Author's Note:
This fic is requested by my beloved Freiya (FrozenMaiden. DarkHour). *big hug* Katanya ini dopingnya buat UAS. Nyehehe… Jadi, inilah prekuel dari Homework dan Exam. Ng, bingung? Susunannya, Lesson – Homework – Exam… gitcuuu…! Megu bener-bener nggak pernah nyangka fic rated M yang hampir PWP itu malah jadi fic multichap gini! XD BTW, berhubung banyak yang stress karena Megu nge-angst melulu belakangan ini… Dengan ini, nyahaha, Megu back to fluffy~! Yeeah! *digetok*
Disclaimer:
Oh no… I don't own Naruto. Aku tak punyaaa… Megu tak punyaaaah… *mulai ngamen*
Anak lelaki berambut hitam itu membuka pintu kamarnya… kamar barunya. Ia menghembuskan napas panjang melihat kamarnya yang kosong itu. Ya, kamarnya nyaris kosong, hanya dua kotak cokelat besar yang penuh oleh barang-barangnyalah yang membuat kamar ini tak bisa disebut kosong. Belum ada ranjang, belum ada lemari atau meja apapun. Mungkin semuanya masih dalam truk, melalui perjalanan dari Otto menuju Konoha. Yang ada di sini sekarang hanyalah barang-barang yang ia dan keluarganya bawa sendiri dengan mobil pribadi mereka. Ia lalu mengambil cutter yang dipinjamnya dari sang kakak dan mulai membuka kotaknya. Tak ada salahnya mengeluarkan sedikit barang-barangnya sekarang… setidaknya beberapa buku—untuk melalui beberapa jam ke depan, hingga truk pengangkut barang itu datang dan ia harus membantu untuk mengatur barang-barang pindahan… yaah, minimal mengatur kamarnya sendiri.
Dengan logam tipis yang tajam berbalut plastik berwarna biru tua itu, ia tak membutuhkan waktu lama untuk membuka sang kardus. Segera setelah terbuka, ia mulai mencari sesuatu yang bisa menghilangkan kebosanannya sekarang. Perjalanan sembilan belas jam dari Otto hingga ke Konoha sudah cukup membosankan baginya. Melewatkan beberapa jam berikut dalam kebosanan lagi? Itu sama sekali bukan pilihan untuk bocah berumur sepuluh tahun ini.
Saat ia sedang berjongkok di sisi kardus dan mengeluarkan beberapa barangnya, ia mendengar suara keras. Tidak telalu keras sebenarnya, tapi cukup mengganggu telinga di tengah kesunyian lantai dua yang hanya diisi olehnya sendiri. Ayah dan kakaknya, sedang sibuk mengurusi barang-barang mereka sendiri di lantai satu. Sedangkan ibunya, sepertinya sedang menyiapkan makan siang… sandwich atau roti apalah namanya itu. Jadi, otomatis suara keras itu menarik perhatiannya. Bocah bermata onyx hitam ini memendarkan pandangannya di kamarnya itu, mencari dimana kira-kira asal suara tadi… asal suara yang seperti ketukan tad- ah, berbunyi lagi. Kini matanya tertuju pada jendelanya… tepatnya, pintu kaca menuju balkonnya. Dari pintu kaca yang tidak begitu besar itu, ia tak bisa melihat apa-apa selain balkonnya—beton keras berwarna abu-abu dengan beberapa tiang besi sebagai penahannya, juga… beberapa bola karet kecil berwarna-warni: putih, hijau, abu-abu, ungu, biru tua dan merah, di atas balkon itu… eh, tunggu dulu… BOLA?
Tepat saat itulah, mata onyxnya mendapatkan satu bola baru… bola oranye kecil yang melenting entah darimana, menubruk kacanya dan terpantul ke atas balkon. Hei-hei, bola siapa ini?
Putra bungsu Uchiha Fugaku ini bangkit dari posisinya. Ia berjalan, dengan rasa penasaran bercampur emosi, menuju sang pintu kaca. Saat itulah, ia menangkap sosok anak lelaki berambut pirang yang sedang bersandar di balkon lain, balkon yang berhadapan tepat dengan balkonnya sendiri. Anak lelaki pirang bermata biru yang sepertinya seumuran dengannya. Ia lalu menyadari, anak lelaki yang dilihat itu masih memegang dua bola sejenis berwarna oranye di tangannya. Ternyata dia pelakunya!
Bocah inipun segera membuka pintu kacanya dan memandang tak suka pada anak itu. Tetapi, belum juga satu katapun terluncur sebagai tanda protesnya, ia segera dihadang dengan sebuah kalimat dari bocah yang itu…
"Hai, tetangga!"
Lesson
Chapter 1
…how to Run For & From A Stranger.
Dua orang wanita muda dengan rupa yang amat berbeda saling berpelukan. Rasa bahagia terpancar dari masing-masing wajah wanita yang mengenakan gaun biru muda dan gaun berwarna peach berlengan merah itu.
"Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini, Kushina!" kata Mikoto riang pada sahabatnya semasa kuliah itu. Wanita berambut hitam kebiruan itu tak lagi memeluk sahabatnya, tapi terus saja memegang tangannya sambil tersenyum manis.
"Aku juga! Makanya kaget sekali sewaktu mendengar kau menyebut alamat rumah ini… aku sudah cukup senang mengetahui kau kembali ke Konoha lagi setelah sekian lama, dan ternyata rumah kita malah saling membelakangi!" balas wanita berambut panjang berwarna merah tua yang dipanggil Kushina itu.
Hanya beberapa meter dari sana, seorang pria muda berambut pirang dan bermata biru menatap pada suami dari sahabat istrinya, Uchiha Fugaku. Sang pria pirang mengenakan kemeja santai berlengan pendek berwarna hijau muda dengan celana panjang berwarna hitam. Sementara sang pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu masih mengenakan kemeja putih miliknya—baru saja pulang dari tempat kerjanya yang baru. Sebuah senyum yang amat sangat jarang terlihat mampu terukir di wajah sang Uchiha. Jangan salah, bukan Mikoto saja yang bahagia detik ini. Ia juga tentu bahagia bisa bertemu sang sahabat yang tak lagi ditemuinya lebih dari delapan tahun.
Pria muda berambut pirang itupun balas tersenyum, tetapi berkata,
"Masih sombong seperti dulu, Uchiha? Tidak mau mengulurkan tangan duluan, hm?"
Senyuman di wajah Fugaku semakin lebar saja. Ia membalas, masih dengan senyum itu.
"Kau pun masih tidak sopan seperti dulu, Namikaze. Tak bisakah kau terlebih dahulu mengulurkan tanganmu untuk bersalaman dengan sahabatmu sendiri?"
Sebuah tawa kecil keluar dari sang Namikaze.
"Dasar Fugaku! Sudah bertahun-tahunpun kau tetap saja seperti ini!"
Hanya beberapa detik setelahnya, merekapun menyusul adegan yang sudah dilakukan oleh Kushina dan Mikoto—berpelukan. Yeah, sebenarnya pelukan itu sungguh bukan pemandangan yang enak dilihat untuk dua orang pria, terlebih yang masing-masing sudah berkeluarga. Tapi mana ada orang yang mau menginterupsi reuni antara para sahabat ini? Ng… ada sih, tapi orang-orang yang merasa terganggu ini hanya bisa diam dan mengamati dari jauh. Mereka adalah tiga anak lelaki yang duduk di sofa yang terletak di pinggir ruangan, mengamati orang tuanya masing-masing. Err, apa kusebut 'orang-orang'? Nampaknya hanya satu oran- eh, anak, yang merasa amat terganggu dengan pemandangan di hadapannya. Anak yang tertua dari ketiganya, Uchiha Itachi, tak peduli pada adegan mengharukan itu dan meneruskan membaca bukunya sambil duduk di bagian paling kanan sofa berwarna biru muda. Sementara di ujung kanan, berlawanan dengannya, ada anak lelaki berambut pirang dan bermata biru, Uzumaki Naruto, yang sedang duduk manis dengan sebuah senyuman lebar di wajah… mata birunya terus saja memandang pada kedua orang tuanya dan juga sahabat orang tuanya. Sedikit banyak ia ikut senang melihat kegembiraan orang tuanya itu. Sedangkan di tengah sofa, Uchiha Sasuke, duduk dan memandang tajam pada apa yang terjadi di depan matanya itu.
Terganggu. Tertekan. Heran. Bingung. Terkejut. Semuanya sedang berputar-putar di dalam balik kepala rambut yang bermodel spike ke belakang itu.
"Aniki…" katanya dengan nada rendah pada sang kakak. Kepalanya menoleh pelan pada sang kakak, bagaikan leher robot yang tak diberi oli selama beberapa hari… tapi tak berbunyi. Eh, memangnya robot masih butuh oli ya? Ah, terserahlah.
Yang pasti, anak lelaki berumur 14 tahun yang dipanggil itu tak mengadah dari sang buku, tapi masih menyahut,
"Hn?"
"…baru kali ini," katanya dengan nada seram, padahal dia berusaha menyembunyikan perasaannya itu sebisa mungkin. Ia mengadah kembali pada orang tuanya yang sedang asyik bercaka-cakap dan melanjutkan dengan penuh emosi ketakutan, "Baru kali ini… aku melihat ayah tersenyum selebar itu, aniki."
"Hn."
Sang adik segera menoleh pada sang kakak dengan penuh rasa heran… heran akan kecuekan kakaknya itu. Memang sih, seorang Uchiha sudah seharusnya tetap bersikap tenang-aman-damai-tak tersenyum-keren-dan adem dalam menyikapi apapun. Tapi… apa salahnya memberi sedikit perhatian pada ayah mereka yang sekarang 'sangat tidak Uchiha' itu?
"…aniki sudah pernah lihat?" tanya Sasuke, sedikit takut, tapi memang penasaran pada ketidakpedulian anak sulung Fugaku yang tengah mengenakan kaos hitam berlengan panjang itu.
Aniki-nya itupun menjawab kalem,
"Kau masih muda, Sasuke, masih banyak hal yang belum kau saksikan dengan kedua matamu itu."
Jawaban ini sukses membuat Sasuke terdiam—sebagian karena sisi diri sok tahunya yang tertebas katana dalam sekejap, dan sebagian lagi… karena tak menyangka kalimat a la lansia itu bisa keluar dari mulut sang kakak. Padahal kalau diingat-ingat, kakek mereka saja—Uchiha Madara, tidak pernah berbicara seperti itu. Sungguh, Sasuke tak mampu membalas apa-apa.
Anak lelaki dengan kulit yang berwarna tan di sebelah kirinya itu akhirnya angkat bicara. Suaranya yang kekanak-kanakan dan penuh rasa ingin tahu itu terdengar ke telinga sang Uchiha.
"Memangnya ayahmu tidak pernah tersenyum, Sasuke?"
Sasuke dengan perlahan memutar arah kepalanya 180 derajat, berbalik arah dan menatap wajah anak yang mengenakan kaos oranye dan celana pendek putih itu.
"Jangan sok dekat memanggilku 'Sasuke', dobe," ancamnya dengan suara rendah, "dan jangan campuri pembicaraanku dengan aniki."
"Apa?" pekik Naruto terkejut, "Teme! Jangan panggil aku dobe!"
Sasuke membuang muka dan mendengus kesal. Tak peduli pada orang tua mereka yang sekarang sudah menatap heran pada pertengkaran kecil anak mereka ini.
"Sekali dobe tetap saja dobe. Mana ada orang yang menyapa tetangga barunya dengan melemparkan bola-bola aneh tak jelas?"
"Hei! Salahmu sendiri! Sewaktu melihatmu di kamar, aku sudah memanggilmu! Tapi kau tidak mendengarku!" balas anak pirang berumur sembilan tahun itu, "Jadi aku terpaksa memakai bola-bola koleksiku yang berharga untuk membuatmu melihat ke jendel- oh iya! Mana bolaku?" Naruto lalu mengadahkan tangan, meminta bola-bola kesayangannya kembali dari Sasuke, "Kenapa saat kuminta kemarin kau malah masuk lagi ke kamarmu?"
"Cih, yang melempar siapa yang meminta siapa? Aku tak akan mengembalikannya padamu."
"Teme! Kalau begitu biar aku ambil sendiri!" seru Naruto. Ia segera bangkit dari duduknya dan mengadahkan kepalanya pada orang tua Sasuke.
"Bibi Mikoto, paman Fugaku, boleh 'kan aku pergi ke kamar Sasuke untuk mengambil bolaku?"
Mikoto tersenyum kalem, mewakili izinnya untuk Naruto. Narutopun langsung melesat meninggalkan ruang tengah itu.
"I-ibu!" Sasuke terkejut, tak sedikitpun menyangka ibunya akan membiarkan seorang anak pirang yang berisik dan menyebalkan itu masuk ke dalam kamarnya. Padahal, yang baru mereka tahu hanyalah nama masing-masing saja. Bayangkan, Uchiha Sai, sepupu sekaligus sahabat Sasuke sekalipun butuh beberapa tahun untuk mendapatkan kepercayaan Sasuke dan bisa masuk ke dalam kamarnya!
Sasuke segera beranjak dari sofa, mengejar langkah sang anak pirang. Tapi sepertinya ini agak sulit. Rumah ini memang bukan rumah keluarga Namikaze, tapi mereka punya tipe rumah yang sama dan—sialnya, kamar yang lokasinya sama. Sang Uchiha bungsu akhirnya sampai ke kamarnya saat anak pirang itu sudah berada di balkon abu-abu kamarnya, memunguti bola-bola berwarna-warni itu dengan tangan kecilnya yang berwarna tan.
"Jangan seenaknya masuk ke kamarku, dobe!" serunya pada anak itu, segera setelah ia mencapai balkon.
"Kalau bukan untuk bola-bolaku, aku juga tidak sudi menginjak kamarmu, teme!" balas Naruto tak kalah sengit, sambil berjalan ke arah pintu kamar itu lagi. Niatnya sih, mau meninggalkan balkon-melintasi kamar Sasuke-melewati koridor- dan kembali ke ruang tengah. Kamar Sasuke, koridor, dan ruang tengah. Ulang sekali lagi, kamar Sasuke, koridor dan ru- ah, Naruto bukan Dora.
"Begitu?" balas Sasuke sambil menyeringai sinis, "kalau begitu jangan masuk ke kamarku lagi, dobe." Anak dengan rambut yang serupa dengan pantat bebek itu berdiri membelakangi pintu masuk, menghalangi jalan Naruto.
"He-hei! Trus bagaimana aku pulang?" Naruto sudah mulai panik.
"Lompat saja dari sini ke balkonmu!" balas anak yang mengenakan kaos biru berlengan pendek itu sambil bergerak maju, membuat Naruto mundur beberapa langkah ke belakang. Saat punggungnya menyentuh penyangga balkon, mau tidak mau Naruto menatap ke tembok dan balkonnya sendiri—dengan pandangan seram tentunya.
"Teme! Kakiku masih pendek tahu! Balkon kita memang dekat, tapi tidak mungkin aku bisa memanjat hingga ke balkonku itu!"
"Memangnya kubilang 'memanjat'?" Sasuke tersenyum penuh kemenangan, ia berhasil membuat Naruto terjebak antara tubuhnya dan balkon itu sendiri. "Aku tahu, meski rupamu seperti monyet, kau tidak pandai memanjat. Jadi, kuingatkan lagi, tadi aku bilang LOMPAT dobe."
"BRENGSEK!" maki Naruto, sungguh tidak senonoh untuk anak lelaki yang baru berumur sembilan tahun. Ia terus melanjutkan protesnya, "Kau pikir aku atlet lompat, apa? Dan asal kau tahu saja, aku ini pintar memanjat, tahu! Dan, satu lagi, AKU TIDAK MIRIP MONYET!"
"Hoh?" Sasuke tersenyum mengejek, "Kalau begitu tunjukkan kemampuanmu, M-O-N-Y-E-T D-O-B-E."
Naruto terdiam dengan wajah takut. Ia memang tidak begitu mengenal anak ini, kalau diingat-ingat lagi, mereka bahkan baru bertemu kemarin. Tapi dari kelakuannya hari ini, Naruto memahami satu hal:
Kalau tidak mampu memanjat sampai ke balkonnya, dia mungkin akan dilempar jatuh hingga ke tanah.
Well, mungkin tidak seekstrim pikirannya, tapi Naruto sungguh-sungguh percaya anak bermata onyx hitam ini bisa melakukan hal sekejam itu.
Akhirnya, ia mengumpulkan kekuatan ke pita suara dan lidahnya, serta mulai membuka mulutnya…
"BIBI MIKOTOOO! Aku mau diperkosaaa! " anak pirang itu berteriak asal—sedikit banyak pengaruh dari ketakutan dan kengeriannya terhadap Sasuke.
"A-apa?" pekik Sasuke terkejut.
Menyadari pertahanan Sasuke yang melemah, Naruto segera melempar semua bola di tangannya ke arah wajah Sasuke. Iapun berhasil melewati Sasuke yang sempat berpindah tempat untuk menghindari bola-bola karetnya, tapi masih harus berurusan dengan beberapa bola karet yang berhasil mengenai wajahnya. Bocah pirang inipun segera berlari melewati kamar dan koridor, melesat menuju ruang keluarga.
Berhasil.
Tapi bukan Uchiha Sasuke namanya kalau mau mengaku kalah…
Maka, sejak hari inilah, sejarah panjang kedua anak yang bertetangga ini dimulai…
-
To Be Continued…
-
.
.
.
…gimana, minna?
Apakah kemampuan Megu bikin yang fanfic non-angst itu sudah benar-benar menghilang? TT^TT *frustasi*
Aaah… biarlah! Apapun untukmu Frei! Pokoknya UAS besok musti lancar! Jangan kayak praktek Fisika kemarin! DX
.
.
BTW… numpang, untuk semua yang udah nge-update fic SasuNarunya, gomen… Megu cuma bisa ngelirik thread-nya, tapi belum sempat bachaaa… TT^TT *mengutuk HP yang semakin lambat loading* Ngeupload ini aja matinya setengah... TT~TT
Sabar ya… Lu-chan… Kuru... (awas kalo SaiNaru! DX) Sana … Yon-chan… Yuuzu-chan… Tsuki-san… *dihajar massal*
Akihito: Siapa juga yang menunggu review anehmu?
Megu: Author manapun cinta repiu, tahu! *digetok*
Jadi… review please?
