Fic gaje yang saya buat di saat suasana hati tengah tak keruan dan kepingin nangis... Hasilnya? Genre Angst dan Hurt/Comfort. =w=

Well, enjoy! ^^


Annasthacy Chashyme (c) 2010

Pandora Hearts (c) Mochizuki Jun

A Pandora Hearts FanFiction

Angst/Hurt/Comfort, T

Warning: Gaje, OOC, alur kecepetan, judul gak nyambung, dll.

PROMISE AND HURTS


Is it wrong for me to long for him?

Long to hold him, long to see him.

Is it wrong for me to love him?

Because he's the one, the only one who sees me.

.

"Kenapa aku harus tetap di sekolah?" protes Alice keras.

Sharon, wali kelasnya, mendesah putus asa. "Salahkan dirimu, Alice. Kalau kau tidak mau mendapat pelajaran tambahan, ya jangan membolos terus!"

"Sejak awal aku tidak mau bersekolah kok!" Alice bersedekap, wajahnya cemberut dan matanya memancarkan kekeraskepalaan. Meski jelas-jelas ada guru di hadapannya, Alice tidak segan sama sekali untuk duduk di atas meja dan menyilangkan kaki. Rok sekolahnya sudah tergantikan oleh celana panjang yang seharusnya hanya menjadi seragam murid laki-laki.

Sekali lagi Sharon menghela napas. Dia mengerti sekali masalah anak ini, dan ia bisa memaklumi kelakuannya selama ini. Sayang sekali, peraturan sekolah ada untuk ditaati, tanpa ada setitik pun toleransi. "Kalau kau bersikap baik, aku yakin guru pembimbingmu akan segera memperbolehkanmu pulang, Alice," katanya lembut. Ia menyapukan telapak tangannya di wajah Alice yang sedikit tercoreng debu. "Kalau kau tidak mau berkelakuan baik untuk orang lain, lakukanlah untuk dirimu sendiri."

Alice mendengus kesal sepeninggal Sharon. Ia bukannya benci wali kelas sekaligus tetangga tersebut, tidak sama sekali! Malah, Sharon adalah satu di antara sedikit orang yang disayanginya. Well, juga satu di antara sedikit orang yang menyayanginya.

Saat ini Alice berada dalam dua pilihan sulit. Mengikuti kata Sharon untuk berkelakuan baik sehingga cepat pulang – dengan resiko hanya mendekam di dalam kamarnya – atau sengaja membuat ulah sehingga tidak usah segera pulang – dengan resiko menambah panjang masalah maupun ceramah yang akan didapatnya.

Belum sempat Alice memutuskan, seorang guru – masih muda, paling tidak hanya beberapa tahun di atas Sharon – memasuki ruang kelas. Guru aneh bin nyentrik yang sering membuat orang menggelengkan kepala dan mengelus dada, tapi juga – somehow – jadi idola di antara para siswi.

"Alice Baskerville?" panggilnya. "Senang bertemu denganmu, Nona~"

Alice mengernyitkan dahi. Guru macam apa yang menyapa muridnya dengan nada menggoda – atau merayu – begini? Gadis berambut brunette panjang itu tetap diam, tidak membalas salam itu.

Guru aneh tersebut kini sudah berdiri di hadapan Alice. Tubuhnya tinggi, sehingga garis matanya lurus dengan mata Alice yang notabene duduk di atas meja. Dan baru disadari oleh gadis itu, bahwa orang ini memiliki mata sewarna darah.

"Perkenalkan, namaku Xerxes Break... Kuharap kita bisa berteman baik, ya?"

Dengusan keras terdengar. "Teman?" sanggah Alice. "Kurasa bukan itu kata yang tepat, Tuan," katanya dengan nada mengejek pada kata terakhir.

Break tidak merasa tersinggung sama sekali atas kekurangajaran murid yang satu ini. Malah, dalam hati, ia menganggapnya menarik. Dengan sekali lihat, Break bisa menilainya.

Cantik. Itu kata pertama yang terpikir olehnya. Rambutnya panjang melebihi garis pinggang, dan meski terlihat acak-acakan serta tidak terawat, ia bisa mengenali keindahan alaminya. Gadis mungil itu berkulit putih, seperti porselain, tetap berkilau meski terselubung debu. Singkatnya, gadis ini cantik dari dalam.

Keras kepala, penilaian selanjutnya. Ekspresi dan gesturnya jelas-jelas menunjukkan hal itu. Dan dari apa yang selama ini didengarnya, gadis ini juga cepat naik darah.

Tapi apa itu? Yang sekilas dilihatnya dalam pancaran matanya? Yang sesaat muncul di permukaan, namun sempat ditangkapnya sebelum memasuki ruang kelas?

"Hei, guru aneh, bisa berhenti memandangiku seperti itu tidak? Tidak sopan!"

Break terbangun dari lamunannya. Ia mengerjap sesaat, lalu tersenyum dengan pandangan minta maaf. "Ah, kurasa aku melamun tadi... Maaf, Alice." Alice memalingkan wajah malas-malasan, tidak berniat sama sekali untuk memperhatikan guru tersebut. "Nah, ayo kita mulai pelajaran tambahanmu... Selama ini kau paling sering melewatkan pelajaran sejarah, jadi materi hari ini adalah sejarah~" ujar Break lagi dengan nada riang, berjalan menuju papan tulis.

"Tunggu dulu!"

"Ya, Alice?"

"Maksudmu, pelajaran tambahan bukan hanya hari ini?" tanya Alice dengan wajah tidak percaya.

"Tentu, kita akan mengadakan pelajaran tambahan sampai nilai dan presensimu mencukupi," jawab Break ramah.

"Hell no! Tahu begini, aku kabur saja tadi!" sentak Alice. Dia meloncat turun dari posisi duduknya, dan segera berlari menuju pintu. "Selamat tinggal, Sensei!"

Ditinggal begitu saja, Break hanya bisa terpaku. Terpesona. Dan kemudian ia tertawa kecil.

'Benar-benar gadis yang menarik...'


Sharon menatap gadis yang tengah memilin rambut panjangnya itu. "Kamu kabur?"

Alice mengangguk kecil.

"Lagi?"

"Jangan membuatku seolah jadi kriminal yang sudah mencopet berkali-kali, Sharon."

"Ini sudah yang kelima kalinya, Alice!" kata Sharon dengan nada putus asa. "Apa yang kamu lakukan, sama saja dengan pencopet!"

"Aku tidak pernah minta diberi pelajaran tambahan!" bentak Alice.

"Kenapa sih, Alice? Kenapa kamu tidak pernah memikirkan perasaanku sedikit pun? Oke, aku mengerti kamu benci sekali dengan keluargamu, aku paham! Tapi tolong, kamu masih muda, kamu butuh pendidikan yang layak! Ini semua untuk kepentinganmu, Alice!" desak Sharon keras.

Alice menyipitkan mata dan menggigir bibir. "Berapa banyak kamu dibayar untuk menceramahiku seperti itu, Sharon?" tanyanya tajam.

"Alice!"

"Aku tidak mau tahu! Aku benci kalian semua!" tukas Alice, dan ia pun berlari meninggalkan rumah Sharon. Entah ke mana, yang pasti bukan pulang ke rumahnya. Sharon menatap kepergiannya cemas. Kemudian ia memutuskan untuk menghubungi orang itu.

Setelah memencet tombol telepon dan menunggu beberapa detik, ia mengeluarkan suara tercekat, "Halo, Break? Ini aku..."


Alice duduk memeluk lutut di pinggir jalan yang sepi itu. Situasi temaram, hanya ada satu lampu yang menyala redup dalam kegelapan malam. Dingin. Sama seperti isi hati Alice saat ini. Gelap dan dingin.

Perlahan air mata mengalir turun di pipinya, yang segera diseka dengan kasar. Ia tidak mau menangis. Menangis hanya menambah masalah, menangis hanya membuktikan bahwa ia lemah. Tidak, ia tidak akan menangis.

...Mungkinkah alam mengerti kondisinya? Mungkinkah langit bersimpati padanya? Jika tidak, mengapa satu demi satu air hujan mulai menetes? Alice menatap nanar langit yang hitam pekat, menikmati sensasi sakit dan perih yang terasa saat bulir air menghujam wajahnya.

'Hatiku masih jauh lebih sakit,' batinnya lemah.

Sementara hujan semakin deras, air mata Alice kembali meleleh turun. Hangat di antara siraman air dingin. Namun kali ini ia tidak berusaha menghapusnya, ia tidak merasa perlu, toh tidak akan terlihat di balik lapisan air hujan ini.

Tanpa disadarinya, Alice mengulurkan tangan. Ia berusaha meraih sesuatu yang tidak terlihat, sesuatu yang disembunyikan kegelapan malam.

Ataukah, memang tidak ada sesuatu yang bisa diraihnya?

Alice bisa merasakan aliran air mata yang hangat semakin deras menerpa pipinya. Sedikit demi sedikit ia mulai terisak, seperti anak kecil yang kehilangan mainannya yang paling berharga. Dia terus-menerus mengulurkan tangan, menanti seseorang untuk meraihnya, atau sesuatu untuk datang padanya.

Tapi saat ia hanya mengenggam angin, tangisnya pecah.

Seharusnya ia tahu, tidak ada lagi yang akan datang padanya. Bertahun-tahun yang lalu, orangtuanya bercerai, dan ibu yang sangat ia sayangi pergi jauh dari hidupnya. Bertahun-tahun yang lalu pula ayahnya memalingkan wajah darinya. Ia sudah dibuang oleh keluarganya. Sejak saat itu ia berpaling pada Sharon, tetangga sekaligus temannya sejak kecil, yang mengetahui semua masalah dalam keluarganya. Tapi tadi pun Alice sudah membuangnya. Teman sekolah? Dia tidak pernah punya teman, dia tidak pernah menerima sekolah dalam hidupnya.

Lalu siapa yang akan menyelamatkannya sekarang?

'Tidak ada,' isaknya pilu.


Sebenarnya apa yang membuat dia mau melakukan hal ini? Secara sukarela, pula.

Awalnya, Break berkenan untuk membantu Sharon dalam membimbing 'anak asuh'-nya hanya karena ia tidak kuasa menolak permintaan wanita yang sedikit banyak mulai masuk dalam hatinya tersebut. Apalagi kalau caranya meminta dibumbui dengan isak tangis. Mana mungkin ia menolak?

Break langsung bersyukur sudah menerima permintaannya, karena gadis mungil bernama Alice itu ternyata sanggup menarik minatnya langsung. Ada sesuatu yang membuat Break penasaran. Ada sesuatu yang membuat gadis itu terlihat rapuh seperti kaca, di balik penampilan sehari-harinya yang sangar. Lima kali pelajaran tambahan – yang selalu berujung ia ditinggal kabur – hanya membuatnya semakin penasaran.

Dan tiba-tiba, Sharon meneleponnya, mengabarkan bahwa Alice kabur dari rumahnya. Malam hari. Benar-benar bahaya. Tidak heran nada suara Sharon seperti ingin menangis. Tanpa berpikir dua kali, Break menyambar jaketnya dan berlari keluar dengan telepon genggam masih di telinga.

'Seharusnya anak itu belum pergi terlalu jauh!' pikir Break tegang. Ia berputar-putar di sekitar rumah Sharon, dan semakin cemas karena perlahan hujan mulai turun. Entah apa yang kemudian membuatnya berlari memasuki areal pasar yang sepi dan gelap di malam hari begini. Keputusan yang tepat, sebenarnya. Karena ia segera menemukan warna brunette yang sangat dikenalinya.

Sesaat Break berhenti. Ia terenyuh melihat gadis itu mengulurkan tangan pada kegelapan, hanya untuk menggenggam udara. Saat dilihatnya tangan itu terjatuh lunglai, sementara wajah gadis itu dibenamkan dalam lututnya, sesuatu terasa hancur dalam hati lelaki tersebut.

Break langsung berlari mendekat, menyerukan nama gadis itu. Ia mengulurkan tangan, dan ketika ia cukup dekat, Break segera meraih pergelangan tangan Alice yang dingin dan lemas. Break menariknya dalam pelukannya, tanpa memedulikan tatapan kaget dari Alice.

"...K—kenapa?" tanya Alice dengan suara tercekat.

"Shh...," bisik Break lembut di telinganya. "Kita bahas itu nanti."

Dada Alice terasa hangat seketika. Saat ia sudah kehilangan harapan, saat ia sudah tak lagi percaya pada apa pun, seseorang meraih tangannya. Air matanya kembali membanjir, meski kali ini bukan air mata kekosongan. Saat Break mendekapnya, ia pun balas melingkarkan lengannya erat di leher lelaki itu, seakan tidak ingin melepaskan lagi, tidak ingin kehilangan lagi.

Perlahan-lahan Break mundur, melepaskan pelukannya. Sebagai gantinya, ia membelai lembut rambut panjang Alice. "Ayo pulang."

Gadis itu menunduk dalam-dalam, dan memainkan jemarinya. "Aku... tidak pantas kembali lagi... Aku sudah kasar padanya, aku yang memilih lari darinya... Pasti Sharon sekarang benci padaku," ucapnya pelan, tersisa sedikit isakan dalam suaranya.

"Nonsense. Yang memintaku untuk mencarimu itu Sharon, Alice. Dia sangat cemas tadi." Alice mengangkat wajahnya kaget bercampur heran. "Dan aku tidak mengada-ada."

"Sharon..." desis Alice. Ia jadi merasa amat bersalah.

"Ayolah, kita harus segera kembali... Kau bisa sakit kalau terus kehujanan begini." Masih dengan gerakan yang serba lembut, Break menyampirkan jaketnya menutupi kepala Alice lalu menggandeng tangannya. Mereka pun berjalan dalam diam.


"Bagaimana dengan Alice?" tanya Break seraya mengeringkan rambutnya menggunakan handuk yang baru saja disodorkan oleh Sharon.

"Dia sudah terlelap... Suhu badannya naik, tapi kukira ia akan membaik kalau cukup istirahat malam ini."

"Baguslah," Break menghembuskan napas lega.

Sesaat keheningan menyelimuti ruangan yang temaram itu. Suara hujan masih terdengar jelas, sesekali kilat menyambar.

Sharon menelan ludah pelan. "...Break?"

"Hmm?"

Melihat pancaran matanya yang tampak tenang, tulus sekaligus dalam, Sharon menelan kembali kata-kata yang sudah akan diucapkannya. "Ah... Terima kasih. Malam-malam begini, hujan pula... Kalau tidak ada kamu, Alice—,"

"Nah, itu bukan apa-apa... Aku hanya melaksanakan kewajibanku," Break mengibaskan tangan dengan sikap main-main.

"Kewajiban...?"

"Yah, Alice adalah muridku juga kan? Aku yang bertanggung jawab atasnya, karena aku adalah guru pembimbingnya," jawabnya ringan. Mendengar hal itu, Sharon hanya terdiam. Sesuatu dalam dirinya meragukan jawaban tersebut.


Hahaha... Gaje to the extreme nih!

Whatever deh, pokoknya review please~?

Thank you!