Bayangan. Kembaran gelap refleksi dirimu. Tidak ada yang bisa lari dari bayangan. Tidak ada yang dapat menghilangkan bayangan, kecuali tertarik masuk dalam kegelapan itu sendiri...

Bullet

Kuroko no Basket Fanfiction

Disclaimer : Fujimaki Tadoshi, semua nama senjata yang tertera, masing-masing adalah milik pabrik dan penemu senjata tersebut. Cover bukan punya Saya, Saya mngunduhnya di google :)

Warning : OOC, typo(s), AU, OC (maybe next chapter), crime gagal *pundung* tombol back siap menanti~

Ia melangkahi beberapa penjaga gedung –yang mungkin sudah tak bernyawa akibat beberapa peluru yang ditembakkannya, barusan– yang tergeletak di lantai koridor dengan luka tembak di beberapa bagian tubuh.

'17 orang? Mungkin ini sebagian besar penjaga yang berada di lantai ini. Ini akan mempermudah misi penjagaanku.'

Kaki berbalut celana kain hitam itu melangkah hampir tanpa suara, seminimal mungkin menimbulkan efek gema di koridor dengan intensitas cahaya minim yang disusurinya. Tangannya menggenggam erat Walther P99 dengan telunjuk siaga pada pelatuknya. Ia menghentikan langkah saat berada sekitar tiga kaki dari sebuah pintu dan merapatkan punggungnya ke tembok. Bunyi ala penyetelan radio kuno terdengar saat seseorang mencoba menghubunginya melalui seperangkat alat komunikasi yang terpasang di telinga dan microphone yang bertengger di pipinya.

"Tetsu-kun, posisimu?"

"Sesuai misi..."

"Kau ingat? Jangan biarkan siapapun memasuki ruangan itu."

"Baik."

Komunikasi di-non-aktifkan satu arah. Iris azure pemuda itu terpejam sejenak. Beberapa derap kaki terdengar mendekat dari ujung koridor. 'hanya dua atau tiga orang,' pikirnya. Interior desain bangunan itu cukup menguntungkan baginya. Bagian tembok yang menyembul menyerupai tiang setengah lingkaran yang berjarak sekian meter antara satu dan lainnya membantunya menyembunyikan diri. Kuroko mengitip pergerakan targetnya. Membidik target dan menekan pelatuk. Suara erang kesakitan menandakan tembakannya tepat sasaran. Salah satu penjaga itu telentang bersimbah darah. Keduga rekannya meningkatkan kesiagaan. Kuroko kembali menekan pelatuk senjata laras pendeknya. Timah panas melesat dari mulut senjata. Tampaknya kali ini agak gagal, hanya mengenai daerah belikat. 'Sekali lagi!' dan butir timah berikutnya tepat mengenai dada sebelah kiri.

'Tinggal seorang lagi...'

Penjaga ketiga mempercepat tempo berjalannya. Mengelurakan satu lagi senjata laras pendek. Kini kedua tangannya menggenggam Mark 23. Kedua telunjuknya bersiap menekan pelatuk masing masing senjata.

"Keluar kau! Brengsek!"

'Eh? Dia tidak tahu posisiku?' Ah, Kuroko lupa. Mungkin disaat-saat seperti inilah missdirection-nya berguna. Penjaga itu menambah akselerasi pada tempo berjalannya, tak sadar dia mendapati posisinya di depan si penembak misterius. Dengan tenang, Kuroko menekan pelatuk senjatanya. Sepertinya ini rekor baru bagi Kuroko, menyelesaikan 3 orang dalam waktu kurang dari 5 menit.

Satu per satu targetnya jatuh. Manik zamrudnya fokus pada pengintaian terget dari balik lensa teleskop pada AW Magnum–senjata api kesayangannya. Sedikit rasa bangga muncul dalam hatinya saat semua timah panas yang dilontarkan senjatanya berhasil mengenai target dan tepat sasaran jika saja dia tidak mengingat Ia baru saja menghabisi nyawa beberapa orang.

"Midorima-kun, tolong selesaikan gedung sebelah barat..."

"Ah, wakatta..."

Midorima mengubah posisinya. Moncong senjatanya Ia arahkan ke sebelah barat. Posisinya yang berada di atas atap salah satu gedung tertinggi di daerah itu, mempermudahnya menjalankan misi. Midorima melanjutkan kegiatannya dengan fokus dan hati-hati seperti biasa.

'Tidak perlu menghawatirkan Midorima-kun,' batin Momoi Satsuki. Sudah menjadi tugasnya memonitori pekerjaan setiap anggota ketika menjalankan misi. Setidaknya Midorima dan kuroko cukup efisien dalam menjalankan misi.

Momoi menghela napas panjang. Mengingat kedua rekan biru-kuning yang belum Ia hubungi. Jemarinya dengan cepat mengetikkan beberapa keyword pada keyboard komputernya. Monitor menampilkan rekaman CCTV yang dipasangnya untuk mengintai beberapa bagian gedung yang menjadi markas target. Memilih salah satu video. Iris sewarna The Vivid Pink miliknya mengamati monitor.

'Sudah kuduga...'

Momoi mencoba menghubungi kedua rekannya yang kini terlihat sedang bertarung tangan kosong dengan beberapa penjaga bersenjata.

"Aomine-kun! Berhenti bermain-main dan segera selesaikan!"

Nada geram keluar dari kerucut bibir gadis merah jambu. Kesal melihat rekannya membuang-buang waktu saat menjalankan tugas. Mereka dilengkapi dengan senjata laras pendek, laras panjang, dan beberapa senjata tajam. Haruskah memamerkan kekuatan dengan berkelahi tangan kosong? Lagipula mereka tidak sedang berada di arena pergulatan. Mereka sedang menjalankan misi!

"Oi Satsuki, kenapa hanya aku? Kise juga melakukan hal yang sama denganku..."

"Mou, Aominecchi! Jangan tuduh aku sembarangan!"

Kise sepertinya tidak ingin namanya dibawa-bawa. Tapi dusta kalau Ia mengatakan barusan Ia melaksanakan misi dengan serius dan tidak sedang adu kekuatan dengan Aomine.

"Selesaikan misi kalian sekarang!"

"Iya, iya, ini juga sedang dikerjakan, kau cerewet Satsuki..."

Momoi menghela napas, angkat tangan dengan perilaku rekan biru-kuningnya tersebut. Biarkan mereka berkembang. Manik merah muda Momoi menangkap segerombolan penjaga bersenjata mendekat ke posisi Kise dan Aomine.

Aomine dan Kise menjatuhkan penjaga terakhir yang mereka hadapi dengan satu pukulan telak pada tengkuknya. Merenggangkan lengan seolah baru saja menyelesaikan pemanasan. Derap langkah segerombolan orang terdengar dari arah berlawanan.

"Aomine-kun, dari dua arah berbeda..."

"Aku tahu, Satsuki..."

Aomine dan Kise menyiapkan senjatanya. Waktunya bekerja bagi AK-47 yang sedari tadi di sampirkan pada bahu mereka. Aomine dan Kise berdiri saling membelakangi diantara beberapa penjaga yang tergeletak tak sdarkan diri di lantai koridor. Kedua gerombolan penjaga yang datang dari dua arah pada ujung koridor yang berbeda mendapat sambutan peluru. Akurasi yang hebat sehingga tak satupun selongsong peluru yang terbuang percuma –semua mengenai beberapa titik vital dari target.

"Aku yang tercepat, Aominecchi."

"Itu hanya persaanmu saja, Kise."

"Ah? Bukannya target terakhir Aominecchi jatuh beberapa detik setelah target terakhirku jatuh."

"Tapi peluruku duluan yang mengenainya..." Telunjuk Aomine mengarah ke salah satu penjaga yang terkapar tak berdaya dekat ujung koridor.

"Daiki! Ryouta! Jangan berteriak saat alat komunikasi kalian menyala, atau kalian akan tahu akibatnya..."

Seketika Aomine dan Kise bungkam. Membayangkan kekejaman Akashi bagi siapapun yang menggugat keabsolutannya. Ruang delusi mereka terinvasi oleh khayalan akan beberapa bagian tubuh yang tertancap gunting. Mengerikan. Pepatah diam itu emas mungkin sangat cocok ditujukan bagi Aomine dan Kise saat ini. Mencoba berpuasa bicara demi merasakan penderitaan tuna wicara, itu alibinya.

Akashi berjalan perlahan, sedikit demi sedikit mengeliminasi jarak dengan seorang berpakaian necis yang meringkuk di sudut ruangan.

"Si-siapa kau?"

Peluh menetes dari dahinya. Lelaki itu gemetar ketakutan melihat Akashi dan rekan berambut ungu yang telah menghabisi semua bodyguard-nya dalam ruangan itu. Tangannya merogoh saku jas dan menodongkan pistol dengan gemetar. Alis kiri Akashi menukik. Tangannya memainkan pisau lipat dengan santai.

"Apa kau tidak akan meyesal telah berkeinginan mengetahui siapa Aku?"

"..."

Akashi mendekatkan ujung pisau lipat pada pelipis lelaki itu. Beberapa tetes darah keluar dari pembuluh darah bawah kulit yang dipaksa pecah.

"Apakah tidak sebaiknya kalau kau yang memperkenalkan diri terlebih dahulu? Hm?" Nada bicara yang merendahkan, khas Akashi.

Bukan gayanya jika berlama-lama dalam menyelesaikan misi. Tapi maksud dan niat tertentu dapat membuat seseorang melakukan hal diluar kebiasaannya. Akashi bukan orang kejam tapi bodoh yang membiarkan informasi penting lenyap begitu saja hanya karena beranggapan tidak ikut campur dan menutup mata akan kasus kliennya adalah sebuah tindakan dedikasi terhadap pekerjaan dan sikap menghormati atas asas-asas yang dipegang teguh oleh beberapa individu dan kelompok yang berprofesi sama dengannya.

"Bu-bukan Aku! Aku hanya suruhan..." Suara gemetarnya merefleksikan ketakutan luar biasa.

"Kalau bukan kau, siapa? Apakah penjaga bodoh yang mati terkapar di bawah meja? Kalau dlihat lagi, kurasa tadi kau yang memerintah mereka," Akashi melempar pisau lipatnya pada ke arah jendela. Tampak dari jendela tanpa tralis, seorang penjaga –yang dengan bodoh mencoba menyusup– dengan pisau tertancap tepat di tengkoraknya melepaskan pegangan tali dan memenuhi hukum gravitasi. Jatuh.

"Aku berani bersumpah! Aku hanya suruhan, Ketua yang mengendalikan semuanya..."

"Hmm? Lalu?" Tatapan matanya tajam, Akashi sekali. Pemuda beriris scarlett merogoh revolver dari saku jasnya.

"Dia itu... white colar..."

"Kau terlalu banyak bicara, kata-kata terakhir yang kurang mengesankan."

Pelatuk ditekan, bau mesiu menguar di udara. Dengan ini, misi selesai.

Akashi berjalan mendekati pintu, diikuti Murasakibara di belakangnya. Tangannya memutar knop dan menariknya. Melangkah keluar ruangan dan menemukan Kuroko dengan posisi siaga tepat di sebelah pintu.

"Doumo, Akashi-kun... Apa sudah selesai? "

"Seperti yang kau lihat, kerjamu bagus Tetsuya, tidak ada serangga pengganggu."

Kuroko sudah terbiasa dengan frasa dan ungkapan-ungkapan kasar. Dia tidak terdistraksi dengan perkataan Akashi, meskipun itu boleh jadi salah satu kalimat paling merendahkan yang mungkin pernah didengarnya.

'Lagipula Akashi-kun memujiku kali ini.' Kuroko memasukkan senjata api produksi Jerman yang sejak tadi ia genggam.

"Arigatou, Akashi-kun..."

"Hn, jangan lupa beri tahu Satsuki, Suruh dia menghubungi klien dan bilang pada Jendral itu untuk mengirimkan bayarannya tepat waktu."

"Hai'..."

.

Hyuuga menghela napas. Ia mengacak-ngacak rambut hitamnya, melepas kacamatanya, dan memijat pelipisnya pelan. Ratusan kasus pembunuhan telah dipelajari dan dianalisa olehnya. Matanya lelah memandangi layar monitor seharian. Mungkin angka dioptri lensa kacamata untuk menunjang kemampuan akomodasi lensa matanya akan bertambah lagi.

"Hyuuga-kun, apa ada informasi baru?"

"Tidak, belum ada hanya beberapa kasus pembunuhan dan penyelundupan narkoba yang saat ini sudah dalam proses penyelesaian. Sejauh ini, hanya informasi tentang bubarnya kelompok pembunuh bayaran yang dijuluki 'Kiseki no Sedai' –oleh kalangan mafia dan pembunuh bayaran lain– beberapa bulan lalu yang menjadi informasi hangat"

Gadis berperawakan mungil itu memegang dua cangkir cappucino, memberikannya satu pada pemuda bersurai hitam. Riko menyesap minuman kolaborasi kopi dan susu sembari menatap Hyuuga. Atensinya terpusat pada lingkaran hitam dibawah mata rekan kerjanya.

"Kau tidak perlu memaksakan diri, beristirahatlah sejenak,"

Hyuuga mengambil cangkir cappucino-nya, menyesapnya kemudian.

'Tidak panas'

Ia menenggaknya, beberapa teguk hingga cangkirnya kosong. Untung saja minuman olahan kopi yang ini tidak berampas. Hyuuga sedang bersemangat sekarang. Entah kenapa, efek stimulan dari kafein mungkin? Tapi kafein tidak bereaksi secepat itu, lagipula yang baru diminumnya hanyalah cappucino yang setahunya punya kadar kafein yang rendah.

"Tidak, kita harus segera mengetahui semuanya! Kejahatan kera putih mungkin bisa menguasai dunia!"

Riko memasang tampang datar sebagai tanggapan perkataan Hyuuga. Visualisasi ala komik, mungkin surai hazel Riko telah mengeluarkan sebutir keringat berbentuk buah salak. Perkataan rekan kerjanya terlalu naif. Persis seperti murid taman kanak-kanak yang mengatakan monster dari luar angkasa akan menguasai dunia.

"Tapi mungkin Aku memang butuh istirahat, mungkin berjalan-jalan sebentar..."

Hyuuga meregangkan kedua tangannya. Menggemertakkan leher dan punggungnya, pegal. Hyuuga berjalan menuju pintu. Mengulurkan tangan, mencoba menarik gagang pintu.

"Ne, Hyuuga-kun, kelompok pembunuh bayaran itu... Maksudku, Kiseki no Sedai... Anggotanya berapa orang?"

Hyuuga menghentikan langkahnya. Memutar balik direksinya. Cerebrumnya mencoba menggali, mengumpulkan, dan menyimpulkan informasi yang sepertinya berserakan dalam memorinya.

"Entahlah, menurut saksi mata mereka bergerak berempat dan seorang sniper, berarti berlima... dan mereka bergerak sangat terkoordinir... mungkin ada seorang lagi yang bertugas memonitori."

Hyuuga menarik gagang pintu kaca ruangan itu. Riko mengikutinya. Penat juga berada lama-lama dalam ruangan. Apalagi ruangan dengan pendingin ruangan seperti tempatnya sekarang. Riko ingin berkeliling sebentar –diluar ruangan, pastinya. Alveoli dalam paru-parunya akan senang jika sekali-sekali mendapat asupan udara yang mengandung banyak oksigen.

"Jadi, hipotesismu mereka memiliki 6 anggota? Kudengar setahun yang lalu, mereka menghabisi sekelompok mafia di markasnya –entah siapa yang menyewa mereka, sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat– sulit dipercaya kalau mereka hanya beranggotakan 6 orang,"

"Yah, mungkin karena itu mereka dijuluki Kiseki no Sedai, kelompok itu licin, bekerja seperlunya dan tidak meninggalkan jejak."

Hyuuga dan Riko berhenti di sebuah lapangan latihan tembak. Bekerja dibawah organisasi pemerintah yang dirahasiakan identitasnya dan bertugas menyelidiki segala tindak kriminal yang sebagian besar berhubungan dengan gangster dan mafia, membuat mereka wajib mahir dalam mengoperasikan senjata api.

"OI, HYUUGA! KEMARI!"

Lapangan hijau yang cukup luas. Wajar saja, butuh teriakan untuk memanggil seseorang yang berada di ujung lapangan yang berbeda denganmu.

Hyuuga dan Riko tidak berjalan melintasi lapangan. Mereka lebih memilih berjalan melalui koridor di sekitar lapangan. Menghindari resiko peluru nyasar, begitu kata mereka. Tenda tempat istirahat dan penyimpanan senjata sementara yang mereka datangi sekarang, tidak begitu luas. Hanya ada meja, kursi, serta lemari dan rak-rak penyimpanan perlengkapan. Koganei dan Izuki mempersilahkan mereka duduk di kursi-kursi sederhana ruangan itu.

"Hyuuga, Riko, tidak biasanya kalian berkunjung." Koganei membuka percakapan dengan statement bahasa basi-nya.

'Twitch'

'Bukankah kau yang berteriak-teriak seperti Tarzan dan memanggilku kemari?' ungkap Hyuuga sarkastik sembari mengepalkan tinju di tangan kanan dan meraih kerah baju Koganei. Dalam imajinasi Koganei, Ia merasa tubuhnya mengecil dan nyawa imajiner keluar dari tubuhnya.

"Kami hanya kebetulan lewat, kalian memanggil kami. Apa ada yang penting?"

Riko menyusun kalimat tanya, berharap agar waktu luang berharganya tidak terbuang sia-sia di ruang beraroma mesiu ini.

"Ada anggota baru, mungkin kalian sudah pernah melihat berkasnya –bahkan kau yang meng-ACC-nya, Riko– tapi, tidak ada salahnya memberikan sedikit masa orientasi."

Air muka Hyuuga dan Riko terlihat senang mendengar kata-kata Izuki. Jarang ada yang mau melamar pekerjaan ini. Ada banyak kendala. Informasi pekerjaan ini bukan seperti lowongan kerja pramuniaga yang di banyak tempel di tembok-tembok gedung perkotaan. Selain itu, jarang orang yang rela sisa hidupnya didedikasikan pada pekerjaan dan dirahasiakan identitasnya serta dibatasi hubungannya dengan orang-orang diluar pekerjaan.

"Mereka sedang latihan menembak."

Koganei, Izuki, Hyuuga dan Riko berjalan menuju lapangan. Siluet pemuda dengan tinggi sekitar 190 cm dan postur tubuh yang sempurna, terlihat sedang berlatih mengoperasikan senjata api laras pendek dengan menembakkan peluru pada dart board yang berjarak sekitar 20 m darinya. Pemuda memegang senjata dengan tangan kanan dan berdiri dengan posisi kaki kiri di belakang. Ia menekan pelatuk senjatanya. Selongsong peluru dilepaskan. Tidak persis mengenai tengah sasaran, tetapi setidaknya berada dalam radius lingkaran paling tengah dari dart board.

'Akurasinya sempurna'

Riko melangkahkan kaki beralas kitten heels 5cm kearah pemuda itu. Bermaksud menyapa anak baru, Ia menepuk pundak lelaki itu yang membuat si empunya pundak menoleh.

"Siapa namamu?"

"Kagami Taiga ... desu," sadar bahwa mereka yang berdiri di depannya adalah atasannya, Kagami menunduk, gerakannya agak kaku, terkesan bahwa menunduk saat berkenalan bukanlah kebiasaannya.

Saat semua atensi tertuju pada pemuda berambut merah dengan highlight hitam, sebuah peluru melesat dari arah tangen dart board no. 2 dan tepat mengenai tengah papan dart. Kelima makhluk berbasis karbon yang berakal itu pun bertanya-tanya, 'SIAPA YANG MENEMBAK PELURUNYA?'

"Doumo, Kuroko Tetsuya desu, yoroshiku onegaishimasu..."

Surai azure pemuda itu melambai selaras dengan pergerakan kepalanya yang menunduk hormat. Satu detik hening, sebelum...

"HIIIEEE?"

–Continued–

(A/N) : hohoho... Author baru di dunia berbasis matriks dan analogika numerik (?) di situs bernama fanfiction ini... /halah

Terima kasih untuk semua yang telah mendoakan dan memberi banyak masukan... /hohoho... this fic dedicated to Audrey Lancaster-san J

Berhubung Aku author baru yang masih punya banyak kekurangan dan kesalahan, mohon kritik dan sarannya di pada kotak 'Review' di bawah ini.

Sign,

Alhy^^