Naruto milik Masashi Kishimoto-sensei

Those are Precious milik Ozellie Ozel

Rate : Teen

Pairing : NaruHina

Genre : Hurt / Comfort, Drama

Warning : Gajeness, OOC, Sinetronisme, Gak Sesuai EYD, Boring, Typos

YOU HAVE BEEN WARNED

JUST FUCK OFF, IF YOU DON'T LIKE THIS STORY, PAIR, AND ANYTHING ABOUT IT

Those are Precious

Chapter 1: Canda dan Tawa

...

Happy Reading

Perayaan wisuda benar-benar meriah dan dipenuhi nuansa kebahagiaan. Para mahasiswa dan mahasiswi tampak asyik berfoto dengan teman-teman, dosen-dosen serta keluarga. Kenangan terakhir sebelum mereka benar-benar meninggalkan universitas ini. Para mahasiswi di jurusan Business and Secretary khususnya, terlihat sedang bersemangat mengelilingi seorang gadis bertubuh mungil yang terlihat bersenda gurau dengan sosok lelaki tampan bersurai pirang.

Hinata menyunggingkan senyuman manis ketika sang sahabat kecil, Naruto Uzumaki datang memberinya sebuket mawar dengan jas terbaiknya. Dengan penuh perhatian, dia bersedia menjadi pendamping Hinata di acara formal tersebut. Bukan tanpa sebab, kedua orang tua Hinata tidak sempat menghadiri acara penting tersebut lantaran badai salju di New York yang menyebabkan ratusan jadwal penerbangan delay.

Untung saja Hinata memiliki sahabat terbaik seperti Naruto. Jika tidak, mungkin acara pelepasan wisudanya akan berlangsung suram. Namun di sisi lain Hinata juga merutuki kehadiran Naruto. Kebanyakan teman-temannya malah memperhatikan Naruto, bukan Hinata. Padahal yang sedang merayakan hari kelulusan adalah Hinata sendiri.

"Kenapa cemberut?"

Hinata melirik seorang pria bersurai pirang yang menghampirinya. Bisa dia melihat dengan jelas tetesan keringat di pelipis Naruto. "Pasti menyenangkan diperhatikan oleh semua orang," ujar Hinata seraya bersidekap.

Melihat bahwa sang sahabat tengah dilanda cemburu, Naruto terkekeh geli. "Astaga, hanya karena itu kau kesal padaku," katanya sembari mencubit pipi tembem Hinata yang memerah. Dengan cepat dirangkulnya tubuh Hinata seraya meraih cepat ponsel pintar yang digenggam oleh sahabat cantiknya itu. "Kita belum membuat kenangan, jadi pasang senyuman terbaik yang kau punya lalu ..."

CKREK

Pipi Hinata merona saat Naruto mengambil foto mereka berdua. Mereka tampak serasi dengan jas hitam Naruto dan gaun putih berbahan satin yang dikenakan oleh Hinata. "Cantik," puji Hinata sembari menatap layar ponselnya yang menunjukkan foto kebersamaan mereka berdua. "Nanti ku-posting di medsos."

Mendengar hal tersebut, Naruto langsung menaikkan sudut bibirnya. "Tak pernah ketinggalan momen," sindirnya lalu menarik pergelangan tangan Hinata dan membawa gadis manis itu menuju lapangan parkir.

Tahu kemana Naruto hendak membawanya, Hinata langsung menepis genggaman tangan hangat Naruto. "Aku belum pamit sama teman-temanku," katanya sembari memohon pada Naruto. Sayangnya pria itu tidak menggubris permohonan Hinata. Dia malah membuka pintu mobil Ferrari La Ferarri warna silver dan mempersilahkan Hinata memasukinya.

"Hinata-chan, kau bisa ketemu temanmu lain kali. Jadi ... kita pulang sekarang, ya," gumam Naruto sembari menyentuh ubun kepala Hinata dan sedikit memberi tekanan supaya gadis itu segera memasuki mobilnya. Dengan embusan napas kesal, Hinata duduk nyaman di mobil mewah tersebut. Tak lama kemudian, Naruto turut masuk ke dalam dan mengambil posisi di kursi kemudi. "Pakai sabuk pengaman!" perintah Naruto saat melihat Hinata menekukkan wajah.

"Kau pemaksa yang menyebalkan!" ledek Hinata lalu menjulurkan lidahnya pada Naruto. Sontak saja senyum di bibir Naruto semakin mengembang. Hinata masih saja seperti Hinata yang dulu. Manja dan cengeng.

"Hinata, pakai sabuk pengamanmu!" titah Naruto sekali lagi.

Sayangnya Hinata menolehkan pandangannya ke arah jendela. Dari kejauhan dia menatap para teman yang sedang asyik berfoto bersama para junior. Bibir Hinata mengerucut kala melihat mereka tertawa riang. "Naruto-kun..." rengeknya.

"Turun kalau mau turun. Tetapi aku langsung pulang, ya," ujar Naruto lembut.

Bukannya senang karena sudah diberi kesempatan untuk keluar, dia malah semakin cemberut. "Huft ... kau senang sekali meninggalkan aku," gumamnya kecewa. "Ya sudah, aku ikut saja. Tetapi sebelum pulang aku mau makan," pintanya.

"Baiklah," jawab Naruto seraya mencondongkan tubuhnya ke arah gadis di sebelahnya. Dengan cekatan dia memakaikan sabuk pengaman ke tubuh Hinata.

Jantung Hinata berpuluh kali lebih cepat detakannya dari sebelumnya. Dengan wajah merona, dia berusaha keras untuk menetralkan degup jantungnya. Namun sayang beribu sayang, reaksi alamiah tubuhnya yang bergetar, telah berhasil menarik perhatian Naruto.

"Kenapa kau gugup?" tanya Naruto tanpa menjauhkan wajahnya dari depan tubuh Hinata yang sekarang telah menegang. Dia merasa malu karena Naruto menyadari reaksi lain dari tubuhnya.

"K-Kore w-wa ..." gumam Hinata takut-takut. "B-bisa mundur sedikit?" Suaranya kian memelas hingga Naruto semakin sulit menangkap apa maksud ucapan Hinata. Dia mendekatkan wajahnya ke hadapan Hinata yang memerah sempurna.

"Seperti biasa, kau wangi sekali," bisik Naruto lalu menghirup dalam-dalam aroma tubuh khas Hinata yang sejak kecil dia rasakan. "Coba ulang, Hinata-chan. Aku tidak mendengar suaramu tadi," katanya sembari menatap amethyst yang terlihat gelisah itu.

"M-m-m-menj ..." Alis Naruto semakin mengerut. Sama sekali tidak bisa menangkap apa yang tengah dikatakan Hinata. "K-Kau ... i-ini ..."

"Astaga, Hinata-chan, kau mau membicarakan apa, sih," katanya sembari meledaklah tawa yang sejak awal dia tahan. "Lihat, kau benar-benar memerah!"

Hinata tahu jika Naruto tengah menggodanya. Namun dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menyembunyikan wajah meronanya di bahu kokoh Naruto. "Sudahlah!" ujarnya malu sembari menahan bahu Naruto dengan tangannya agar tidak bergerak. Dia masih enggan mengangkat kepalanya dari pundak Naruto. "Huft ... Naruto-kun!" rengeknya saat tawa Naruto tak kunjung berhenti.

"Baiklah, Nona cantik!" puji Naruto lalu mengecup sekilas dagu lancip Hinata. Perlahan dia memindahkan telapak tangan Hinata dari bahunya lalu mengangkat dagu Hinata seraya menatap dalam amethyst yang berpendar indah. "Kita pulang, ya," bisik Naruto seraya mengecup pipi tembem Hinata dengan gemas.

"Na-Naruto-kun, hentinya!" protes Hinata sembari menjauhkan wajahnya dari Naruto. Tetapi pria berusia dua puluh satu tahun tersebut sedang asyik memberi kecupan di pipi Hinata, bahkan sesekali lidah Naruto ikut menggelitik. "Naruto-kun!" teriak Hinata marah.

Senyum Naruto mengembang lalu memberi kecupan terakhir di pipi Hinata sebelum benar-benar kembali ke posisi semula, yaitu di kursi kemudi. Dia menyalakan mesin mobil lalu melirik ke arah sang sahabat yang ternyata sedang menatap dirinya. "Kenapa?" tanya Naruto seraya mengambil sebatang rokok yang ada di atas dashboard. Dia menyelipkan rokok tersebut ke bibirnya kemudian mengambil pemantik dan menghisap rokok. Jendela yang ada di sampingnya dibuka sedikit agar asap rokok dapat keluar dari sana. "Gomen, aku sedang suntuk. Tak apa kan kalau aku merokok disini?"

Hinata mengangguk sekilas. Sebenarnya dia juga bingung dengan alasan Naruto meminta izin padanya. Padahal dia sudah terlanjur menghisap rokok, jadi untuk apa lagi dia meminta izin Hinata?

Mobil mewah Naruto melesat cepat membelah jalanan yang tampak ramai dan padat. Sesekali Naruto menghentikan mobilnya ketika lampu rambu menyala merah. "Mau kerja dimana? Sudah ada bidikan?" tanya Naruto sembari menyesap dalam-dalam rokoknya yang semakin mengecil lalu membuangnya ke jalanan melalui celah jendelanya.

Hinata menghela napas lelah. Cengkeramannya pada tas jinjingnya telah mengendur. Baru saja kegugupannya hilang saat Naruto mengajaknya bicara. "Bagaimana menurutmu dengan Sabaku Inc?" Hinata tampak diam sejenak dan menunggu respon balik dari Naruto. Tetapi pria itu tak menjawab apa pun. Dia hanya diam sembari menekan pedal gasnya ketika lampu hijau benderang. "Besok aku akan melamar kerja disana. Kebetulan mereka mencari posisi sekretaris, dan aku ..."

KRING KRING

Ucapan Hinata disela oleh deringan ponsel pintar Naruto. Dengan helaan napas panjang Hinata melirik sahabatnya. "Kau tidak angkat?" tanyanya seraya meraih ponsel Naruto yang tergeletak begitu saja di dashboard.

"Biarkan saja," ujar Naruto datar. Dia memutar stir dan memasuki kawasan perumahan standar di daerah Shibuya.

Hinata meletakkan ponsel Naruto kembali lalu menatap ke arah luar. Menyadari kemana tujuan Naruto membawanya, bibir Hinata mengerucut. "Bukannya kau sudah berjanji akan mengajakku makan siang terlebih dahulu," rengeknya.

"Gomen, kau pulang saja. Aku benar-benar tak bisa makan siang denganmu. Lain kali saja, ya," sahutnya berusaha untuk bersikap lembut. Mobil Naruto berhenti tepat di depan rumah sederhana Hinata yang memiliki 2 lantai. Dia mengusap lembut surai indigo Hinata lalu mencubit sekilas pipi chubby gadis itu. "Kalau sempat, nanti malam saja kita merayakan kelulusanmu. Oke?"

Bibir Hinata masih cemberut. Tetapi mau tak mau dia harus keluar dari mobil. "Jaa, Naruto-kun," katanya sembari melambaikan tangan. Naruto membuka kaca mobil seraya tersenyum lebar.

"Jaa nee, Hinata-chan!" ucapnya semangat. Dia keluar dari area kompleks dan memasuki kawasan jalanan yang padat. Tak selang berapa lama, ponselnya kembali berdering.

Dengan aura marah, Naruto mengambil ponsel yang ada di dashboard lalu mengusap layarnya. "Apa?" tanyanya datar disela-sela kekesalannya. Air mukanya tampak menahan emosi tertahan. Ada guratan merah di sekitar pelipisnya.

"Kau dimana sekarang?" tanya Naruto sembari menginjak rem secara mendadak. Entah apa yang membuatnya terkejut hingga seperti itu. "Mau apa kau kesana?" Suaranya semakin meninggi. Kali ini Naruto sungguh-sungguh marah.

TIN TIN

Dari kaca spion, Naruto bisa melihat sebuah van sedang berhenti di belakangnya. Sadar jika posisinya menambah kemacetan, Naruto segera melajukan mobilnya. "Jangan bilang siapa pun!" Urat-urat di lehernya semakin menonjol lantaran teriakannya barusan. "Aku tak akan segan-segan menghabisimu!" ancamnya.

Dia berhenti di depan kompleks perumahan mewah. Sembari menunggu antrean pemeriksaan mobil di depannya, Naruto mengambil rokoknya lagi. "Itu bukan urusanmu!" ujarnya lalu membuka kaca mobilnya dan menekan klakson saat memasuki kompleks perumahan. Sang petugas keamanan yang bertugas tampak melambaikan tangannya ke arah Naruto seraya menyunggingkan senyum ramah.

Dia memang mengenal Naruto Uzumaki. Dia memang salah satu penghuni dari mansion di kompleks ini. Dan sekaligus sebagai pemilik mansion paling mewah di ujung kompleks yang dilengkapi dengan pengamanan ekstra. Keluarga Uzumaki juga kerap memberikan uang tambahan setiap hari-hari besar keagamaan. Mereka terkenal dengan sikap ramah dan penolongnya. Termasuk juga si putra tunggal mereka, Naruto Uzumaki.

Naruto membalas senyuman petugas tersebut lalu melajukan mobilnya dengan cepat. Mata birunya meneliti pinggir jalanan di sebelah kanan, sepertinya dia sedang mencari sesuatu.

Kecepatan mobilnya kian memelan ketika mobil Bentley putih terparkir di depan salah satu mansion milik keluarga Akasuna, tetangga Naruto. Tidak bisa dibilang tetangga juga, sih. Pasalnya mereka tidak prnah saling sapa sebelumnya. Bahkan Naruto tak tahu seperti apa wajah sang pemilik mansion.

"Aku sudah melihat mobilmu," ujar Naruto datar sembari menekan klaksonnya sebanyak tiga kali.

Mobil berplat nomor JP 10 SA juga ikut menekan klaksonnya sebanyak tiga kali.

Oh ... itu sebuah kode rupanya.

"Putar balik!" titah Naruto datar. "Kita ketemu di Hotel Humeda saja!"

Dengan cepat Naruto memutar arah mobilnya. Kemudian ponsel pintar miliknya dihempas begitu saja ke dashboard. Tampaknya obrolannya dengan sang penelepon telah selesai. Dari kaca spionnya dia bisa melihat Bentley putih itu mengikutinya dari belakang.

Dengan wajah gusar, Naruto mencengkeram stirnya kuat-kuat. "Sialan!" umpatnya marah.

...

*...*...*

...

Kamar 2317 di Hotel Humeda adalah ruangan yang disewa Naruto secara berkala. Kamar yang terletak di lantai paling tinggi ini merupakan kamar yang paling luas dan paling mewah isinya. Luas yang mencapai lima belas kali dua puluh meter tersebut benar-benar nyaman untuk ditempati. Kasur berukuran besar yang bisa digunakan untuk empat orang dewasa sekaligus, dan panorama dari atas yang menjanjikan. Seluruh kawasan kota tampak indah jika dilihat dari kamar ini. Apalagi jika di malam hari.

Belum lagi dengan pelayanan khusus yang disediakan oleh pihak hotel kepada sang pelanggan tetap. Tak jarang mereka menyodorkan beberapa wanita untuk menemani kesendirian Naruto disini. Bukan tanpa sebab mereka menawarkan para wanita malam pada Naruto, pernah suatu hari, Naruto memaksa salah satu karyawati hotel untuk menemaninya. Tentu saja hal ini membuat sang para karyawati tak tenang. Yah, meskipun ada juga dari antara mereka yang senang-senang saja jika disuruh melayani si putra tunggal Uzumaki.

Seperti saat ini contohnya, salah satu karyawati yang duduk di hadapannya ini adalah salah satu wanita bekas Naruto. Wanita cantik bersurai hijau dan berkulit sawo matang tampak seksi dengan little dressnya yang berwarna rose pink. Dia duduk nyaman di atas sofa empuk yang sering menjadi tempatnya dan sang master untuk bersenggama.

Wanita tinggi bersurai hijau pendek sebahu ini sedang duduk dengan kaki kanan yang disilangkan di atas paha kirinya. Paha mulusnya terlihat menggoda meskipun acap kali Naruto merasakan kelembutannya. Wanita yang pernah bekerja sebagai resepsionis di Hotel Humeda ini adalah salah satu dari sekian banyak wanita yang menjadi langganan Naruto. Selain karena dia mudah untuk ditemui, Fu juga memiliki stamina yang bisa mengimbangi Naruto.

Terkadang juga, Fu bersedia mendengar setiap curhat dari Naruto jikalau pria itu sedang gelisah. Namun, dia cukup hanya mendengar saja. Fu enggan memberi saran atau pun nasihat pada Naruto. Yang dia butuhkan hanyalah kepuasan dan tentu saja isi tabungan si pria pirang.

"Kupikir kau sudah cukup puas dengan Bentley dan apartemen itu?" Naruto terlihat tenang saat melihat Fu yang tersenyum kecil seraya menggoyangkan kaki kanannya yang tak berpijak. "Dan tampaknya sudah kukatakan jika aku benar-benar bosan padamu," ujarnya tanpa beban. Tak peduli jika kalimatnya dapat memicu kebencian dari kaum perempuan.

"Kau tak bisa membuangku begitu saja, Naruto-kun," Fu tampak tenang terkendali. Dia tidak semarah ketika Naruto menyiarkan bahwa hubungan seks yang kerap mereka lakukan telah usai sepihak. "Setelah kau mempermainkanku, meniduriku, dan bahkan menganiayaiku..." Senyum mengejek tersungging di bibir Naruto kala mendengarnya. "Aku ingin kau bertanggung jawab!"

Kata-kata terakhir yang dilontarkan Fu benar-benar meledakkan tawa kencang Naruto. Lucu sekali, huh? Si wanita jalang berlagak tersakiti. Padahal semua pekerja di hotel ini tahu jika wanita itu sendirilah yang kerap mendatangi kamar Naruto bahkan jika si pirang tidak ada di kamarnya, dia akan menyelinap seperti mencuri dan menunggu Naruto di atas ranjang dengan tubuh moleknya.

"Mempermainkanmu?" Naruto tertawa lepas. "Dari segi mana aku mempermainkanmu. Jelas sekali kau tahu apa alasanku untuk menghentikan segalanya, bukan?"

Fu mengepalkan tangannya. Di dalam pikiran kotornya, ingin segera membunuh sang suami yang dengan tololnya cemburu dan memaki-maki Naruto di hadapan khalayak umum. "Aku dan suamiku sudah bercerai dan ..."

"Jangan berlagak seperti wanita polos, Fu," Naruto beranjak dari sofa lalu mengambil rum dan cola yang tersedia di dalam lemari pendingin. "Kau penyuka bondage, bukan?" Naruto melemparkan sebotol cola ke hadapan Fu. Secara refleks, wanita itu menangkapnya dan meletakkannya dengan bantingan keras di atas meja kaca.

"Aku hamil. Dan aku ingin kau bertanggung jawab!" Biarlah jika dia diolok-olok oleh Naruto dan dilabeli 'Fu Tak Punya Malu'. Dia benar-benar butuh uang sekarang. "Aku ingin ... aborsi," ujarnya tegas.

Sudut bibir Naruto menaik. "Kalau kau butuh uang katakan saja," ujarnya lalu mengambil cola yang diletakkan Fu di atas meja kaca yang ada di hadapannya. Naruto membuka tutup botolnya dan menenggak separuh dari isinya. "Tak usah bertele-tele dengan alasan klasik seperti aborsi."

Fu mendengus marah. "Ya, kau benar!" teriaknya lantang. "Aku benar-benar butuh uang, Naruto ... dan ..."

"Kemarilah!"

Alis Fu yang terbentuk rapi hasil dari praktek sulaman mengernyit seketika. Dia terlihat bingung saat kaki Naruto melebar. Namun hanya beberapa detik berselang, dia tahu apa maksud pria itu. "Mendekat dan ambil hadiahmu."

Fu menyeringai lebar. Bertumpu pada kedua telapak tangannya dan lututnya di lantai, dia merangkak mengitari meja kaca dan menghampiri Naruto. Dia memposisikan tubuh sintalnya di antara dua tungkai kaki panjang Naruto yang melebar. Jemari tangan Fu mencengkeram otot-otot paha Naruto yang keras.

"Akan kulakukan dengan senang hati, Master."

...

*...*...*

...

Ketukan pintu dari luar kamarnya berhasil mengusik Hinata dari buaian sang mimpi. Dengan enggan, dia membalikkan posisi tubuhnya yang sebelumnya telentang menjadi tengkurap. Kedua telinganya ditutup dengan bantal agar suara ketukan tidak lagi mengganggunya. Namun sang pengetuk pintu bukanlah orang yang mudah menyerah. Tanpa henti dia mengetuk-ngetuk pintu kamar Hinata.

"Aarrgghh!" teriak Hinata kesal seraya mengacak-acak rambutnya sendiri. Dengan langkah malas dia berjalan menuju pintu dan memutar kunci. "Aku sudah bangun!" ujarnya sambil mengucek-ngucek matanya.

"Bukannya kau ada wawancara kerja di Sabaku Inc."

Jantung Hinata terasa mau lepas dari wadahnya saat melihat siapa yang ada di balik pintu. Sang pria tampan bersurai pirang dengan jas biru tua dan membawa sarapan pagi di atas nampan. "N-Naruto-kun," gumam Hinata tanpa sadar.

Naruto menghela napas bosan saat melihat dua kancing teratas piyama Hinata terbuka dan mengekspos belahan dadanya yang putih dan mulus. "Belum mandi, masih acak-acakan, dan tampak mengantuk," ujar Naruto seraya menilai penampilan Hinata saat ini. "Haruskah kupanggil Hiashi-ji agar kau tidak perlu melakukan sesi wawancara?"

Hinata membulatkan mata indahnya. Dia tahu jika ayahnya akan marah besar apabila Hinata melewatkan sesi wawancara ini. Setelah Hinata lulus dalam ujian tertulis minggu lalu, ayahnya menaruh harapan besar pada Hinata agar lolos di seleksi berikutnya. Keluarga Hyuga bukanlah berasal dari keluarga kaya raya seperti Naruto Uzumaki. Hiashi, ayah Hinata, bekerja sebagai Kabag Keuangan di kantor pusat Sabaku Inc di Tokyo. Dari beliaulah, Hinata bisa mengetahui adanya lowongan pekerjaan sebagai sekretaris pribadi sang PresDir.

Awalnya Naruto berniat memberikan Hinata pekerjaan sebagai manager di Uzumaki Corporation, hanya saja keluarga Hyuga tidak mau menerimanya dengan alasan klasik, yaitu ingin berusaha sendiri dulu. Keluarga Hyuga dan Uzumaki memang sudah saling mengenal sejak lama. Buyut Naruto bersahabat baik dengan keluarga Hyuga. Bahkan kakek Hinata mengangkat paman Naruto yang bernama Nagato, sebagai anak. Hanya saja adopsi tersebut dibatalkan lantara Nagato Uzumaki telah kembali ke kediaman Uzumaki.

"Silahkan masuk, Naruto-kun," ujar Hinata dengan senyum dipaksa. "Aku akan mandi." Hinata berlari menuju kamar mandi berukuran satu setengah kali dua meter yang ada di dalam kamar pribadinya. Sementara Naruto memilih untuk rebahan di atas kasur Hinata yang belum dirapikan.

Dia mengambil boneka teddy bear berukuran besar yang terletak di lantai. Senyumnya mengembang ketika aroma lavender khas Hinata menghampiri indra penciumannya. "Pasti dia sering memeluknya," gumam Naruto seraya tersenyum geli.

Pandangannya teralihkan oleh sebuah bingkai foto yang terletak di atas meja kecil tempat lampu tidur. Disana terdapat foto Hinata dan Naruto yang saling berangkulan di usia lima tahun. Foto dimana pertama kali mereka menginjak bangku pendidikan di Taman Kanak-Kanak Sukira. Naruto mengangkat bingkai foto tersebut dan tak sengaja ada kertas yang jatuh. Dia mengutipnya dan membaca kertas berupa tulisan acak-acak khas anak kecil yang baru belajar menulis. Namun tulisan ini masih bisa dibaca oleh Naruto.

Hinata dan Naruto selalu bersama.

Hinata dan Naruto teman selamanya.

Hinata sayang Naruto.

Kami adalah peri kebaikan.

Naruto adalah sahabat terbaik yang kumiliki.

Senyum simpul tersungging di bibir Naruto. Mata birunya terfokuskan oleh frasa 'peri kebaikan' yang disebutkan Hinata di kertas itu.

"Mana ada peri kebaikan yang bersikap bajingan seperti aku," gumam Naruto lalu menyelipkan kembali kertas tersebut di belakang bingkai foto.

Dia memandang wajah Hinata dan dirinya semasa kecil yang berseri-seri. Dia ingat sekali ketika itu orang tuanya menginginkan agar Naruto bersekolah di St. Mary Kindergarten yang terkenal dengan kualitas dan biaya pengeluaran super mahal. Hanya saja, karena Hinata tidak bersekolah disana, Naruto kabur dari rumah dan merengek untuk dipindahkan ke Taman Kanak-Kanak Sakira yang jauh lebih sederhana. Lagipula di sekolah elit seperti St. Mary Kindergarten jarang ada masyarakat lokal. Kebanyakan yang bersekolah disana adalah anak diplomat atau para pengusaha asing. Kalau pun ada masyarakat lokal, itu pun pasti orang-orang kalangan atas.

Jika diingat-ingat lagi, masa kecil Naruto sungguh menggelikan. Bahkan orang tuanya sudah membayar satu juta US dollar untuk pengeluaran di St. Mary Kindergarten selama setahun. Dan harus terbuang sia-sia lantaran keinginan konyol Naruto.

"Kau tampak menggemaskan di foto itu, Naruto-kun."

Naruto tersentak kaget saat suara Hinata menggema di ruangan yang sebelumnya hening. Naruto memalingkan wajahnya ke arah para gadis cantik yang sedang mengenakan handuk dan membelakangi Naruto. Dari belakang, mata biru lautnya tak bisa lepas dari betis ramping Hinata yang mulus dan basah karena baru saja selesai mandi. Handuk itu lumayan panjang, dan menutupi tubuh Hinata hingga selutut. Namun tetap saja dia tak bisa mengalihkan pandangannya.

"Kau juga mulus sekali," gumam Naruto tanpa sadar.

Ucapan Naruto cukup rancu di telinga Hinata. Dia berbalik dan menatap wajah sahabatnya dengan sorot bertanya. "Mulus?"

Napas Naruto tercekat. "M-Maksudku ... pipimu," Naruto menyunggingkan senyum kecil. "Pipimu tembem sekali disini," Dia menunjukkan bingkai foto tersebut.

Mata Hinata berbinar mendengarnya. "Berarti sekarang pipiku sudah tirus, dong."

Naruto terkekeh geli. Hinata selalu menginginkan pipi tirus seperti para model. Padahal dengan pipi chubby seperti ini, dia jauh terlihat lebih manis. Apalagi jika pipinya sudah merona. "Tidak. Malah sekarang kau semakin bulat."

Bibir Hinata mengerucut sebal. Dia menyipitkan mata indahnya pada Naruto. "Naruto-kun menyebalkan!" pekiknya lalu meraih bantal yang ada di atas ranjang lalu memukul-mukul kepala Naruto. "Jahat! Jahat!" pekiknya sambil tertawa riang lantaran Naruto memohon ampun padanya.

"Nona Bulat Bakso ... ampuni hamba!" teriak Naruto seraya berusaha menangkap pergelangan tangan Hinata.

Hinata semakin kesal dan menaiki ranjang. Dia tak menyadari kaitan pada handuknya kian mengendur lantaran terlalu banyak bergerak. "Naruto-kun, jahat!" teriaknya.

Seketika itu juga Naruto menangkap pergelangan tangan Hinata dan menjatuhkan tubuh gadis itu ke atas ranjang. Posisi kini berubah. Naruto menindih tubuh Hinata yang hanya dibalut oleh handuk merah muda. Mereka terdiam sejenak. Naruto tak bisa mengalihkan wajahnya dari bibir ranum Hinata bak plum.

"Justru pipi gembilmu itu yang membuat dirimu semakin manis, Hinata."

Satu pujian dari Naruto berhasil membuat hati Hinata meleleh. Terpesona oleh ketampanan si tunggal Uzumaki, Hinata memejamkan erat matanya ketika Naruto menipiskan jarak di antara mereka. Aroma mulut Hinata terasa begitu segar di indra penciuman Naruto. Ingin rasanya melumat habis isinya dan meneguk semua air liur di mulut Hinata. Belum sampai keinginannya terlaksana, tiba-tiba saja pintu kamar diketuk.

TOK TOK

"Hinata, kau sudah siap? Tousan tunggu di mobil, ya."

Naruto beranjak dari posisinya dan berdiri. "Itu sarapanmu. Semoga sesi wawancaranya sukses," ujar Naruto seraya berjalan menuju pintu. Belum sempat dia keluar dari sana, Hinata segera berlari dan meraih tangan kanannya seraya membalikkan tubuh jangkung pria itu.

CUP

Mata biru Naruto melebar saat pipinya dikecup oleh Hinata. Tak pernah sebelumnya gadis itu mengambil inisiatif duluan untuk mencium Naruto. Ini pertama kalinya bagi Hinata.

"Arigatou, Naruto-kun," ujar Hinata lalu mendorong Naruto keluar dari kamar. Dia menutup pintu dengan bantingan kencang. Dari luar, Naruto bisa tahu jika gadis manis itu tengah merona.

"Dasar, Nona Bulat Bakso," gumamnya sambil menyentuh pipi kanannya.

Sementara di dalam kamar, Hinata sibuk menenangkan jantungnya yang menggila. "Ya, Kami-sama. Naruto-kun hampir menciumku," gumamnya seraya melompat girang. "Apa dia merasakan apa yang kurasakan? Apa Naruto-kun juga mencintaiku?" Hinata mulai berspekulasi sendiri. "Semoga itu benar, Kami-sama."

Hinata menyunggingkan senyum lebar seraya mengambil setelan terbaiknya. "Aku pasti bisa!" semangatnya tanpa batas.

...

TO BE CONTINUE

...

Holla Ozel kembali.

Story ini saya dedikasikan untuk Ayey Captain yang request langsung dan maksa saya untuk publish di ffn bukan di lapak oranye. #hum.

Ada yang sudah baca NaruHina 'Cinta Sampai Disini'?

Nah itu adalah versi OS-nya, sementara 'Those are Precious' adalah versi MC-nya. Ibaratnya itu OS sendiri adalah summary cerita ini.

Di 'Those are Precious' akan Ozel ceritakan dimulai sebelum Hinata jadi sleepingpartner Naruto, supaya terasa aja bagaimana dekatnya pertemanan mereka seperti apa.

Nah, kuharap Ayey Captain suka dengan ini, ya.

Dan untuk semua readers yang sudan baca versi OS-nya, kuharap juga suka dengan versi MC-nya.

Terima kasih sudah menyediakan waktu luang kalian untuk membaca story ini.

Sampai jumpa di lain waktu

Sunday, second of April, two thousands and seventeen

Sincerely,

Ozellie Ozel