lies

sekaiichi hatsukoi © nakamura shungiku
saya tidak mengambil keuntungan materiil dari fanfiksi ini


Ritsu membuka tirai poninya, menampilkan sepasang zamrud yang tak bernyawa. Sklera yang memerah karena habis diperas tangis semalaman. Kaki kanannya entah mengapa sedikit berdenyut, berpusat di telapak kaki. Seakan-akan kemarin sudah ia gunakan untuk menendang sesuatu.

Atau seseorang.

Senpai.

Saga-senpai.

Tidak, nuraninya menjerit saat memori tanpa seizin si pemilik menampilkan adegan demi adegan yang sangat memalukan dan sangat bodoh. Ritsu, kau ini dungu sekali! Seharusnya dari awal kau sudak menebak arah semua ini!

Sakit rasanya. Dipermainkan oleh orang yang paling Ritsu cintai. Untuk semua dag dig dug yang ternyata tak berarti apa-apa untuk Senpai. Semua pemberian ikhlasnya yang dibalas dengan kekeh tawa cemooh yang dengan berhasil memelintir dan meremukkan apa yang sudah Ritsu korbankan demi apapun yang terjadi di antara mereka.

Seperti tisu toilet sekali pakai langsung buang, itulah mungkin arti eksistensi Ritsu buat Senpai. Hanyalah seorang adik kelas naif yang mudah diperdaya. Benar, Ritsu itu polos. Semua kenalannya mengakui itu. Tetapi Ritsu bukan orang bodoh. Jauh dari itu.

Ia tahu bahwa cintanya pada Saga-senpai tidak (seharusnya) tersampaikan. Bahwa perasaan yang terpendam itu seharusnya tetap stabil di dasar gelas ukur cinta miliknya dan tidak naik volumenya hingga tumpah, tak peduli sekuat apa perasaan itu mengikat hatinya. Kalau harus jujur, skenario seharusnya ini sudah Ritsu pikirkan, walau sekilas. Namun, tetap saja sulit dipercaya.

Mimpi buruknya menjadi nyata. Saga-senpai tidak mencintainya. Saga-senpai tidak pernah membalas perasaannya. Saga-senpai pembohong, pembohong, PEMBOHONG—

.

.

.

.