Hello! This is Cara Camellia, tapi karena lupa email, cerita ini akhirnya diulang dari awal. oTL. Tapi sejujurnya emang aku udah dari lama pengen ulang dari awal, karena aku ngerasa chapter 1-7 yang ada di account lama aku itu kesannya diburu-buru banget cries- ini aja kesannya masih diburu banget. Awalnya aku sempet ngerasa mau dump aja fanfic ini tapi aku rasanya sayang, gemes banget sama drarry all the fricking time! :( jadi akhirnya keputusan untuk rombak cerita dan ulang dari awal- aku turutin.
Without further ado, I present you to a new version of Goblet of Fire Princess!
WARNING: Semi-AU. Fem!Harry. Durmstrang!Draco. Karakter Harriet sepenuhnya berdasarkan imajinasi saya.
DISCLAIMER: I do not own Harry Potter, but I do own the story.
Goblet of Fire Princess
hwangjn
Di hari pertama Harriet Potter menjadi murid tahun ke 4 di Hogwarts, gadis bermata emerald itu disambut dengan sebuah pemandangan unik; sebuah kereta kuda terbang muncul dari ujung langit, melintasi Hogwarts—dan akhirnya berhenti di suatu tempat yang tidak bisa ia lihat. Semua murid Hogwarts yang lain juga berdempetan, beberapa bahkan sepertinya nekat untuk menaiki sapu terbang mereka dan mengikuti ke mana kereta tersebut terbang, tapi tentu saja semua niat itu lenyap ketika Professor McGonnagal, kepala asramanya yang galak, datang dan mengusir semua siswa tersebut kembali ke Aula Besar.
Selanjutnya, upacara awal tahun pelajaran baru dimulai, dan semuanya berjalan seperti biasa. Upacara seleksi murid-murid baru, pidato panjang Dumbledore, dan ia harus berlagak cuek selama pidato tersebut karena kepala sekolahnya harus sekali membicarakan kemunculan Dark Mark di perkemahan para penonton Quidditch Cup yang belum lama ini diakhiri dengan kehebohan. Harriet menghela nafas, jemarinya kini memperbaiki poninya asal-asalan, yang penting bekas luka yang menandakan bahwa ia adalah gadis yang selamat dari kutukan Voldemort, sang antagonis dunia sihir, tertutup. Ia tidak pernah suka dengan luka tersebut, membuatnya menjadi pusat perhatian dunia, dan ia tidak suka jadi pusat perhatian.
Lamunan Harriet terbuyarkan ketika ia mendengar kelanjutan dari pidato Dumbledore, "Tahun ini, Hogwarts tidak hanya akan menjadi rumah bagi para siswa Hogwarts saja. Akan ada siswi-siswi dari Beauxbatons, sekolah sihir khusus wanita di Prancis, dan siswa-siswa dari Durmstrang, sekolah sihir khusus lelaki di Bulgaria." Ucap kepala sekolah tersebut dengan tatapannya yang kini terlihat melembut, kembali seperti biasanya. "Hal ini terjadi karena Turnamen Triwizard akan kembali diselenggarakan—" sorak sorai murid-murid terdengar memenuhi Aula Besar, tapi tentu saja semua kembali hening ketika suara Dumbledore kini terdengar dua kali lebih kencang dari biasanya, "—dan untuk itu, kita bisa berterima kasih kepada Bartemius Crouch, selaku penanggung jawab Turnamen Triwizard ini."
Ketika lelaki yang bernama Bartemius Crouch tersebut mengambil alih spotlight, bukannya memperhatikan dia, mata Harriet malah memperhatikan sosok seorang lelaki pendek, berwajah mengerikan, yang baru saja masuk melalui pintu kecil di belakang meja makan guru. Melihat arah pandangan temannya, Ron jadi ikut melihat ke arah yang sama, dan reaksinya cukup mengejutkan. "Bloody hell. Apa yang sedang dilakukan Mad-Eye Moody di Hogwarts?"
"Mad-Eye Moody?" Tentu saja, Hermione harus ikut masuk dalam pembicaran, dan Harriet sudah bisa menerka bahwa temannya ini akan membuat komentar pintar tentang topik mereka. "Aku pernah baca bahwa separuh penghuni Azkaban dijebloskan olehnya."
'Ah, ya. Pernah baca. Tentu saja, kenapa aku tidak terkejut.' Harriet hanya tersenyum kecil kepada Hermione, tapi pandangannya masih melekat pada auror hebat yang (berusaha) bersembunyi di balik guru-guru Hogwarts.
"Sekarang," suara menggelegar Dumbledore kembali membuyarkan lamunan Harriet, "marilah kita sambut tamu kita dari Beauxbatons bersama kepala sekolahnya, Madam Maxime!"
Pintu Aula Besar terbuka, dan dari luar, masuklah gadis-gadis cantik yang berjalan dengan anggun bak pragawati, dan tentu saja, mereka harus menekankan fakta bahwa mereka adalah segerombolan gadis-gadis cantik dengan cara menciptakan kupu-kupu bersinar di sekitar mereka menggunakan sihir. 'Duh, girls.'
"Ron?" panggil Harriet, dan tentu saja—temannya itu sudah tidak sadar dengan keadaan dunia. Ia baru saja hendak memutar bola matanya ketika ia melihat seorang wanita tinggi besar berjalan tak jauh dari barisan gadis cantik Beauxbatons, dan itu membuat Harriet terbelalak. Ia memukul pundak Ron cukup kencang, menyadarkannya dari lamunannya akan gadis-gadis cantik berseragam biru muda itu dan mengikuti arah pandangan Harriet, kini keduanya terlihat menganga.
"Bloody hell. Wanita itu tinggi sekali."
"Berikutnya!" Belum selesai Harriet dan Ron membicarakan tentang wanita raksasa tadi, Dumbledore kembali menandakan bahwa tamu berikut mereka akan masuk ke Aula Besar, "Tamu kita dari Durmstrang, bersama kepala sekolahya, Igor Karkarrof."
Kalau tadi para siswa yang terlena, kini giliran para siswi yang terlena dengan aksi manly dari para murid Durmstrang yang tinggi dan berbadan kekar. Akan tetapi, hampir seisi Hogwarts membicarakan tentang lelaki yang ada di barisan paling belakang, Viktor Krum; Seeker terhebat tim Quidditch Bulgaria. Meskipun begitu, mata emerald Harriet tidak tertuju kepadanya—tapi lebih kepada seorang murid Durmstrang yang memiliki rambut pirang yang tertata rapih, dengan tatapan matanya yang berwarna kelabu. Harriet masih memperhatikan lelaki tersebut ketika ia balas menatap Harriet, dan memberikan senyuman tipis kepada gadis itu sebelum ia kembali menatap lurus.
"Harriet, dia menatapmu!" ucap Hermione yang kini tersenyum jenaka, untuk sesaat, ekspresinya mengingatkan Harriet akan Cheshire Cat. "Dan tersenyum! Ohh, sepertinya aka nada kisah seru tahun ini…"
Gadis berambut coklat itu hanya tertawa mendengar komentar teman muggle-nya, "Please, dia hanya kebetulan saja menatapku."
Senyuman ala Cheshire Cat Hermione tidak kunjung hilang juga, malahan, semakin melebar. "Ooh, aku sirik sekali denganmu, Chosen One."
"Diamlah."
Kehebohan di Aula Besar Hogwarts kini sudah terhenti, dan perhatian seluruh murid yang ada di dalam sana kini telah direbut oleh peti yang baru saja dibawa masuk oleh Filch, dimana didalamnya ada sebuah piala emas yang mengobarkan api berwarna biru di puncak piala tersebut. Bartemius Crouch kemudian menjelaskan bahwa inilah sarana yang akan digunakan para murid untuk mendaftarkan diri mereka ke Turnamen Triwizard, dengan cara menuliskan nama mereka di secarik perkamen, dan melemparkannya ke api biru. Ia juga menjelaskan bahwa demi keamanan siswa dan siswi, hanya murid yang sudah berusia 17 tahun-lah yang bisa mendaftarkan diri ke Turnamen Triwizard. Tentu saja, keputusan ini diprotes oleh hampir seluruh murid Hogwarts, tapi Harriet tidak keberatan. Satu tahun menikmati hiburan, tapi hiburannya bukan dari Harriet Potter terdengar sangat menyenangkan.
xxx
'Oh, jadi dia professor baru Pertahanan Ilmu Hitam.' Batin Harriet yang baru saja masuk ke dalam kelasnya, matanya memperhatikan auror yang memiliki mata imitasi yang tidak bisa diam. Sementara itu, temannya, Ron, sudah memasang wajah tegang begitu melihat guru baru mereka. Harriet yang kini sudah duduk di kursi menoleh, dan ia melihat semua murid Hogwarts memiliki ekspresi yang tidak jauh berbeda dari Ron.
Setelah semuanya duduk, auror tersebut berdiri, tangannya mengambil sebuah kapur dengan kasar, dan menuliskan namanya di papan dengan tidak kalah kasar. "Alastor Moody." Ucapnya singkat. "Hari ini, aku akan mengajarkan kalian tentang 3 kutukan tak termaafkan— dan aku tidak perduli kalau Kementrian Sihir menganggap bahwa kalian tidak seharusnya melihat ini, tapi kalian harus tahu karena diluar sana banyak ancaman!" Jelas Moody dengan intonasi galak dan tegas, membuat murid Slytherin sekali pun terdiam takut di kursi mereka. "Weasley! Berdiri!"
Ron berdiri dengan sigap, tapi Harriet tahu bahwa temannya itu sudah ketakutan habis-habisan, dan jujur saja, Harriet juga cukup takut kalau auror itu akan terus-terusan mengajar dengan cara seperti ini. "S-Sir?"
Moody berjalan mendekat, langkah kakinya yang berat membuat Ron dan Harriet semakin terintimidasi. Saat ia berhenti melangkah, matanya yang normal menatap Ron dari ujung kaki sampai ujung kepala, sebelum akhirnya ia mengatakan apa yang sebenarnya ia inginkan dari Ron. "Sebutkan satu kutukan. Aku yakin kamu tahu sesuatu."
"Uhh…" Ron mengalihkan pandangannya ke Harriet, dan gadis itu balas menatapnya dengan bingung, sebelum akhirnya Ron kembali menatap Moody. "Ayahku pernah memberi tahu satu kutukan… Imperius?"
"Ah, ya, Imperius." Untuk sesaat, auror tersebut tersenyum, dan ia berjalan kembali ke meja guru, terlihat sibuk membuka sebuah toples dan menarik keluar—laba-laba. Tentu saja, reaksi pertama Harriet adalah melirik temannya yang sepertinya sudah siap pingsan kapan saja. Ron bergeser mendekat ke Harriet, dan Harriet malah semakin menggeser posisi duduknya, tidak mau mendadak dilempar laba-laba oleh Professor Moody yang selalu moody.
"Engorgio," Gumam Moody, tongkat sihir terarah kepada laba-laba yang kini sudah seukuran telapak tangan orang, "Imperio!"
Kini laba-laba tersebut melayang ke meja Hermione, dan berdansa dengan bodoh di meja tersebut, mengikuti perintah dari tongkat sihir Moody. Selanjutnya, laba-laba tersebut melayang lagi ke meja murid Slytherin, merayap di wajah murid malang yang sepertinya sudah siap pipis di celana karena laba-laba tersebut, sebelum mahluk tersebut berdansa di meja Ron dan Harriet cukup lama, sebelum akhirnya kembali lagi ke tangan Moody, dan auror tersebut nampaknya sangat menikmati reaksi murid-muridnya.
"Tadi adalah kutukan Imperius, kutukan yang bisa mengendalikan orang. Dan tentunya kalian tidak mau dikendalikan orang, bukan? Itulah sebabnya kutukan Imperius termasuk kutukan yang terlarang." Jelas Moody sambil meletakkan laba-laba itu kembali di mejanya. "Sekarang, kutukan Cruciatus." Mata imitasi professor itu kini terfokus pada seseorang, dan ia menyeringai. "Longbottom, bukan? Kemarilah. Kamu bisa melihat kutukan ini lebih dekat."
Harriet memperhatikan temannya yang culun itu berdiri dengan wajah pucat, mendekati Moody dengan langkah yang pelan dan ragu. Sesampainya dia di depan meja Moody, professor itu menyeringai lebih lebar dari sebelumnya.
"Crucio."
Disaat tongkat diayunkan, laba-laba tersebut berteriak kesakitan, meronta-ronta tak berdaya berusaha berlari siksaan dari Moody. Jujur saja, menurut Harriet, ini cukup disturbing—tapi sepertinya professornya beranggapan lain, terlihat dari cengiran lebarnya yang terlihat bagai psikopat. Melihat ekspresi Moody, Harriet otomatis memperhatikan temannya yang berdiri di hadapan Moody. Memang wajahnya tidak terlihat dari tempat Harriet duduk, tapi ia bisa melihat tangan Moody yang gemetaran, dan ia yakin kalau ini tidak dihentikan—
"Hentikan!" 'Ah, tepat waktu.' Batin Harriet sembari melirik temannya, Hermione, yang baru saja protes. "Kamu membuatnya tersiksa!"
Moody menghentikan aksinya, tapi matanya kini melekat di sosok Hermione yang sepertinya sedang menahan air matanya. Tanpa diperintah, Neville berjalan kembali ke tempat duduknya, sementara Moody kini membawa laba-laba yang sudah lelah itu ke hadapan Hermione. "Baiklah, Granger," ucapnya dengan nada yang lebih pelan dari biasanya, "Apakah kau tahu kutukan terakhir?"
Hermione menggeleng, menolak untuk menjawab.
"Baiklah," Moody menghela nafas, tongkatnya kini ia arahkan ke laba-laba, dan dengan tegas ia teriakkan; "Avada Kedavra!"
Sinar hijau yang meluncur dari ujung tongkat Moody membawa ingatan buruk bagi Harriet, ia pernah melihat kilatan hijau yang dingin dan tidak memaafkan itu sebelumnya.
"Sampai saat ini," Moody berdeham, matanya kini menatap Harriet—bahkan mata imitasinya itu akhirnya diam juga dan ikut memperhatikan sosok gadis yang memiliki bekas luka berbentuk petir di keningnya. "Hanya ada satu orang yang berhasil menghindari kutukan itu."
Tapi nampaknya, Harriet tidak perduli dengan fakta yang baru saja dikatakan oleh professor barunya. Ia malah lebih tertarik dengan minuman yang baru saja diminum Moody tepat setelah ia membuat seisi kelas memperhatikannya.
'Aku penasaran dengan apa yang dia minum.' Batin Harriet, karena ekspresi Moody setelahnya terlihat seperti menahan muntah. 'Kenapa juga dia minum kalau rasanya tidak enak?'
Tapi sepertinya yang lain tidak peduli.
xxx
"Sampai kapan kita akan disini?"
Pertanyaan yang baru saja dilontarkan Hermione diacuhkan oleh Ron dan Harriet, keduanya sepertinya mendadak tuli mendengar pertanyaan temannya yang tengah sibuk memeluk buku. Melihat itu, Hermione memutar bola matanya dan kembali duduk di kursi, membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di buku, dan sepenuhnya acuh terhadap Piala Api yang ada di tengah-tengah Aula Besar tersebut.
Harriet memperhatikan berbagai macam murid datang, memasukkan namanya dan bersorak-sorai dengan teman-teman mereka sebelum akhirnya mereka pergi. Ada murid Gryffindor, Ravenclaw, terkadang tapi sangat jarang—Slytherin, tapi perhatiannya baru terenggut ketika ia melihat sosok jangkung seorang murid Hufflepuff yang ia kenal dari Quidditch Cup kemarin; Cedric Diggory. Lelaki baik dan tampan— sayang, Harriet tidak begitu suka dengan ayahnya sehingga ia tidak memperhatikan lelaki ini secara lebih.
Dengan langkah yang stabil dan tenang, Cedric memasukkan perkamen bertuliskan namanya ke dalam piala api, dan aksinya itu disambut dengan tepuk tangan dari murid-murid yang kebetulan berada di dalam Aula Besar. Harriet sendiri, tanpa sadar, ikut bertepuk tangan. Hanya saja ia tidak menyangka Cedric akan melihatnya, dan tersenyum ke arahnya, membuat gadis berusia 14 tahun ini mendadak canggung.
Tapi kecanggungannya langsung menghilang ketika ia mendengar seruan heboh dari arah pintu masuk, dan tanpa perlu menengok pun sebenarnya ia sudah tahu siapa pemilik suaranya. George dan Fred Weasley.
"Yeah! Kita sudah menemukan cara untuk menipu Lingkar Batas Usia!" Seru Fred—atau George, dan keduanya melambai-lambaikan sebuah ramuan yang disimpan dalam botol kecil. Tentu saja, ini disambut dengan tepuk tangan riuh dari seluruh murid asrama Gryffindor yang sedang berada disana, termasuk Harriet, tapi reaksi yang sama tidak ditemukan di Hermione. Malahan, gadis itu memutar bola matanya dan menghela nafas pada aksi si kembar Weasley.
"Menyerahlah kalian berdua, kalian tidak akan berhasil." Ucap Hermione dengan santai, membuat perhatian seisi Aula Besar pindah kepadanya. "Lingkar Batas Usia itu dibuat oleh Dumbledore, dan pastinya tidak akan bisa ditipu oleh Ramuan Penua murahan yang kalian beli itu."
Mendengar 'pencerahan' dari Hermione, semangat si kembar bukannya menghilang malah semakin menjadi-jadi, dan keduanya kini berdiri di sisi kiri dan kanan Hermione dengan cengiran iseng khas mereka berdua, "Kita lihat nanti, miss 'Mione." Ucap George, tangannya kini sudah memegang Ramuan Penua, dan Fred pun melakukan hal yang sama. "Bottoms up!" Seru si kembar bersamaan sembari berdiri di atas kursi panjang, kemudian keduanya menenggak ramuan tersebut sampai habis. Seluruh Aula Besar terdiam, menunggu aksi selanjutnya dari mereka, dan melihat kesunyian ini, Fred dan George meloncat masuk ke Lingkar Batas Usia.
Tidak ada yang terjadi.
Seisi Aula Besar bersorak sorai bersamaan dengan si kembar melihat apa yang terjadi, bahkan Harriet pun tertawa terbahak sembari bertepuk tangan melihat mereka yang kini dengan bangganya berhasil melemparkan perkamen bertuliskan nama mereka ke dalam Piala Api. Fred dan George kemudian melenggang keluar dari Lingkar Batas Usia dengan pede, tapi perasaan tersebut langsung menghilang begitu Piala Api berkobar tidak senang, dan dalam hitungan detik, kobaran apinya menjalar mendekati Fred dan George, memukul mereka berdua jauh dari Piala Api. Ketika si kembar kembali duduk sehabis diserang Piala Api, mereka malah disambut oleh tawa seisi Aula Besar. Bagaimana tidak, keduanya kini telah berubah menjadi kakek-kakek dengan rambut dan jenggot panjang berwarna putih. Sementara itu, Hermione yang duduk di kursi panjang hanya menggendikkan bahunya sambil memberikan tatapan 'I told you' kepada semuanya.
Harriet masih menertawakan si kembar yang berjalan keluar dari Aula Besar sambil berkelahi ketika murid-murid Durmstrang masuk ke dalam dengan barisan rapih, dan di belakang mereka ada Igor Karkarrof dan tampang sangarnya, tapi yang menarik perhatian Harriet adalah lelaki berambut pirang yang kemarin tersenyum kepadanya, yang sekarang tengah berdiri di samping kepala sekolah Durmstrang tersebut.
Mungkin Harriet memperhatikan lelaki itu terlalu lama sehingga ia tidak sadar bahwa lelaki itu sudah ada tepat di hadapannya. Belum sempat ia bereaksi apa-apa, anak lelaki itu meraih jemari Harriet dan mengecup punggung tangannya dengan lembut, membuat hati gadis berambut coklat itu berdegup kencang. Baru kali ini Harriet memperhatikan lelaki itu dari dekat; rambut pirangnya tertata sangat rapih, matanya yang berwarna kelabu tidak memancarkan kesan dingin sama sekali, dan caranya membawa dirinya begitu formal—ia pasti seorang pureblood, dan untuk sesaat, Harriet merasa sedikit terintimidasi.
"Halo, Miss Potter." Ucap anak lelaki itu dengan lembut, senyumannya masih melekat di wajahnya. "Bolehkah aku berbicara denganmu—" ia melirik Ron, dan Hermione, serta seisi Aula Besar sebelum ia kembali menatap Harriet dengan ramah, "—in private, kalau boleh."
"Uh—" Untuk sesaat, The Chosen One terdiam dan mengerjapkan matanya berulang kali, tapi ia cepat-cepat mengangguk kepada ajakan lelaki itu, bibirnya melengkungkan senyuman kecil yang malu-malu. "Boleh saja."
Anak lelaki itu tidak menjawab dengan kata-kata, ia hanya tersenyum hangat, dan menarik Harriet keluar dari Aula Besar, bahkan tidak memberikan kesempatan kepada Harriet untuk memberi penjelasan kepada kedua temannya, serta seisi Aula Besar, yang kini ternganga kaget melihat kepergian Harriet dan murid Durmstrang berambut pirang itu.
Bahkan, Harriet berani bersumpah kalau ia mendengar jeritan histeris yang pilu dari Aula Besar. Entahlah- ia tidak mau ambil pusing.
xxx
"Maaf sudah membawamu secara paksa, Miss Potter." Ucap lelaki tersebut masih dengan sangat formal, tangannya masih melingkar di pergelangan tangan Harriet, entah ingin membawa gadis itu kemana. "Namaku Draco, Draco Malfoy. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu, miss."
Harriet hanya bisa tertawa kecil dengan canggung, ia ingin mengenalkan dirinya, tapi Draco sudah kenal siapa dia, dan sesungguhnya ia tidak pandai membuat teman baru, jadi ia tidak tahu apa yang harus ia bicarakan. "Um, tak perlu begitu formal." Ucap Harriet, senyumannya masih terkesan malu-malu, tapi sepertinya Draco tidak keberatan dengan hal tersebut. "Panggil saja Harriet, dipanggil Miss Potter serasa sedang dimarahi guru."
Draco tertawa mendengar perkataan Harriet, menurutnya, gadis ini lucu sekali. Parasnya yang cantik dan mata emerald itu sudah cukup untuk membuatnya menaruh perasaan pada Harriet di hari pertama ia melihat gadis itu secara langsung, dan mengenalnya—mendengar ia berbicara dan tertawa dan tersenyum dengan canggung hanya membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. "Aku pikir kamu adalah tipe murid yang jarang dimarahi guru. Bagaimana mereka bisa marah kepadamu, Chosen One?" Ucap Draco sambil tertawa kecil.
Harriet malah tertawa lagi mendengar perkataan Draco, dan kali ini, tawanya yang terkesan lebih lepas membuat hati Draco berdegup lebih kencang. Seakan-akan tadi saja tidak berdegup kencang. "Draco, kamu tidak tahu betapa pusingnya guru-guru setiap tahunnya karena keberadaanku." Ucap Harriet, mata emeraldnya terlihat seakan-akan bersinar karena senyumannya.
"Benarkah?" Draco masih tersenyum ketika langkah kaki mereka akhirnya berhenti di tepi danau, dan ia mempersilahkan Harriet untuk duduk di batang pohon besar yang ada tak jauh dari posisi mereka. "Maukah kamu menceritakanku tentang kenapa guru-guru merasa pusing denganmu, Harriet?"
"Ini cerita yang panjang, kamu yakin kamu mau dengar?" Harriet balik bertanya, tapi senyumannya hanya memberitahu Draco kalau sebenarnya gadis ini sangat ingin menceritakan kisahnya kepada Draco, dan tentu saja—putra Malfoy itu sangat ingin mendengarnya.
Lelaki itu duduk di samping Harriet, dan ia tertawa kecil, "Ceritakan padaku, aku ingin mendengar tentang kehidupan sehari-hari Harriet Potter," ucapnya, dan mata kelabu Draco menatap mata emerald Harriet dengan hangat, penuh penasaran—tapi untuk kali ini, Harriet tidak merasa keberatan dengan tatapan penasaran. "Aku ingin mengenal Harriet Potter sebagai murid Gryffindor yang sering membuat guru pusing, bukan mengenal Harriet Potter sebagai The Chosen One."
Kalimat Draco itu mengejutkan Harriet untuk sesaat, jantungnya berdegup ketika ia menatap lelaki itu, dan ia tidak menemukan rasa sekedar ingin tahu atau perasaan sekedar ingin mengenal sosok tersohor dunia sihir dari raut wajah Draco. Melihat itu, bibir Harriet kini menyunggingkan sebuah senyuman, dan senyuman itu tidak pernah ia perlihatkan kepada siapapun—tidak kepada kedua temannya, keluarga Weasley, ataupun Godfather kesayangannya.
"Baiklah, dengar baik-baik. Pada tahun pertama…"
( to be continued… )
Yaaas, cukup segitu untuk saat ini! Saya akan berusaha untuk merombak chapter-chapter ini dalam waktu seminggu, jangan segan-segan untuk mampir di sosmed saya kalau mau saya cepet update! ;)
Anyways, ini visualisasi Harriet Potter versi saya.
[ http(:/) . ]
Hapus tanda kurungnya ya!
See you in Chapter 2~
