Witch House

Story © alice dreamland

Witch House © Fummy

Genre: Romance, Horror, Mystery, Puzzle, Fantasy

The Basketball which Kuroko Plays © Fujimaki Tadatoshi

Warning: Typo(s), all in 2nd PoV, skip scenes, AkashixReader, chara not in the place, OOC, following the plot of Witch House, spoiler, OC, slight KurokoxReader, Cinderella not mine

[—Disarankan membaca sambil bermain The Witch House—]

.

.

.

[Chapter I: Asing]

[—1st Floor Part 1—]

"Ini hanya permulaan. Kejutan 'kan terus datang menggulung bagai awan, terus tatap sekitar penuh perhatian—atau nyawa jadi taruhan."


"U-Uh..."

Kelopak mata terbuka, mendapati hijau mendominasi pandangan. Mengerjap heran, menyadari posisi kini terbaring di atas hamparan rumput hijau dicampur ribuan bunga aneka warna.

Berdiri, menepuk dress ala wonderland yang kau kenakan—mengamati sekeliling.

Ini... di mana?

Pepohonan rimbun membuat udara sejuk. Namun pohon ditanam satu demi satu dengan sangat dekat—membuat tak ada celah untuk menyusup.

Tempat ini indah, tapi... sangat asing.

Dan entahlah—kau tak nyaman berada di sini.

Menghela napas, mengadah—mendapati langit kelabu pertanda kelak turun hujan. Ah! Kalau begini, kau harus cepat menemukan tempat berteduh! Sedikit panik, kau memandang sekeliling—bernapas lega menemukan papan jalan.

Membungkuk—membaca arah.

[Di Atas: ...'s House]

[Di Bawah: Keluar Hutan]

Uh, catnya memudar. Kau tak dapat membaca apa yang berada di jalan atas. Namun tidak mau cari resiko, kau pun melangkah ke bawah—memutuskan pulang setelah keluar hutan.


Akashi Seijuuro mendesah kesal. Ia telah mencari ke setiap sudut, berbagai alat yang dapat ia gunakan demi memotong sulur mawar lebat penutup jalan keluar hutan.

Namun yang ia temukan hanyalah sebilah pisau tua berkarat—dan itu bahkan tak dapat membuat sulur mawar membengkok. Kini ia masih berusaha mencari benda lain—

Drap! Drap! Drap!

—tapi suara derap kaki menyebabkan aktivitasnya terhenti.

Pemuda itu menoleh—mendapati kau berlari ke arahnya. Manikmu yang menyadari insan lain dalam kawasan, menatap sang lelaki heran. Siapa dia? Sedang apa di sini?

"Siapa kau?" tanyamu—menghentikan langkah, menunjuk Akashi dengan jari telunjuk.

Diam sejenak. "Akashi Seijuuro."

"Oh..." Kemudian pandanganmu terarah pada sulur mawar tebal yang menghalangi jalan keluar—bahkan sulur itu lebih tinggi darimu. Kau mendecak.

"Kalau begini tidak bisa keluar," gumammu kesal—kemudian menatap kembali sang pemuda. "Apa kau punya sesuatu untuk mengguntingnya?"

Akashi mengangkat pisau yang tadi ia gunakan—ekspresinya datar. "Sudah kucoba, tapi tidak dapat digunakan."

Kau menghela napas—mengacak rambutmu frustasi dengan sebelah tangan. Kau ingat, sebelum ini kau sedang mencari berbagai bunga indah untuk membuat rangkaian—sebagai hadiah ulang tahun.

Namun entah bagaimana kau jatuh pingsan. Dan saat membuka mata, telah berakhir di tempat ini.

"Doushiyou..." [1] Kau menggumam. "Aku harus cepat keluar dari sini..."

Akashi yang sedari tadi mengamati perilakumu angkat bicara. "Apa kau sudah mengecek bagian atas?"

"Ah, aku tidak dapat membaca papan arahnya. Tapi sepertinya rumah seseorang," terangmu. Akashi tak menjawab—berjalan lurus ke atas.

Kau pun mengikutinya—memutuskan lebih baik mencari jalan berdua. Maka kalian pun terus melangkah hingga mendapati sulur mawar yang sekali lagi—menutupi jalan.

Namun sulur ini lebih kecil dan tipis. Kau mengerjap, berpikir mungkin ini dapat dipotong menggunakan pisau tadi.

"Akashi-san, boleh pinjam pisaunya?" Lelaki itu mengerti, ia mengangguk datar—memberikannya padamu.

"Terima kasih," ujarmu—lalu mencoba buka jalan dengan memotong sulur. Sulit, meski kedua tangan memegang erat pisau—tubuhmu bergetar. Kau tidak biasa menggunakan benda tajam (kecuali gunting untuk prakarya), sehingga sedikit takut.

"Kalau seperti itu tidak akan selesai." Akashi mendengus. Belum sempat merespon, kedua tangan lelaki itu mencakup tanganmu—membuatmu lebih mudah memotong. Bagaimana pun, tenaga kalian berbeda jauh.

"E-Eh? A-Arigatou," [2] serumu pelan—manik terfokus pada jalan yang telah terbuka setengah. Jemari menggengam ganggang pisau semakin erat—meski hangat kian terasa mengingat tangan Akashi berada di sana.

"Hn," jawab Akashi di sebelahmu. Tak lama, kalian telah memotong semua sulur yang menghambat jalan. Bunga mawar, tangkai, serta daun kini tergeletak di pesisir tanpa bentuk.

Kau tersenyum lega. "Akhirnya."

Akashi melepaskan tangannya, kau juga. Dan manik kalian berdua melebar—menyadari fakta.

Prak!

Perkakas yang digunakan jatuh ke tanah dalam beberapa bagian. Kalian berdua mengerjap sebelum berucap serempak:

"Ah, pisaunya rusak."

Hening sejenak.

"Ano... A-Akashi-san, apa pisau ini punyamu?" tanyamu ragu—takut jika ia mengamuk. Akashi menggeleng. Kau menghela napas lega.

"Lalu Akashi-san dapat dari mana?"

Akashi menunjuk jalan ke bawah. "Aku mendapatkannya di sekitar pepohonan."

Kau terdiam, mengangguk kecil. "Jaa, ayo jalan! Aku penasaran rumah siapa yang berada di depan."

Akashi tak menjawab, namun mengikutimu yang melangkah ringan di depannya.


Kau terperangah.

Di hadapan, berdiri rumah megah bagai istana—tinggi dan lebar, meski tak diketahui ujungnya karena tertutup pepohonan berdaun lebat.

Jendela kayu tertampang pada bagian atas (satu di tengah, empat di bawah, dan empat di atas—dengan sedikit sulur merambat ke luar), ribuan bata abu-abu mengkonstruksinya menjadi kediaman kokoh, dan atap merah marun 'kan memanjakan setiap mata melihat.

Sungguh bangunan yang sangat mewah dan sempurna. Jika luarnya saja begitu memesona, apalagi isinya? Juga para penghuninya?

Kau menggeleng. Tidak! Ini bukan saatnya untuk berpikir semacam itu! Kau terperangkap, ingat itu.

Ter-pe-rang-kap!

Menghela napas, menatap lurus ujung jalan terbebas sulur yang telah kalian lalui. Terdapat sebuah pintu kayu persegi panjang—dengan ganggang besi bulat yang sedikit berkarat.

Sesungguhnya, kau ingin segera masuk—jika saja pemuda yang baru saja kau temui, Akashi Seijuuro, tidak memaksa untuk melihat keadaan terlebih dahulu melalui jendela samping.

Sepertinya lelaki itu merasa curiga dengan tempat ini. Kau tidak mengatakan apa pun, meski dalam hati kau sangat setuju.

Manikmu mengarah pada sekumpulan burung gagak di atas satu pohon berdaun lebat.

Bagaimana pun juga—

Mereka berkoak, terbang berpencar meninggalkan jejak bulu-bulu hitam yang tersapu angin bertiup kencang.

ada yang aneh dengan tempat ini.


Akashi memanjat sulur yang merambat pada diding bangunan.

Kau melipat kedua tangan di depan dada—menghentakkan kaki kanan tiga kali karena tidak sabar. Menatap lurus pemuda merah yang memanjat dengan sigap—namun kau dapati ia mengerutkan alis kala tak dapat membuka jendela.

Bagus sekali.

Sepertinya terkunci dari dalam.

Akashi mendecih, kakinya turun perlahan hingga mendarat mulus di permukaan tanah yang keras. Ia menepuk-nepuk kedua tangan bekas memanjat batang kokoh hijau tersebut—selagi maniknya meneliti sekitar.

Kau, dengan wajah tak sabar—mengerucutkan bibir serta menggembungkan kedua pipi. Dan oh, tidak tahukah kau bahwa kini Akashi berusaha menahan diri? Mungkin ini pertama kalinya kau mengenal Akashi, namun tidak dengan Akashi.

Ia sudah mengenalmu sebelum ini.

Lalu... kucing itu.

Kucing berbulu biru cerah yang semenjak tadi terus membuntuti kalian tanpa mengeong; dan ini menimbulkan kecurigaan pasti dalam diri Akashi.

Seorang kucing yang tidak mengeong semenjak lima belas menit kalian bersama. Oh, bahkan mungkin tak ada suara yang ditimbulkan untuk menandakan kehadirannya.

Sangat tipis.

Langkahnya begitu ringan dan lembut—hampir terbang. Dan Akashi tak suka.

"Kucing itu." Akashi berucap kala berjalan ke arahmu. "Aku tidak menyukainya."

Kau menaikkan sebelah alis—dan kini Akashi berhenti di hadapanmu, membuatmu menyadari perbedaan tinggi kalian yang cukup drastis. "Begitukah?"

Menoleh ke belakang, mendapati si kucing duduk manis di atas pohon yang ditebang. Kau pun berjalan mendekatinya seraya berlutut, tersenyum kecil—mengulurkan tanganmu dan menepuk kepalanya lembut dua kali.

Kucing berbulu biru langit mengerang pelan—menatapmu lurus dengan kedua manik besarnya, tampak mempertanyakan alasan. Akashi memandangmu nanar dari kejauhan.

"Lihat? Dia tidak akan menggigitmu, Akashi-san." Kau terkekeh kecil—melepaskan tangan, berdiri tegap. "Dan kurasa kita harus masuk sekarang."

Kau mengadah—mendapati langit lebih gelap daripada sedia kala. Awan abu-abu gelap bertaburan, sedikit kau dapati kilat menyambar. Juga—tetes air mulai berjatuhan menyambut Bumi.

Lelaki di sebelahmu menghela napas. Kau mulai menggigil kala hawa dingin bergesek kulit. Memeluk diri sendiri, sebelum Akashi menarik lenganmu lembut.

Berlari menuju pintu kayu membawamu—meski rintik hujan beberapa kali menetes membasahi atribut yang kalian kenakan. Untunglah pintu tak terkunci, menyebabkan kalian dapat cepat masuk ke dalam—berlindung dari tangisan langit.

Napasmu sedikit terengah—mengingat Akashi menarikmu berlari secara mendadak, kau perlu waktu untuk menetralisir detak jantung serta pasokan oksigen dalam paru-paru.

Akashi tampak biasa saja, ia kini duduk bersandar dinding melepas lelah. Kau juga memutuskan melakukan hal serupa—seraya memperhatikan ruangan yang kalian tempati untuk beristirahat.

Dinding bermaterial batu bata putih kemerah mudaan, karpet merah beludru yang empuk kala disentuh, serta satu pintu persegi panjang berwarna coklat kayu—di antara dua kandelir mencakup tiga lampu bercahaya remang.

Selain itu, tak ada koridor menuju tempat lain. Hanya dinding di setiap sudut kemana pun kau melihat. Bahkan lukisan pun tak tampak.

Deg!

Kenapa ruangan ini... terasa familiar?

Tidak, tidak. Pasti ada yang salah.

Kau menggeleng beberapa kali seraya menghela napas—sedikit menggigil kala udara dingin menyusup melalui celah pintu luar. Kau pun memasukkan kedua tangan pada saku dress berdesain lolita yang kau kenakan. [3]

Namun manikmu sedikit membulat, merasakan suatu benda kasar nan datar pada kantung kirimu. Mengerjap, mengambilnya, dan membawanya keluar—mendapati secarik kertas.

"Surat apa itu?" tanya Akashi di sebelahmu—kini ia merubah posisi hingga kaus yang ia kenakan bergesekan dengan lengan blouse putihmu.

"Aku tidak tahu." Kau berterus terang—tidak terganggu dengan Akashi yang berpindah tempat. "Seingatku aku tidak membawa apa pun. Mungkin saat tidak melihat, seseorang memasukkan surat ini pada saku rokku."

Kau pun mulai membukanya—tanpa memedulikan Akashi yang memandang isyaratkan rasa penasaran. Belum membaca, kau menyadari ujung kertas yang seperti bekas sobekan.

"Huh? Ini hanya sebagian?" Kau membolak-balikkan surat dengan heran.

Memutuskan tidak mempermasalahkannya lebih lanjut, kau pun membaca sebagian tulisan tersisa bertinta hitam pudar terkena air hujan—namun masih dapat tebaca.

[—tak apa jika kau pergi ke rumahnya, tapi usahakan untuk menjauh dari hutan. Kuharap kau cepat pulang.]

-Ayah

"Otou-san?" [4] gumammu heran.

"Ojii-san?" [5] Akashi berucap pelan—namun masih dapat kau dengar. Kau pun menatapnya, memiringkan sedikit kepala—bingung.

"Ojii-san?" ulangmu.

"Bukan apa-apa." Akashi menggeleng datar. Kau menaikkan sebelah alis, namun kembali menggigil kala udara dingin hujan menyapa permukaan kulit. Memasukkan surat dalam kantung—seraya memeluk diri sendiri.

Namun tersentak kala kehangatan menyelubungi.

Tubuhmu... terasa nyaman. Kau pun menoleh, mendapati Akashi—pemuda yang baru kau temui hari ini—melepaskan jaket merahnyanya, memakaikannya padamu. Kau mengerjap.

Tapi... udara kan dingin? Apa ia tidak kedinginan?

"Pakailah." Akashi tersenyum tipis. Dan kau menyadari, bahwa lelaki itu sangat tampan jika tersenyum. Ah, bukan berarti ia tidak tampan—tapi menurutmu, tersenyum akan menambah poin plus di hadapan para gadis sepertimu.

Kau mengangguk ragu. "T-Terima kasih. Tapi, Akashi-san sendiri?"

Lelaki itu mengacuhkan pertanyaanmu, merogoh kantung dan saku—mencari benda apa yang ia bawa kemari. Bagaimana pun juga, ia bangun terduduk di atas hamparan rumput dengan punggung bersandar pohon tak berdaun.

Sebab itulah ia harus tahu apa saja yang dibawanya kemari. Siapa tahu dapat digunakkan dalam keadaan semacam ini?

Tak lama, Akashi telah meletakkan semua yang dibawanya di permukaan karpet.

Sebuah ponsel merah, dua plester kecil berbentuk persegi panjang, kotak kecil tisu berisi dua belas (tiga ply), dan jam tangan.

Pemuda itu mengambil ponsel dan mengaktifkannya. Ia hendak menelpon meminta jemputan oleh supir keluarganya, jika saja tak melihat layanan koneksi tertera di sudut kanan atas layar.

[out of range] [6]

Bagus sekali.

Terlebih di saat seperti ini.

Lelaki itu mengacak rambut merahnya dengan sebelah tangan. Sebenarnya apa yang terjadi? Ini rumah siapa? Dan mengapa sekeliling pekarangan tak ada celah untuk keluar? Penjara terisolasi? Lokasi terpencil di jaman sekarang? Sungguh kurang kerjaan.

Ia terus berpikir—berusaha menerka apa gerangan yang telah terjadi. Mengapa ia bisa pingsan, mengapa ia bisa berada di sini, dan mengapa kau berada di sini.

Ia menyadari kau menatap lurus dirinya yang berpikir keras. Namun tak memedulikannya—memfokuskan diri pada rentetan pertanyaan yang berenang dalam benak.

Alismu bertaut menyadari diri tidak dianggap. Menghela napas, membatin cari jalan keluar—toh dirimu tahu Akashi menggigil meski berusaha tabah.

Hmm...

Oh ya!

Jika dibagi berdua... bisa, 'kan?

Kau melepas jaket yang dipakaikan Akashi. Lelaki itu sepertinya menyadari, dan hendak bertanya jika saja kau tidak terlebih dulu menyampirkan setengah pada pundaknya.

"Kita bagi setiap orang setengah. Jadi tidak ada yang kedinginan." Kau tersenyum tipis—jaket Akashi kini digunakan sebagian olehmu, dan sisanya Akashi.

Lelaki itu terdiam—mengalihkan pandang kembali pada ponsel. Ia menggumam sesuatu, sangat kecil—ditambah suara derasnya rintik hujan yang menjadi di luar. Memasukkan ponsel, tisu, dan plester dalam saku—jam tangan ia gunakkan demi mengamati waktu.

Kemudian memeluk kaki berbalut celana jeans biru tua setumit, seraya membenamkan wajah pada siku lutut yang tertekuk. Kau melakukan hal serupa—meski menggunakan rok, di dalamnya terdapat celana balon sesiku.

Akashi kembali menggumam—menyadari kau tak mendengar ucapan pertamanya. Kali ini kau menoleh—heran, namun tersenyum mengangguk kala mengetahui penuturannya.

"Terima kasih."


"Ah, Akashi-san." Kau tersenyum ragu—menggaruk sebelah pipi dengan jemari lentikmu. "Maaf, aku bahkan belum memperkenalkan diri sedari tadi."

Akashi mengerjap—menghela napas. "Tidak apa."

Kau memiringkan kepala—tampak meminta penjelasan. Apakah tidak apa-apa kau tidak memperkenalkan diri? Tapi, hei! Itu sungguh tidak sopan bagi seorang gadis! Kau mengetahui namanya, setidaknya biarkan ia mengetahui namamu!

Sabar, sabar. Pasti ia punya alasan.

Tarik napas, lepas. Tarik napas, lepas.

Akashi melihatmu salah sangka, karenanya—ia pun melanjutkan ucapan. "[surname][name], benar?"

Manikmu melebar, perang batin dalam benak hilang seketika.

"Eh? Kau mengenalku?" Kau menunjuk diri sendiri—terkejut karena pemuda ini sedari tadi mengetahui dirimu.

Akashi mengangguk kecil—pandangannya menerawang ke depan. "Kita satu sekolah."

Diam sejenak—lidahmu kelu.

"S-Souka... Demo gomene, aku tidak mengenalmu." [7] Menunduk—menatap sayu kedua kakimu yang kini diluruskan, bermanja pada halusnya karpet merah beludru.

Bagaimana bisa ia mengetahuimu, tapi kau tidak mengenalnya? Sungguh aneh dan membuatmu merasa... bersalah.

Akashi merespon dengan anggukan datar.

Hening menyelimuti kalian berdua.

"Ano... Ba-Bagaimana Akashi-san mengenalku?" Kau kembali bertanya, tersirat rasa penasaran kala menatap lurus kedua manik heterokomnya. Apa mungkin kalian sebelum ini pernah bertemu?

Tolong, kau itu pelupa. Mungkin dengan bertanya akan memberikan hints pada ingatanmu yang terdominasi cerita.

Ah, kau sangat suka membaca—kisah apa saja jika disodorkan, akan kau lahap lebih cepat dibanding manusia biasa. Oke, itu hiperbolis—tapi nyata.

Mottomu: tiada hari tanpa perpustakaan. Setiap hari—semua orang tahu—kau selalu berada di lokasi terpencil pada sudut perpus, duduk tenang di sofa, dengan sebuah buku bergambar—terdengar childish, namun itu adalah buku favoritmu sepanjang masa.

Karena... itu buku yang diberikan oleh ibumu.

Dapat dikatakan, kau hanya tinggal dengan ayahmu seorang—sejak umur lima tahun. Kau ingat jelas hari itu—hari di mana sang ibu pergi meninggalkanmu. Meski memori rapuh, beberapa ingatan tertentu membekas dalam benakmu—mayoritas penting.

Hujan.

Saat itu hujan. Ya, seperti ini—dengan skenario berbeda. Ibumu membawa payung bercorak biru putih polkadot, denganmu versi kecil berjalan di sampingnya—menggandeng erat tangan kanannya yang terus gemetar.

Kaki terus melangkah pada tanah becek. Hingga acara berjalan kalian terhenti pada sebuah rumah berkonstruksi megah. Tidak semegah istana terisolir ini, namun cukup untuk dikatakan kaya.

Ayahmu menyambut—sepertinya memang menunggu kedatangan kalian.

Dan hal yang tak diinginkan terjadi.

Wanita berambut senada denganmu itu terisak dalam rengkuhan ayahmu—menuturkan hal-hal yang tak dipahami anak usia belia. Kau hanya menatap mereka berdua dengan pandangan bertanya.

Otak kecilmu berpikir, mungkin ibumu sedang butuh bantuan—sebab itulah ia mengunjungi ayah yang tinggal terpisah dengan kalian.

Kau tidak pernah menyangka.

Tak pernah sekali pun berprasangka—bahkan memikirkannya saja mustahil—kalau wanita itu akan mendorongmu pada rengkuhan ayah meski tak rela.

Genggaman tangan dilepas secara paksa—masih dengan isakan parau. Ia mengelus pipimu lembut, sementara kau meronta—hendak memeluk sang ibu yang terus memproduksi air mata; namun tubuh ditahan lengan kekar sang ayah. Fisikmu tak berdaya.

"Jadi anak yang baik ya, [name]. Suatu saat nanti kita akan bertemu lagi."

Lalu wanita dua puluhan—nyaris tiga puluh—itu berlari pergi dengan payungnya. Meninggalkan diri kecilmu yang ikut terisak seiring punggung menghilang dalam hujan.

Sampai sekarang, janjinya 'kita akan bertemu lagi' belum tergenapi. Kau bahkan ragu di mana ibumu sekarang. Tapi kau yakin—ia masih hidup.

Terbukti saat ulang tahunmu kemarin, wanita itu mengirimkan sebuah bingkisan berisikan pakaian yang kau gunakkan sekarang. Itu sudah cukup membuatmu percaya. Meski tidak berada di sisimu, ia selalu memperhatikanmu.

Ah. Kembali pada buku.

Buku yang diberikan oleh ibu kandungmu pada ulang tahun ketujuh—melalui paket. Dan menurutmu, itu adalah buku terindah seumur hidup.

Bersampul hard cover dengan gambar gadis manis berlari menuruni tangga—tak lupa pangeran tampan yang mengejar di belakang. Dah oh—sebelah pasang sepatu kaca di antara mereka.

Dongeng klasik: Cinderella.

Tentu halamannya pun tak kalah indah, penuh imej 3D berwarna dalam setiap lembar—dengan sedikit tulisan memperlengkap kejadian.

Meski berkali-kali membaca, kau tak pernah bosan akan kisahnya.

Sungguh memesona, sangat menyejukkan, dan begitu indah kala memfantasikan diri sebagai peran. Tapi—kau tidak berimajinasi menjadi Cinderella.

Kau mengkhayalkan diri memainkan sang ibu peri—tentunya versimu sendiri.

Menurutmu, ibu peri dalam Cinderella sangatlah mirip penyihir dalam dongeng pasaran lainnya. Hanya saja—dua perbedaan.

Peri cenderung bersifat positif.

Penyihir kala dikaitkan dengan hal negatif.

Padahal, mereka serupa—hanya rumor serta penggunaan peran yang lebih pada satu pihak merangkai opini masyarakat. Karena terus terang, tak semua penyihir itu jahat.

Penyihir hanya dominan diberikan peran antagonis, itu saja. Selain itu—di jaman sains semacam ini, keberadaan mereka hanya tersisa dalam angan belaka. Dulu, spesies penyihir tersebar pada segala pelosok dunia.

Iya.

Penyihir itu nyata—bukan khayalan fana semata.

Namun kini mereka punah—tersisa manusia.

Selama enam belas tahun kau hidup di dunia, tak pernah kau bertemu penyihir satu kali pun. Entah memang tidak pernah, atau mereka menyembunyikan identitas dengan sangat baik—kau tidak tahu.

Ah. Sekali lagi, kembali pada pertanyaanmu yang belum terjawab. Kau menatap Akashi berbinar—setia menunggu jawaban.

"Ketua OSIS harus mengetahui nama setiap murid."

Akhirnya respon tercipta oleh yang dinantikan.

Eh? Tunggu—ketua OSIS?

"Sou? Benarkah? Jadi Akashi-san ketua OSIS?" Kau menaikkan sebelah alis. Ada apa denganmu sebenarnya? Kau bahkan tidak mengenal ketua OSIS sekolahmu sendiri?

Uhh, mungkin kegiatan bacamu harus dikurangi dan mulai memperhatikan sekeliling.

Menghela napas—kemudian beralih pandang, menatap lurus tembok berlapis batu bata keras. "Pasti sulit."

"..."

"..."

Canggung.

Akashi tak menjawab, menatapmu duduk diam memainkan sekelompok kecil rambut berujung ikal—menikmati kesunyian. Mengetahui Akashi terus menatap, kau pun memutuskan kembali bertanya.

"Nee... Akashi-san. Menurut Akashi-san, ini tempat apa?"

"Bagian dari Disneyland." Akashi menjawab acuh tak acuh.

"Serius, Akashi-san." Kau menggembungkan kedua pipi.

Akashi menghela napas. "Entahlah, ini pertama kalinya aku masuk ke dalam bangunan seperti kastil dongeng semacam ini."

"Oh..." Karena tak mendapat respon jelas, Akashi menatapmu heran.

"Kau pernah kemari?" tanyanya datar.

Manikmu menatapnya ragu—tubuh menegang. "Ha'i?" [8]

"Apa kau pernah kemari?"

Kau mengalihkan pandang—menghela napas, menatap langit-langit ruangan dengan wajah ragu. "Jujur aku tidak tahu."

Manik Akashi tampak menuntut penjelasan. Kau tersenyum miris.

"Mungkin pernah, tapi dulu sekali. Aku bahkan tidak mengenal tempat ini. Hanya saja, saat masuk... aku seperti merasa deja vu." [9]

Akashi tak mendesak lebih lanjut. Kau bersyukur karenanya, bagaimana pun—sungguh—ruangan ini juga sangat asing bagimu. Meski familiar... rasanya tetap tidak nyaman.

"Mengenai surat itu." Akashi memulai.

Kau menoleh, mendapati sang pemuda menatapmu lurus.

"Apa maksudnya rumah ini?" lanjutnya. Kau mengerjap—mengingat kembali surat yang diatasnamakan ayahmu.

"Ah!" Kau tersentak. "Mungkin saja! Jadi seharusnya kita aman di sini, kan?"

Akashi menggidikan bahu. "Entahlah. Tapi masuk tanpa diketahui sang empunya itu sangat tidak sopan."

Kau menunduk. Benar juga, seharusnya kalian meminta ijin pemilik rumah sebelum masuk kemari. Meski hanya diam di koridor depan, tetap saja tidak sopan. Seperti pencuri. Uhh, apa seharusnya kalian tetap di luar? Berteduh di bawah pepohonan kan bi—

—tunggu.

Kau mengerjap kala mendapati sesuatu yang ganjil.

Pintunya... terbuka 'kan?

Saat kalian masuk... pintunya tidak dikunci, 'kan?

Mengerjap sekali lagi—menggigit bagian bawah bibirmu gelisah.

T-Tunggu! Ini semua seakan merupakan hal terencana! Seperti sang pemilik rumah telah menduga seseorang akan masuk, karenanya ia membiarkan pintu terbuka.

... Atau mungkin hanya lupa menguncinya?

Hm...

Dan bagian dalam surat yang tapi usahakan untuk menjauh dari hutan.

Kau sedikit terusik dengan kalimat tersebut. Toh bukankah saat kau terbangun, kau sudah berada di dalam hutan? Terbukti dengan papan yang menandakan keluar hutan pada jalan bawah.

Jadi... apa benar ini rumah yang dikatakan sang ayah?

Aaaah! Sudahlah! Kenapa kau justru kebingungan?!

Menepuk kedua pipimu keras—menoleh pada Akashi di sebelah. "Tokorode, Akashi-san. Bagaimana kalau kita coba melihat keadaan di luar? Siapa tahu hujan tidak sederas kedengarannya."

Akashi menatapmu aneh—bagaimana pun juga, ia mengamati perilakumu sedari tadi. Kau terlihat seperti orang panik.

Eh, tidak—itu wajar. Terperangkap dengan jalan keluar dihalang mawar, berteduh dalam rumah berinterior mewah tanpa mengenal empunya rumah, dan sendiri bersama seorang lelaki mencurigakan.

Siapa yang tidak panik, coba?

Tapi coret bagian terakhir! Akashi tidak mencurigakan! Mungkin ini pertama kalinya kau berkenalan resmi dengannya, tapi sebelum ini kalian pernah berbincang! Tidak hanya sekali, jika Akashi hitung—kalian berbicara sebanyak tiga kali.

Meski hanya perbincangan singkat tak berarti—itulah yang menyulut ketertarikan Akashi. Tapi apa daya kau terlalu sibuk dengan duniamu sendiri, dunia buku dongeng pemberian ibu serta kesempurnaan nilai dalam seluruh pelajaran.

Iya, kau selalu menyandang nilai sempurna pada setiap subyek—menyaingi Akashi. Bahkan kadang mengalahkan Akashi—dan betapa tololnya dirimu, tak menyadari hal itu. Sementara Akashi?

Ia merasa dipermalukan dan kalah. Harga dirinya serasa diinjak-injak oleh seorang gadis penyendiri antisosial (meski fakta mengatakan—kau memiliki teman pada berbagai sekolah lain, dan tentunya dalam kelas. Meski tidak dekat.)

Ya. Itu pemicu utama yang membuatnya menetapkan mata padamu disusul coba curi pembicaraan denganmu (yang sekali lagi seperti di atas, berakhir menjadi perbincangan singkat tanpa makna—namun berhasil menyulut ketertarikan sang pangeran merah.)

Meski naas, kenangan manis itu hanya disimpan secara sepihak.

Yah—salahkan ingatan jangka pendekmu yang luar biasa.

Dan karenanya Akashi (sedikit) gembira, mendapati dirimu terperangkap bersamanya—dari sekian banyak orang—tanpa buku dongeng sialan yang selalu kau bawa setiap saat.

Terlebih, kau terlihat tidak tahu bahwa buku dongengmu tidak ada—atau memang buku itu tidak cukup penting untuk diprioritaskan? Entahlah. Akashi masih belum paham.

Kau diam menunggu jawaban Akashi dengan manik meminta persetujuan. Akhirnya Akashi mengangguk datar—berujar, "Hn, lagipula kita sudah terlalu lama duduk di sini."

Kalian berdua berdiri. Kau menepuk rokmu (kebiasaan setelah duduk di lantai) sementara Akashi membuka pintu—disambut rintik air hujan yang jauh lebih deras dibanding kala kalian masuk.

"Sepertinya tidak mungkin keluar..." Kau yang berada di belakang Akashi menatap nanar pepohonan serta kawanan bunga terguyur hujan. Berpuluh-puluh tetes mungil dengan lihai menyusup masuk sejak detik pertama pintu dibuka.

Akashi mendengus, menutup pintu—membuat suara air bergesek tanah kembali terendam di balik kayu. Menyisakan karpet merah beludru basah terkena air. Tak tahu harus berbuat apa, beralih pandang pada satu-satunya pintu lain dalam ruangan.

Kau pun berpikir. Hei, daripada diam tanpa melakukan apa pun menunggu hujan reda—bagaimana jika coba memasukinya?

Pintu itu sangat sederhana—terbuat dari kayu tanpa gembok di bagian luar. Kau pun menelitinya, dan menangkap sudut pintu yang digrogoti rayap.

Sepertinya tidak penting.

Jika penting, sang empunya rumah pasti telah menggunakan pintu yang lebih baik; contohnya pintu besi. Juga takkan membiarkan rayap memakan materi utama sang pintu—membuat celah lebar, cukup untuk memasukkan tangan seseorang.

Kakimu melangkah tanpa memedulikan Akashi yang tak beranjak dari posisi depan pintu luar. Maniknya tak menunjukkan keantusiasan; datar. Kau tak menghiraukannya—memprioritaskan pintu yang mengusik pikiran serta kecurigaan.

Berhenti kala wajah berjarak lima puluh centi dari kayu datar bergradasi coklat—meraih kenop, memutar, dan menariknya.

Cklek!

Terbuka. Pintunya terbuka.

Kau tersenyum kecil—tak kuasa menahan keantusiasan diri.

Selain itu jika memang sangat penting, pasti dikunci, bukan?


[1]: "Bagaimana ini..."

[2]: "E-Eh? Terima kasih."

[3]: lolita adalah gaya baju beraksen renda di mana-mana.

[4]: "Ayah?"

[5]: "Paman, kah?"

[6]: di luar jangkauan.

[7]: "B-Begitu... Tapi maaf, aku tidak mengenalmu."

[8]: "Y-Ya?"

[9]: deja vu adalah ketika seseorang merasa melakukan sesuatu yang sama dengan ia pernah masa lampau lakukan.

Mungkin urutan plotnya memang sama, tapi saya ganti endingnya. Bagi yang sudah main gamenya, saya yakin pasti kalian merasa endingnya sangat 'sadis', bukan? Jika ada yang berselera beda, maaf. Tapi jujur, saya tidak suka ._.

Jadi maaf. Sekali lagi maaf, plotnya pun terpaksa sedikit (baca: banyak) berubah karenanya. Tidak masalah, bukan? Mengingat fanfict diciptakan demi 'mengoyak' plot suatu kisah~ /halah/

Maaf jika cerita ini rada aneh, maaf nasib reader yang naas di sini. D''':

Terima kasih semua yang sudah menyempatkan baca, fave, fol, atau pun mereview. Sekali lagi, terima kasih banyak x3

Sekian.

~alice dreamland