DEFYING GRAVITY
seluscorpion―2017
Lahir dalam keluarga terpandang dengan harta melimpah bukanlah pilihan Luhan. Begitupula tinggal di dalam manor di pinggir tebing yang dengan pemandangan laut namun dengan pagar tinggi menjulang dan segala kemewahananya, juga bukan keinginannya. Apapun yang dimilikinya saat ini. Entah itu wajahnya yang rupawan, mata coklat berkilau dengan bulu mata lentik, hidung bangir yang mungil, kulit putih tanpa goresan, bibir plum tipisnya, ataupun rambut coklat madu yang menawan. Atau harta yang berlimpah yang dapat digunakan untuk membeli berpuluh puluh pulau di daerah tropis. Juga kepribadiannya yang tenang, dan elegan layaknya penghuni istana membuat Luhan layak dengan sebutan sempurna.
Luhan tidak pernah pergi ke sekolah. Para ahli yang datang silih berganti ke manor untuk mengajarinya berbagai hal. Setelah Luhan menguasai suatu hal, orangtuanya akan mengirim seorang ahli di bidang lain untuk mengajari Luhan hal yang belum diketahuinya. Pantas saja jika Luhan juga merupakan anak yang dalam usianya yang masih tigabelas tahun telah menguasai berpuluh puluh alat musik, dan dapat berbicara berbagai macam bahasa di dunia dengan fasih, ia juga kaya akan ilmu ilmu yang tidak pernah diajarkan di sekolah, dan mempelajari teori teori yang controversial di mata ilmuwan ilmuwan dunia. Ah, satu poin lagi. Terpelajar.
Hari harinya selama tigabelas tahun ia habiskan dengan bermusik, melukis, atau membaca. Ia selalu bertanya tanya terhadap dunia luar. Selama hidupnya, ia belum pernah menginjakkan kaki keluar manor. Ia bahkan belum pernah melintasi gerbang hanya untuk berjalan jalan atau berbelanja. Satu satunya akses Luhan ke dunia luar adalah jendela besar di kamarnya yang berhadapan dengan dunia luar. Walaupun begitu, dunia luar tidak begitu terlihat karena jarak pedesaan dan manor yang cukup jauh.
Jauh di dalam hatinya. Ia ingin tahu apa yang ada di dunia luar. Apakah orang orang hidup rukunn dengan damai seperti apa yang salah satu gurunya katakana. Ataukah di dunia luar terjadi perang seperti yang ia baca di buku. Ia ingin tahu rasanya pergi ke pasar, bertemu dengan teman dan mengobrol ringan, mungkin juga bermain atau membaca buku bersama.
Kata orang orang yang pernah ke manor, kehidupan Luhan adalah kehidupan yang diinginkan semua orang. Menjadi sempurna seperti Luhan adalah impian orang orang kecil disana. Tapi Luhan tidak merasa begitu. Ia merasa seperti hidup dalam sangkar. Semua yang dibutuhkannya ada. Luhan tahu ini hanyalah egonya. Ia juga telah mempelajari bahwa manusia tidak akan pernah merasa puas. Tapi entah mengapa. Gejolak di dalam dadanya semakin besar semakin hari saat ia tumbuh dewasa. Dan akhir akhir ini Luhan belajar berkata yang kurang elegan. Ia menyebut hidupnya..
Memuakkan.
Menurut Luhan, hidupnya memuakkan. Dan seandainya ia boleh mendamba. Seandainya ia pantas untuk meminta kepada Tuhan. Ia akan meminta untuk bebas. Bebas melebarkan sayapnya yang sudah terlalu lama tertekuk dalam kekang sangkar.
oOo
Seperti hari hari yang telah berlalu, Luhan memainkan alat musiknya untuk mengisi waktu luang . Matanya terpejam menikmati setiap denting nada yang dikeluarkan oleh piano klasiknya. Suara lembutnya mengiringi alunan nada dari piano. Menggambarkan mimpi mimpinya dalam suatu nada dan membuatnya merasakan kebebasan yang dibuatnya sendiri.
"Luhan.."
Suara lembut ibunya menghentikan tarian tangannya diatas tuts piano. Luhan membuka matanya dan menatap ibunya dengan senyum manis.
"Ada apa, Eomma?"
"Luhan, eomma pikir kita perlu bicara. Bisakah kau ikut eomma ke ruangan eomma?"
"Baiklah.."
Luhan segera berdiri dan mengikuti perempuan paruh baya yang memakai gaun untuk pakaiannya sehari hari. Luhan pernah berfikir kenapa eommanya tidak memakai pakaian seperti yang orang orang pakai di buku. Dan saat itulah ia mengerti bahwa dirinya tidak sama dengan mereka. Luhan, adalah seorang bangsawan besar di Inggris. Begitupula eommanya.
Ketukan sepatu tinggi yang dipakai eommanya berirama. Langkahnya anggun mencerminkan jati diri ibunya yang sebenarnya. Begitu anggun. Luhan tidak pernah melihat ibunya tidak tampak anggun. Mungkinkah ibunya sudah anggun dari lahir? Mungkinkah ibunya dulu menangis dengan anggun saat lahir? Luhan selalu banyak berfikir. Itu secara otomatis terprogram dalam system di otaknya. Apa saja yang ada di sekitarnya selalu membuatnya bertanya tanya.
Di ujung lorong terdapat pintu besar yang tampah kokoh dengan ukiran yang sedikit menyeramkan. Sebenarnya, itulah tujuan mereka. Ruangan ibu Luhan.
Apa yang sangat penting sehingga eomma memintaku ke ruangannya?
Ah ya. Luhan belum pernah masuk ke dalam ruangan eommanya. Eommanya tidak pernah memperbolehkannya. Jadi bukan aneh kan jika Luhan khawatir?
KRIETT
Pintu dibuka dan terlihatlah sebuah ruangan mewah yang berisi buku buku dan perabotan berabotan yang mahal. Di salah satu sofa terdapat seorang anak laki laki yang duduk dengan meminum teh yang dihidangkan oleh maid.
"Sehun-ssi , apa kau menunggu lama?"
Lelaki itu terlihat terkejut―walau sebenarnya Luhan lebih terkejut Sehun tidak menyadari pintu sebesar itu dibuka dari jarak sedekat itu― lalu berdiri memberikan sebuah anggukan tanda hormat untuk Mrs. Lu. Luhan menatapnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia tampak seperti bangsawan muda yang datang untuk suatu hal yang penting. Oh dan ia juga tampan. Apa yang kau pikirkan, Lu?
"Tidak apa apa Nyonya Lu. Saya menikmati hari saya disini. Oh dan inikah Luhan?"
Laki laki itu menatap Luhan. Sekitar sepuluh senti selisih tinggi mereka jadi Sehun harus menunduk sedikit yang dianggap Luhan sebagai penghinaan. Lagipula ia terlihat sangat muda. Mungkin mereka hanya berjarak satu atau dua tahun. Luhan menundukkan kepalanya sedikit tersenyum tipis memandang lawan bicaranya.
"Selamat sore. Saya Luhan."
"Oh Sehun."
Kedua mata itu bersinggungan. Satunya dengan mata tajamnya dan yang lain dengan mata berkilauannya. Luhan tersenyum kemudian. Dan itu membuat dunia Sehun berhenti berputar sementara. Entah apa senyuman itu ataukah mata berkilauannya tapi satu kata yang membuatnya terpaku adalah kenyataan bahwa Luhan begitu.. Indah.
Saat itu, mereka belum mengetahui benang merah yang menarik kuat keduanya pda takdir yang telah dilukiskan.
"Mulai hari ini dan untuk beberapa waktu kedepan, Oh Sehun -ssi akan tinggal disini. Aku mengatur kalian untuk tidur di ruangan yang sama agar kalian berdua bisa berteman dekat."
Teman.
Luhan sudah memimpikan hari ini selama hidupnya. Luhan sudah membaca banyak buku tentang persahabatan . Semua yang menyenangkan, menyedihkan, perasaan campur aduk dalam sebuah persahabatan. Bayangan adegan yang dibacanya berputar bagai rol yang tidak pernah berhenti. Mata Luhan berbinar. Oh Sehun, mungkin akan menjadi sahabat pertamanya.
S ehun sendiri belum kembali pada kesadarannya dan senyum bahagia yang ditunjukkan Luhan membuatnya semakin tidak bisa berkata kata. Otaknya buntu. Ia hanya ingin melihat Luhan dan terus melihatnya seperti ini. Bahagia dan penuh harapan seperti ini.
oOo
"Haahh.. Lelah sekali.."
Sehun melepaskan nafasnya panjang seperti membuang beban berat yang sudah menggerogoti tubuhnya selama satu abad. Tubuh tingginya ia rebahkan di tempat tidur super empuk yang tiba tiba berada di kamar Luhan.
"Ah ada tempat tidur ekstra di kamarku! Apa ini berarti kau akan tidur disini?"
Luhan merayap mendekati Sehun dan berhadapan langsung dengan wajahnya. Matanya masih dihiasi kilau itu. Dan Sehun merasa lelahnya terangkat seketika. Perjalanan dari Paris bukanlah suatu hal yang melelahkan setelah melihat wajah Luhan yang memiliki tipe refreshing. Mungkinkah Sehun jatuh cinta pada pandangan pertama?
Pfft. Jangan buat Sehun malu pada dirinya sendiri. Ia tidak mungkin terjebak pada suatu hal yang klise seperti itu. Tapi perasaan ini bukan main main. Ia merasa lebih baik ia tidur sekarang daripada ia gila.
"Pergilah, rusa", usir Sehun.
"Rusa? Ada rusa? Dimana rusa? Aku tidak tahu ada rusa disini―" Luhan memotong perkataannya, lalu menatap Sehun.
"Mungkinkah.. Kau membawakan aku rusa dari Paris?!"
Luhan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Terkejut. Ia tidak menyangka Sehun ternyata semanis itu. Tapi untuk apa Sehun membawakannya seekor rusa? Ia bisa saja membawakannya oleh oleh khas Prancis 'kan? Seperti menara Eiffel?
Sehun tidak akan membawakan menara Eiffel untukmu, Lu.
Sehun memutar bola matanya malas, "Kau itu yang rusa. Dasar rusa. Lihat matamu itu berkilauan."
Sehun mengejek, namun terselip pujian dalam ejekannya.
"Lagipula hey. Kudengar Luhan itu bangsawan yang sangat elegan dan kalem. Bagaimana bisa kau secerewet ini?", Lanjutnya sinis.
"Aku tidak cerewet!", Luhan menggembungkan pipinya, dan Sehun menangkap itu sebagai sesuatu yang lucu.
Oh tidak. Sehun pasti sudah gila.
"Juga, matamu itu tidak pernah kau pakai ya? Aku ini manusia. Aku berjalan dengan dua kaki bukan empat. Aku juga tidak punya tanduk", gerutunya kesal.
"Jelas kau tidak punya tanduk, kau 'kan betina", Sehun membalas.
"Apa?! Ya! Kau menyebalkan dasar albino!"
"Ya aku tahu aku putih, terima kasih"
"Apa?! Argh!"
S ore hari itu, kamar Luhan terdengar lebih ramai dan lebih hangat dari biasanya. Mungkin karena kehadiran Sehun yang membuat hari itu jadi lebih berwarna. Dan mungkin juga karena tidak ada lagi suara musik penyendiri yang menyayat hati.
oOo
Dalam kegelapan, bulan selalu tampak bersinar. Namun tidak selalu seindah saat para bintang berada di sekelilingnya. Begitupula bagaimana senyum Luhan terlihat. Begitulah isi perbincangan maid maid manor. Suara tawa yang jarang terdengar atau wajah Luhan yang cemberut menjadi hal hal yang sering dilihat para penghuni manor sejak kedatangan Sehun. Dalam keheningan malam, kedua anak yang berada di awal remaja itu tidak merasa lelah. Ada saja kegiatan yang mereka lakukan untuk menghindari tidur. Mereka tahu waktu mereka bersama tidak akan lama. Walau bagaimanapun, Sehun akhirnya akan kembali ke Paris dan mengakhiri liburannya.
"Uh.. Sehun-ssi.. Bagaimana kehidupanmu di Paris?"
Luhan bertanya disela nafasnya. Matanya melirik tubuh tinggi yang terbaring di sampingnya meraup nafas sebanyak banyaknya. Setelah perang bantal yang mereka lakukan atau lebih disebut perang dunia di kamar Luhan yang kini penuh dengan barang yang berserakan, Mereka terbaring di lantai dengan menatap langit langit mengambil nafas sebanyak yang mereka bisa.
"Yah.. Kau tahu. Aku anak kedua setelah hyungku", jawab Sehun
"Kau tahu. Aku selalu merasa dinomor-duakan. Semua orang memuji hyungku. Karena kepandaiannya, karena ketampanannya. Tapi tidak ada yang memujiku untuk apapun. Yah, aku memang selalu disayang, Namun seperti rasa sayang mereka itu semata mata karena aku putra dari Tuan Oh dan tidak ada alas an lain lagi." Lanjutnya
Luhan menatap Sehun sebentar. Kata kata seperti aku mengerti perasaanmu hamper keluar dari bibir tipisnya. Namun, Luhan menahannya. Ia tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Ia adalah anak tunggal yang memiliki seluruh perhatian dan kasih sayang ada di manor. Dia tidak bisa memberikan kehangatan palsu pada teman barunya.
"Tidak seperti kakakku, aku dibiarkan berkeliaran di pedesaan. Mereka mungkin menyuruhku belajar bersosialisasi tanpa tahu aku tidak suka bersosialisasi, seperti keluarga Oh yang lainnya"
Mata Sehun menerawang. Memandang ke langit langit. Namun Luhan tahu apa yang Sehun lihat sekarang bukanlah langit langit. Sehun menatap jauh ke kehidupannya. Jauh di tempat yang Luhan belum pernah datangi sebelumnya. Paris. Pedesaan.
"Kau tahu, aku mulai berpikir kalau keluarga Oh memang asli orang orang yang anti sosial." Sehun terkekeh pelan. Lalu menatap Luhan. "Bagaimana dengan kehidupanmu?" tanyanya kemudian.
"Aku? Ah.." Luhan tersenyum sebentar. Ditanyai hal semacam ini membuatnya merasa ada orang yang akan mendengarkannya berbicara dan membantunya membawa beban yang ditanggungnya seorang diri selama ini.
"Aku hidup sebagai anak pertama dan satu satunya di keluarga Lu. Aku jarang bertemu dengan orangtuaku. Hanya di saat saat tertentu. Tapi, aku tidak pernah merasa bahagia." Luhan memotong perkataannya. Mengingat kembali hari harinya yang penuh dengan kesendirian.
"Guru guru silih berganti mengajariku berbagai macam hal. Awalnya itu terlihat sangat menarik. Namun lama lama aku bosan dengan pelajaran dan metode pembelajaran yang menurutku begitu begitu saja. Namun, ada poin yang membuatku senang dengan adanya guru guru itu. Orang asing. Mereka adalah orang orang asing yang pernah bertemu denganku dan hanya merekalah yang bisa aku temui untuk diajak bicara. Tapi, aku cepat bosan dengan guru guru itu. Mereka selalu bersikap seperti aku adalah orang yang patut dilayani dan dihormati. Bukan ditemani" tatapannya berubah murung.
Sehun melihatnya. Namun ia merasa Luhan masih mendapat perhatian lebih dari orangtuanya. Jadi ia merasa sedikit iri pada bocah kecil itu.
"Jadi aku selalu berusaha keras meguasai pelajaran pelajaran yang setiap guru berikan sehingga aku bisa bertemu guru lainnya. Berusaha bertemu seseorang yang sekiranya bisa menjadi temanku." Lanjutnya dengan harapan yang terpancar.
"Kau tahu, Sehun-ssi.."
"Kau tahu, Luhan"
Keduanya berucap bersamaan. Berusaha membeberkan ketidak setujuan yang terdapat dalam dua cerita kehidupan yang baru keduanya ceritakan.
"Ah, kau duluan Sehun-ssi."
"Baiklah.. Pertama, tolong jangan gunakan kata formal kepadaku. Aku tahu aku terlihat lebih tua darimu. Tapi aku risih dengan embel embel ssi yang membuatku terdengar tua. Kau mengerti?"
Luhan mengangguk pada poin pertama Sehun.
"Kedua, sebenarnya hidupmu sempurna. Apa yang kau dapatkan dapat kau jadikan sebagai bekal masa depanmu nanti saat kau memegang kuasa penuh atas bisnis keluargamu. Kau juga mendapat perhatian dari orangtuamu, terbukti dari pengajar yang silih berganti datang padamusetelah kau selesai dengan satu mata pelajaran."
Sehun mendudukkan tubuhnya. Menatap Luhan yang masih berbaring dengan heran.
Apa yang salah dari hidup Luhan? Ia mendapatkan segalanya. Namun, ia menceritakannya seperti sesuatu yang berat berada di pundaknya. Ia juga tampak tidak senang.
Luhan menekuk bibirnya ke bawah. Mendudukkan tubuhnya sehingga tingginya sejajar dengan Sehun.
"Tentu saja tidak sesempurna itu, Sehun. Maksudku, belajar tidak selalu semudah yang kau pikirkan. Kadang aku bisa frustasi mempelajari suatu hal yang benar benar tidak bisa kupahami. Juga, itu silih berganti. Demi Tuhan. Satu saja sudah membuat kepalaku hamper meledak." Kata Luhan berapi api.
Sehun melirik Luhan sekilas. Membayangkan hidupnya penuh dengan kertas berserakan dan tugas tugas yang tiada akhir ternyata tidak terlalu bagus.
Benar juga,pikirnya
"Sehunna.. Kurasa hidupmu lebih menyenangkan. Kau dibebaskan dari segala tanggung jawab karena hyungmu mengambil alih semua tanggung jawab yang ada di manor." Luhan menyampaikan ketidak setujuannya.
"Bukankah bebas terbang lebih menyenangkan daripada hidup dalam sangkar? Kau bisa menikmati apa yang ada di dunia. Indahnya kebahagiaan. Sakitnya kesedihan. Apa yang dirasakan penduduk desa. Kau bisa melihat warna warni yang tersebar di seluruh dunia. Merah, kuning, hijau, bahkan semua warna yang belum pernah kau ketahui dan yang tidak ada di buku. Semua ada disana!"
Luhan berdiri. Dengan senyum lebarnya menghapiri jendela besar yang terdapat di kamarnya. Melihat kerlip redup dari rumah rumah penduduk desa yang terlihat kecil dari manornya.
"Bukankah itu indah, Sehun?"
Matanya berkilau. Kulitnya terlihat bersinar diterpa cahaya bulan yang masuk melalui kaca jendela Luhan. Sehun terpana. Namun ia tidak bisa berbohong. Tidak semua yang dikatakan Luhan itu benar. Dunia ini tidak seindah itu.
"Apakah itu indah, Lu?"
Sehun berdiri menghampiri Luhan dengan kaki panjangnya. Melihat ke jauh ke pedesaan yang selama ini menjadi tempat bermainnya.
"Apakah dunia ini seindah yang kau pikirkan? Hidupmu.. Menurut orang orang yang ada disana. Adalah yang terindah yang ingin mereka dapatkan. Mereka ingin bisa hidup di dalam rumah sebesar ini. Dengan harta sebanyak ini. Dengan semua yang menyayangimu ada di sekitarmu. Apa lagi yang kurang Lu?"
Sehun menatap Luhan yang hendak menjawab. Namun perkataannya ia potong.
"Sosial. Ya. Kau ingin melihat dunia. Dunia yang kejam ini dengan matamu sendiri? Apa kau yakin? Melihat hidupmu yang damai seperti ini. Kau akan jadi orang ternaif yang paling cepat mati di luar sana. Kau akan merasa kasihan melihat pencuri yang dipotong tangannya. Kau akan merasa kasihan melihat para kriminal yang hidup dipisahkan dari keluarganya karena harus menjalani sisa hidup mereka di pengasingan. Kau akan jadi orang yang paling sering dikhianati oleh orang orang licik diluar ini tidak seindah yang kau pikirkan, Lu"
Kilau dimata Luhan hilang. Berganti dengan rasa takut kalau ternyata mimpinya tidak seindah apa ia mimpikan selama ini. Jika benar, lalu apa yang sebenarnya ada di dunia. Jika itu buruk. Luhan benar benar tidak siap. Ia tidak ingin keluar.
"Aku―"
"Tapi aku bisa membuatmu bisa siap menghadapi dunia."
Kilau yang sempat pudar di mata Luhanpun kembali. Ia tersenyum. Melihat harapannya berdiri di hadapannya dan menunjukkannya jalan kepada mimpi yang ingin diraihnya.
"Sehunna.. Terima kasih!"
Luhan menubrukkan tubuhnya dan memeluk Sehun. Menyampaikan kebahagiaannya yang tidak bisa ia simpan sendiri. Sehun terkejut. Melihat ini pertama kalinya ia dipeluk seseorang. Namun tubuh Luhan sangat hangat dan nyaman. Dengan sedikit ragu, ia melingkarkan tangannya di punggung Luhan dan mengelus punggungnya pelan.
Astaga.. Aku tidak tahu jika dipeluk rasanya senyaman ini!
Dan astaga. Es kutub Oh Sehun telah mencair.
To be continued..
Sebenarnya saya cuma mau cari kegiatan karena entah kenapa saya ngerasa jadi pengangguran setelah UN dan nggak ngapa ngapain selama sebulan TT TT. Saya juga nggak ada agenda jalan sama temen jadi bener bener nggak ada kegiatan. Oh ada sih. Tiduran sama nonton anime TT TT tapi kadang tetep aja bosan TT TT jadi untuk mengisi waktu luang saya berpikir untuk membuat fanfictiondengan pemeran OTP saya ho ho. HunHan! Ah kangen banget ya rasanya :" Udah 3 tahun sejak hari penuh rasa sakit namun tanpa darah itu.
Ini nanti akan jadi fanfiction yang fokusnya ke heartwarming dan slice of life. Pokoknya yang nggak berat berat amat dan isinya full manis manis. Walau mungkin nanti ada konfliknya sedikit hehe.
Oh iya karena ini fanfiction pertama saya di akun ini. Saya post dua chapter sekaligus dengan dua bacotan saya yang berbeda ho ho. See ya pada bacotan next chapter!
