sela tawa pelannya. Ia baru berhenti tertawa ketika Kakei tetap memandangnya dengan mata tajamnya, yang membuat aura mengerikan disekitar anak itu. "Oke, oke. Lupakan saja yang tadi. " tukas Eyeshield, setelah mendapatkan nafasnya kembali. "Sekarang aku ingin menantangmu untuk bermain bersamaku. Bagaimana menurutmu?"

"Tidak. Terima kasih. Aku tidak tertarik dalam melakukannya." Kakei menjawab datar dan sederhana. Tatapannya pada Eyeshield berubah menjadi tatapan malas.

"Satu kali saja. "

"Tidak."

"Ayolah! Hari ini timku tidak latihan. Lagi pula, aku ingin melihat seberapa jauh kau mengerti tentang football. Pengamatanmu terhadap latihan kami, tidak mungkin tidak ada hasilnya, kan?" pada kalimat terakhir, Eyeshield menggunakan nada mengejek.

Kakei terdiam, mencerna setiap kalimat dari lelaki itu. Eyeshield seperti merendahkan dia pada bagian terakhir. Tapi ia tahu, itu salah satu cara lelaki itu untuk memancingnya, agar ia menerima tantangan yang telah disebutkan. Beberapa bagian dirinya memberi sugesti padanya untuk tidak ikut. Dengan alasan ia hanya tertarik football dalam 'materi'. Bukan 'action' nya. Tetapi dalam waktu yang bersamaan, bagian terdalam dari hatinya memerintahkan untuk menerima tantangan itu. Tidak ada salahnya kan ia mencoba?

"Okay, aku menerima tantangan itu. 1 kali saja ya! Tapi kuperingatkan, aku tidak pernah bermain permainan ini sebelumnya. Jadi aku tidak bertanggung jawab jika kau merasa aku ini terlalu mudah untuk dikalahkan atau tidak sebanding denganmu."

"Jangan khawatir, aku hanya ingin mengetesmu. " Eyeshield menjawab ramah. Ia berbalik dan berjalan ke lapangan. Dan disanalah, ia mendapat bola yang dipakai dalam olahraga bernama football. "Kau juga kesini, Shun!" Eyeshield memberi instruksi pada Kakei, setelah ia melihat anak bermata biru itu ternyata tidak mengikutinya tadi (sebenarnya Kakei tidak terima Eyeshield memanggilnya dengan nama itu. Tapi, Kakei membiarkannya. Ia anggap, Eyeshield hanya lupa nama panggilannya). Barulah setelah instruksi itu terdengar, Kakei memaksakan dirinya berjalan ke tempat yang sama dengan Eyeshield. Yaitu lapangan football.

Kata-kata pertama yang Kakei katakan ketika ia sampai ke tempat Eyeshield adalah, "Rumputnya basah…" Wajah anak SMP itu menghadap ke bawah. Lebih tepatnya ke sepatunya yang kini berwarna lebih gelap berkat efek air yang ada di rerumputan.

"Oh? Well, mungkin kelembapan mereka meninggi." Kata Eyeshield, memberi alasan yang tidak rasional (?). Ia melempar bola itu keatas kira-kira hanya 10 cm dari telapak tangan kanannya, sebelum bola itu jatuh kembali ke dekapan tangannya. "Letakkan saja tas mu di bench. " Ia memberi arahan lagi, saat menyadari Kakei masih memakai tas nya. Dan ia benar-benar tahu, jika dibiarkan, maka anak SMP itu akan menemukan kesusahan untuk bergerak secara eluasa.

Kakei, tanpa memberikan tanda 'mengerti' atau semacamnya, melangkahkan kakinya menuju ke player bench yang tidak terlalu jauh dari posisinya sebelumnya. Setelah melepaskan tasnya dan meletakkannya di atas bench, ia berjalan kembali ke tempat Eyeshield yang masih menunggu.

"Defense atau Offense?" Eyeshield bertanya, kini bernada serius.

Sesungguhnya, bagi Kakei kedua-dua nya susah. Selain Karena ia tidak punya sedikitpun pengalaman, ia juga sedang tidak memakai sepatu olahraga yang khusus untuk permukaan lapangan yang licin seperti ini. Jika ia menjadi offense, ia bisa-bisa tergelincir saat lari atau menghindar. Jika jadi defense, well, juga susah. Ia bisa terpeleset pula ketika ia mengambil gerakan tiba-tiba saat pemain offense mencoba menghindar darinya. Tapi jika ditimbang-timbang, defense kelihatannya akan lebih mudah.

"Defense.." Jawab Kakei datar. Di suaranya, tidak ada unsur semangat sedikitpun. Tapi itu tidak akan menghentikan permainan mereka berdua.

"Okay. Kau pegang bola ini, dan jaga supaya aku tidak-"

"Aku sudah tahu. Tidak usah repot-repot menjelaskannya…"

"Oh? Baik. Kalau begitu, kita mulai saja." Eyeshield berkata, sambil mengambil beberapa jarak dari Kakei. Kakinya telah berubah ke posisi ancang-ancang untuk berlari.

Kakei juga telah bersiap-siap akan serangan ace runner misterius tersebut. Ia mempererat pegangannya pada bola itu. Kakinya telah terbuka, bertujuan untuk menguatkan kuda-kudanya supaya ia tidak mudah jatuh.

"Kau siap, Shun?"

'Dia menggunakan nama depanku lagi. Jika ini bukan dalam permainan, sudah aku tonjok dia. Bukan berarti aku tidak mau dia memanggilku begitu. Hanya saja, aku hanya membolehkan orang-orang yang dekat denganku saja untuk memanggilu dengan nama depanku. Dan dia, orang yang baru aku kenal. Seenaknya saja, memanggilku begitu.' Batin murid SMP Phoenix itu kecut. Matanya menajam kembali kearah Eyeshield seraya menjawab, "Tentu."

Tepat setelah itu, Eyeshield berlari dengan kecepatan cahanyanya kearah anak berambut biru itu. Tangan kanannya terentang kedepan untuk mempermudah dirinya merebut bola tanpa harus terhalang atau terkena serangan. Kakei yang melihat ini, secara diam takjub atas kehebatan Eyeshield. Tapi ia tetap sadar untuk melindungi bola yang ada di tangannya.

Ketika ia merasakan getaran di bola yang ia pegang dalam kecepatan kilat, ia menyadari bahwa Eyeshield telah berhasil menyentuh bola itu. Dan saat tarikan mulai terasa di bolanya, ia mendekap bola itu dan melakukan gerakan spin sambil menghindar agar Eyeshield kesusahan untuk mengambilnya.. Yang membuat Eyeshield terpaksa melepaskan tangannya dari bola yang dijaga itu. Ia baru berhenti lari setelah memakan jarak 4 meter melewati Kakei.

Eyeshield memutar tubuhnya dan melihat Kakei terduduk di tanah (saat ia melakukan Spin, ia tergelincir).Bola masih ada di dekapannya. Wajahnya, masih seperti sebelumnya. Datar. Hanya saja, ada unsur terkejut disana. Terlukis jelas di matanya.

"Kau…hebat.." Eyeshield berkata pelan, sambil berjalan mendekati Kakei yang masih tidak bergerak. "Kau memiliki impulse yang cepat. " Jelasnya, masih melihat kearah Kakei.

Pemilik rambut dan mata biru itu mendongakkan kepalanya untuk menatap Eyeshield yang berdiri dan melihat kebawah, ke dirinya. "Aku tahu Kau sengaja, tidak merebutnya dengan keras." Kakei memprotes dengan nada datar dan rendah.

"Ini bukan tentang kekuatanku. Tapi ketepatanmu untuk mengelak saat aku telah menyentuh bola." Kata Eyeshield sambil memberikan tangan pada Kakei untuk membantunya berdiri.

Kakei menepis tangan atlet runner itu. "Tidak, terima kasih. Aku bisa sendiri" Lalu ia mencoba berdiri diatas kedua kakinya lagi. Tapi saat ia berusaha mengangkat dirinya dari posisi duduk ke berdiri, ia tergelincir lagi.

Sebelum bagian belakangnya mendapat tabrakan lagi, sepasang lengan telah menahannya. Dan otomatis juga, ia langsung merenggut seragam atlet football tersebut sebagai pegangan.

"Whoops…." Kakei berkata datar, setelah mengetahui ia tidak jadi jatuh lagi. Ia mengangkat wajahnya, dan langsung berhadapan dengan shield hijau lelaki bernomor punggung 21 itu.

Di saat itu, Kakei kaget lagi. Ia dengan cepat mengembalikan posisi berdirinya dan mengambil beberapa jarak dari Eyeshield, yang telah menyelamatkannya tadi. '..tadi benar-benar memalukan...' pikir anak itu.

Kesunyian segera mengisi atmosfir antara mereka berdua semenjak kejadian yang tidak terduga itu terjadi. Kedua-duanya tidak yakin untuk menjadi yang pertama yang memecah keheningan pada kali ini.

Setelah melewati beberapa detik yang menegangkan, Kakei akhirnya memutuskan untuk kembali pulang. Semakin cepat semakin ia bisa melupakan kejadian yang memalukan bagi dirinya.

"Aku harus pulang, Eyeshield-san. Terima kasih atas tantanganmu." Kakei berkata cepat tanpa melihat Eyeshield. Karena ia langsung berjalan cepat menuju player bench untuk mengambil tasnya. Ia bisa merasakan tatapan Eyeshield di punggungnya tanpa ia harus melihat. Dan ia tahu juga, Eyeshield tidak mungkin diam seperti itu untuk waktu yang lama.

Yang memang hal itu benar sekali.

Saat ia telah berhasil mendapat tasnya kembali dan segera melangkah kearah gerbang, Eyeshield mengatakan, "Kau punya bakat di American Football.". Yang mana membuatnya berhenti melangkah. Kakei berbalik, menghadap sang Eyeshield 21 yang juga memandangnya melalui perisai hijaunya.

"Terima kasih?" Kakei menjawab, tapi lebih terdengar seperti pertanyaan. Ia tidak memberi Eyeshield waktu untuk menimpali kata-katanya. Karena detik berikutnya, ia mempercepat larinya dan berhasil keluar dari area lapangan football. Meninggalkan Eyeshield yang masih memandang tempatnya sebelum ia berhasil keluar.

Beberapa detik kemudian, pandangan lelaki itu berpindah ke langit di atasnya. Dan Sang Ace runner SMU Notre Dame tanpa keraguan memberi pengakuan pada kanvas suasana sore.

"Shun Kakei, tak kusangka kau membuat ketertarikanku semakin meningkat."


PART 3 : RESEARCH

POV : Eyeshield

Aku langsung menuju ke kamarku setelah aku sampai di apartemenku. Tinggal sendirian di sebuah aprtemen bukan hal yang buruk. Setidaknya aku bisa berbuat sesukaku tanpa mengganggu orang lain.

Setelah melakukan kegiatan sehari-hari sehabis sekolah, aku menemukan diriku terduduk di depan komputer. Jari-jariku dengan cekatan membuka web dan mengetik sebuah nama yang sedari tadi tetap bergentayangan di pikiranku. Siapa lagi kalau bukan nama anak bermata dan berambut biru itu. Aku nekat mencari informasi tentangnya tanpa bertanya padanya. Bukan berarti aku ini seorang 'stalker', aku hanya penasaran saja dengan kehidupannya yang sebenarnya dibalik topeng dinginnya itu.

Untuk sekali lagi aku teringat kejadian yang tidak disengaja itu. Tapi, aku bisa merasakan beberapa bagian dari diriku merasa senang, karena aku bisa menyentuhnya. Dan saat ia menatapku , akupun menatapnya juga. Walau aku tidak dapat melihat warna dengan jelas karena dihalangi oleh shield hijauku, aku bisa merasa diriku tenggelam di mata birunya yang begitu dalam. Serta saat ia mencoba menjauh, aku tahu wajahnya memerah seketika. Lebih parah dari pada waktu awal kami berbicara. Dia terlihat sangat merona ketika wajahnya memerah dan diterpa cahaya mentari sore.. Meskipun aku penasaran juga, bagaimana dia bisa menjaga wajah datarnya itu ketika pipinya memerah karena malu.

Saat hasil pencarian di web tentang dirinya muncul, aku segera membuka data yang ada di paling atas.

Disitu terlihat pas fotonya saat ia masih menginjak kelas 1 SMP. Tapi, di mataku, rupanya tetap sama seperti tadi saat aku terakhir kali bertemu dengannya. Kupindahkan perhatianku dari fotonya ke data identitasnya.

Shun Kakei. Berkewarga negaraan Jepang. Lahir pada tanggal 6 Juni. Seorang anak kelas 3 SMP yang bersekolah di SMP Phoenix, Amerika. Merupakan salah satu murid terpintar di sana. Kepribadiannya sangat misterius, karena dia selalu menutup diri dari orang lain. Ia selalu terlihat serius dan sering bersikap dingin terhadap orang yang berbicara kepadanya. Meski begitu, ia memiliki kepopuleran yang tinggi. Masa kepopulerannya ia habiskan dengan menyendiri dan mengacuhkan hal-hal lain . Mungkin itu alasan mengapa ia tak memiliki banyak teman. Beberapa teman-temannya menganggap ia menderita Autis walaupun di keterangan kesehatannya tidak berkata demikian. ...

Menarik. Selain dia adalah anak misterius yang jenius, ia juga berkewarga negaraan sama sepertiku.

Aku sampai-sampai tidak sadar bibirku telah membentuk senyuman di setiap kata yang aku baca tentang dirinya. Dan aku menemukan diriku semakin menyukai anak itu.

Bisa dibilang, aku memiliki type idealku. Yaitu orang yang menyukai football dan memiliki otak cemerlang. Kedua-duanya dimiliki oleh anak misterius SMP Phoenix ini. Well, meski ia bilang ia tidak tertarik dengan football. Tapi kuanggap sebaliknya ketika aku mengetahui dia punya bakat yang besar dalam olahraga football. Kuharap ia mengubah cara pandangnya pada yang satu ini.

Karena selama ini, aku tidak pernah menemukan orang yang memenuhi 2 kategori tersebut. Biasanya, mereka mengejar-ngejar diriku karena ketampananku. Dan aku tidak mau itu terjadi juga padanya. Aku ingin dia melihatku apa adanya.

Mulai dari hari ini, aku bertekad untuk membuat dia jatuh cinta padaku tanpa harus aku memperlihatkan identitasku yang sebenarnya padanya. Atau dalam kata lain, aku tidak akan membiarkan dia hilang begitu saja dari hidupku selagi aku bisa berusaha untuk mencegahnya.


PART 4 : CONFESSION

POV : Normal

Sebuah lapangan football tampak begitu cerah ketika sinar hangat mentari di sore hari menghiasnya dan sekitarnya. Angin bertiup semilir, lembut dan menenagkan, menyapu daun-daun di tanah walau hanya beberapa senti. Hari itu cuacanya sedang bagus. Tim football SMU Notre Dame tak mungkin melewatkan kesempatan bagus ini untuk berlatih. Tapi entah memgapa, karena suasana yang mendamaikan itu, pergerakan mereka jadi lambat, tidak seperti biasanya. Menyebabkan jadwal latihan yang seharusnya dimulai jam empat, molor sekitar tiga puluh menit. Kerugian ini juga dirasakan oleh satu-satunya penonton latihan mereka yang tidak pernah absen menyaksikan. Meski tidak tahu siapa anak itu sebenarnya, tapi di dalam, mereka benar-benar menghargai anak itu. Mengesampingkan sifatnya yang dingin dan tatapan matanya yang seperti death glare walau itu sebenarnya mata normalnya.

Keterlambatan selama tiga puluh menit digunakan anak SMP Phoenix bernama Shun Kakei itu untuk membaca (diperjelas lagi, membaca. Bukan marah). Sebuah buku berbahasa perancis ia keluarkan dari tasnya. Lalu ia menyelipkan jarinya di sebuah halaman pertengahan. Buku itu terbuka, dan matanya mulai mencerna setiap kata yang ada di kertas buku tersebut. Lumayan untuk latihan pemahaman, karena ia bisa dikatakan sering menemukan kesulitan di setiap ia ingin mempelajari bahasa.

Saat ia telah mendapat 4 halaman, suara terbukanya pintu gedung klub football SMU itu menjadi alasan perhatiannya beralih ke sumber suara tersebut. Buku logic berbahasa perancis yang ada di tangannya sesaat terabaikan. Sebelum akhirnya tertutup dan terletak kembali di dalam tas anak SMP berambut biru itu. Mata tajamnya (Ini alamiah, ya!) terjatuh hanya pada satu orang di kumpulan anggota-anggota lain yang mulai memasuki lapangan. Ia melihat Eyeshield, sama seperti kemarin-kemarin, berjalan tenang ke tengah lapangan untuk mengambil posisinya. Teman se-timnya mengikuti kelakuannya. Dan salah satu sedang membawa bola mematikan itu. Mengapa mematikan? 'Tentu saja mematikan. Siapapun yang membawa itu memiliki kemungkinan tertinggi untuk dikasari.' batin anak genius itu. 'Tapi meski begitu, masih saja dimainkan. Aneh.'

Pemain yang menjadi Quarterback memberi aba-aba terhadap rekan se-timnya. Setelah memberi beberapa hitungan, gerakan-gerakan terjadi pada kedua kubu. Mereka sama-sama cepat. Apalagi di bagian Line. Harus memasang start yang cepat dan kilat. Quarterback melempar bolanya ke arah seseorang yang tengah berlari. Dan orang itu seperti sudah punya insting alami tentang kemana bola itu akan diberikan. Terutama pada dirinya sendiri. Sang RB, yang tidak usah dipertanyakan lagi adalah Eyeshield 21, menangkap bola operan dari menara kontrol dengan sempurna lalu membawanya lari menerjang line. Lineman-Lineman kubu lawan seperti kehilangan kekuatannya secara drastis ketika sang Runner cepat itu mendorong mereka hanya dengan satu tangan. Dan seperti yang telah diduga, Eyeshield 21 berhasil melakukan Touch Down.

Kemenangan mutlak Eyeshield 21 memang sudah terlihat dari awal. Skor akhir menyatakan 42-12. Dengan 42 berpihak pada kubu Eyeshield 21. Semua pemain memberi pujian dan rasa bangga kepada pelari cepat dan kuat itu.

"Kau memang hebat, kawan!"

"Tidak mungkin ada yang bisa mengalahkanmu. Kau memiliki power, speed, dan taktik yang sempurna. "

"Seperti biasanya, Eyeshield. Kau bermain dengan sangat bagus."

Dan berbagai pujian-pujian lainnya. Eyeshield mendengar kata-kata positif itu hanya bisa tersenyum ataupun mengangguk sambil memulihkan tenaganya dengan minum minuman yang telah mereka siapkan di player bench.

HIngga jadwal latihan mereka menunjukkan kata selesai. Semua anggota berbondong-bondong masuk ke gedung klub untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

Kakei baru beranjak dari tempat duduknya ketika orang terakhir masuk ke gedung tersebut. Ia menggenggam tasnya dan hendak melangkahkan kaki. Tetapi berhenti seketika saat ia mendengar namanya dipanggil.

Anak remaja itu menoleh ke pemanggilnya, dan terkejut melihat Eyeshield berdiri tegap disitu.

'Sejak kapan dia disitu?' pikir Kakei keheranan. Karena ia bersumpah tidak melihat runner tersebut masuk ke area bench penonton. Sangat mencurigakan.

"Shun, aku ingin berbicara padamu sebentar saja. Ada sesuatu yang harus aku beritahu kepadamu. " Eyeshield berkata lembut, berjalan mendekat kearah Kakei yang hanya melihatnya dengan tampang yang tidak bisa dibaca.

'Lagi-lagi seenaknya memanggilku dengan surname-ku.' Di dalam, ia seperti memutar bola matanya sambil menghela napas. Sedangkan diluar, ia tetap memandang Eyeshield. Sesekali berkedip.

"Sure." Kakei menjawab pendek dengan nada datar dan dingin, seperti biasanya. Ia tidak melangkah kebelakang atau mengelak ke arah berlawanan ketika Ace runner SMU itu memberi jarak antar mereka mungkin hanya sekitar sepertiga meter. Sebenarnya bagi Kakei ini mengganggu, karena ia tidak terbiasa dengan kedekatan seperti entah mengapa, ketika matanya telah memandang perisai hijau yang menutupi lelaki hebat itu, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Semakin orang itu mendekat, semakin tenggelam ia ke dalam warna hijau terang shield orang itu. Dan ia mendapati wajahnya sedikit terangkat ketika ia bersikeras untuk tetap memandang shield itu, yang kini berdiri sangat dekat dengan dirinya (eyeshield memang lebih tinggi darinya. Tidak terlalu begitu mengejutkan).

"Shun, " Eyeshield menyebut namanya lagi, sangat halus dan terkesan romantis. Kakei di bagian ini sudah memicingkan mata kearah lelaki itu. Tapi sepertinya lelaki itu tidak peduli. Apalagi setelah itu, ia mencoba memindahkan beberapa helai rambut biru yang menutupi mata berlian ketika angin menerpa diantaranya. Nah, di bagian ini, Kakei baru terlihat..marah(?). Ia melangkahkan kakinya kebelakang, menambah jarak antara mereka berdua.

"Look, jika ini tentang kemarin, aku minta maaf atas kecerobohanku. Jika kau masih keberatan, aku tidak apa-apa kau usir dari sini." Murid SMP Phoenix itu berkata tegas, memberikan Eyeshield tatapan death glare nya. Genggaman pada tasnya semakin erat. Entah karena emosi atau nervous tentang sentuhan Eyeshield tadi.

Eyeshield tidak berkata apa-apa. Tapi langkahnya, yang mencoba mengurangi jarak mereka lagi, menandakan ia akan berbicara sesuatu. Sesuatu yang serius karena ia tampaknya butuh jarak yang sekecil-kecilnya.

"Shun, Aku menyukaimu."

Sepasang mata biru itu terbelalak begitu mendengar kalimat dari Eyeshield. Mulutnya terbuka beberapa saat, sebelum tertutup lagi. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Matanya pun sudah tidak terkonsentrasi lagi pada satu titik, seperti sedang mencari objek lain di setiap dua detik.

Mendapati lawan bicaranya tidak merespon dengan kata-kata apapun, ia pun memberanikan diri untuk melanjutkan pengakuannya pada murid SMP dihadapannya itu.

"Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi aku telah tertarik padamu sejak pertama kali kau berkunjung kesini. Dan setiap kali aku melihatmu pada saat tim-ku berlatih, aku tidak bisa melawan rasa sukaku kepadamu yang terus tumbuh. Meski aku tidak pernah mengenalmu, tapi aku tahu ada dirimu yang sesungguhnya di balik perisai sikap dinginmu itu. Dirimu yang sebenarnya. Yang bisa merasakan kehangatan di hati walau membeku di bagian luar. Aku tidak menyangkalmu tentang sikapmu itu. Sejujurnya, itu sedikit menyebalkan. Tapi, di bagianku yang lainnya, aku menemukan itu sangat cocok denganmu. Lagipula, kau sangat imut jika sedang begitu." Di bagian akhir, Eyeshield tertawa pelan. Kakei terdiam, terkejut dengan setiap kalimat yang terlontar dari mulut runner cepat itu. Wajahnya ia buat untuk tetap pada eskpresi yang sama, yang susah dibaca. Sebelum ia akhirnya menjawab,

"Bullsick!" Katanya, setengah mengumpat. "Kau hanya mau mempermainkanku. Itulah yang selalu dilakukan murid SMA."

Eyeshield tercengang. "Apa? tidak.. tidak. Aku bersungguh-sungguh! Aku tidak mempermainkanmu!"

"Hha, itulah yang selalu dikatakan oleh mereka." Kata anak SMP bermata biru itu dengan nada mengejek. Wajahnya telah beralih ke samping, tidak membiarkan Eyeshield melihat matanya lagi. Kedua tangannya terlipat di dada secara rapi. "Jangan kau kira, dengan ketenaranmu itu, kau bisa mempermainkan orang lain semaumu!"

Eyeshield terdiam mendengar cercaan murid SMP di depannya. Kakei pun juga terdiam, sesekali mendengus sebal. Atlet football itu menghela napas pelan, mengerti bahwa ini memang tak akan mudah untuknya meyakinkan seseorang tentang perasaannya. Ia menatap langit sesaat, seakan ingin merasakan dengan jelas rabaan hembusan angin di dirinya, kemudian mengembalikannya pada pemuda berambut biru itu. "Aku tidak memaksamu untuk menyukaiku balik. Aku hanya ingin kau tahu tentang perasaanku kepadamu saja. " Eyeshield tersenyum kecil dibalik helmet yang masih ia kenakan. Ia memberanikan diri untuk mengelus pipi lelaki dihadapannya itu.

Sentuhan Eyeshield memaksakan Kakei untuk mengembalikan matanya menatap perisai hijau yang dipakai orang itu. Sepasang mata biru mencoba mengungkap wajah ace runner itu dari suasana hijau yang menutupi wajahnya. Mata birunya semakin gelap akan amarah, setiap saat ia merasakan gesekan halus di pipinya. Tapi ia tidak mengelak.

"Shun, I'm falling for you." Eyeshield berbisik halus, mengganti caranya mengelus pipi anak remaja itu. Yang tadi menggunakan bagian belakang jari-jarinya, kini hanya memakai permukaan ibu jarinya dengan jari-jari yang lain bertempat di dekat telinga.

"Terserah kau mau ngomong apa..."Kakei berkata pelan penuh dengan tekanan, tapi terdengar berbahaya. "Tapi kupikir kau tak perlu menyentuhku seperti ini." Lanjutnya sambil menepis tangan Eyeshield . Eyeshield menyerah, mengembalikan tangannya ke dirinya sendiri.

"Shun-"

"Aku harus pulang, Eyeshield. Sampai ketemu lagi." Kakei berkata cepat, memotong Eyeshield yang tadi hendak memanggil namanya. Eyeshield hanya bisa berdiri pasrah menatap sosok pemilik rambut dan mata biru itu, hingga pada akhirnya menghilang setelah keluar dari gerbang. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Kakei tadi tidak menyangkal tapi juga tidak bisa dibilang setuju. Hal itu membuatnya bingung, sehingga ia mengambil kesimpulan, ia hanya merasa khawatir. Mengacuhkan perasaan sedih yang terukir di hatinya ketika saat tadi, pujaan hatinya mengira ia hanya mempermainkannya.

'Mungkin aku memang terlalu naif. '

'Mungkin ia memang tidak menyukaiku.'

'Mungkin aku terlalu memaksakannya.'

'Mungkin ia malah akan membenciku setelah ini.'

'Dan mungkin aku... mungkin aku harus mencoba melupakannya. Jika ia datang lagi besok, aku harus menganggap ia tidak ada.'

'Ya..ini demi kebaikan ku dan dia..'


TBC

A/N (final) : Apa-apaan ini? Fic bejat nan nista di post kan di fandom keren seperti ini.

Gomen, mohon salahkan Aru. Bukan saya. -_-