Di suatu zaman, pada masa sebelum masa, terdapat sebuah kisah tentang jatuhnya para malaikat yang diusir oleh Tuhan dikarenakan berpaling, atau berniat menyaingi Tuhannya sendiri. Mereka dilempar ke danau dunia sebagai hukuman atas perbuatannya pada masa sebelum masa. Mereka disebut para Archon, Dark Angel atau yang disebut manusia sebagai The Fallen Angel.
Namun kisah kali ini bukan menceritakan tentang mereka. Ini adalah kisah tentang Sasuke Uchiha. Seorang pemuda yang merupakan perwujudan dari setengah malaikat dan setengah manusia.
Pada suatu malam, tepat saat dirinya telah menginjak tanda-tanda kedewasaan, Sasuke bermimpi. Mimpi yang terasa bagai kenyataan. Mimpi yang bukan hanya sekadar penghias tidurnya.
Seberkas cahaya terang yang menyilaukan mata mendatanginya dan berbicara padanya. Suaranya yang terdengar tegas, bijaksana, juga sangat menentramkan hati itu memberinya perintah untuk membantu mencabut nyawa manusia yang telah menemui akhirnya. Manusia-manusia yang tergolong sebagai manusia yang diberkati karena semasa hidupnya lebih banyak menjalankan dan menaati perintah-Nya.
Saat Sasuke terbangun, terdapat sepasang sayap putih yang membentang di punggungnya. Di detik itu juga Sasuke langsung bersujud dan mulai menerima takdir yang digariskan untuknya.
Naruto selamanya milik Bapak Masashi Kishimoto. Ini hanyalah imajinasi liar penulis, tidak ada sangkut paut dengan hal lain.
For all S-Saver, Happy reading ^^
Ruangan itu terlampau sunyi, dan memang seperti itulah seharusnya. Kebisingan tidak diperbolehkan ada di perpustakaan sekolah. Tempat itu harus tenang. Dan ketenangan adalah hal yang Sasuke sukai. Ia habiskan seluruh waktu istirahatnya di tempat ini dengan membaca banyak buku yang menceritakan tentang banyak hal yang tidak diketahuinya.
Mata hitam—mata manusianya—menatap ke deretan buku-buku, mencari judul yang sekiranya menarik untuk dibaca. Lalu pilihannya jatuh pada sebuah buku tebal berwarna biru gelap dengan judulnya yang tertulis oleh tinta kuning. Sasuke berniat menariknya dari deretan. Namun ketika tangannya baru meraih buku tersebut, ada tangan lain yang juga menyentuh buku itu dan tanpa sengaja ikut menyentuh tangan Sasuke. Sasuke menarik tangannya secepat mungkin. Begitu pun dengan tangan putih yang berukuran lebih kecil darinya.
"Ah, maaf," ucap pemilik tangan putih itu. "Sepertinya memang kau yang lebih dulu memegangnya."
Sejenak mereka berpandangan, tetapi kemudian Sasuke mengalihkan tatapnya dari mata indah di depannya.
"Ambil saja. Aku akan cari yang lain."
Buru-buru Sasuke berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan murid perempuan bermata hijau itu. Dari awal Sasuke memang meminimalisir berinteraksi dengan manusia. Namun anehnya, baru kali ini Sasuke merasakan adanya sengatan ketika tangan mereka bersentuhan.
Sengatan itu membuat sesuatu dalam dirinya merasa tak nyaman. Entah dikategorikan baik atau buruk. Yang pasti Sasuke tidak bisa berpikiran jernih sekarang. Karenanya Sasuke memutuskan untuk pergi, tidak lagi mencari buku seperti yang dikatakannya tadi.
...
Mungkin bagi sebagian orang—atau mungkin hampir semua orang—langit biru di atas kepala mereka hanya dihiasi oleh awan putih yang bergerak lambat dan tenang ditambah dengan kilauan sinar matahari yang menghangatkan. Sungguh sempurna. Tetapi bagi seseorang seperti Sasuke, di matanya langit tampak tidak sama. Di atas sana para malaikat sibuk menjalankan tugas mereka.
Tidak hanya malaikat yang memiliki sayap putih seperti dirinya. Tetapi juga malaikat bersayap hitam, pekat sekelam malam. Tugas mereka sama. Pembedanya terletak pada manusianya. Malaikat bersayap hitam bertugas mencabut nyawa manusia yang selama hidupnya lebih banyak menjalankan larangan Tuhan.
Sasuke yang tengah duduk di taman kota menyaksikan anak-anak kecil sibuk bermain, tiba-tiba mendapatkan perintah. Matanya lantas berubah merah. Sasuke pun memejam. Sebuah bayangan terputar di benaknya, tampak begitu nyata layaknya sebuah film yang sedang memutar cerita. Bayangan itu menayangkan sosok seorang wanita tua dengan cara kematian datang padanya. Dan menjadi tugas Sasuke mengambil nyawa wanita tersebut.
Saat Sasuke membuka mata, tubuhnya mulai berpendar, dikerumuni cahaya indah yang seakan menggerogotinya. Sayap putihnya menyusul muncul hingga akhirnya ia melesap. Dan selama proses perubahan itu sampai menjadi sosok malaikat seutuhnya, mata manusia tidak mampu melihatnya.
Sasuke terbang, melesat cepat. Setiba di lokasi dalam vision-nya, wanita itu sudah tergeletak tanpa daya. Sasuke berjalan mendekat, berjongkok di sampingnya, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan sehingga mulut wanita itu terbuka.
Dengan wajah yang berjarak sejengkal tangan Sasuke mulai mengambil napas wanita itu melalui mulut yang sama-sama terbuka. Menyedot habis seluruh napas kehidupannya yang dulu didapatkan para manusia ketika berada di dalam kandungan. Setelah napasnya tak lagi bersisa, Sasuke pun mengucap doa.
Doa pengiring sekaligus pertanda bahwa tugasnya telah selesai dilaksanakan.
...
Siang itu Sasuke tengah larut oleh cerita yang sedang dibacanya. Mata hitamnya begitu fokus, tidak terlihat mengantuk ataupun kelelahan. Padahal ia menjalankan tugas sampai pukul enam pagi tadi. Sebagai makhluk setengah manusia dan malaikat, Sasuke memang tidak pernah merasakan hal tersebut. Termasuk juga kelaparan dan kehausan. Sasuke bahkan tidak pernah benar-benar tidur. Tidur terakhirnya terjadi saat ia mendapatkan titah, dan sejak itu semua pada dirinya pun ikut berubah.
"Permisi."
Sebuah suara menyadarkan Sasuke. Matanya menangkap sesosok murid berdiri di depannya. Perlahan ia mendongak hingga figur itu tampak jelas. Sontak ada hentakan keras pada jantungnya saat mata mereka bertemu pandang.
"Ini. Aku sudah selesai membacanya. Kupikir lebih baik kuserahkan padamu agar buku ini tidak terpinjam oleh murid lain."
Buku biru tebal yang baru diletakkan di atas meja kini terdorong dan berhenti tepat di depan buku yang tengah Sasuke baca. Sasuke menatap sebentar buku yang beberapa hari lalu telah mempertemukannya dengan siswi berambut merah muda. Satu-satunya manusia yang mampu membuat darah dalam tubuh Sasuke tiba-tiba bergejolak. Apalagi perempuan itu kini tersenyum manis sehingga wajahnya terlihat bagai keindahan langit senja yang selalu berhasil memikat Sasuke.
Cantik.
Cantik sekali.
"Aku, Sakura Haruno."
Tangan mungil yang dulu menghantarkan sengat kini terulur, mengajak Sasuke berkenalan. Ada kebimbangan yang mengusik batin Sasuke, antara ingin dan tak ingin menyentuh tangan itu. Namun pada akhirnya Sasuke memilih untuk tidak menjabat tangan putih milik Sakura.
"Sasuke Uchiha," ucapnya, berusaha terdengar begitu dingin.
Telapak tangan Sakura terkepal sebelum ditarik ke samping tubuhnya.
"Terima kasih sudah membolehkanku membacanya terlebih dulu," kata Sakura kemudian. Meski senyum manisnya masih tersungging, tetapi dia terlihat tidak nyaman. Dan entah bagaimana, hal itu sukses membuat Sasuke merasa tercubit.
Sasuke mengangguk sekali, lalu keheningan ada di antara mereka. Menjadi teman dalam beberapa puluh detik sampai akhirnya Sakura mengucap pamit padanya.
"Kalau begitu sampai nanti, Sasuke."
Sasuke tidak membalas. Ia hanya diam sambil terus menatap lekat kepergian punggung Sakura. Sampai ketika punggung perempuan itu tidak lagi tampak, tanpa sadar Sasuke mengembuskan napas lega. Disandarkan punggungnya yang semula tegak, kemudian satu tangannya mencengkeram erat seragamnya tepat di bagian dada.
Ada debar yang tidak dapat Sasuke definisikan. Detak yang menggebu. Rasanya amat menggelora, yang ikut memotivasi Sasuke untuk menyentuh, membelai, mengecap dan merasakan gadis itu. Perbincangan singkatnya dengan Sakura pun terasa amat menyiksa. Sasuke sampai mati-matian menahan gairahnya. Bahkan uluran tangan Sakura tampak seperti godaan besar, karena itulah Sasuke enggan membalasnya. Ia takut kehilangan kendali.
Sasuke yakin, tidak pernah ia merasakan gairah semacam ini, yang anehnya hanya dirasakan pada sosok perempuan tadi. Sampai detik ini Sasuke tidak mengerti apa yang tengah ia alami. Seingat dan setahunya, Sasuke tidak memiliki hawa nafsu layaknya manusia. Tapi tadi, ketika berhadapan dengan Sakura, mengapa semua menjadi berbeda?
Sengatan saat mereka bersentuhan dulu. Apakah itu merupakan suatu pertanda?
Sakura Haruno ... siapa dia?
...
Seminggu lebih dua hari Sasuke diam-diam memperhatikan gadis itu. Mencari tahu seluk-beluknya. Namun kesimpulan yang didapat tetap sama. Sakura Haruno hanyalah seorang manusia biasa.
Sakura tinggal berdua saja dengan ayahnya yang seorang polisi patroli. Ibunya meninggal sewaktu Sakura masih kecil. Sang ayah yang jarang pulang karena tugas, menjadikan putri tunggalnya terbiasa akan kesendirian sehingga waktu luang Sakura di rumah banyak dihabiskan dengan membaca buku.
Itulah kesamaan yang Sasuke temukan antara dirinya dan Sakura, satu-satunya. Menghabiskan waktu tenggelam bersama buku. Tetapi sebatas itu saja karena Sakura tetap bersosialisasi bahkan memiliki beberapa sahabat dekat, yang semuanya itu tidak Sasuke lakukan.
Lalu apa sebenarnya yang membuat Sakura terasa berbeda?
Belum selesai menemukan jawabannya, tiba-tiba Sakura berdiri di samping Sasuke. Wanita itu menyapa dengan suaranya yang riang.
"Hai."
Sasuke hanya menoleh sebentar lalu kembali menatap deretan buku di depannya. Sikapnya memang terlihat sangat tenang, tapi tidak dengan jantungnya yang berdebar hebat.
"Kau sudah selesai membaca bukunya?" tanya Sakura. Kini gadis itu ikut memosisikan dirinya seperti Sasuke. Berdiri menghadap ke rak buku.
Sasuke mengangguk. Namun karena tahu Sakura sedang tidak menatap padanya Sasuke terpaksa—atau sebenarnya tidak—mengeluarkan suaranya.
"Sudah." Sasuke menjawab datar.
Sudut bibir Sakura tertarik naik, yang tertangkap dari ekor mata Sasuke. Perempuan di sampingnya tersenyum.
"Aku jarang menemukan orang yang suka membaca buku semacam itu, apalagi laki-laki." Tidak ada satu detik berlalu, Sakura langsung menoleh. "Eh, maksudku bukan dalam artian tidak bagus lho. Bagus. Hanya jarang saja. Tidak biasanya."
Sasuke balas menatap Sakura. Menikmati raut kegugupan yang baru kali ini diperlihatkan oleh gadis itu.
"Kau tidak marah, kan?" Sakura bertanya lagi, kali ini dibarengi dengan menggigit bibir, menunggu jawaban Sasuke.
Setelah detik ke sepuluh Sasuke bergelut dengan batinnya sendiri, tentang perasaan yang Sakura sebut marah, Sasuke kemudian menjawab, "Aku tidak marah."
Seraut senyum senang terbit di wajah Sakura. Senyuman yang entah bagaimana mampu membuat sesuatu di dalam diri Sasuke terasa begitu menyenangkan hanya karena melihatnya.
"Ah, buku ini juga bagus." Buku yang sebelumnya ditunjuk Sakura kini terbebas dari deretan. "Sudah pernah baca?"
Sasuke menatap sesaat buku pilihan Sakura, sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Ia sendiri tidak mengerti mengapa memilih untuk berbohong. Buku itu sudah dua kali Sasuke baca, atau mungkin lebih. Entahlah. Sasuke bahkan tidak ingat sudah berapa banyak ia telah membacanya, yang pasti Sasuke masih bisa mengingat jelas isi buku tersebut.
"Kalau begitu aku merekomendasikan buku ini. Ceritanya benar-benar bagus." Sakura menyodorkan buku bersampul cokelat itu pada Sasuke. Namun Sasuke hanya bergeming.
Tanpa aba-aba Sakura kemudian meraih tangan Sasuke dan meletakkan buku itu di telapak tangannya. "Baca saja dulu. Aku yakin kau pasti suka ceritanya."
Telapak lembut Sakura membungkus erat tangannya. Untuk pertama kalinya Sasuke sengaja membiarkan sampai beberapa saat agar ia dapat merasakan lagi sengatan yang ternyata menghantarkan rasa nikmat. Baru setelahnya, Sasuke menarik tangannya hingga rasa itu melenyap seiring genggaman mereka terlepas.
Gadis merah muda itu sedikit terlonjak. Samar-samar Sasuke menemukan rona merah di wajahnya. Dan menurutnya, Sakura terlihat bekali-kali lipat lebih cantik karena hiasan warna merah tersebut.
"Kalau begitu aku pergi dulu. Selamat membaca, Sasuke." Sakura sedikit menunduk, sepertinya berusaha menutupi wajah gugupnya, yang ternyata juga menyenangkan untuk Sasuke lihat.
Gadis itu kemudian pergi. Dan Sasuke kembali memandangi kepergian punggung Sakura hingga lenyap. Namun kali ini Sasuke tanpa sadar menaikkan kedua sudut bibirnya. Bahkan ia masih menyimpulkan senyum tipis ketika menatap buku di genggaman. Sentuhan Sakura masih terasa di tangan. Menembus sampai ke lapisan kulit terdalam.
Sejak kejadian itu, memperhatikan Sakura diam-diam menjadi kegiatan yang Sasuke sukai. Bahkan saat gadis itu tidak ada, pikiran Sasuke masih setia membayangkannya. Terkadang di sela-sela kegiatannya menjalankan tugas. Entah bagaimana, tahu-tahu Sasuke sudah berdiri di depan rumah gadis itu.
Awalnya memang terjadi tanpa sadar. Tapi selanjutnya kemunculannya terjadi atas kemauannya sendiri. Dari balik jendela Sasuke terbiasa memperhatikan Sakura. Mulai dari memasak. Mengerjakan tugas di meja belajarnya. Membaca buku di atas tempat tidur sampai-sampai terkadang gadis itu jatuh tertidur. Dan semua hal itu dapat menciptakan garis senyum tipis di wajah Sasuke.
Sampai sekarang Sasuke masih tidak mengerti mengapa dirinya bisa menjadi sebegini parah. Menikmati pemandangan gadis merah muda itu seakan hal itu adalah suatu kebutuhan hidup. Perasaan ini memang tidak Sasuke kenali. Tapi Sasuke harus mengakui kalau ia menyukai perasaan aneh ini.
Dari buku yang pernah dibacanya, tanda-tanda yang tengah Sasuke alami merajuk pada sebuah perasaan yang manusia sebut dengan perasaan cinta. Jatuh cinta. Perasaan agung yang Tuhan anugerahkan pada manusia. Apakah kini Sasuke tengah merasakannya?
Benarkah Sasuke jatuh cinta pada Sakura?
...
Sore itu Sasuke tidak menghabiskan waktunya dengan duduk di taman kota seperti biasa. Sengaja Sasuke mendatangi salah satu toko buku. Mencari buku-buku yang diharapkan dapat menjelaskan lebih rinci tentang perasaan yang tengah melandanya.
Apakah boleh makhluk sepertinya mencinta?
Sasuke ingin memastikan. Apakah perasaan yang ia miliki sekarang ini boleh dipertahankan? Ataukah perasaan semacam ini hanyalah godaan? Karena ia tidak ingin menjadi pendosa.
Mata hitam manusianya, yang sedang membaca judul-judul buku, seketika menoleh cepat. Ia menemukan warna yang sangat dikenalinya melangkah masuk ke dalam toko. Posisi mereka membentuk garis lurus sehingga pandangan mereka pun bertemu.
Gadis berambut merah itu sempat terkejut. Namun ekspresinya segera berganti menjadi lengkungan manis di bibirnya. Sakura meneruskan langkah kakinya yang sempat terhenti, menghampiri Sasuke yang masih bergeming. Terbius oleh senyuman manis Sakura yang masuk ke dalam daftar favoritnya.
"Hai, tak kusangka kita bertemu di sini." Sakura menyapa lengkap dengan senyuman. "Ini toko buku langgananku karena dekat dengan rumah. Apa rumahmu juga dekat sini?"
"Tidak." Sasuke menjawab cepat. "Hanya kebetulan lewat saja."
"Oh, begitu." Jemari tangan Sakura membawa beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. Gadis di depannya gugup. Dan Sasuke suka itu.
"Oh, iya. Apa kau sudah selesai membaca buku yang aku rekomendasikan?"
Sasuke hanya menjawab dengan anggukkan kepala. Satu kali.
"Bagaimana? Kau suka, kan?" tanya Sakura antusias. Matanya berbinar-binar. Mengingatkan Sasuke pada binar bintang di langit malam. Begitu indah. Sama seperti binar mata di depannya.
"Tentu. Aku suka," jawab Sasuke, yang tanpa sadar menatap lekat manik hijau Sakura.
"Sudah kuduga!" Sakura menepuk kedua telapak tangannya. "Sepertinya kita punya selera yang sama. Kalau begitu akan kurekomendasikan buku-buku bagus. Aku juga bisa meminjamkan koleksi bukuku—"
"Kenapa kau repot-repot melakukannya untukku?" Sasuke melontarkan begitu saja satu pertanyaan yang selama ini tidak pernah bisa Sasuke temukan jawabannya.
Sakura yang semula terkejut perlahan memasang senyum. "Melihatmu, itu seperti melhat diriku yang dulu. Aku memang tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi ... kau tidak sendirian. Buku memang sangat indah, tapi dunia jauh lebih indah dari yang buku bisa ceritakan. Aku yakin suatu hari akan ada orang yang bisa mengerti dirimu. Kau hanya perlu menemukannya."
Keheningan kemudian menyapa mereka. Ada kebisuan dan tatapan mata yang sama-sama mereka pertahankan. Merasa mungkin karena perkatannya barusan membuat suasana di antara mereka berubah canggung. Sakura kembali bicara, "Hhm ... itupun kalau kau tidak keberatan."
Keraguan kini tampak jelas di wajahnya. Gadis itu pun mengigit bibir. Dan Sasuke paham, Sakura kembali gugup.
"Bukannya aku yang seharusnya mengatakan itu. Kau keberatan?"
"Tentu saja tidak!" Antusias Sakura kembali terdengar. Namun sekilas kemudian Sakura terdiam. Matanya terpaku menatap Sasuke. Buru-buru ia menunduk, pipinya terlihat merah. Tapi kenapa? Apa salah jika Sasuke tersenyum?
Sakura berdeham sebelum bicara lagi. "Besok akan kubawakan. Kau mau bertemu di perpustakaan atau aku datang ke kelasmu?"
"Kau tahu kelasku?"
"A-aku tidak menguntitmu." Sakura mengoyangkan telapak tangannya. Suaranya terdengar panik. "Kebetulan saja waktu itu aku sempat melihatmu masuk ke dalam kelas. Iya, begitu." Dia terkekeh sebentar. "Kau tahu, ternyata kelas kita hanya dipisah oleh dua ruang kelas lain."
Tak lama gadis itu pun menghela napas. "Maaf kalau itu membuatmu jadi tak nyaman."
Sakura kemudian mengarah pandangnya ke bawah. Satu kakinya bergerak menggosok lantai. Sasuke yakin kalau gadis itu tengah merasa bersalah karena menguntitnya. Rasa-rasanya Sasuke ingin tertawa mengingat ia yang seharusnya meminta maaf. Bukankah penguntit sebenarnya adalah dirinya.
"Di perpustakaan saja," ucap Sasuke, yang lebih dulu menyamarkan suara tawanya dengan dengusan pelan. Namun kepala merah muda di depannya justru makin tertunduk lesu, karena itu Sasuke buru-buru menambahkan. "Bukan apa-apa. Aku memang lebih suka berada di sana."
Sakura memang mengangkat wajahnya. Namun mata hijau itu hanya menatapnya sekilas saja. Bahkan gadis itu tidak juga bicara. Semua itu membuat Sasuke berpikir kalau masih ada sesuatu yang salah. Mungkinkah Sasuke melakukan kesalahan, atau perempuan itu masih merasa bersalah?
"Aku tidak marah." Sasuke berujar, merasa yakin kalau asumsinya yang kedua lebih tepat. Lagi pula hanya kalimat itu yang Sasuke tahu bisa menghapus perasaan bersalah. Dan benar yang diperkirakannya, Sakura memperlihatkan lagi mata hijaunya yang indah.
"Baiklah. Besok. Jam istirahat."
Sasuke hanya mengangguk, mengiyakan. Setelahnya Sakura pun berpamitan. Dan Sasuke melega karena senyuman manisnya telah kembali. Sasuke juga melakukannya, menatap kepergian punggung gadis itu dengan senyuman tipis di wajah. Ia tidak bisa menutupinya. Pertemuan kali ini semakin menguatkan asumsinya tentang perasaannya.
Hatinya terasa menghangat mengingat ucapan Sakura yang tersirat kekhawatiran dan berisi penuh perhatian. Baru kali ini Sasuke mendapatkannya, dan hatinya berdesir.
Tiba-tiba saja matanya berubah merah. Lantas Sasuke memejam. Melihat gambaran tugas yang diberikan padanya. Hatinya yang semula berdesir kini berdenyut sakit. Kedua tangannya mengepal saat gambaran kematian datang pada sosok itu. Vision-nya kali ini menusuk jantungnya dalam, mengoyaknya tajam.
Sasuke bahkan tak mampu menahan setetes air mata yang jatuh begitu saja saat akhirnya ajal menjemput sosok itu.
Mata Sasuke terbuka—menampakkan mata merah penuh luka—diikuti perubahan pada tubuhnya sampai berpendar sempurna. Selama berlangsungnya momen itu, Sasuke dihantam kebimbangan yang luar biasa. Tubuhnya kaku seolah menolak bergerak. Tugasnya kali ini sangatlah berat. Tetapi Sasuke tahu, ia tidak bisa melarikan diri.
Sayap putihnya kemudian mengepak, membawanya pergi meski sebenarnya ia tak ingin. Ada sesak yang terasa. Dan bukan karena desakan udara yang menerjangnya. Toh, selama ini pun Sasuke baik-baik saja. Ia tahu, sangat tahu, kalau sesak ini berasal dari hatinya.
Di bawah sana sosok Sakura tertangkap mata. Gadis itu berdiri menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Dari vision-nya Sakura akan tertabrak kendaraan yang tidak bisa menahan laju kecepatannya. Sebuah truk pengangkut buah yang terlambat menginjak rem beberapa detik dari perubahan warna pada lampu lalu lintas.
Sakura tiba-iba mendongak, menatap langit. Dan tatapannya secara tak langsung mengarah pada Sasuke. Ingatan-ingatan kini mempermainkannya.
"Besok akan kubawakan. Kau mau bertemu di perpustakaan atau aku datang ke kelasmu?"
Sasuke memejam. Besok mereka sudah membuat janji. Seandainya Sakura tahu kalau beberapa menit lagi kematian datang menjemputnya, apakah dia tetap berjanji pada Sasuke? Apakah gadis itu tetap mau melakukannya untuk Sasuke?
"Besok. Jam istirahat."
Besok ... dia pasti tidak datang. Besok ... Sakura tidak ada. Sasuke meremas rambutnya kuat-kuat. Kata tidak ada terus terngiang di kepalanya.
"Kau tidak sendirian. Aku yakin, suatu hari akan ada orang yang bisa mengerti dirimu. Kau hanya perlu menemukannya."
Sasuke menggeleng. Ia berteriak keras karena kini hatinya memberat. Sasuke tahu, ia sudah menemukannya. Seseorang yang mengerti dirinya. Namun sekarang ia harus mengambil nyawa orang itu. Tidak. Tidak bisa. Sasuke tidak bisa menerima tugas kali ini.
Bisakah ... kali ini saja ... ia menolak melaksanakan tugasnya?
Lampu lalu lintas baru saja berganti. Sakura mengakhiri kegiatannya menatap langit. Ia tersenyum sambil melangkah maju.
Senyum itu, senyum yang Sasuke sukai, apakah bisa lagi ia temukan selain pada Sakura? Bisakah Sasuke mendapatkan semua perasaan yang tumbuh selain dengan Sakura?
Di ujung sana, truk pengantar buah dengan pengemudinya yang setengah mengantuk baru menyadari perubahan warna lalu lintas. Rem diinjak. Tapi terlambat. Jarak terlampau pendek. Dan gadis merah muda itu tidak menyadari.
Semua sama seperti vision-nya.
Pergerakkan kejadian itu terproses lambat di mata Sasuke seiring dengan keputusan yang harus Sasuke ambil. Hatinya bimbang.
Menjalankan tugasnya ataukah menjadikan dirinya seorang pendosa?
Hingga ...
Suara klakson kendaraan berbunyi nyaring. Memekak telinga. Lalu suara benturan keras terdengar. Tubuh jatuh menimpa aspal hitam. Orang-orang di sekitar mulai berdatangan bagai lebah yang menemukan madunya.
"Nona! Nona! Cepat panggil ambulan!"
Sasuke pun memanjatkan doa di samping tubuh yang tergeletak itu.
.
.
.
Malam itu Sasuke tidak lagi memperhatikan Sakura dari balik jendela seperti yang biasa dilakukannya. Ia berdiri di samping tempat tidur Sakura. Tangan pendarnya menyentuh luka di keningnya yang tertutup plester. Mata merahnya meredup.
Hari ini Sasuke telah melanggar perintah. Seharusnya Sakura sudah tidak ada lagi di dunia. Namun akhirnya Sasuke memutuskan untuk menghentikan ajal. Membelokkan arah kendaraan—membelokkan arah takdir—yang Sasuke tahu hal itu adalah sebuah dosa besar. Dan setiap perbuatan dosa memiliki hukuman yang setimpal. Hukuman untuk para pendosa.
"Maafkan aku."
Sasuke tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya. Sasuke bahkan tidak tahu apakah yang ia lakukan sekarang itu benar atau tidak? Apakah keputusannya untuk menyelamatkan Sakura adalah keputusan yang tepat? Untuknya, dan untuk Sakura sendiri.
Hanya saja yang Sasuke tahu, dan ia yakini, bahwa Sasuke tidak bisa menyaksikan vision-nya berubah menjadi kenyataan. Ia tidak bisa. Sasuke tidak mampu melaksanakan tugasnya pada Sakura.
Dan untuk itu, Sasuke tidak menyesal melakukannya.
...
"Hai, Sasuke." Suara sapaan itu menyadarkan si pemilik nama. Tubuhnya berbalik dan menemukan Sakura dengan dua buku tebal berada dalam dekapannya.
Sakura datang menepati janjinya.
"Ini. Kuharap kau juga menyukai ceritanya."
Sasuke diam, tidak juga menerima dua buku tebal yang disodorkan oleh Sakura. Pandangannya masih setia mengarah pada wajah gadis itu. Tanpa sadar Sasuke mengangkat tangan. Menyentuh luka di kening Sakura.
"Kau baik-baik saja?"
Tubuh Sakura menegang karena perlakuan Sasuke yang begitu tiba-tiba. Namun Sakura tidak menghindarinya. Gugup itu tidak tampak, malah hijau matanya berani menatap langsung mata Sasuke. Mereka menikmati debar yang sama-sama dirasakan. Menikmati keindahan wajah yang tertimpa siraman sinar matahari yang menembus kaca di samping mereka, yang kehangatannya ternyata sampai menebus hati keduanya.
Sentuhan Sasuke tidak berhenti. Jari-jarinya terus turun membelai sisi wajah Sakura. Menapaki sedikit kemerahan sisa memar akibat kasar aspal, kemudian berhenti di sudut bibirnya. Dielusnya bekas luka kecil yang bersarang di sana.
Dua pasang mata itu masih berpandangan. Perlahan embusan napas terasa saling menerpa wajah, pertanda keduanya mengikis jarak. Seperti sebuah magnet yang saling menarik satu sama lain, mereka pun bergerak mendekat.
Keheningan di sekitar bagaikan gas pembius. Rak-rak yang berdiri kokoh seakan bertugas menutupi mereka, melindungi dari sekeliling. Lagi pula murid yang lainnya terlalu larut pada buku yang mereka baca. Tidak ada yang menghalangi mereka untuk membunuh jarak yang tercipta. Bahkan jari-jari Sasuke sudah menangkup sisi wajah Sakura. Membimbing wajah itu untuk mendekat padanya.
Namun suara nyaring dari speaker hitam yang terdapat di sudut-sudut ruangan menghentikan mereka seketika. Mata yang semula terpejam kembali terbuka, diikuti helaan napas gusar dari Sasuke. Mau tak mau tubuh yang sedetik lalu berubah kaku kini mulai bergerak mundur. Sasuke pun melepaskan wajah Sakura.
Sakura sendiri mengigit bibir. Memperlihatkan kegugupannya dengan kentara. Ia menunduk malu. Menyembunyikan rona merah pada wajahnya. Degup jantungnya semakin menggila.
"Bel sudah berbunyi. A-aku harus kembali. Sampai jumpa, Sasuke."
Sakura langsung berbalik. Tidak mengembangkan senyuman seperti biasa. Ia terlalu gugup. Terlalu malu mengarahkan pandangannya pada wajah Sasuke. Bahkan Sakura mendekap erat dua buku tebal dalam pelukannya sebagai upaya untuk menahan rasa malunya.
Tapi … Buku?
Langkah Sakura terhenti. Ditatapnya dua buku tebal dalam pelukan. Sakura ingat tujuannya tadi adalah meminjamkan buku itu pada Sasuke. Seketika Sakura memukulkan buku itu ke dahinya. Sasuke bahkan belum mengambil bukunya dan Sakura malah pergi membawanya kembali. Sebut saja dirinya bodoh sekarang. Tapi bagaimana ia tidak bertindah bodoh dan ceroboh karena—ah, sudahlah. Sakura tidak ingin mengingat kejadian tadi dulu. Meskipun Sakura tahu kalau ia pasti tidak akan mungkin bisa lupa. Setidaknya sekarang Sakura harus buru-buru memberikan buku ini pada Sasuke.
Sakura mengambil langkah cepat dan berharap Sasuke belum beranjak pergi. Berharap Sasuke masih berdiri di sana. Di sudut ruang perpusatakan yang sangat disukainya. Tapi, apa itu ...?
"Sa ... Sasuke?"
Pemilik nama itu berbalik. Matanya yang terpejam terpaksa terbuka karena mendengar suara yang ia kenali memanggilnya. Suara lirih yang teredam oleh bunyi keras dari buku yang jatuh terlepas dari dekapannya.
Mata hijau itu terbelalak sempurna, mengarah tepat padanya.
"Sakura?" Sasuke menatap tak percaya. "kau bisa melihatku?"
Seiring dengan pertanyaan yang Sasuke ajukan, tubuhnya kini berpendar sempurna. Sayap di punggungnya merentang lebar siap untuk mengepak. Sakura masih terdiam. Masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mulutnya bahkan terbuka saat sayap putih yang begitu indah bergerak mengibas angin. Menerbangkan beberapa helaian rambutnya.
Siapakah sosok di depannya sekarang? Dan bola matanya berakhir jatuh menatap mata semerah darah di hadapannya.
Mata itu berbeda.
Namun baru satu detik mata mereka bertemu, Sasuke lantas melesat pergi meninggalkan Sakura yang akhirnya bernasib sama dengan buku yang dibawanya. Terjatuh di lantai dengan sejuta tanya yang tidak mampu akalnya menjawab.
...
Sakura meringkuk di atas kasurnya. Kedua lututnya ia peluk erat-erat. Kejadian hari ini sungguh di luar akal pikirnya. Dan Sakura tetap tidak mengerti. Ia yakin, sangat yakin, kalau pria yang ia lihat tadi siang adalah Sasuke, tetapi dalam wujud yang berbeda.
Siapakah dia sebenarnya?
Sakura langsung bangkit dan berlari setelah melihat cahaya terang bersinar di beranda kamarnya. Tubuh Sakura menempel pada pagar pembatas besi hitam yang hanya setinggi pinggangnya. Ia mendongak, menatap resah pada sosok yang dilihatnya sekarang.
"Sasuke ... kaukah itu?" tanyanya, setengah berteriak karena udara malam yang berembus cukup kuat. Tangannya mencengkeram besi pembatas begitu sosok bersayap itu turun, berdiri berhadapan dengan Sakura hingga gadis itu tidak perlu lagi mendongak.
"Kau bisa melihatku?"
Sasuke masih mempertanyakan pertanyaan yang sama, yang ia ajukan sebelumnya pada Sakura. Rasa penasaranlah yang akhirnya membawa Sasuke pergi menemui gadis manusia tidak bisa melihat wujud malaikatnya. Tapi, mengapa Sakura bisa?
Apakah ini hukumannya atas perlakuannya yang menantang takdir? Apakah ini kutukan? Untuknya? Atau untuk Sakura?
"Bagaimana caranya? Katakan padaku!" Sasuke sedikit menuntut. Karena jika ini sampai berdampak buruk untuk Sakura, maka ia harus melakukan sesuatu.
"Aku tidak tahu," jawab Sakura penuh keyakinan. "Aku sendiri tidak tahu."
Mereka masih bertatapan dalam diam. Sasuke mencoba mencari kebenaran dari mata hijau di depannya. Ada kejujuran, juga rasa takut Sasuke yang dapatkan. Bahkan Sakura masih berekspresi seperti kali pertama dirinya menemukan sosok lain dari Sasuke. Jadi, dirinya masih menjadi penyebab gadis merah muda itu ketakutan.
"Kau takut padaku?"
Sakura mengangguk pelan. "Tentu saja aku takut."
Seketika itu juga Sasuke merasa jantungnya dihamtam batu besar berkali-kali. Inikah hukumannya?
"Tapi ..." Sakura melanjutkan. "Kalau kau benar Sasuke. Kalau kau masih Sasuke yang kukenal, maka aku tidak akan takut lagi."
Sakura melepaskan satu tangan yang mencengkeram pagar besi, lalu menjulurkannya ke depan. Mengantung di udara, di antara dirinya dengan Sasuke.
"Kau benar Sasuke, kan?" tanyanya lirih, mencoba menggapai sosok itu.
Perlahan Sasuke mendekat sampai tangan Sakura berhasil menyentuh pipinya. Sasuke membiarkan tangan dingin dan sedikit bergetar itu menyentuh bebas dirinya. Jemari Sakura yang semula ragu kini mulai berani bergerak membelai pipi Sasuke. Sosok di depannya benar-benar nyata. Tubuh berpendar itu bisa ia sentuh.
"Sasuke." Sakura memanggilnya sebagai salah satu usahanya untuk meyakinkan diri.
Kali ini Sakura memberanikan diri menatap langsung mata merah milik Sasuke, yang ternyata juga mampu menimbulkan debar pada jantungnya. Sosok di depannya adalah Sasuke yang sama.
"Apa kau takut padaku?" Sasuke kembali bertanya. Mencoba mendapatkan keyakinan dari gadis di depannya.
Sakura melemparkan senyum cantiknya yang sangat Sasuke sukai. Kepalanya menggeleng sebelum menjawab pertanyaan itu, "Kau sangat indah, Sasuke."
Jawaban Sakura tidak hanya melenyapkan segala ketakutan yang sempat muncul, tapi juga membuat gejolak dalam diri Sasuke bangkit. Dilepaskan tangan Sakura yang memegang wajahnya kemudian Sasuke genggam erat-erat. Sayap di punggungnya mulai mengepak pelan, membawa naik tubuh Sasuke dan secara perlahan juga mengangkat tubuh Sakura. Ditariknya gadis itu, sampai ketika tubuh Sakura sudah melebihi tinggi pembatas besi, Sasuke membawanya ke dalam dekapan.
Secara sadar Sakura langsung memeluk erat leher Sasuke. Sudah terlambat baginya untuk menolak segala yang Sasuke lakukan sekarang. Tubuh mereka terus naik, semakin jauh dari tempat berpijak. Saat ini, salah satu tangan Sasuke menahan wajahnya untuk terus bersembunyi di lekukan lehernya. Melindungi Sakura dari terpaan angin karena kecepatan terbang mereka. Dan saat tangan itu tidak lagi memegangi kepalanya, Sakura tahu, ia sudah boleh membuka mata.
Ketika dirinya diajak mengangkasa, Sakura bisa membayangkan pemandangan seperti apa yang akan dilihatnya nanti. Tapi rupanya apa yang ia lihat sekarang jauh lebih indah dari yang ia bayangkan sebelumnya. Jutaan kilau cahaya dari lampu-lampu yang menyala di bawah sana menghasilkan kecantikan yang tidak mampu Sakura ungkapkan. Lebih indah dari kedipan bintang di langit yang berjarak begitu jauh dari tempat dirinya menatap. Karena kali ini, Sakura bagaikan berada di lautan cahaya. Memandikannya dengan kilaunya yang memikat.
"Pemandangan inikah yang kaulihat setiap malam?" tanya Sakura, masih menatap takjub sekelilingnya. Hitam dan cahaya. Perpaduan yang begitu cantik. Amat memesona.
Sasuke hanya mengangguk.
Sakura pun tersenyum. "Ini benar-benar menakjubkan."
"Ya, sama sepertimu."
Ucapan Sasuke barusan berhasil mengunci atensi Sakura. Menahan mata hijau itu untuk terus menatap padanya. Kilau cahaya membantu Sasuke menemukan rona kemerahan menghiasi wajah Sakura. Menjadikan kecantkan itu kian terpancar. Memikat Sasuke yang telah tunduk oleh gejolak.
Sasuke membiarkan hasrat memimpinnya. Membimbing keinginannya untuk mengecup bibir mungil Sakura. Wajahnya bergerak mengikis jarak, dibantu tangan yang menarik wajah Sakura untuk mendekat. Gadis itu pun tak menolak, sampai akhirnya bibir mereka menyatu ke dalam hasrat yang sama.
Dingin udara terusir oleh kehangatan yang mereka ciptakan. Mereka saling menyesap, saling merasakan. Rasa yang sama-sama baru kali ini terkecap. Rasa pertama, dengan penuh kehati-hatian, dan mereka menyukainya.
Namun Sasuke merasakannya, angin di sekitar mereka berembus tak wajar. Seolah memberitahu adanya keanehan. Rupanya firasat Sasuke tak salah. Mulai muncul satu malaikat bersayap hitam, dua, tiga dan terus bertambah sampai Sasuke tidak dapat lagi menghitungnya.
Satu malaikat yang berdiri di depan Sasuke berbicara. "Tidak hanya melanggar tugas. Kau bahkan membawanya bersamamu." Matanya tidak lagi menatap Sasuke, tapi berpindah menatap sosok dalam pelukan Sasuke. "Waktu perempuan itu telah habis. Kau tidak memiliki kuasa untuk memberikannya. Memohon ampunlah, lalu jalani tugasmu."
"Aku tidak bisa melakukannya." Sasuke menolak.
Meski begitu Sasuke tidak bisa menutupi rasa takutnya. Sasuke ketakutan, setengah mati. Dikelilingi belasan atau mungkin puluhan malaikat bukanlah suatu hal yang biasa. Ini seperti sidang penjatuhan hukuman. Selain itu, ini adalah perintah secara tidak langsung untuk menyerahkan Sakura pada mereka. Dan Sasuke tidak bisa melakukannya.
Mendengar bantahan Sasuke, malaikat itu hanya mengangguk paham lalu melangkahkan kakinya di atas langit. Berjalan mendekati mereka seakan ada pijakan tak kasat mata di bawah kakinya.
"Tahukah kau bahwa ada hukuman bagi seorang pendosa. Maka, memohon ampunlah."
Sasuke mengeratkan pelukannya. "Aku ..." Mata merahnya memejam. Sasuke tahu tidak ada jalan keluar dari sini. Tapi, Sasuke juga tidak bisa menyerahkan nyawa Sakura begitu saja. Ditahannya kepala merah muda itu agar kembali bersandar di bahunya.
Mata merah Sasuke terbuka, menatap sosok di depannya lebih lama. Bukan untuk menimbang tentang pilihan yang diberikan oleh sosok itu, tetapi Sasuke mencoba menyakinkan dirinya lebih-lebih sebelum memutuskan hal tergila dalam hidupnya untuk menyelamatkan Sakura.
"Maaf ..." Sasuke memejamkan matanya lagi. Sayap di punggungnya berhenti mengepak.
Tubuh mereka jatuh mengikuti gravitasi dengan kecepatan luar biasa, seolah bumi menarik turun. Setelah beberapa meter menghasilkan jarak, sayap putihnya kembali mengepak cepat. Bergegas menjauh dari tempat itu. Menjauh sejauh yang Sasuke bisa.
Namun seperti yang juga Sasuke prediksi. Melarikan diri dari kepungan para malaikat adalah kemustahilan. Sesadar-sadarnya, Sasuke tahu tidak ada tempat baginya untuk melarikan diri. Tetapi menyerah juga pilihan yang ingin Sasuke ambil. Karena dengan menyerah itu berarti membiarkan Sakura mati.
Tidak hanya Sasuke yang diliputi kegelisahan akibat tekanan dari kejaran para malaikat yang jumlahnya semakin bertambah. Gemetar Sakura menahan takut. Meskipun Sakura tidak mengerti, sedikitnya Sakura mampu menangkap maksud ucapan sosok malaikat tadi.
Apakah seharusnya Sakura sudah mati? Kecelakaan waktu itu, apakah kejadian itu yang mereka maksud? Lalu apakah Sasuke yang menyelamatkannya?
Sakura menjerit saat mendengar bunyi ledakan keras. Seperti guntur yang biasanya muncul di kala hujan. Namun dalam skala yang lebih besar. Bersamaan dengan itu, tubuh mereka pun berpindah dengan cepat layaknya mobil yang bermanuver menghindari mobil lain. Sakura tidak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi karena tangan Sasuke masih menahan kepalanya kuat.
Ledakan-ledakan besar lainnya mulai bersusulan. Sayup-sayup Sakura juga mendengar adanya bunyi sambaran kilat-kilat di dekat mereka. Ada sengat panas yang Sakura tidak tahu berasal dari mana dan apa penyebabnya. Sasuke tidak memberikan celah untuk mengintip apa yang terjadi. Yang Sakura yakini, sekarang mereka sedang diburu oleh para malaikat. Tapi, siapakah yang mereka incar sebenarnya?
Dirinya ataukah Sasuke?
"Sasuke," panggil Sakura. Namun tidak ada jawaban. Hanya ada suara engah dari pemilik nama itu. Sakura cemas. Apakah Sasuke baik-baik saja?
"Sasuke ... Sasuke!" Kali ini Sakura berteriak kencang. Ia mencoba menggerakkan kepala. Namun tangan Sasuke lebih kuat menahan.
"Diam!" Sasuke bicara tepat di telinga Sakura.
"Tapi ..."
"Diam dan turuti apa kata-kataku," perintah Sasuke. Sakura dapat merasakan napas Sasuke terengah-engah. "Jangan lepaskan. Apa pun yang terjadi."
Awalnya Sakura ingin menolak. Namun mengetahui suara Sasuke yang menyiratkan keputusasaan dan permohonan yang begitu dalam, Sakura terpaksa mengangguk dan mengeratkan kedua tangannya pada leher Sasuke. Kecepatan mereka meningkat pesat. Namun deru letusan serta hawa panas yang entah berasal dari mana juga makin bertambah intensitasnya.
Sasuke mengerang. Satu kali, dua kali, lalu suara di sekitar Sakura tidak lagi jelas. Tercampur ledakan-ledakan maha dashyat yang menurunkan fungsi pendengarannya. Tubuh mereka berputar-putar tak menentu, bagai pesawat kehilangan kendali. Mereka bertabrakan dengan angin, dan tahu-tahu saja Sakura sudah terlempar jauh setelah menabrak kaca besar yang telah pecah berkeping-keping.
Tubuh mereka tergeletak terpisah jarak. Beberapa pecahan kaca menghujam tubuh Sasuke dan juga Sakura, di mana tubuh Sasuke yang lebih banyak menerima pecahan kaca dari aula besar di pusat kota. Sakura—yang hanya mendapatkan luka ringan—bangkit setelah melepaskan satu pecahan kaca yang bersarang di tangan kanannya. Ia meringis. Dan tepat setelah pecahan kaca itu terlepas, Sasuke pun menyusulnya bangkit.
Namun belum sempat satu patah kata terucap dari bibir keduanya, aula besar itu sudah di penuhi oleh para malaikat yang tadi mengejar mereka. Sasuke yang berniat mendekati Sakura harus tertahan akibat rantai api yang tiba-tiba keluar dari lantai, membelit kaki dan tangannya. Rantai itu terus menahan tubuh Sasuke yang meronta, mencoba melepaskan diri.
"Kau pasti tahu apa yang kaulakukan sekarang adalah suatu kesia-siaan," ucap sosok malaikat yang sebelumnya berbicara pada Sasuke. "Rantai neraka diciptakan untuk mengikat para pendosa. Api abadinya akan membakar dan tidak ada yang mampu lepas dari jeratnya."
Seperti julur tanaman rambat. Rantai neraka itu menjalar naik lalu melilit, tak hanya pangkal tangan dan kaki Sasuke, tapi hampir ke seluruh tubuhnya termasuk leher. Posisi Sasuke kini berlutut dengan tangan yang terentang. Sayapnya pun ikut terikat oleh rantai, menempel di punggung.
Rantai neraka mulai menyala terang disusul api yang muncul dan membesar. Berkobar-kobar menelan tubuh Sasuke. Jilatan merah itu memang tidak meninggalkan bekas luka, tapi dari suara lengkingan penuh rasa sakit yang berasal dari pria yang terjerat rantai sudah cukup untuk mengambarkan rasa sakitnya. Sakitnya luar biasa sakit.
Kepala Sasuke tertunduk dalam. Raungan kesakitan juga tidak lagi terdengar, hanya tersisa tarikan napas kasar seolah udara di dunia telah menipis. Tidak ada jejak luka dari jilatan api abadi neraka. Luka timbul dari pecahan kaca yang masih menancap. Asap tebal menguar dari tubuh Sasuke, yang perlahan menghilang tertiup angin dari kepakan sayap pelan milik sosok malaikat yang tadi berbicara padanya. Rambut putihnya yang panjang ikut bergerak saat ia berjalan mendekat.
"Akuilah kesalahanmu dan perbaikilah. Pergunakan kesempatan terakhirmu dengan bijak," katanya. Namun Sasuke hanya diam. Kepalanya masih menunduk. Terkulai. Seperti tidak memiliki daya untuk mengangkat atau memang Sasuke memilih untuk tidak melakukannya. Sengaja agar tidak menatap sosok di depannya.
"Memohon ampunlah," titahnya lagi.
"Aku ..." Sasuke menarik napas kuat. Tampak rasa sakit membuatnya sulit berbicara, "... aku ... tidak bisa." Sasuke mengangkat kepalanya dengan susah payah. "Maafkan aku, tapi aku tidak bisa."
"Dia hanyalah manusia dan setiap manusia pasti memiliki akhir. Kau tahu itu, bukan?"
Sasuke tidak menjawab. Mata merahnya yang sayu telah berpindah menatap Sakura. Gadis itu masih duduk menyaksikan semua kejadian dari balik penjagaan empat malaikat yang mengelilinginya. Sakura bahkan tidak memedulikan luka di lengannya. Wajahnya pucat dan dia ketakutan. Terlihat betapa Sakura mencoba sekuat tenaga menahan tangisnya.
Sama seperti dirinya, Sakura juga tidak bisa melarikan diri. Tidak ada lagi tempat aman di bumi ini untuknya. Dan semua itu karena Sasuke.
Ini adalah kesalahannya.
Sasuke tahu, dan meski Sasuke mengetahui itu, ia tetap tidak mampu mengakuinya. Karena mengakui berarti merelakan Sakura tiada.
"Aku ... tidak bisa. Aku menginginkannya."
Sasuke kembali menunduk, bersiap menerima panasnya kobaran api abadi neraka. Tapi rupanya hal itu tidaklah terjadi. Tahu-tahu, ketika Sasuke mendongak, Sakura sudah berada di depannya. Tubuhnya melayang sejengkal dari pijakan. Sakura dan malaikat berambut putih itu saling berhadapan dengan berjarak seuluran tangan.
"Kalau begitu pilihlah."
Malaikat itu mulai melakukan ritual pengambilan nyawa. Ia mengembuskan napas dan mulut Sakura refleks terbuka. Mata Sakura terbelalak ngeri. Dia memang tidak bisa melihatnya, namun Sakura bisa merasakan napasnya tertarik keluar. Secara perlahan napasnya terus tersedot, menyisakan sesak.
Sasuke memohon. Pecahan kaca menggoreskan panjang luka pada tubuhnya. Sebagian terbenam makin dalam hingga darah manusianya menetes deras. Tapi Sasuke tidak peduli. Dengan sisa-sisa tenaga, ia terus meronta, memohon-mohon agar malaikat itu berhenti. Sampai pada akhirnya tubuh Sakura terjatuh. Mulutnya terbuka lebar, mencari-cari pasokan udara. Dia tercekat bagai tercekik, karena napas kehidupannya tidak sepenuhnya terambil.
"Tidak!" Sasuke masih berusaha melepaskan diri, namun lilitan rantai tidak memperbolehkannya lepas.
Di depan matanya, Sasuke menyaksikan Sakura tersiksa. Perempuan itu menangis karena tidak mampu menahan sakit. Satu tangan Sakura mencengkeram lantai. Menancapkan kukunya ke lantai. Kuku-kuku tangan yang akhirnya patah karena tekanan. Sedangkan tangan satunya lagi mencekik lehernya sendiri. Sakura mencoba bernapas, namun udara tidak bisa dihirup dan juga tidak bisa terembus
Sakura menderita. Sakura kesakitan.
"Pilihlah. Membiarkan wanita ini hidup seperti ini atau jalani takdir yang sudah digariskan untuknya."
Sasuke berteriak sampai menyakiti tenggorokannya. Ia memberontak, bergerak menggila. Mencoba mati-matian melepaskan rantai yang mengikatnya erat. Namun tetap saja, usahanya berakhir sia-sia. Rantai neraka tidak jua terlepas.
Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan Sakura.
Sasuke menangis. Menangis tanpa suara.
"Kau tidak bisa memilikinya, apa yang memang bukan milikmu." Malaikat itu kembali berkata, "Jangan mengulang kesalahan sehingga makhluk-makhluk seperti kalian ada di bumi."
"Kalau begitu jangan ciptakan aku!" teriak Sasuke murka. "Aku, aku bukanlah kalian. Aku juga bukan bagian dari manusia. Aku hanyalah sendiri di dunia seluas ini. Aku, makhluk apa aku ini?!"
Namun baru satu detik berselang tubuh Sasuke bersujud secara paksa oleh rantai neraka yang menjeratnya. Ia mengerang kuat karena rantai neraka di lehernya membelit makin kuat.
"Kau tercipta, buah dari kesalahan. Kaum yang melewati garis yang ditentukan, menyalahi apa yang sudah digariskan. Dan kau, hanya kau satu-satunya yang diberkati. Diberkahi kemuliaan tinggi dengan tugas mulia selayaknya kami. Dan perkataan seperti tadi tidaklah pantas terucap."
"Berkah?" Sasuke tersenyum remeh. "Apanya yang diberkati? Ini hukuman! Dan akulah yang harus menerimanya tanpa tahu kesalahan apa yang kuperbuat. Menjadikan aku satu-satunya makhluk terbuang!"
Sasuke memekik. Napasnya tersengal-sengal. Rantai di lehernya makin mencekik. Salah satu malaikat yang lain datang menghampirinya. Dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu Sasuke mendapatkan pengelihatan. Gambaran yang amat nyata. Sesosok malaikat yang turun melakukan tugasnya di bumi. Seperti sang Adam yang terbujuk bisikan iblis untuk memakan buah larangan. Malaikat itu juga menyalahi perintah-Nya. Terjatuh ke lubang terdalam hubungan manusia. Menumbuhkan satu benih, yang tidak seharusnya ada.
Lalu lahirlah bayi tampan ke dunia. Bayi yang banyak diperbincangkan berasal dari kesalahan. Makhluk yang seharusnya suci mendapatkan begitu banyak hujatan, cemooh dan gunjingan. Dia juga dipertanyakan. Sampai, pada suatu waktu, diturunkanlah baginya berkah. Sebuah kemuliaan tinggi. Tugasnya setara dengan para malaikat, dan dirinya tetaplah bagian dari makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna.
Gambaran itu pun terhenti. Dan tanpa tahu apa sebabnya, Sasuke mengisak penuh rasa penyesalan. Hatinya bergetar, relung terdalamnya tersentuh oleh haru yang tidak dapat Sasuke jelaskan. Tidak seharusnya ia, makhluk sepertinya, mendebatkan apa yang ada padanya. Mendebatkan tanpa tahu, apa, mengapa, dan bagaimana. Semua yang terjadi memiliki rahasia yang tidak bisa tersentuh oleh makhluk-makhluk yang diciptakan-Nya.
"Hukuman hanya ada untuk para pendosa. Dan sebelum dijatuhkan mereka selalu diberikan kesempatan. Memohonlah, pintalah ampunan-Nya."
Belitan rantai neraka pada leher Sasuke melonggar. Ia mendongak, dan mendapati sosok Sakura yang menangis kesakitan. Sasuke tahu, derita yang Sakura rasakan melebihi siksaan yang Sasuke terima. Air mata Sasuke kembali jatuh. Sasuke tahu, ia harus memilih sebuah keputusan yang sebenarnya enggan ia pilih. Tapi, sekali lagi Sasuke tahu, ia harus memutuskannya.
Mata Sasuke memejam, bersikeras mengukuhkan keputusannya. Memori terputar. Mengenang semua kejadian antara dirinya dan Sakura. Pertemuan, perkenalan, perbincangan, sampai pada detik perpisahan yang seharusnya terjadi, dan Sasuke mengagalkannya. Bagaimana ia membelokkan apa yang seharusnya digariskan.
Sasuke ingat. Tepat setelah ia membelokkan ajal yang datang pada Sakura. Ia bersimpuh penuh kesungguhan di samping tubuh Sakura dan memanjatkan doa. Bukan doa pengiring yang menuntun para arwah pergi. Namun doa khusus dari hati Sasuke atas keinginannya sendiri. Tentang dirinya dan juga gadis merah muda itu. Keinginan egois dari sisi manusianya, yang entah sejak kapan mulai tumbuh.
Sasuke meminta dengan kesungguhan hatinya.
"Aku tidak mengetahui kebenaran mutlak, tetapi aku menyadari kebodohan dan kesalahanku. Atas apa yang juga menyentuh relung hati, sebuah perasaan yang tumbuh, aku pun menyadari. Ini keegoisan. Hanya saja jiwaku tidak bersiap pada perpisahan. Selamatkanlah aku, pendosa ini, dan juga dia, sebuah jiwa yang ingin kumiliki."
Dilafalkan untaian doa itu sekali lagi sebelum Sasuke membuka mata. Di depannya kini Sasuke membulatkan hati. Sakura tidak seharusnya mengalami penderitaan itu. Penderitaan yang disebabkan oleh keegoisannya, karenanya Sasuke kembali memanjatkan doa.
"Kau telah menyalakan obor dalam hati yang kini terang benderang. Sungguh berdosa jika aku yang mematikannya. Namun, apabila Kau menginginkannya menjadi abu, maka padamkanlah. Kencangkan angin, menyapu terbang, bawa pergi, kemudian hapus jejaknya dengan hujan. Selamatkanlah aku, pendosa ini, serta dia, sebuah jiwa yang masih ingin kumiliki."
Kembali Sasuke menundukkan kepala. Bersujud memohon ampunan. "Ini salahku, aku bersalah. Kumohon, akhirilah penderitaannya."
Dari posisinya, Sasuke tidak lagi mendengar erangan Sakura. Ini memberi keyakinan padanya bahwa waktu Sakura telah dihentikan. Sasuke kembali memejam. Tak kuasa menahan kesedihan. Hatinya masih merasakan pedih mengetahui Sakura telah pergi, meninggalkannya. Seandainya Sasuke bisa membayar, menukar atau bahkan menggantikannya. Sasuke teramat rela melakukannya.
"Maafkan aku ... maafkan aku ... maafkan aku."
Hanya kata itu yang terus Sasuke ucapkan dengan masih mempertahankan posisinya. Sasuke tidak sanggup menatap. Sasuke tidak mampu melihatnya, gadis yang dicintainya.
Seberkas sinar tiba-tiba menyelangkupi seluruh area aula. Sinarnya begitu hangat dan seluruh kulit Sasuke mengingat rasa ini. Sinar yang dulu pernah mendatanginya dalam mimpi. Tahu-tahu rantai neraka melepaskan belitannya, membebaskan tubuh Sasuke dari jeratan.
Sayap Sasuke kembali mengepak seiring mata merahnya terbuka. Tubuhnya terangkat pelan dan terhenti begitu ia berhadapan dengan seberkas sinar dari malaikat, yang kini Sasuke tahu sebagai penyampai wahyu. Tubuh Sasuke tersorot cahaya, cahaya yang hangatnya melebihi cahaya para malaikat yang pernah ditemuinya.
"Akan kusampaikan apa yang harus tersampaikan. Tugas yang terlalaikan dengan kesengajaan, mengotori kemuliaan. Kali ini, akan dipertanyaan kembali untukmu sebuah pilihan. Manakah yang kau inginkan?"
Tatapan Sasuke kosong, seolah ia terhipnotis. Pertanyaan tadi diperuntukan bagi hatinya. Bukan mulut dan akal yang mampu mendusta. Dan ini bukanlah sebuah hukuman. Bukan pula penjatuhan paksa.
Seolah mengerti tentang pilihan tersebut, Sasuke pun menjawab. Jawaban dari dasar hatinya.
"Manusia."
Atas dasar jawaban yang Sasuke berikan, sayap di punggungnya mulai menghilang secara perlahan. Serpihan putih terlepas satu-satu. Bagai kapas putih yang terbang tertiup angin, serpihan itu melayang mengelilingi Sasuke. Lepas dan terbang, lalu menghilang. Sayap yang tampak seperti digerogoti itu akhirnya benar-benar lenyap.
Dan semua berubah gelap.
"Bisakah aku mengharap doaku terkabulkan?"
"Apa yang kau inginkan, Nak?"
"Hidupnya. Tukar saja hidupku dengan hidupnya. Apakah bisa?"
"Tidak. Tapi kalau Dia menghendaki, maka apapun bisa saja terjadi."
"Bisakah Dia menghendakinya?"
"Itu adalah Rahasia-Nya. Kita hanya bisa meminta."
Dan dalam kegelapan itu Sasuke memanjat doa, tulus dari dasar hatinya.
Satu-satunya perwujudan dari setengah manusia dan malaikat akhirnya memilih untuk menjadi manusia seutuhnya sehingga kisah tentangnya pun berakhir. Tidak melegenda, tidak pula terkisahkan oleh manusia. Tidak ada satupun yang mengetahui, bahkan angin tidak pula membisikkan kisah ini pada yang lain. Tentangnya benar-benar berakhir. Tidak menjadi sejarah. Terbiarkan menjadi rahasia.
Tetapi ...
Kisah tentang Sasuke Uchiha masih terus berlanjut. Kehidupannya masih terus berjalan sesuai apa yang dipilihnya, sebagai manusia. Sebagian ingatannya dihapus. Tentang kemuliaan yang dulu diberkahi padanya, juga tentang Sakura Haruno.
Dan segala doa yang pernah ia panjatkan.
.
Tapi ketahuilah ... jika Dia menghendaki, maka apapun bisa terjadi.
.
Selembar kertas jatuh dari sebuah buku yang baru terbuka. Buku yang entah bagaimana bisa ada di dalam tasnya. Seingatnya, ia tidak pernah memasukkan salah satu buku favoritnya ini, apalagi berniat membawanya. Untuk apa? Untuk apa ia membawa buku ini?
Dipungutnya secarik kertas putih yang terjatuh ke lantai. Ada sebuah tulisan. Dan ia tahu, itu adalah tulisan tangannya sendiri.
Selamat membaca. Sasuke.
Sasuke?
Siapa?
Belum sempat pikirannya mencari tahu, sayup-sayup ia mendengar suara memanggil nama yang ditulisnya.
"Hoy, Sasuke!"
Ia melihat siswa berambut kuning cerah merangkul bahu seseorang. Seseorang yang dipanggilnya Sasuke.
Orang itu, diakah? Tapi ia ingat, ia tidak mengenalnya.
Tepukan keras pada pundaknya mengalihkan perhatiannya disertai suara keras menyerukan namanya. Keterkejutannya membuat ia melepaskan pandangan dari punggung pria tadi. Ia pun terlupa. Kertas itu diselipkan lagi di balik sampul buku miliknya, lalu tertawa menanggapi candaan konyol sahabat pirangnya.
Sasuke sejenak melirik. Dia sendiri tak mengerti, hanya saja matanya bergerak mencari. Entah apa yang sedang dicarinya. Telinganya baru saja menangkap samar-samar suara memanggil sebuah nama. Nama yang asing, tapi terasa tak asing. Namun di detik selanjutnya Sasuke memilih mengabaikan. Sebuah nama itu, mungkin saja ia pernah mendengarnya.
.
Terlalu banyak rahasia. Terlalu banyak hal yang sulit dipahami. Terlalu banyak sesuatu yang tidak mampu akal mengerti. Tapi, yang sudah digariskan pasti akan bertemu.
Seperti kita ...
.
Layaknya sebuah kebiasaan. Sasuke lebih senang menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan sekolah. Di tempat yang tenang dan jarang diminati oleh murid kebanyakan. Ia melangkah, menelusuri barisan rak satu persatu. Menatap sekilas punggung-punggung buku yang mencantumkan judul dan nama pengarangnya.
Sasuke berhenti. Berdiri tepat di tengah-tengah rak. Tatapannya jatuh pada salah satu buku di barisan ke tiga. Sebuah buku biru tebal dengan sebuah judul yang ditulis menggunakan tinta kuning. Tidak ada yang spesial, Sasuke tahu. Tapi seperti ada sesuatu yang menahannya. Sesuatu yang entah itu apa.
Didorong rasa penasaran yang kuat, Sasuke memutuskan untuk melihat buku tersebut. Mengambilnya dari deretan. Tangannya menyentuh, dan di saat yang bersamaan ada tangan lain yang juga melakukan hal yang sama. Refleks keduanya sama-sama menatap. Mencari tahu sosok pemilik tangan itu.
Hitam dan hijau bertemu dalam tatapan.
Ada detak yang berbeda. Serta rasa yang familiar.
Déjà vu.
"Oh, maaf." Pemilik mata hijau itu membuka suara terlebih dulu. "Sepertinya kau yang lebih dulu menemukannya."
"Ambil saja, aku bisa mencari yang lain." Sasuke berbalik, namun langkahnya tertahan oleh tangan mungil di belakangnya.
"Tunggu. Mungkin kau mau membaca ini." Sakura menyerahkan buku yang sedari tadi didekapnya erat. Buku yang menyelipkan secarik kertas. Kertas kecil bertuliskan sebuah nama. Sakura ingat, dia pemilik nama itu.
Sasuke diam. Menahan pandangan matanya pada buku yang disodorkan.
"Hm, kupikir kita memiliki selera yang sama," ujar Sakura, begitu yakin atas pemikirannya.
Buku itu diraihnya. Sasuke menerima tawaran perempuan berambut merah muda itu. "Terima kasih."
Sakura menyunggingkan senyum. Dan, ada sesuatu yang tak Sasuke mengerti ketika melihat lengkungan manis itu. Sesuatu yang menyenangkan. Memicu debaran.
"Oh, ya, buku itu milikku. Aku, Sakura Haruno." Sakura mengulurkan tangan. "Jadi, kalau kau sudah selesai membacanya kembalikan padaku, ya."
Sasuke mengangguk kemudian menjabat tangan mungil Sakura. "Sasuke Uchiha."
Jabatan itu terlepas diiringi kebisuan yang bertahan dalam hitungan menit. Sekali lagi mereka bertatapan sebelum berbalik dan melebarkan jarak punggung yang saling menghadap. Langkah menjauh, dan menyisakan senyuman tipis di wajah keduanya.
Selesai.
.
Azuria berarti berkah Tuhan. Maaf buat segala kekurangan di cerita ini.
Terima kasih. ^^
