Anggrek itu terletak di antara mawar dan tulip. Lily putih berada di ujung ruangan. Bunga matahari bersinar terang di sisi si cantik periwinkle. Dandelion terasing bersama lavender, entah mengapa.

Dan Kyungsoo datang.

Membawa dua pot berisi asphodel dan morning glory. Kemudian menyapa carnation dan daisy yang sedang mekar.

Bibir berbentuk hati itu mengulas senyum. Anak-anaknya tumbuh dengan benar.

Chaos © SachiMalff

Disc : they belong to themselves

Warning : yaoi

12 Maret 2009—

"—aku akan kesana. Apa? Kau akan terlambat?" Sehun menghela napas. "Baiklah, aku akan mampir kerumah temanku dulu. Oke, Jung. Sampai jumpa di sana."

"Bagaimana?"

Sehun memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, kemudian menatap Jongin datar—seperti biasa. "Soojung akan terlambat."

Jongin memutar matanya imajiner. "Sudah kukatakan sebelumnya, ini akan jadi menyebalkan."

"Kau hanya belum mencoba."

Jongin mengernyit pada Sehun yang kini malah mengapit lengannya, menyeretnya menuju ke mobil Audy milik sang pemuda Oh.

"Kita akan kemana?"

"Kerumah temanku," jawab Sehun tak peduli. Jongin di sebelahnya mendengus, mencoba menyingkirkan tangan Sehun yang setia menggamit lengannya.

.

.

.

"—baguslah kalau kau ada di sana. Ah tidak. Aku tak keberatan jika harus kerumahmu. Tapi—kutebak Luhan ada di sana, kan?" jeda, Sehun mendesah ketika seseorang di seberang telepon menggumamkan sesuatu sebagai jawaban, "aku rasa dia tak mau menemuiku. Ah—oke, baiklah kalau begitu. Aku sedang mengemudi saat ini. Sepuluh menit lagi aku akan sampai. Oke, sampai nanti, Kyungsoo."

"Kau banyak punya kenalan perempuan ternyata."

Sehun mengerutkan alisnya, masih setia berkonsentrasi pada jalan di depannya. "Kyungsoo adalah lelaki."

Jongin mengernyit, mengalihkan pandangannya dari bahu jalan raya. Ia menatap Sehun skeptis. "Namanya seperti perempuan."

Sehun tertawa jenaka, "kau akan lebih kaget ketika melihat anak-anaknya."

Dan kalimat itu berhasil membuat Jongin semakin heran. "Dia sudah punya anak? Wow Sehun, sebenarnya, relasimu dari kalangan mana saja?"

Sehun mengedikkan bahunya acuh, kemudian menambah kecepatan mobilnya.

Beberapa menit mereka lalui dengan keheningan. Baik Jongin maupun Sehun tak punya banyak topik untuk dibicarakan. Dan saat Sehun berbelok arah menuju ke sebuah gang komplek perumahan, Jongin memecah keheningan yang ada.

"Sehun..." panggil Jongin.

Sehun hanya bergumam pelan, masih sibuk dengan rokok dan setir di depannya.

Jongin melirik sahabatnya sekilas, kemudian ia kembali berujar. "Untuk apa kau merencanakan semua ini?"

Hening. Jongin masih menanti jawaban, sementara Sehun masih terlihat begitu berkonsentrasi.

"Bukan aku yang merencanakan semua ini. Lagipula, dia yang meminta."

Jongin mendesah lelah. "Aku tidak pernah berniat. Maksudku—aku benar-benar tak pernah punya perasaan yang sama dengannya, Sehun-ah. Maaf."

Sehun terlihat acuh. Wajah dinginnya tak sekalipun berubah menunjukkan ekspresi yang berarti. "Tak apa. Kau hanya belum menjalaninya."

Jongin memejamkan mata. Lelah untuk berdebat lebih lama—walau ia juga tahu bahwa Sehun akan selalu menang, ia mencoba untuk mengangguk. "Kau benar," katanya.

Beberapa belokan di depan telah Sehun lewati. Jongin memperhatikan sekitar, dan dia tak tahu daerah mana itu.

"Sebenarnya, kita mau kemana?"

"Ketempat temanku. Do Kyungsoo."

"Oh, lelaki beranak itu?"

Sehun tertawa lagi. "Bisa dibilang seperti itu."

Sehun memarkir mobilnya pada sebuah halaman luas sebuah rumah kaca. Jongin melepas seatbelt-nya, kemudian memandangi rumah kaca yang terpampang di depannya dengan kening mengerut tajam. Sejurus kemudian ia melangkah keluar dari mobil Sehun, didahului oleh si empunya.

"Sehun, ini rumah Do Kyungsoo temanmu itu?"

Sehun di sampingnya mengangguk mengiyakan. "Ia tinggal dengan anak-anak mungilnya di sini."

Jongin masih memasang tampang heran, kemudian seakan tak mau banyak berpikir, ia mengikuti langkah kaki sahabatnya menuju ke pintu rumah kaca tersebut. Banyak bunga-bunga tertata rapi di dalamnya, tumbuh segar dan mengembang sempurna. Dalam hati, Jongin memuji.

Ketika tubuh tinggi mereka berdiri di depan pintu rumah tersebut, Sehun memencet bel di sana beberapa kali.

Jongin mencoba melongok kedalam untuk melihat lebih jauh bunga-bunga yang tumbuh subur itu. Dari sekian banyak bunga di sana, Jongin hanya mengerti dua jenis bunga; mawar dan anggrek. Dalam hati Jongin heran, lelaki macam apa yang rela istrinya merawat bunga sebanyak ini.

Lamunan Jongin terpecah tatkala ponsel milik Sehun berdering. Tuan muda Oh itu mengambil ponselnya kemudian mengangkat telepon yang sejurus kemudian diketahui dari Luhan.

Jongin tak mau tahu urusan kedua sejoli yang-suka-bertengkar-kemudian-baikan-lagi itu. Ia masih menikmati pemandangan menakjubkan di depannya sebelum—

Seseorang muncul tiba-tiba di hadapannya—atau lebih tepatnya dari dalam rumah. Pemuda itu membuka pintu rumah kaca tersebut, kemudian kepalanya mendongak menatap Jongin dengan tatapan lucu.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Suara merdu itu mengembalikan Jongin ke alam sadarnya. Ia tak menyangka, ada suara lelaki selembut itu. Terakhir kali ia tahu, suara terlembut yang dimiliki seorang lelaki adalah sura Luhan, kekasih Sehun.

"Halo?" sapanya lagi.

Jongin mengerjap. "Er—aku datang bersama Oh Sehun. Dia teman Do Kyungsoo. Apakah Do Kyungsoo itu ayahmu? Di mana dia sekarang? Katakan kalau Oh Sehun dan temannya datang berkunjung."

Pemuda di depannya tak merespon, kecuali mengedipkan matanya imut.

"He? Kenapa diam? Ayahmu di mana?"

"Apa aku sekecil itu sampai kau mengira aku adalah anak dari aku sendiri?"

Jongin melongo. Ia tak paham. "Apa?"

Pemuda mungil di depannya mengulurkan tangan kecilnya. "Do Kyungsoo."

Mulut Jongin melebar sempurna. Tangan Do Kyungsoo terabaikan. Tak adanya respon berarti dari pemuda berkulit hitam di depannya membuat Kyungsoo mengernyit sambil menarik kembali tangannya.

Jongin masih dalam keadaan sama. Melongo sambil melebarkan matanya. Apa—ia berhalusinasi? Pemuda ini adalah Do Kyungsoo? Pemuda semuda ini sudah punya anak? Pemuda mungil yang seperti malaikat cinta ini sudah punya anak?

"Apa kau akan tetap berdi—"

"Berapa umurmu?"

Kyungsoo mengerjap. "A-apa?"

"Kutanya, berapa umurmu?"

"Duapuluh dua. Kenap—"

"HAH?!"

"Ada apa dengan 'hah' keras itu, Jong?" –Sehun datang entah darimana, muncul begitu saja di samping kanan Jongin. Ia sudah menutup teleponnya, rupanya.

Jongin menunjuk Kyungsoo dengan jari telunjuknya. "Dia temanmu Do Kyungsoo itu?!"

Sehun mengangguk. "Iya, kenapa de—"

"Dan dia satu tahun berada di atas kita?!"

"Iya, Jongin, memangny—"

"Dan pemuda mungil ini sudah punya anak?! ANAK?! ASTAGA! Aku tid—"

"Sebentar." Kyungsoo menyela, ia memicing tajam kearah Sehun dan Jongin bergantian. "Aku tidak tahu apa yang Sehun bicarakan padamu sebelumnya, tapi—ya, aku Do Kyungsoo, berumur duapuluh dua tahun, dan aku tak punya anak. Bahkan aku tidak punya pacar, lalu siapa yang bisa kuhamili?"

Jongin melongo.

Ia memandang Kyungsoo dan Sehun. Si penyandang Raja Es itu sedang tersenyum menggelikan.

"Kau—!" Jongin menunjuk muka Sehun dengan dramatis. "Kau bilang dia punya anak, tadi?"

Sehun tertawa kecil. "Memang. Kyungsoo adalah ibu dari bunga-bunga kecil ini. Kau tak pernah bertanya anaknya macam apa, kan?"

Dan Jongin hanya bisa mendecih mendengarnya.

Kyungsoo, yang sedari tadi hanya diam mematung di ambang pintu, berdehem kecil. "Jadi—kalian mau tetap berdiri di sana atau masuk kedalam rumahku?"

Jongin agak tersentak ketika mendengar kata 'rumahku'. Benarkah Kyungsoo tinggal di sini? Tidur, makan, buang kotoran, dan sebangsanya—di sini? Bersama bunga-bunga ini? Oh—girly sekali, pikirnya.

Dan Sehun kembali membuyarkan pikirannya yang melantur. "Oh—aku lupa sesuatu. Luhan menyuruhku kerumahnya segera. Jadi, Jongin, bisakah kau di sini sementara? Kyungsoo, bolehkah?"

Kyungsoo mengangkat bahunya. "Terserah kau saja. Aku tak keberatan selama dia mau."

"Jongin."

"Oke, aku tak keberatan selama Jongin mau," ulang Kyungsoo dengan menekankan nama 'Jongin'.

Sehun mengangguk berterimakasih, kemudian beralih memandang Jongin. "Dan kau—kau di sini saja, oke?"

Jongin mendengus tak suka. "Siapa yang bilang aku ingin ikut dengan pasangan aneh seperti kalian?"

Sehun, seakan tak mempedulikan perkataan Jongin, melanjutkan. "Sejam lagi Soojung akan sampai ke kafe milik Kris hyung. Kau bisa menyusulnya. Oke?"

Jongin di sampingnya menjawab ogah-ogahan. "Iya."

Sehun mengangguk mantap, kemudian permisi pada kedua temannya untuk langsung meluncur ke rumah Luhan kekasihnya.

Sesaat setelah mobil Sehun berbelok dan menghilang dari pandangan, Kyungsoo kembali berdehem, mencoba menyita perhatian Jongin.

"Kau—mau masuk, atau tetap berdiri mematung di sini?"

Jongin menampilkan cengiran khas anak bodohnya, kemudian melenggang masuk seolah ia sudah sering kemari.

Kyungsoo menatapnya malas, kemudian mengekor Jongin dibelakang.

"Kau suka bunga?"

"Apa itu harus kautanyakan?"

Jongin menoleh kebelakang. "Kau ketus sekali."

Kyungsoo mendesah malas. "Kau menanyakan sesuatu yang tak penting."

Jongin ber-wow ria. "Maaf. Aku hanya berusaha menciptakan percakapan yang menyenangkan."

Kyungsoo tersenyum kecil sambil mengangguk maklum—dan itu membuat Jongin ikut tersenyum. Entah kenapa, ia melihat Kyungsoo sebagai pemuda unik yang lain daripada yang lain. Ia sungguh—berbeda. Dengan matanya yang bulat besar, bibir merekah berbentuk hati, pipi bulat seputih salju, hidung mungil yang mengerut ketika ia tersenyum, dan jangan lupakan pundak mungil yang seolah minta untuk dipeluk itu. Ugh—Jongin rasa ia...

"Kau—kenapa memandangiku seperti itu?"

Jongin, lagi-lagi tersentak. "Tidak."

Kyungsoo tertawa lagi. Dan itu membuat perut Jongin jungkir balik.

"Oh—tidak. Ini bukan pertanda baik," batin Jongin merana.

"Kau mau berkeliling?"

Jongin menoleh kesamping kanan tepat di mana Kyungsoo berjalan. Senyum lebar merekah di bibir pemuda Kim itu. "Tentu."

Kyungsoo tak bisa menahan tawanya ketika ia melihat ekspresi lucu Kim Jongin. Berjalan beriringan, mereka melewati beberapa bunga yang tertata rapi di tempatnya. Jongin mendesah memuja, kakinya berhenti melangkah ketika ia mendapati sebuah bunga cantik berwarna ungu yang sedang tumbuh berbunga.

Kyungsoo, yang berjalan dibelakangnya, tersenyum geli ketika ia melihat ekspresi Jongin yang seperti baru melihat bayi berbicara itu.

"Kyungsoo—ah, maksudku, Kyungsoo-shi..."

"Panggil aku Kyungsoo saja, Jongin-ah."

Jongin terkejut, namun segera tersenyum mengetahui bahwa Kyungsoo ingin lebih terlihat akrab dengannya. "Em—Kyungsoo, ini namanya apa?"

Kyungsoo menyipitkan matanya kearah sebuah bunga mungil yang ditunjuk Jongin. "Bunga berwarna ungu itu?"

Jongin mengangguk, masih mengamati bunga itu seksama, seakan terhipnotis oleh kecantikannya.

"Kau tak mengetahui namanya? Itu bunga lavender."

Jongin hanya ber-oh ria, kemudian ia kembali meneliti bunga tersebut. Sesaat setelah ia mengamatinya dengan rinci, ia kembali buka suara. "Bunga ini seperti membawa aura kesedihan."

Kyungsoo agak terkejut mendengarnya, namun ia buru-buru tersenyum. Perlahan, matanya ikut mengamati salah satu anaknya itu dengan seksama. "Lavender memang terlihat seperti bunga kesedihan. Warna ungu yang menghiasi kelopaknya pun kadang memberi isyarat bahwa bunga lavender punya aura yang berbeda seperti mawar yang pemberani, atau tulip sang kasih sayang. Lavender memang begitu—hampir tak tersentuh kebahagiaan."

Jongin menoleh mendengar barisan kalimat panjang milik Kyungsoo. Hazel Jongin menatap lekat obsidian hitam milik Kyungsoo dalam-dalam.

Dan mereka larut dalam keheningan dan kenyamanan tatapan masing-masing.

Terhitung sudah setengah jam mereka berkeliling dengan secangkir kopi di tangan masing-masing. Jongin terlihat larut dalam obrolan ringan tentang macam-macam bunga dan artinya, sedangkan Kyungsoo, dengan senang hati, melayani apa yang ingin diketahui pemuda yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu itu. Kehadiran Jongin membuat rumah kacanya berwarna, sedangkan keberadaan Kyungsoo yang juga baru saja dikenal oleh Jongin sudah mampu membuat perutnya dihiasi kupu-kupu dan kepalanya yang pusing tujuh keliling. Sial—ini pertanda buruk. Sangat buruk.

Dan tepat pukul sebelas pagi, Kyungsoo seperti teringat sesuatu.

"Jongin-ah?"

Jongin, yang tangannya sedang usil memegangi tangkai bunga mawar, mencoba-coba apakah benar durinya bisa melukai tangannya, mendongak menatap Kyungsoo. "Ya, Kyungsoo?"

"Tadi, bukannya Sehun bilang bahwa kau harus pergi sejam kemudian ke—mana? Kafe?"

Mata Jongin membulat sempurna. Oh, crap!

Dan di sinilah Jongin sekarang. Di depan rumah kaca Kyungsoo, dengan ponsel yang baru saja dimasukkan dalam celana. Taksi akan menjemputnya beberapa saat lagi. Dan kini ia sedang berbicara dengan Kyungsoo yang baru kembali dari mencuci gelas kopi mereka.

"Aku akan sering berkunjung kesini, bolehkah?"

Kyungsoo tertawa, dan sialnya, Jongin kembali merasa pusing dan sakit di perutnya. Seperti perasaan meledak-ledak namun nyaman. Ugh! Dia takkan bisa bertahan seperti ini lama-lama!

"Tentu saja," jawab Kyungsoo enteng.

Jongin tersenyum. Begitupula dengan Kyungsoo. Mereka masih bertatapan. Dan momen yang paling intim adalah ketika keduanya saling bertatapan sedangkan senyum masih setia di wajah masing-masing, menyalurkan hawa menyenangkan, melupakan fakta bahwa mereka baru saja kenal.

Sebut saja Jongin gila. Dan Kyungsoo juga.

Sekitar lima menit kemudian, deru mobil taksi sampai di depan rumah kaca Kyungsoo. Jongin buru-buru masuk kedalam dan tak lupa, melambai pada Kyungsoo dan berkata, "aku akan kembali besok dan besoknya dan seterusnya!"

Nun jauh di belakang sana, Kyungsoo balas melambai, sambil menggeleng-geleng heran.

Entah kenapa, kupu-kupu bisa beterbangan kurang ajar di dalam lambung dan perutnya. Menggelengkan kepala mengusir beberapa kemungkinan bodoh yang ada, ia membalikkan badannya, kembali masuk ke dalam rumah indahnya.

Sesampainya di depan pintu kafe khas Amerika-Eropa, Jongin mendesah pasrah. Ketika kepalanya melongok ke dalam kafe, ia bisa melihat gadis berparas cantik yangs sedang duduk sendirian mengutak-atik ponselnya sendiri. Soojung. Lagi, ia mendesah pasrah. Andai saja ia bisa memutar waktu...

.

.

.

Saat ini, 29 April 2014

Jongin merasa begitu nyaman sampai-sampai ia ingin menangis tatkala tangan itu mengusap wajahnya lembut. Ia merasakan kedamaian tertinggi. Ia merasa tak ada tempat lain selain di sini, di sisi kekasihnya. Kekasih yang ia cintai. Kekasihnya sebenarnya, yang dipilih oleh hati kecilnya.

Ia membawa tangan mungil itu untuk bertaut dengan jemarinya mesra. Jari-jari tangan Jongin yang terbebas menelusuri tangan mereka yang bersatu. Membelainya lembut seakan tangan itu adalah benda porselen yang akan pecah bila ia memperlakukannya kasar.

"Kyungsoo-ya."

Kyungsoo bergumam di samping Jongin. Tubuhnya yang rebah di atas rumput hijau yang terpangkas pendek condong kearah Jongin. "Ya?"

Jongin mencoba mencari kehangatan dengan menelusupkan kepalanya ke ceruk leher Kyungsoo. Memejamkan mata sambil menghirup dalam-dalam aroma citrus yang menentramkan, yang menguar dari tubuh pemuda mungil tersebut.

"Aku ingin seperti ini saja," ujarnya lemah.

Kyungsoo tertawa. Dan itu masih membuat perut Jongin jungkir balik. Rasanya masih sama ketika ia bertemu dengan Kyungsoo lima tahun silam.

"Kau akan selalu seperti ini. Ah, ralat—kita akan selalu seperti ini."

"Kau berjanji?" Mata Jongin terbuka perlahan, mencoba mengais perhatian Kyungsoo yang kini beralih menatapnya.

Obsidian hitam pekat itu menelisik lebih jauh kedalam hazel terang sang pujaan hati. Mendamba dan memuji dalam hati—kekasihnya terlalu sempurna. Kyungsoo, dengan perlahan, mengangguk mengiyakan. "Akan tetap seperti ini."

"Selamanya?"

Lagi, Kyungsoo mengangguk. "Selamanya."

Jongin tersenyum sambil memejamkan matanya kembali. Ia menggenggam tangan Kyungsoo lebih erat dari biasanya, seakan ia akan kehilangan kehangatan di sana jika ia membiarkan ada celah yang terjadi di antara tautan mesra itu.

"Kyungsoo?"

Kyungsoo bergumam sebagai jawaban. Maniknya mengamati deretan awan yang berjejer indah di atas sana. Berarak mengiringi angin dan menghiasi langit cerah.

"Bolehkah kita kembali ke masa lalu? Aku ingin mengubah satu hal kecil."

Kyungsoo tersenyum tanpa sadar. "Tidak bisa. Kita takkan pernah bisa mengecoh takdir."

"Kita tak mengecoh takdir, kita hanya meminta kesempatan untuk mengubah keadaan chaos."

"Chaos?" Kyungsoo bertanya tak mengerti.

Jongin mengangguk dalam pejaman matanya. Sesekali, ia akan menghirup dalam-dalam wangi tubuh Kyungsoo, kemudian mendesah lega.

"Chaos adalah satu kesempatan. Kesempatan yang akan menentukan bermilyar detik kehidupan kita selanjutnya."

Kyungsoo ber-oh ria. "Apa yang ingin kauubah? Bukannya hidup ini terlalu sempurna untuk diubah, Jongin-ah?"

Jongin tertawa. Ia mengeratkan genggamannya pada tangan Kyungsoo, sementara satu tangan yang lain memeluk pinggang kecil kekasihnya erat.

"Jika saja waktu itu Soojung tak terlambat dan Sehun tidak berinisiatif membawaku ke rumah kacamu..."

"..."

"...dan jika saja saat itu Luhan tidak meneleponnya untuk bertemu..."

"..."

"...jika saja semua itu tak terjadi..."

Kyungsoo, yang tahu kemana arah pembicaraan ini bermuara, diam mematung.

"...aku takkan mencintaimu seperti ini."

Benar.

Jika saja satu detik dalam lima tahun yang lalu bisa di ubah. Bisa saja Soojung tidak akan terlambat menemui Jongin. Bisa saja Sehun takkan mengajaknya kerumah Kyungsoo. Bisa saja—pertemuan ini tak terjadi. Bisa saja, rasa terlarang ini tak hadir di antara mereka.

"Dan keadaan takkan serumit ini. Aku akan bahagia bersama Soojung, tidak berbaring bersamamu di sini saat ini."

"Kau benar."

Kim Jongin dan Do Kyungsoo sering berandai, jika saja mereka bisa mengubah satu detik kejadian lima tahun yang lalu. Jika saja mereka bisa mengacaukan chaos. Jika saja, jika saja, jika saja.

Kim Jongin memang pandai berandai dalam diam. Sedangkan Do Kyungsoo pandai bertindak. Mereka menjadi satu kesatuan yang mengacaukan semesta dalam imaji mereka sendiri.

.

.

.

tbc

a/n : fanfiksi ini setiap chapternya terdiri dari dua bagian. Satu bagian adalah masa lalu, dan satunya adalah masa sekarang (saat ini). Jadi mohon diperhatikan baik-baik pertanda waktu di awal cerita, karena kalau tak tahu waktunya, akan bingung membacanya, karena konsep cerita ini adalah flashback. Sankyu!