Teruntuk Hinata.

Tokyo begitu dingin. Aku sudah mengaktifkan pemanas ruangan namun aku masih merasa beku. Tahun ini aku kembali berencana keluar dari pekerjaanku. Jangan tanya mengapa, kautahu aku tidak mampu melupakanmu. Kau hadir 24 jam sehari, melintas diingatan pada tiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun... Ah, mungkin aku nyaris gila...Terlalu memikirkanmu membuat pekerjaanku terbengkalai. Jika saja kertas dan file-file ini dapat membusuk mungkin aku tidak akan kembali tahan berada di ruangan pengap ini.

O, ya. Ini surat ke 423 bukan? Sejak hari itu?

Kupikir takdir akan berubah jika kita mau berjuang. Tapi sepertinya kehendak Tuhan lebih kuat dibandingkan usaha kita.

Seolah takdir terus saja mengecoh dan mengolok-olok.Ya kautahu 'kan? Kita dilahirkan dari dua keluarga yang berbeda. Hingga perceraian kedua orang tuamu dan orang tuaku membuat kita bertemu dalam sebuah acara pernikahan. Bukan, bukan sebagai pasangan.Tapi sebagai kakak dan adik.

Ayahmu menikahi ibuku..

Masih ingatkah kau? Jika kau melupakannya akan aku ingatkan lagi. Kau yang saat itu berusia 4 tahun, berbeda satu tahun denganku, yang saat itu berusia lima tahun.

Selasa pagi, kan? Jam 10. Kau berteriak: "Ibu.. Kakak jahat!"

Kau menggelembungkan pipi. Merengut, dengan wajah yang memerah karena kesal. Kau tau? Kau nampak sangat lucu..

Membuat aku semakin bersemangat membawa lari boneka beruang coklat milikmu, dan kau mulai menangis meraung-raung. Berkali-kali kau teriakan namaku, tentunya dengan lontaran kekesalan, diiringi tawaku yang semakin kencang terdengar. Aku menikmati rengekanmu saat itu, Hinata.

Tapi kau mungkin juga mengingatnya. Hal yang tidak pernah aku, dan siapapun yang mengenal kita, inginkan terjadi..

Salahku? Salahmu?

Saat itu kau mengejarku yang berlari ke arah kolam renang, aku sudah memperingatkanmu untuk tidak mendekati air.

Demi Tuhan, Hinata. Saat itu kau sungguh keras kepala!

Segera aku berusaha menghampirimu dengan berlari. Berharap dapat mencegah hal buruk yang kiranya dapat terjadi. Tapi aku terlambat, kaki kecilmu terpeleset. Sepersekian detik aku terdiam melihatmu yang tercebur dan berusaha muncul kepermukaan. Aku membatu dengan mata terbelalak. Tidak bergerak, bahkan seinchi.

Tahukah kau? Teriakanmu yang tersengal itu, yang berhasil membawaku kembali ke alam nyata. Aku tanpa pikir panjang segera melompat ke dalam air.

Melupakan bahwa aku juga tidak bisa berenang.

Air memasuki kerongkongan dan telinga.

Aku hampir saja menyerah bila telingaku tidak menangkap suara teriakanmu yang melemah itu. Aku bergerak, menendang air menggerakan tangan, namun gagal. Aku mencoba lagi, lagi, dan lagi. Hingga aku rasakan pergelangan tanganmu di kulitku, dengan sekuat tenaga aku meraihmu, dan aku berhasil memelukmu. Aku angkat tubuhmu, hingga kau mampu menghirup oksigen, menaruh kakimu di pundakku, yang membuatku terdorong semakin dalam ke dasar air. Namun sekuat tenaga aku berusaha membuatmu bisa menghirup udara, bagaimana pun caranya.Hingga Ayah muncul, dan menarikmu ke permukaan, yang disusul denganku. Dan malam itu berakhir dengan jeritan tangisanku yang tengah dipukuli oleh ibu, karena aku gagal menjagamu...

Aku terbaring di tempat tidur, suara sesegukan masih terdengar dari mulutku. Hingga kurasakan kakiku seperti ditarik-tarik, "Kakak...," rasa pedih di sekujur tubuhku membuat mataku enggan terbuka, "Kakak..." Aku paksakan membuka mataku yang semula terpejam, kulihat kau berusaha mati-matian menaiki tempat tidurku. Dengan terpaksa aku mendekat, mengangkatmu naik. Kembali, kurasakan perih di kulit tubuh yang terluka karena pukulan mama. Aku menangis...

Yang membuatku terkejut di malam itu Hinata, saat tangan kecilmu itu terangkat, menghapus jejak-jejak air mataku."Kakak jangan menangis," rengekmu, aku tersenyum, sebuah senyum kebahagiaan dan kelegaan.

Kusadari saat tahun-tahun berlalu, pelukan dan jemari-jemari kecilmu menemaniku tumbuh.

Melihatmu berubah menjadi gadis yang cantik membuatku terkagum-kagum, dan terlalu lama denganmu membuatku merasakan hal yang lain: Kau bukan hanya sekedar adik untukku. Kau lebih dari itu.

Hinata... Ingatkah dongeng yang pernah kuceritakan?

Tentang mimpi, tentang cinta...

Sekali lagi akan kutunjukan padamu jika kita kembali bertemu di suatu hari nanti, sebuah mimpi indah yang menggambarkan kisah-kisah, dan dalam cerita itu ada aku yang tidak pernah berhenti mencintaimu...

-000-

Letter.

By : EvoVabio33

Naruto Disclaimers By Masashi Kishimoto.

Didedikasikan untuk event: [Starting Wave - #WordsForU]

-000-

Kertas memenuhi tempat sampah. Tidak satupun surat ia hasilkan. Kini Sasuke kehabisan tinta, entah sudah berapa puluh kali. Dua hari ia menulis, berhenti hanya untuk makan dan buang air. Ia harus makan jika ingin tetap hidup, dan hidupnya hanya untuk surat-surat ini. Berhenti, bisakah? Tidak, cintanya tercipta tidak hanya untuk lenyap begitu saja. Ia bangkit, menggeser pintu kamar, bertelanjang kaki memasuki kamar mandi. Membuka baju, membasahi tubuh. Sejenak air dingin membuatnya pilu. Sudah berapa lama kehangatan itu hilang? Terhitung 3 tahun lalu, saat semuanya dimulai, saat gadis itu berada dalam kurungan lengan-lengan besarnya.

Sasuke meraup wajah, rasa sesak familier yang ia benci hadir. Sasuke terengah, menutup matanya saat cairan hangat itu mengalir bersamaan dengan air dingin yang membasuh wajah dan sekujur tubuhnya.

Sasuke masih ingat derap sepatu itu, ia masih mengingat suara lembut yang memanggil namanya.

"Kakak! Aku menginap di apartemenmu lagi, ya?" Hinata menyatukan telapak tangannya, memohon. Sasuke menghela napas, menaruh pulpennya, berhenti menulis. "Ya, jadi, siapa yang memarahimu sekarang?" Hinata terkejut, namun kemudian ia segera membantah. "Kau tahu tidak ada yang memarahi..." Suara gadis itu melemah di akhir kalimatnya, mudah terbaca, bahkan oleh orang selain Sasuke bahwa Hinata berbohong. "Duduklah." Sasuke menepuk kursi di sampingnya. Hinata menunduk, ia tahu akan diceramahi. Sasuke selalu bisa bersikap lebih dewasa darinya karena itu ia selalu dinasehati setiap kali meminta agar diijinkan untuk menginap di rumah kakaknya itu.

"Sebenarnya-" Sasuke mendesis, memutus perkataan Hinata. Lengannya terangkat, mengusap kepala gadis itu, sebelum akhirnya membawanya ke dalam pelukan. Hinata berusaha mendongak, hanya untuk mendapati Sasuke yang tersenyum tulus ke arahnya. Membuat ia mengukir senyum yang sama.

"Kau bisa ceritakan segalanya," Sasuke melonggarkan pelukannya, menatap Hinata. "...apa yang membuatmu sedih, siapa yang menyakitimu, dan hal apa yang membebanimu hingga kau menangis." Hinata membalas pelukan, ia sandarkan kepalanya di dada bidang pemuda itu, mencari posisi paling nyaman. Sasuke melebarkan senyum, tangan kanannya kembali terarah pada puncak kepala gadis itu, membelainya. Kau memiliki aku, Hinata...

Napas halus berhembus teratur. Sasuke tersenyum, mengeratkan pelukannya. Diiringi sinar senja yang menerobos kaca, memberikan efek jingga pada kamar apartemen yang sepi itu. Membiarkan Hinata terlelap dalam pelukan seseorang yang mencintainya dalam diam.

Tanpa Sasuke sadari dalam genggaman adik tirinya itu sebuah undangan bertinta emas akan menjadi sumber luka hatinya yang tidak mudah sembuh begitu saja.

Sasuke terbatuk, ia jatuh terduduk. Lengannya menggapai mencari pegangan, sebelum akhirnya kembali terjatuh.

Lututnya tergores. Darah merah yang keluar dari hidungnya ia sumbat menggunakan tangan. Sial. Makin memburuk saja.

Ah, bahkan menopang tubuhpun aku...

Sasuke memaksa bangkit, berjalan terseok-seok menuju tempatnya berbaring setiap malam. Jatuh, bangkit, jatuh, bangkit, gapai.

Ah, setidaknya perjuangannya berhasil kali ini, ia membaringkan tubuhnya di ranjang setelah terlebih dulu bersusah payah memakai baju.

Helaan napasnya memburu, saat ia kembali merasakan nyeri di tubuhnya. Lengan kirinya terangkat, mencari-cari wadah berbentuk tabung putih, berisi obat yang harus ia komsumsi rutin.

Hey... Untuk apa...

Bukankah lebih baik begini?

Mati tidak buruk juga.

Ia melemparkan obat itu ke sembarang arah.

Sasuke berencana untuk tidur, saat suara bell terdengar.

Sasuke mendengus, sedikit mengumpat ia memaksakan diri bangkit. Naruto, mungkin?

Ya, setidaknya kalau Naruto di sini, ada yang mengetahui kematiannya.

Sasuke membuka pintu. Ia menjulurkan leher untuk melihat siapa yang bertamu di jam 2 pagi.

"Kakak..."

Mata Sasuke membulat sempurna.

Seseorang itu di sini... Seseorang yang ia lihat di altar itu, berjanji sehidup semati dengan kakaknya sendiri...

Pemilik dari surat-surat yang ia tidak cukup bernyali untuk mengirimkankannya.

"Hinata..." Panggilnya, berbarengan dengan tubuhnya yang kembali merasakan nyeri. Seiring pandangannya yang menggelap, dan kakinya yang melemas.

"Kakak!"

Tubuh kurus itu terjatuh, matanya terpejam, tepat sebelum ia kehilangan kesadaran, hatinya bermunajat:

Tuhan... kumohon sekali saja...

Aku ingin menunjukan kembali kisah-kisah ini...

Tentang aku, yang tidak pernah berhenti mencintainya...

To Be Continued