Naruto © Masashi Kishimoto
AU. Tidak ada keuntungan finansial yang diambil selain kesenangan pribadi. Selamat membaca ~
Sampai pada lembar ke empat, Ino berhenti menyelupkan kertas pada kopi.
Sai suka membuat buku, Ino suka merusak buku.
Ia senang mengumpulkan gulungan-gulungan kertas tua dalam stoples, menyusun benda itu di rak seperti menyimpan piala penuh kilau, dan memandanginya ketika tak ada apapun yang bisa Ino pandangi di rumah.
Namun tak benar-benar ada lembar berumur yang dapat ia temukan sampai sekarang, tidak di koleksi buku milik Sai. Maka ia mencoba mencari cara dengan kopi sorenya. Di tumpahkan di atas piring lebar dan ia celupkan kertas milik Sai ke dalamnya.
Sai dan dirinya di kala teja adalah perpaduan dari segala imajinasi liar Ino yang coba ditekan. Mereka mencoba berlatih untuk tidak saling menyentuh dan hanya membangun kepercayaan.
Ino bertopang dagu, mengawang. Isi kepalanya ada di teluk sana, berlarian di antara tebing-tebing dan meloncat di laut. Ino suka dengan lembayung senja yang masuk lewat jendela rumah Sai, jatuh ke atas buku-buku di meja. Dan selama cahaya itu masih di sana, Ino tak akan pernah bosan melamun.
"Jendela paling pojok itu, benar yang itu, aku melihatnya terbang dari sana," gumamnya di tengah sunyi. Sai tak mengerti. "Semua angan-anganku."
"Apa ada sesuatu di pikiranmu?" Sai memindahkan pandang dari layar dan melongok melewati bahunya.
Untuk kali pertama di sore itu, Ino akhirnya menoleh. "Kenapa?"
Sai tertawa sedikit, sengaja ditutup dengan ujung lengan baju. "Ucapanmu tadi ngelantur."
"Entalah." Kepala Ino menelungkup di atas meja dan ia terus-menerus membuang napas berat. "Berada di tempatmu dengan ketidakjelasan ini selalu membuatku ingin membayangkan sesuatu."
"Jadi mau berhenti saja? Aku bisa menjawab sekarang dan kita bisa melakukan apa yang ada dalam kepalamu."
"Berhenti tentang apa?" Badan Ino tegak lagi. Rambutnya terbang dengan rasa penasaran. Sebenarnya Ino paham, ia hanya ingin memastikan.
"Ucapanmu sebulan lalu. Aku bisa jawab sekarang kalau kau ingin."
Ino menelungkup lagi, mendadak kehilangan selera untuk bicara. "Tidak. Satu bulan masih terlalu dini. Aku tak ingin cepat bahagia karena ternyata kau menerima cintaku, tapi cepat putus juga karena kita baru kenal beberapa bulan."
"Jadi kau masih takut?"
Ino menggeleng. "Bukan itu. Biar kurampungkan dulu kuliahku."
"Kau akan kehilangan seluruh atensiku saat masa itu tiba, Nona. Semester berapa kau sekarang, dua?"
Ino tertawa geli, ia meninggalkan kopi-kopi itu, juga gulungan kertas dalam stoples. "Hampir tiga."
"Apa tidak jadi beban? Kau tahu, sebenarnya aku tak sesabar itu untuk menjawab kalau aku akan meneri—"
"Tidak, Sai," sela Ino.
Sai berhenti dengan kata-katanya dan kembali menekuni novel baru yang harus selesai dua minggu lagi. Laki-laki itu telah sadar kalau banyak hal yang lebih menarik daripada membuat Yamanaka Ino kesal.
"Maaf."
Sai menengok sedikit dan tersenyum hingga matanya menghilang. "Tak usah dipikirkan."
Perempuan pirang itu hanya menunggu sampai mereka sudah setara, saat mereka mempunyai tingkat pandang dunia yang sama, saat pikiran mereka sudah dewasa untuk melupakan semua keinginan sesaat dan menelusuri lebih dalam apa itu cinta—mengubur nafsu.
Ino akan bersabar. Ia juga meminta Sai bersabar.
Setelah ada derit pintu yang tertutup, Ino membalik pandang pada senja, meregangkan tubuh. Dilihatnya Sai sekali lagi—saling berlambai tangan, sebelum kembali menyusuri jalan-jalan kota dengan hati yang sudah ringan. Ia tak akan khawatir.
Karena Ino tahu kalau dari awal hati Sai sudah jadi miliknya dan akan berlanjut tanpa batas masa.
END
VEE
[Lmg/08.06.2017]
