Dia berdiri sendirian di tengah bumi yang kering, retak dan mati bagaikan ditinggalkan penciptanya. Langit bergemuruh oleh petir dan kegelapan yang menaungi tempat tersebut, tidak meninggalkan seberkas pun cahaya dari sang mentari. Tidak ada seorang insan pun yang bernafas selain angin yang membawa bau kematian. Sepanjang mata memandang, tidak ada satu pun tanda akan kehidupan.

Sepanjang mata memandang, tidak ada apa pun yang bisa ia temui. Tidak ada seorang pun, bahkan sepucuk rumput pun tidak tumbuh atau bahkan seekor semut juga tidak muncul dari tanah yang merupakan tempat dimana kehidupan koloni mereka berasal.

Dia tahu tapi dia memilih untuk tidak ingin tahu.

Dia sadar tapi ia memilih untuk tidak ingin menyadarinya.

Dia paham tapi ia memilih untuk tidak ingin memahaminya.

Oh, sebuah irony yang harus ditanggung oleh karena kenyataan, yang lebih baik tertutup oleh kepalsuan.

Tanpa ia sadari, motorik tubuhnya memaksa pusat dari kendali untuk membuat suatu respon dengan sebuah langkah lemah. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan. Matanya kosong menatap apa yang dulunya adalah sebuah kota yang megah dan dipenuhi oleh kehidupan, yang kini hanya bersisakan debu dan reruntuhan yang perlahan mulai hancur menjadi puing.

Langkah demi langkah pun ia jalani. Nafas memburu keluar dari bibir yang kering oleh karena rasa lelah yang dirasakan oleh tubuhnya yang kotor. Luka dan darah membalut kulitnya yang bagaikan arang, memberikan warna merah pada tubuh bagai mati tersebut.

Ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh tubuhnya. Pikirannya perlahan kosong oleh karena tubuhnya yang menolak untuk mendengarkan irama dari otaknya yang perlahan mati.

Matanya, yang hampa akan kehidupan pun terus menatap ke depan, tidak peduli apa yang menunggu untuk ia lihat.

Berkali-kali ia terjatuh oleh karena kakinya yang tak kuasa untuk menopang tubuh rapuh tersebut, hingga tanganlah yang menggantikan kaki untuk menarik tubuh lungkai itu untuk terus melangkah ke depan. Entah apa yang membuat tubuh tersebut bersikeras untuk tetap melangkah maju meski sang otak sudah menyerah dan membiarkan wadah tersebut menjadi wadah mati, hampa akan sebuah eksistensi yang bernama manusia.

Betapa ironisnya ketika sesuatu yang begitu indah, sesuatu yang diciptakan untuk menjadi yang paling disayangi meski dengan segala keburukan, kejelekan dan kekurangan yang mereka miliki, menjadi sesuatu yang paling terkutuk, paling kotor dan paling hina oleh karena hasrat dan kemunafikan.

Betapa sedihnya ketika sesuatu yang paling dicintai, paling dikasihi dan paling dibentuk berdasarkan wujud dari sosok penciptanya, kini berubah menjadi sosok mengerikan yang bahwa memiliki kekuatan untuk menghancurkan sang pencipta itu sendiri.

Namun lebih menyedihkan dan memilukan saat mereka mulai saling membunuh satu sama lain. Terhasut oleh kegelapan, yang tidak pernah terbayangkan, mereka, menjadi sang penghancur yang mulai menghabisi dan membunuh kaumnya sendiri hanya demi kekuasaan di atas segalanya.

Mereka membunuh dan terus membunuh. Bahkan keluarga mereka sendiri tidak lepas dari cengkraman taring yang sudah terasah oleh kerakusan dan kebanggaan, meninggalkan jejak darah yang menjadi akar untuk revolusi pembantaian yang akhirnya hanya menyisakan kegelapan dan ketiadaan.

Dia ingin mengutuk mereka semua, meskipun dia sendiri adalah salah satu dari mereka. Dia ingin membunuh mereka semua, meskipun dia sendiri tahu bahwa dia tidak memiliki hak apa pun untuk menghakimi dan mencibir mereka. Hatinya terasa sakit oleh kegelapan yang perlahan merangkak dan mencengkram apa yang menjadi kesadaran yang tersisa di dalam hatinya.

Sakit, hatinya sangat sakit apabila ia mengingat kembali bahwa seseorang yang dia anggap sebagai orang yang paling ia kasihi, menjadi penyebab dari semua kehancuran dan kekacauan yang ia dengan setengah mati berusaha untuk mencegahnya, dimana hal itu hanya berakhir dengan sebuah kesia-siaan belaka.

Tidak ada yang menyangka akan kegelapan dari dunia lain yang tidak pernah terbayangkan tersebut. Tidak pernah ia menyangka bahwa ia harus menyaksikan kembali kehancuran dunia untuk kesekian kalinya. Tujuannya sia-sia dan ambisinya hancur oleh karena pengkhianatan. Kepercayaannya hancur oleh karena ikatan yang sudah ia bangun dengan keringat dan darah, hancur oleh karena kemunafikan dan kearoganan dari para makhluk yang menyebut diri mereka "Bagian dari Sejarah umat Manusia."

Perlahan kepercayaan dirinya hancur oleh karena tragedi yang perlahan jatuh. Keteguhannya digoyahkan oleh kematian demi kematian yang terjadi. Kekuatan yang diperolehnya setelah tahun demi tahun juga bukanlah jawaban yang dicarinya.

Bahkan ia sudah tidak bisa lagi mempercayai dirinya sendiri saat ia perlahan menyadari bahwa ia sudah melewati batas dirinya sebagai seorang manusia. Manusia yang menjadi seorang Devil, lalu berkembang dan hancur hingga menjadi seorang yang diluar pengartian segala makhluk yang masih terikat dengan batas mereka. Hal yang ia ingat hanyalah saat suatu getaran emosi yang sangat dahsyat oleh tumpukan emosi negatif yang sudah tidak bisa ia tampung lebih lanjut. Emosi yang meluluh-latakan segala rasional dan pikiran manusiawi yang masih dipegangnya.

Namun semua itu tidak cukup.

Semua yang telah ia capai, semua yang telah ia korbankan demi mengembalikan apa yang sudah hilang, tidak terbayar dengan apa yang sepadan dengan apa yang ia dapat.

Tidak seorang pun bisa ia selamatkan, tidak seorang pun bisa ia hentikan. Bahkan seseorang yang ia hormati pun turut jatuh ke dalam kegelapan oleh karena keputus-asaan dan kelemahan hatinya. Berkali-kali ia melihat dan mencoba, dan hanya menemui hasil yang sama.

Kini semuanya hanyalah tinggal kenangan, sebuah kenangan pedih yang bersisakan debu dan reruntuhan. Bahkan mayat pun tidak tersisakan oleh oleh sang penelan yang menelan, sejarah hanyalah tinggal debu oleh sang penghapus yang telah turun dan menghapus segalanya. Meninggalkannya seorang diri yang hanya bisa terdiam dan meratapi segalanya.

Segalanya telah hilang oleh karena sesuatu yang belum pernah ia hadapi sebelumnya. Perpecahan serta hasutan yang membuat ia harus meratap pada darah yang menjadi bayaran atas pembantaian atas dasar hasrat yang terkotori oleh dosa.

Sekarang ia, seorang diri, hanya bisa berjalan di bumi yang sudah menjadi sisa dari segala kejayaan yang pernah ia nikmati bersama dengan orang-orang yang berharga baginya.

Berjalan tanpa tentu arah.

Hari demi hari.

Minggu demi minggu.

Bulan demi bulan.

Tahun demi tahun.

Ia ingin sekali menyudahi semua ini, meninggalkan cangkang yang sudah hancur oleh segala beban dan naik untuk bertemu dengan mereka yang sudah menyebrang ke petualangan yang selanjutnya, melupakan segala petualangan berdarah yang pernah terjadi pada panggung yang berjudul bumi ini.

Namun tubuhnya sudah dikutuk untuk tidak bisa lagi merasakan apa itu kenikmatan dalam wujud tidur abadi. Betapa ia mencoba segala cara untuk merasakan bagaimana rasanya tertidur dan terbangun pada tempat yang berbeda untuk lari dari neraka hidup yang ia rasakan.

Namun semua itu hanyalah kenangan yang sia-sia karena ia harus menanggungnya seorang diri.

Di ujung dari dunia yang hancur ini, dan pada puncak keputus-asaannya, Mereka pun muncul di hadapannya. Mereka yang menjadi puncak dari segala dakwa, harapan, keputus-asaan, pelindung, penghancur, penjaga, penghapus dari segala umat manusia. Mereka yang sejak semula mengawasi segala adegan yang terjadi pada dunia ini hingga akhir dari segalanya.

Mereka tersebut menawarkan sesuatu padanya, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan mendengarnya kembali untuk kedua kalinya. Sesuatu yang ingin sekali ia dapatkan, namun dengan bayaran yang mahal.

""Maukah kau kembali untuk mengulang segala hal yang terjadi?""

Sebuah kalimat yang sangat simpel, singkat dan kecil, namun mengandung sebuah godaan yang sangat mengguncang jiwanya. Godaan yang sangat menggoda untuk ia terima dan merasakan kembali euphoria yang pernah ia nikmati. Dunia yang menjadi dunia idealnya dimana segala kenikmatan dan kehangatan duniawi bersama dengan para sahabat dan orang tercinta.

Namun ia juga sadar bahwa tidak mungkin hal tersebut diberikan kepadanya secara cuma-cuma tanpa adanya bayaran yang setimpal. Lagipula, ia tidak mempercayai ucapan dari seorang hanya melihat segala kehancuran yang terjadi tanpa mengirimkan para pasukan setia yang melayaninya.

Ya, ia tahu siapa mereka tersebut. Sosok yang sudah menjadi sosok legenda di antara umat manusia dimana ia selalu menawarkan segala apa yang diinginkan oleh manusia dengan bayaran yang setimpal.

""Tentunya hal tersebut harus dibayar dengan kesetiaanmu pada kami.""

Kesetiaan.

Pengorbanan.

Dan juga, Harga yang harus dibayar demi mendapatkan apa yang menjadi hasrat terdalam.

Harga yang mustahil baginya jika ia harus menjadi anjing penjaga bagi mereka yang hanya menawarkan dan memberikan yang dibayar dengan loyalitas abadi.

Namun untuk sekarang, ia tahu bahwa ia sedang tidak berdaya dan pilihan satu-satunya adalah menerima apa yang mereka tawarkan.

""Kontrak telah dibuat.""

""Bersuka citalah."

""Karena hasrat terdalam yang kau miliki akan dipenuhi""

""Bergembiralah.""

""Mulai saat ini kau adalah bagian dari kami.""

"Pengkhianatan akan dibayar lebih""

""Kesetiaan akan dijunjung tinggi.""

""Terimalah, apa yang kau minta dan apa yang kau bayar.""

""Karena kami, juga turut menginginkan hal yang sama.""

""Seorang dengan tujuan yang sama.""

""Adalah teman dan bagian dari kami.""

""Bersyukurlah.""

""Karena kau kembali ke dunia yang menjadi hasrat terdalammu.""

Dengan kontrak yang dibuat, ikatan yang sudah terikat dengan darah dan jiwa, loyalitas yang dibayar dengan hasrat.

Kesempatan ketiga baginya untuk kembali pada awal mula untuk mencegah segalanya.

Namun ia tahu bahwa dengan ini, ia akan terikat dengan mereka. Berubah menjadi bagian dari pasukan mereka yang akan diturunkan apabila terjadi hal yang mengancam keselamatan manusia apapun yang terjadi.

Meskipun ia pun harus membunuh seseorang yang ia cintai, menghabisi mereka dengan tangannya sendiri atas perintah dari mereka.

Namun jangan salah,

Karena mereka tidak tahu mereka berurusan dengan siapa.

Katakan mereka sebagai wujud dari segala hasrat yang dimiliki oleh umat manusia, suatu saat mereka pun akan tertelan oleh hasrat yang menggelora dari umat manusia itu sendiri.

Dan seharusnya mereka tahu,

Bahwa kami, makhluk yang dipanggil dan dihormati sebagai salah satu makhluk yang ditakuti bahkan oleh dewa sekalipun.

Tidak pernah mau untuk tunduk pada siapa pun.

Semua itu karena,

Kami adalah,

""Dragon.""

Dan ingatlah, bahwa Dragon tidak pernah memberikan loyalitasnya kecuali pada mereka yang berhak menerimanya. Karena aku adalah...

""I...""

""Am the one...""

""And the only one...""

""Who about to...""

""Awaken...""


Author Note:

Singkat katanya: Saya malah lagi author block ama ALT dan kepikiran ama story yang dari dulu kepikiran tapi ga pernah kubuat sama sekali ha ha ha!

Anyway, di sini adalah story baru yang tentu saja masih menggunakan Issei sebagai MCnya.

Tapi tentunya dari apa yang kalian lihat, Issei yang saya gunakan berbeda dengan Issei pada umumnya di crossover DxD.

Karena pada dasarnya, saya lebih suka membuat Issei versi saya sendiri daripada versi canon.

Dan saya juga menunggu pertanyaan dan review kalian ya wkwkwkwwkk

Adios, salam dari Author yang lagi WB!