Mata biru shappire itu menatapku nanar,

"Maaf, Sasuke… Maaf kalau aku justru menyusahkanmu…. Aku tak minta untuk disukai olehmu, tapi tolong jangan membenciku karena aku sudah seenaknya mencintaimu…."

"Lalu kenapa kau tak menghilang saja? Yang paling kubenci adalah keberadaanmu. Kalau kau tak ada, aku akan bahagia."

Itu mungkin kalimat terakhir yang sempat aku ucapkan padanya.

Naruto…

Naruto © Masashi Kishimoto

Author © Kazawa No Ghita

Disclaimer © Naruto milik Masashi Kishimoto, Ghita cuman meminjam untuk Fic ini

Rated T

Pairing © SasufemNaru

Warning © Typo, OOC, Alur GaJe, Berantakkan, DLL

Crsss…rsss….rssss…

Dalam keheningan itu, yang terdengar hanyalah bunyi air kran yang mengalir. Kubiarkan itu tetap tergenang dalam wastafel sementara lama kutatap bayanganku dalam cermin.

Kosong.

Aku tak benar-benar memikirkan sesuatu. Segalanya kadang datang dan pergi terlintas begitu saja. Lalu pandanganku tiba-tiba teralih pada bayangan noda kecoklatan di ujung t-shirt putih yang kukenakan. Aku bergidik kala hal itu mengingatkanku pada kenangan buruk tadi siang. Buru-buru kulepaskan t-shirt itu dan melemparkannya ke dalam keranjang sampah di sudut kamar mandi.

"Sial…" desisku.

Aku mengambil segenggam air dan mulai membasuh wajahku. Dingin. Terasa dingin menyelimutiku. Detik berikutnya, dengan sengaja kubenamkan kepalaku dalam bak wastafel berisi air itu. Berharap hal ini bisa membenamkan juga pikiranku. Biarkan semuanya pergi mengalir bersama air.

"Bhuaaah…."

Tak lama aku mengangkat wajah, menatap kembali bayanganku dalam cermin. Air menetes dari tiap ujung-ujung rambut raven-ku, turun menyusuri wajah dan tubuhku. Nafasku berburu cepat, masih terengah, namun hatiku tampaknya sudah jauh lebih tenang.

Merasa cukup. Lekas kusambar handuk yang tergantung dibalik pintu dan berjalan keluar tanpa melirik t-shirt putih kesayanganku yang sekarang sudah menjadi sampah.

Jam hampir menunjukkan pukul satu malam. Setelah berganti pakaian, aku langsung menghempaskan diri ke atas ranjang. Berbaring menatap langit-langit kamarku yang tinggi. Sejenak menghela nafas dan memejamkan mata.

Aku lelah, ingin tidur. Ingin melupakan hal buruk yang terjadi hari ini. Tapi setiap kali aku mencoba melupakannya, aku malah bisa mengingat semuanya.

Yah, aku ingat semuanya.

=== flashback: ON ===

Perasaan itu mendadak muncul. Saat tiba-tiba saja seolah ada yang menyuruhku untuk menoleh dan mendongakkan kepala. Memandang selintas bayangan baju berwarna merah yang bergerak turun dengan cepat. Entah apa, tapi aku merasa ada sesuatu yang terjatuh. Menyusul suara dentuman keras. Lalu tiba-tiba suasana mendadak panik. Orang-orang berteriak dan berlarian. Beberapa memandang ngeri, sedang yang lainnya malah mendekat dan berkerumun.

Jantungku berdegup kencang, merasa tak tenang.

'Apa? Yang barusan itu apa?', dalam hati aku bertanya-tanya.

Sedikit kulirik wajah kedua temanku yang melohok tak percaya.

Kiba tampak shock, mata coklat-nya membelalak, "Mengerikan…." gumamnya.

"Hei, kesana yuk!" ajak Shikamaru, lekas menarik lengan kami. Berdesak-desakan menerobos kerumunan. Aku berjalan pelan mengikuti mereka.

"Bunuh diri! Bunuh diri! Ada yang bunuh diri! Tolong! Tolong!" teriakan itu terdengar berulang kali.

Langkahku terhenti. Terhalang barikade petugas keamanan yang dengan sigap menutup lokasi kejadian agar tak menimbulkan kepanikan. Beberapa orang lainnya tampak berupaya menyingkirkan puing-puing reruntuhan counter yang hancur berantakan. Mencoba mengeluarkan sesosok tubuh yang terhimpit didalamnya. Orang yang entah nekat atau gila, sudah terjun bebas dari lantai atas mall ini.

Deg!

Aku terhenyak seketika melihat petugas berhasil mengeluarkan tubuh itu. Tubuh lunglai seorang gadis berpakaian merah, bersimbah darah dan tak sadarkan diri. Onyx hitam-ku membulat, menatap tak percaya. Sesaat jantungku serasa tertikam tajam. Berdebar sakit.

"Tidak…" desisku saat mengenali rambut long-yellow pemilik sosok itu.

"Lho, bukannya itu…" gumam Shikamaru.

Kiba menepuk-nepuk bahuku, "Heh, Suke, dia kan…"

"Naruto!" teriakku lantang. Tanpa diperintahkan, tubuhku langsung bergerak sendiri. Lekas menerjang dan menerobos masuk. Mencoba lebih mendekat. Memastikan sosok itu.

"Hoi, yang tidak berkepentingan dilarang masuk!" kata salah seorang petugas.

Kutepis tangannya yang bermaksud menghentikanku. "Itu Naruto!" bentakku padanya.

"Oh, jadi kau kenal dengan gadis ini?" tanya petugas lainnya.

Aku menoleh menatap sosok Naruto yang kini sudah dibaringkan diatas tandu, hendak dibawa menuju ambulans. Hatiku meringis melihatnya.

"Hn." Aku mengangguk mantap. "Aku mengenalnya."

=== end of flashback ===

"Aarrgghhh~"

Aku bangkit dan berteriak. Nafasku terengah. Jantungku berdegup kencang. Kutekan keras kepalaku, berharap bisa menekan rasa sakit ini.

"Tidak… ini tak nyata. Ini cuma mimpi buruk." Aku yakinkan hal itu berkali-kali pada diriku.

Tok…tok…tok… Lamunanku buyar ketika mendengar suara pintu kamarku diketuk.

Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu. Saat aku membukanya, tampak wajah Kaa-san dan Tou-san berdiri dihadapanku. Seharusnya tiga hari ini mereka ada di Oto untuk urusan bisnis. Tapi tengah malam begini, dengan masih berpakaian rapih, mereka terburu-buru pulang.

Kaa-san lekas menarik kuat bahuku, Onyx hitam-nya yang sembab menatap sedih.

"Benarkah itu Sasuke?" tanyanya dengan suara yang bergetar.

Rahangku mengeras. Aku hanya menelan ludah. Sudah tahu kemana ujung pembicaraan ini.

"Bagaimana kondisinya? Apa Naruto baik-baik saja? Kenapa hal ini bisa sampai terjadi? Kenapa Naruto mencoba untuk bunuh diri?! Apa kau tidak menjaganya dengan baik? Kau tahu alasannya, Sasuke? Naruto… Naruto… hiks… hiks… hiks…" Kaa-san membenamkan kepalanya dibahuku. Menangis. Berulang kali nama 'Naruto' disebutnya.

Aku hanya terdiam. Merasa terhempas. Yang dari tadi kuyakinkan 'bohong' adalah kenyataan.

Ya, tentu saja ini nyata.

Sasuke Uchiha, bahkan kau pun ada disana kan? Melihat kejadian itu…

Naruto Uzumaki. Entah apa yang terjadi sebenarnya, tapi dugaan sementara dia mencoba untuk bunuh diri.

.

.

.

'Setelah apa yang kulakukan, masih bolehkah aku menemuimu?'

Aku berdiri terpaku di depan pintu. Tanganku yang terkepal kembali lunglai, sekali lagi merasa ragu bahkan untuk sekedar mengetuknya.

"Aduh, gimana nih?" gerutuku kesal, sembari mengacak-acak rambut raven-ku, mengekspresikan kebingungan.

Sudah lebih dari sepuluh menit aku begini. Uring-uringan sendiri. Bolak-balik di depan pintu kamar pasien tanpa kelihatan mau datang menjenguk atau tidak. Orang-orang mulai menatapku heran. Lama-lama aku bisa dicurigai hendak berbuat jahat.

Ceklek… tiba-tiba saja pintu kamar itu terbuka.

Tak kusangka bibi Tsunade yang muncul, kami sama-sama terkejut.

"Ah, Sasuke?" sapanya ramah. "Datang untuk bertemu Naruto?"

Aku yang salah tingkah hanya mengangguk sungkan dan tersenyum kaku.

"Ayo, kemari, masuk saja." ajaknya, langsung menarikku masuk. "Kebetulan aku ada perlu sebentar. Tadinya mau minta perawat untuk menjaganya, tapi untung saja kau datang. Kau temani Naruto dulu ya?!"

"Hah?" aku melohok, baru juga datang sudah disuruh menjaga pasien. "Tapi, aku…."

"Sebentar saja kok. Ada yang harus diurus di bagian Lab. Tolong yah, Sasu!" kata bibi Tsunade yang langsung berburu pergi tanpa memberiku kesempatan untuk menolak. Meninggalkanku berdua bersama anak perempuannya di dalam kamar.

"…"

Sejenak aku menghela, menengok ke arah ranjang tempat seorang gadis terbaring kaku tak berdaya. Gadis itu tampak seperti mumi. Hampir seluruh tubuhnya terbalut perban. Melihat keadaannya sekarang, keraguan yang tadi sempat menyelimutiku mendadak sirna. Berganti dengan perasaan resah dan bersalah yang selama ini lebih membebani hatiku.

'Setelah apa yang kulakukan, masih bolehkah aku menemuimu?' pertanyaan itu kembali muncul dibenakku.

Mungkin ada bagusnya juga tak ada siapapun disini, karena sebenarnya aku masih tak tahu harus bersikap bagaimana saat bertemu dengan Naruto.

Aku berjalan mendekat, menarik sebuah kursi dan duduk disisi ranjang. Meringis saat melihat beberapa bekas luka memar dan jahitan di wajah gadis itu. Selama ini aku tak pernah benar-benar memperhatikan sosok Naruto dari dekat. Dan saat melihat keadaannya sekarang, itu membuatku sedikit mual. Merasa tak tega. Lehernya disangga dengan masker oksigen-lah yang kini membantunya untuk bernafas.

Naruto Uzumaki terbaring koma. Dia sekarat. Sungguh mengkhawatirkan. Tak bisa kubayangkan kesakitan seperti apa yang kini tengah dideritanya. Aku yang melihatnya saja sudah merasa tak tahan. Entah sampai kapan dia mampu bertahan melewati semua ini.

Seminggu lalu, Naruto jatuh dari gedung lantai empat pusat perbelanjaan. Entah apa yang terjadi sebenarnya, tapi dugaan sementara dia mencoba untuk bunuh diri. Ajaib, gadis itu tak langsung tewas ditempat. Tubuhnya menabrak tenda counter aksesoris di lantai dasar. Sedikit menghambat laju jatuhnya sebelum benar-benar menyentuh lantai. Tapi tetap saja, beberapa tulang rusuk, lengan dan kakinya patah. Luka organ dalam dan geger otak. Keadaannya sekarang sama seperti mayat hidup. Dia selamat dan masih hidup. Hanya saja sejak saat itu, Naruto belum juga sadarkan diri meski dokter bilang masa kritisnya sudah lewat.

"Nee, Naruto!" sapaku, memecah kesunyian yang ada. "Ini aku…. Aku datang untuk bertemu denganmu." kataku pelan.

Aku tahu tak ada gunanya aku bicara, toh dia tak akan menjawab. Tapi aku juga benci bila tetap diam, membuat rasa bersalahku semakin menjadi. Katanya meski dalam keadaan koma tapi pasien masih bisa mendengar dan merasakan. Dan kuharap Naruto tahu aku datang menemuinya. Meski niat awalku tak benar-benar tulus.

"Bagaimana kabarmu, apa sudah merasa lebih baik? Aku tahu ini pertanyaan bodoh. Dilihat pun sudah pasti keadaanmu tak baik. Kau tahu kan, sebenarnya aku tak suka datang menemuimu. Apalagi melihat keadaanmu sekarang. Aku tak suka. Aku benci. Yah, aku memang selalu benci padamu. Dan karena kebodohanmu, kau tahu siapa lagi yang kubenci? Diriku sendiri. Aku benci karena aku jadi merasa bersalah padamu." lanjutku, yang malah berbicara ketus padanya.

Aku melipat kedua tanganku di dada. Melancarkan pandangan sinis melirik gadis itu dan berdecih…

"Tch, kau pasti sengaja mau membuatku turut menanggung kebodohanmu kan? Heh, bodoh…. kau memang bodoh. Kenapa ada orang bodoh sepertimu? Orang bodoh yang menuruti kata-kata bodohku. Aku tahu, kau mau balas dendam padaku kan? Diam-diam kau pasti tertawa melihatku yang jadi begini karenamu. Kau pasti ingin membalas semua rasa sakit hatimu padaku. Ingin menyiksaku. Melihatmu tak berdaya, membuatku merasa bersalah…"

"…"

"Naruto, kau picik sekali. Caramu kotor. Aku tak menyangka kau bisa berbuat sekejam ini. Bahkan sampai tega melukai dirimu sendiri. Keterlaluan. Aku jadi semakin benci padamu!" bentakku padanya, dengan emosi berlebihan.

Tapi kemudian, kuperhatikan wajahnya yang pucat. Sosoknya yang tak berdaya. Hatiku kembali meringis melihatnya.

Kalau kuingat lagi, sebenarnya aku benci Naruto. Aku membencinya. Sangat membenci gadis itu. Sampai-sampai aku selalu berharap kalau dia lenyap saja. Berharap dia tak pernah muncul dalam kehidupanku. Dan tak ada hal lain yang kulakukan setiap kali kami bertemu selain menyakitinya.

Aku selalu merasa hari-hariku menjadi buruk setiap kali bertemu dengannya. Naruto mungkin tak mendekatiku, tapi dia selalu berkeliaran disekitarku. Naruto mungkin tak pernah bicara padaku, tapi dia selalu tahu apa yang aku bicarakan. Naruto mungkin tak berani muncul dihadapanku, tapi kehadirannya tak pernah luput dari pandanganku. Naruto mungkin menuruti keinginanku, saat kubilang supaya dia menjauh dan menghilang dari hidupku. Tapi lagi-lagi dia hanya mengusikku.

"Heh, kau jangan cuma tidur saja. Memangnya kau itu beruang yang sedang hibernasi? Bangun dong! Bangun Naruto! Bangun dan katakan bahwa ini bukan salahku. Bukan aku yang membuatmu jadi begini. Katakan kalau kau tak mencoba bunuh diri hanya karena aku bilang 'Mati saja'. Katakan kalau…. ah, kalau…."

Pandangan mendadak buram. Lekas aku menengadah, mengerjap-erjapkan mataku yang jadi sedikit basah. Entah dari mana datangnya perasaan ini. Rasa benci, perasaan sedih ataukah rasa bersalahku? Semuanya bercampur menjadi satu.

Kutelusuri lengan kecilnya yang berbalut gips, berhenti di jemarinya yang terasa dingin, lantas menggenggamnya perlahan. Pandanganku melembut menatapnya.

"Bangunlah Naruto! Kalau kau mencintaiku, cepatlah bangun." bisikku ditelinganya, seraya mengecup keningnya lembut.

"Aku mohon."

-To Be Continue-

Kok ni malah bikin Fic baru? Parah ni author … (=_=") Haha~ biarlah…

Ceritanya pas tadi siang lagi semedi *halah* buat lanjutin 'Just Give Me The Your Love' tiba-tiba jadi kepikiran bikin ini, heu~ .Lalu semuanya mengalir begitu saja, saya ketak-ketik apa yang ada dipikiran dan lahirlah 'Love Me Again' ini…. *lebay* Yah, ga ngarep bagus sih *Fic abal-abal*… tapi lumayan lah buat variasi dikit, hehe~ #plakkk… *itu sama aja nambah kerjaan, baka!* Oke-Oke, bagi yang udh baca silakan Review n Review \(^.^)/ Arigatou, bila udh membaca fic abal ini (^-^)