Disclaimer : Seluruh karakter di Harry Potter milik J.K. Rowling. Saya hanya pinjam buat menyalurkan imajinasi.


"BACK PAIN"

Seumur-umur baru kali ini Harry kram punggung. Daripada sakit, lebih tepat dikatakan menjengkelkan. Kalau digabung, sakitnya menjengkelkan. Dan dia tidak terima dibilang punya tulang seperti kakek-kakek—kalau bukan Ron yang bilang, Harry pasti sudah menyihirnya muntah siput selama dua bulan. Dia baru dua-lima, demi Tuhan!

Hermione bilang mungkin dia terlalu banyak bekerja dalam posisi yang sama, jadi tubuhnya kaku. Memang kalau dipikir-pikir kejahatan sudah menurun drastis—bukannya Harry tak senang, ia sungguh bersyukur kerja kerasnya selama satu dekade berhasil—tapi hal ini menimbulkan masalah lain bagi Harry : dia berubah jadi pekerja kantoran. Kalau tidak keluar mengejar penyihir hitam, apalagi yang dilakukan Auror selain duduk di belakang meja mengurusi dokumen yang tak ada habisnya?

Alhasil selama seminggu penuh Harry, yang biasanya berlarian kesana kemari mengejar para penyihir yang salah jalan, cuma ndeprok di belakang meja selama delapan jam penuh tiap harinya. Harry malah sempat berpikir mungkin dia tak bisa berdiri lagi gara-gara duduk terlalu lama. Sungguh-sungguh menjengkelkan.

Pagi ini, saat Harry meregangkan tangan untuk mematikan alarm yang berteriak-teriak membangunkannya—benar-benar alarm yang menjengkelkan, kalau saja bukan hadiah dari Hermione sudah dari dulu dibuangnya ke tempat sampah—tiba-tiba terjadilah hal pertama dalam hidup Harry : punggungnya kram. Pemuda itu menjerit dan jatuh berdebuk ke lantai dengan tidak elit.

Setelah mengesot dengan susah payah seperti invalid untuk menjangkau tongkatnya, Harry mengirim patronus-nya pada Hermione. Berharap temannya itu bisa mencari solusi keadaannya ini. Meskipun alasan utama Harry adalah Hermione tidak banyak komentar seperti Ron.

Malang tak dapat dihindari, Ron ternyata sedang bersama Hermione. Akhirnya mereka berdua datang ke Grimmauld Place nomor 12, menyaksikan Harry sedang dianiaya oleh Kreacher. Niatnya sih, peri-rumah itu membuat Harry melayang untuk menempatkannya kembali ke ranjang dengan posisi yang lebih nyaman. Tapi karena dendam pribadi Kreacher—yang tak rela melayani darah-campuran seumur hidupnya—yang terjadi adalah Harry dibanting dengan tidak elit dengan posisi aneh antara ranjang dan lantai.

Sementara Harry meneriaki Kreacher dengan perbendaharaan kata makian yang kaya, Hermione mendorong Kreacher pergi dari situ, yang dituruti si peri-rumah dengan cengiran puas lebar. Ron, seperti yang diduga Harry, mengomentarinya dengan 'tulang kakek-kakek' dan 'kurang kalsium', sampai-sampai menyarankannya untuk meminum obat anti osteophorosis milik Mrs. Weasley. Hermione dengan baik hati membenarkan posisi Harry menjadi tengkurap. Tak lupa menempatkan bantal di dada Harry agar posisi tidurnya lebih nyaman.

"Aku akan panggilkan Healer untukmu," kata Hermione. Kadang-kadang Harry merasa sangat terharu atas dedikasi Hermione padanya. Tapi dia tak mau mengakuinya, takut dibilang sentimental. Setelah itu Hermione dan Ron pergi, karena mereka harus bekerja. Hermione berjanji akan menyampaikan ke Departemen Auror kalau Harry sakit. Tanpa menyebutkan kram punggung, tentunya, karena tidak elit sekali Auror yang mengisi seperempat Azkaban ijin tidak masuk kerja gara-gara kram punggung.

Harry, yang masih kesal pada Kreacher, menolak memanggil peri rumah itu untuk membuatkannya sarapan. Lebih baik dia puasa pagi ini, daripada harus melihat muka jelek Kreacher yang kelihatan puas sekali melihatnya tak berdaya.

Tigapuluh menit kemudian, Harry menyerah. Perutnya kerucukan. Akhirnya dia memanggil Kreacher, minta dibuatkan sarapan. Dengan sengaja Harry memberikan detail ingin makan apa. Ia tidak mau dikerjai Kreacher lagi.

"Sandwich telur. Dengan telur, tentu saja, tomat dan selada. Jangan berikan apapun selain ketiga bahan itu, mengerti?"

Alhasil Harry mendapat telur mentah, tomat bulat dan selada lengkap dengan akarnya.

"Kubilang, SANDWICH!"

"Ini roti sandwichnya, Sir." Kreacher menyeringai sambil memberikan dua lapis roti. Rasanya Harry ingin meneriakinya, tapi ia sudah tak punya tenaga. Biasanya Harry memasak sendiri karena Kreacher selalu membuat ulah kalau disuruh.

"Sini, berikan rotinya saja padaku." Dengan pasrah Harry mengunyah roti tawar. Melihat Kreacher berdiri dengan tampang puas di samping ranjang, Harry jadi kesal lagi.

"Sini, kau injak-injak punggungku. Yang enak, ya, yang lembut. Pelan-pelan." Kata Harry.

"Yes, Sir." Kreacher dengan patuh naik ke ranjang, lalu ke punggung Harry. Ia menginjak-injak punggung majikannya pelan. Harry memejamkan mata. Rasanya enak juga.

"Ah. Akhhh…" Harry mendesah pelan sementara Kreacher berjalan pelan maju mundur di punggungnya.

"Oh." Harry membuka mata, mendengar suara yang tak asing di telinganya. Jangan bilang kalau….

"Mr. Malfoy, Sir! Bagaimana kabar Anda, Sir? Sudah lama sekali sejak melihat ibu Anda. Apakah Miss Narcissa baik-baik saja?" Harry mendengar Kreacher menyapa dengan antusias. Pemuda berambut jet-black itu menggeram pelan. Dia menoleh, mendapati Draco Malfoy berdiri di pintu kamarnya dengan ekspresi geli.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" Seru Harry. Kalau saja dia punya tongkatnya. Tiduran tengkurap di ranjang dengan punggung kram dan Kreacher di atas punggungnya adalah hal terakhir yang ingin dilakukan Harry di hadapan Malfoy.

"Granger menghubungiku. Kudengar punggungmu sakit. Dia minta aku memeriksa." Malfoy berkata dengan seringaian yang tidak Harry suka. Pasti pemuda pirang itu merencakan sesuatu. Dan kenapa Hermione menghubungi dia sih? Healer lain kan banyak!

"Anda mau minum apa, Sir?" Tanya Kreacher ramah. Harry menatap peri rumahnya itu sebal. Masa dia lebih ramah sama tamu—tak diharapkan pula—daripada majikan?

"Air putih saja, terimakasih." Sahut Draco. Pemuda pirang-putih itu memandang Kreacher berlari kelewat antusias keluar ruangan. Kemudian ia memalingkan wajahnya menatap Harry. Draco berjalan mendekat pada pemuda rivalnya semasa sekolah itu dengan senyum miring khas Malfoy terplaster di bibir.

Harry ingin sekali melempar Draco dengan sesuatu—bukan karena dia jadi deg-degan melihat senyum Draco, lho ya—kalau saja sekarang dia tidak sedang terbaring tak berdaya. Draco berjalan perlahan, menatap Harry dari atas ke bawah dengan tatapan yang membuat Harry ingin meninjunya—sekali lagi, saudara-saudara, bukan karena Harry deg-degan, oke?

Setelah sampai di samping ranjang, Draco masih memasang senyum miring. Tangannya terulur perlahan, langsung membuat Harry mengkerut—sebisanya dengan kondisinya saat ini—defensif.

"Mau apa kau?" Tanya Harry. Draco mengangkat alis.

"Memeriksamu, tentu saja. Aku kan datang untuk itu." Jawab Draco enteng. Harry menatapnya sebal, tapi membiarkan Draco menyentuhnya. Pemuda pirang itu menekan-nekan punggungnya.

"A-Ah!" Seru Harry.

"Oh. Sori. Sakit di sini?" Tanya Draco, menyentuh bagian tadi. Harry mengangguk dengan kening berkerut. "Hmm…" Draco tampak berpikir selama beberapa saat, kemudian mengaduk-aduk isi tas yang dibawanya.

"Maaf mengganggu, Sir. Ini air putih Anda. Saya juga membawa teh dan camilan kalau Anda mau, Sir." Kreacher masuk ke kamar sambil membawa nampan pemuh kue-kue dan dua teko serta dua cangkir.

"Terimakasih, Kreacher." Sahut Draco dengan senyum tipis di bibir. Harry berdecih pelan. Kenapa juga Draco ramah sekali pada Kreacher. Padahal Harry tidak pernah diramahi seperti itu, apalagi disenyumi.

Kreacher menaruh nampannya di meja samping ranjang. Lalu dengan sopan peri-rumah itu pamit setelah sebelumnya meminta untuk memanggilnya saja kalau ada apa-apa. Draco kembali berterimakasih, membuat Harry mendengus.

"Apa?" Tanya Draco sambil mengangkat alisnya.

"Kreacher ramah sekali padamu. Dia tidak pernah ramah padaku."

"Well, dia menyukai ibuku—"

"—dan mungkin seluruh penyihir berdarah-murni di dunia." Potong Harry. Draco menatap Harry sesaat.

"Mood-mu jelek sekali hari ini—bukan berarti mood-mu tidak pernah jelek kalau ketemu denganku—tapi hari ini rasanya lebih jelek dari biasanya."

"Memangnya apa yang kau harapkan? Aku berubah jadi invalid gara-gara punggung sialan ini, padahal seharusnya aku di luar sana mengutuki para penyihir gila!" Seru Harry jengkel.

"Well, punggungmu tidak separah itu, kok. Minum ini, dan sebentar lagi kau akan baikan." Draco mengulurkan ramuan berwarna hijau pekat yang membuat Harry mengernyit. Setelah ragu-ragu sesaat, Harry akhirnya menelan cairan dalam botol itu sekali teguk.

Rasanya aneh, campuran antara hati naga—oh, ya, Harry pernah minum itu—dan kubis busuk. Belum lagi rasanya yang kesat di lidah seperti lumpur, serta rasa geli seperti digelitik ketika cairan itu melewati tenggorokannya.

"Ugh. Ini lebih parah dari polyjus." Ujar Harry. "Apa ini?"

"Sebaiknya kau tidak tahu." Draco menahan geli melihat wajah Harry.

Pemuda pirang itu mengembalikan botol ke dalam tasnya. Harry mengira pemuda itu akan pergi, tapi di luar dugaan dia malah menarik kursi ke samping ranjang dan duduk menyilangkan kaki.

"Kenapa kau masih di sini?" Tanya Harry tak sopan.

"Karena aku mau makan kue sebentar. Waktunya elevenses." Draco menunjuk ke arah jam weker di meja. Harry mendengus sebal sementara Draco dengan santai menuang teh ke cangkir dan meminumnya dengan gaya elegan.

Sial. Waktu minum teh saja dia tampan, pikir Harry.

"Mau?" Draco mengangkat cangkirnya sedikit, memberikan gesture menawarkan.

"Tidak." Sahut Harry cepat-cepat.

"Kau ngiler, Potter." Kata Draco. Ada nada geli dalam suaranya.

"Aku tidak ngiler!" Seru Harry, wajahnya memanas. Oh, dear, kalau saja Draco tahu Harry bukan ngiler karena tehnya…

Harry berusaha keras mengalihkan pandangan dari Draco, yang sedang makan kue dengan ganteng. Tapi susah sekali untuk memalingkan pnadangan dari bibir kemerahan Draco yang kelihatannya kissable, atau dari jemari panjangnya yang memegang kue dengan hati-hati, atau dari…

"Mmmmhh God! So gooood!" Ya, benar. Dari suara-suara yang dibuat Draco. Dasar pirang sialan. Makan kue saja ribut sekali! Kalau didengar dari luar bisa-bisa dikira mereka sedang ber-iya-iya. Harry yang tengkurap tak bergerak saja sudah membayangkan yang iya-iya.

"Bisa diam tidak, sih, Malfoy!" Seru Harry jengkel.

"Kenapa?" Draco menatap Harry dengan tatapan inosen.

"Kau ribut sekali, moron. Aku tidak bisa istirahat."

"Sori, dear. Tapi kue buatan peri-rumahmu enak sekali. Mau mempertimbangkan tukar dengan peri-rumahku? Dia tidak bisa apa-apa. Such a foolish creature. Ibuku hampir tak kuat jantung karena dia selalu salah mengerjakan tugas." Kata Draco dengan kening berkerut.

"Kau panggil aku apa?" Tanya Harry, mengabaikan komentar Draco soal kue lezat buatan Kreacher. Seumur-umur Kreacher tak pernah membuat kue lezat untuk Harry. Yang ada Harry pernah diare seharian penuh gara-gara Kreacher memasukkan bahan entah apa ke dalam kuenya.

"Apa?" Draco balas bertanya.

"Tadi. Kau panggil aku apa?"

"Yang mana? Oh. Maksudmu 'dear'?" Tanya Draco. Harry mengerutkan kening mendengar panggilan itu.

"Jangan panggil aku begitu."

"Oh. Kau lebih suka kupanggil apa? Cutie pie?"

"Tidak!" Seru Harry. Wajahnya merona.

"Tidak? Bagaimana kalau Sweetie? Pumpkin? Atau prince?" Tanya Draco, jelas-jelas menikmati menggoda Harry yang wajahnya sudah merah seperti tomat.

"Tidak, tidak dan tidak! Berhenti memanggilku seperti itu, sialan." Desis Harry. Bisa jatuh reputasinya sebagai Auror garang kalau dipanggil manis-manis begitu. Dia tidak mengalahkan Voldemort dengan cara menjadi manis.

"Oh, oh. Aku tahu. Darling, kalau begitu."

"Hell no! Kita tidak dalam hubungan semacam itu!"

"Kalau begitu kita mulai saja sekarang."

"Apanya?"

"Hubungan semacam itu."

"Kenapa?"

"Karena aku ingin memanggilmu 'darling'?"

"Kau gila."

"Aku gila karenamu, darling."

"Hentikan, Malfoy. Ini tidak lucu."

"Aku tidak sedang melucu." Draco menatap Harry lekat-lekat, wajahnya serius.

"Maksudmu…"

"Yes, Harry. I love you." Draco memotong. Harry menatap Draco dengan raut muka terkejut. Mulutnya membuka dan menutup seperti ikan mas koki. Dia tidak pernah menyangka Draco akan…

Klik.

Suara kamera itu membuyarkan keterkejutan Harry. Draco tertawa.

"Oh, my! Lihatlah mukamu! Ha ha!"

"Apa yang—" Harry menatap kamera di tangan Draco, lalu segera memproses situasi ini. Draco mengerjainya.

"Sialan kau, Malfoy!" Maki Harry sambil melempar bantal ke arah Draco, yang dengan sigap ditangkap pemuda pirang itu. Tawa Draco berganti menjadi cengiran lebar.

"Akan kusimpan baik-baik foto ini, Harry." Draco melambaikan foto itu, sebelum memasukkannya ke dalam tas.

"Kembalikan, Draco!" Seru Harry. "Kembalikan atau akan kukutuk kau jadi ulat!"

"Ulat, Harry? Sungguh tak kreatif. Well, kalau kau mau foto ini, kau bisa mengambilnya sabtu depan." Draco berdiri dan menenteng tasnya. "Three Crown Restaurant pukul delapan malam tepat." Draco mendekat ke arah Harry. Belum sempat Harry bereaksi, Draco sudah menunduk dan mengecup pelipisnya.

"Bye, darling. Don't be late, okay?" Dan dengan senyum miring terplaster di wajah Draco mengedipkan matanya, kemudian menghilang di balik pintu—meninggalkan Harry yang terbengong sendirian di kamar.


A/N : Oke. Seperti biasanya saya tak tahu ini apa… Rasanya kok ketidakjelasan fic yang saya buat tidak berubah. Idenya sih kram punggung itu, gara-gara saya inget salah satu adegan Nazotoki wa Dinner no Ato de—Sho keyen banget ai luph yu! *abaikan*

Jadi… dulu-dulu ada yang request saya buat Drarry, tapi baru sempet bikin ini karena idenya juga baru muncul. Di cerita ini, anggap aja Harry putus sama Ginny dan Draco ga pernah pacaran sama Astoria. Aslinya sih saya suka pasangan Draco-Astoria, tapi demi Drarry dia disingkirkan dulu (sorry, dear).

Oh iya, bagi yang belum tahu, elevenses itu tradisi nyemil (plus nge-teh) di Inggris setiap jam sebelas pagi. Saya tahu istilah ini gara-gara akhir-akhir ini saya marathon nonton Agatha Christie's Miss Marple lima season, yang bersetting jadul dan tradisinya masih kental banget.

Akhir kata, makasih udah sempetin olahraga mata buat baca ini. Silahkan review kalau minat, kalau nggak berminat ya ga usah.

Salam cinta damai selalu,

eileithyiakudo