DISCLAIMER: Baik itu Death Note maupun Kuroshitsuji bukan milik saya

SUMMARY: Elise, seorang gadis kecil berjuang untuk hidup setelah seluruh keluarganya dibantai dan mansion keluarganya dibakar. Luka membekas dalam dirinya tidak hanya secara fisik, namun kehangatan Wammy's House dan kebaikan L mengembalikan senyuman polosnya.

WARNING: OOC


A/N

Cerita ini saya buat untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia waktu masih di bangku sekolah, cerita lama, sangat amatir, saya tahu banyak kekurangan didalamnya dan pasti banyak juga OOCnya berhubung waktu itu saya masih... muda (baca:alay).Ini akan menjadi fanfiksi pertama saya disini jadi saya cukup gugup sebenarnya haha.

Saya tahu Watari sebenarnya bukan orang jepang tapi anggaplah begitu berhubung ini adalah wujud fantasi diri saya yang masih belum begitu mendalami death note 6 tahun yang lalu.

Soal nama Kelvin Regnard, saya ambil dari nama Break Xerxes di Pandora Hearts, meskipun begitu secara fisik ia lebih seperti Rufus Barma (masih di Pandora Hearts). Namun pada akhirnya, meskipun saya meminjam nama dan deskripsi fisik mereka, Kelvin Regnard disini adalah karakter yang sama sekali berbeda jadi tidak perlu mengaitkan apapun dalam dirinya dengan dua karakter di atas. Saya sangat senang saat saya menulis fanfiksi ini, selamat membaca dan tolong berbaik hati memberikan saya Review agar saya bisa menjadi lebih baik ^^


WAMMY'S HOUSE

Seorang gadis cilik berlari. Berlari. Terus berlari. Tak mempedulikan luka yang perih di kakinya, nafasnya yang sesak, dan bibirnya yang bernoda darah. Ia harus pergi. Harus.

Kuatkan dirimu Elise. Kuatkan..

Gadis itu bergeming sebentar. Tangan kirinya memegang kepala.

Jangan. Kumohon. Jangan di saat seperti ini. Tidak boleh...

Bruk! Tubuh kecilnya yang lemah itu terjatuh tanpa daya. Tergeletak begitu saja di sebuah lorong sempit yang tersembunyi. Tangannya menggapai tanpa tenaga.

Ayah.. Ibu.. Maafkan aku...

Kemudian kesadarannya yang lemah menghilang ditelan gelapnya malam.

.

.

.

.

.

Elise Rainsworth tersadar saat seberkas sinar matahari pagi itu masuk menerobos jendela yang baru saja dibuka. Kepalanya terbalut perban putih. Luka-lukanya sudah diobati. Ia memiringkan kepalanya memandang pada pria berambut putih yang baru saja mengikat gorden putih itu ke tepian jendela.

"Siapa? Aku dimana?" tanyanya linglung. Lupa pada apa yang terjadi.

"Selamat pagi, Nak." pria tua itu tersenyum.

"Kau sudah sadar?" pertanyaan yang bodoh. Tapi selalu terdengar di tiap keadaan seperti ini. Elise berpikir.

"Dimana aku?" tanyanya lagi. Mengulang yang tadi. Kebiasaannya hidup sebagai putri bangsawan membuat gaya bicaranya terdengar sedikit arogan.

"Ini di Wammy's House. Panti asuhan kami. Selamat datang." Lagi-lagi pria tua itu tersenyum. Memperjelas kerut kerut di sekeliling bibirnya.

"Namaku Watari. Pemilik panti ini. Kami menemukanmu tergeletak di sebuah lorong di East End. Jadi kami bawa kau kesini." jelas Watari. Menjawab pandangan gadis kecil berambut pirang stroberi benar-benar khawatir saat menemukan gadis itu kemarin. Seorang gadis kecil, yang kira-kira berumur sekitar 10 tahun tergeletak begitu saja di sebuah lorong. Apalagi di East End. Tempat yang jelas-jelas paling kejam di Inggris. Seluruh bajunya ternoda oleh darah. Tapi syukurlah. Lukanya tidak seberapa.

Gadis itu mengangguk. Jadi ia selamat. Syukurlah. Jadi orang-orang itu tidak mengejarnya. Jadi... tunggu dulu. Apa? Siapa yang mengejarnya? Orang-orang apa? Apa yang terjadi? Ia berusaha kuat mengingat. Tapi yang didapatnya hanya denyutan menyakitkan yang menyiksa di kepalanya.

"Ukh."

"Ada apa? Biar kupanggilkan dokter." Watari memandangnya khawatir.

"Jangan! Kumohon. Aku takut...Takut.." Elise gemetar. Menahan tangan pria berumur 78 itu erat-erat. Bayangan gelap itu lagi-lagi muncul. Sosok yang besar. Jahat. Dan menakutkan.

.

.

.

.

.

"Watari, Watari! Kenapa kau diam? Ayo bercerita." pinta seorang anak lelaki menarik-narik lengan kemeja Watari. Diikuti anggukan beberapa anak lain yang memandangnya semangat. Menyadarkan Watari dari lamunan yang menguasai pikirannya sejak tadi.

"Ah. Iya." ia tersenyum. Kemudian mengangkat anak lelaki berbintik itu ke pangkuannya.

"Baiklah. Karena hari ini kau berulang tahun. Cerita apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara sabarnya yang selalu terdengar menyenangkan.

"Iya Bill. Kau mau cerita apa?" tanya seorang anak perempuan berambut pendek bernama Claire sambil tertawa melihat tingkah Bill yang kegirangan sejak tadi.

"Umm... Umm... Uuuummm..." Bocah berambut coklat itu berpikir keras memiringkan kepalanya. Diikuti anak lain yang memang suka menggodanya.

"Ah! Itu! Itu! bisakah kau menceritakan lagi tentang The Violent Earls! Ceritakan lagi! lagi!"

"Haha. Kau benar-benar suka kisah pahlawan ya. Baiklah. Nah. Darimana sebaiknya kita mulai? humm... suatu hari..."

Cklek! Pintu terbuka. Seorang pria muda berambut hitam berantakan masuk. Menyadari kalau ia merusak suasana dari pandangan anak-anak dan Watari yang berpusat padanya.

"Ah. Maaf. Apa aku menggang..." baru saja ia berjalan satu langkah. Anak-anak itu langsung berlarian memeluk kakinya yang jangkung. Membuatnya agak sedikit kehilangan keseimbangan.

"Eru-sama! Eru-sama datang!" Anak-anak kegirangan. Tertawa. Memeluk sosok pria muda yang sebenarnya bernama L Lawliet. Hanya saja. Karena lidah orang jepang Watari sebagai pemilik panti tidak dapat mengucapkan huruf L dengan baik meskipun menghabiskan sebagian besar hidupnya di Inggris, akhirnya seluruh anak di panti menirunya memanggil L dengan sebutan Eru. Namun diberi akhiran" –sama" yang dalam bahasa jepang menandakan rasa hormat pada orang yang lebih tinggi kedudukannya. L membuka topinya, dan ikut-ikutan tertawa menepuk-nepuk kepala anak-anak yang tidak pernah kehabisan tenaga itu.

"Ada apa Eru?" tanya Watari sambil bangkit dari kursinya. Menurunkan Bill yang sudah bergerak-gerak tak sabar ingin ikut-ikutan memeluk L.

"Ah. Sudah waktunya makan malam. menyuruhku memanggil kalian." jawabnya. Kemudian menepuk kepala Bill sambil mengedikkan matanya. Memberikan sebungkus kado kecil berwarna merah. "selamat ulang tahun Bill".

"Wow!"

"Bill, ayo bilang apa?" Claire menepuk pundak Bill. Yang lainnya mengikuti.

"Iya. Hayo Bill. Bilang apa?"

"Ah! Terima kasih Eru-sama!" Bill mendongak sambil tersenyum dengan wajah polosnya. L menepuk kepalanya lagi.

"Haha. Sama-sama Bill"

.

.

.

.

.

Mrs. Hudson menghirup aroma sup yang baru saja dimasaknya itu. Bagus. Tinggal menunggu anak-anak. Ia mengelap tangan di celemek yang dipakainya. Kemudian meletakkan mangkuk di meja. Ia tersenyum. Menyukai pekerjaannya. Sangat. Tak terhitung rasanya budi yang harus ia balas pada . Menolongnya, Memberinya tempat tinggal, bahkan juga memberinya pekerjaan. Tak terbayang apa yang akan terjadi jika Wammy's house tak ada.

"Selamat Malam Mrs. Hudson" sapa anak-anak riang sambil menuruni tangga kayu dengan ribut.

"Selamat malam."

"Selamat malam."

Begitu terus semua memberi salam sambil berbaris setelah mengambil mangkuk dari meja. Dengan sabar menerima bagian masing-masing. Setelah semua duduk dan berdoa. Mrs. Hudson menepuk tangannya. Disambut ucapan ceria anak-anak,

"Selamat makan!"

.

.

.

.

.

Elise tertidur lemas. Sepanjang hari tadi ia muntah-muntah. Badannya yang sudah kurus menjadi semakin kurus. Bibirnya memucat, wajah depresinya yang penuh ketakutan terlihat sangat menyedihkan di wajahnya yang baru berumur 8 tahun. Tapi ia tidak pernah menangis. Ia akan jadi gadis yang kuat. Pasti. Ia harus kuat untuk memenuhi keinginan terakhir dari ibunya agar ia hidup. Tubuhnya bergerak gerak gelisah dalam tidurnya. Sosok itu. Sosok hitam itu terus mengejarnya. Sosok yang menyeramkan. Yang membunuh seluruh keluarganya. Nafasnya terengah-engah dan keringat dingin terus bercucuran dari dahinya. Ia terbangun tiba-tiba dan berteriak saat tiba-tiba sebuah tangan yang besar menyentuh dahinya.

"Tidak! Jangan sentuh! Jangan sentuh akuuu!" pekiknya langsung bersembunyi memojok di balik tempat tidur. Tidak berani membuka matanya sedikitpun. Tangannya gemetar memeluk kedua lututnya yang juga gemetar. Sebuah suara yang ramah menyapanya, bersamaan dengan sebuah tangan hangat yang menyentuh pipinya yang dingin.

"Hai. Kau anak baru itu ya? Aku L. Salam kenal." Sosok itu tersenyum saat Elise membuka matanya perlahan. Watari masuk. Menyalakan lampu. Disusul oleh yang terbangun oleh teriakan tadi.

"Kenapa? Ada apa?" tanya khawatir.

"Tidak apa . Kembalilah tidur. Tugasmu berat setiap hari. Kau butuh istirahat."

jawab Watari menenangkan.

"Tapi!..."

"Tak apa. Biar Eru dan aku yang mengatasinya. Ah. Oh iya. Bisa tolong siapkan susu hangat dan hangatkan semangkuk bubur? Terima kasih." Watari tersenyum lagi sambil membukakan pintu. Mrs. Hudson mengangguk. Kemudian berbalik dan berjalan ke arah dapur.

.

.

.

Blam! Pintu tertutup dan Watari menguncinya. Menghampiri L yang sedang menenangkan gadis kecil itu.

"Maaf ya. Mengagetkanmu malam-malam. Sepertinya kau tadi menderita sekali. Jadi tanpa sadar aku.." L menunduk sedikit. Kata-katanya sama sekali tidak mengandung unsur intimidasi atau menyelidik. Hanya menenangkan saja. Sepertinya Elise juga sudah merasa agak nyaman. Ia bersandar rileks pada kepala tempat tidur. Meminum susu hangat yang diberikan Watari padanya.

"Terima kasih." ujarnya sopan. Kemudian ia mulai memandang wajah L lekat-lekat. Wajah yang lembut. Mengingatkannya pada mendiang ibunya saat tersenyum.

"Ada apa?" yang dipandangi tersenyum. Elise langsung memalingkan wajah malu.

"Ah. Maafkan aku."

"Apa yang salah? Ah! Oh iya! Aku belum tahu namamu. Siapa?" tanya L ramah.

"Aku Elise." jawabnya sambil menyeruput susu itu lagi. Watari memandang mereka berdua sambil tersenyum. Bangga pada bekas anak pantinya. Ternyata keputusannya memanggil L memang tepat. Dosen muda jenius yang mendapat beasiswa dari Oxford itu memang bukan psikiater resmi, tapi kemampuannya menganalisa orang lain dan pengetahuan psikologinya selalu sangat membantu di saat-saat seperti ini. Mungkin Elise bisa lebih terbuka. Rencananya, kalu malam ini Elise bisa lebih tenang, Watari akan mengenalkan Elise pada anak-anak lain besok.

"Hei! Hei! kau tahu tidak! Tadi saat kau tiba-tiba berteriak seperti itu, rasanya seperti ada batu besaaaaaaaaaaaaaar sekali menimpa kepalaku. Sakit lo..." kata L sambil tangannya bergerak-gerak mengikuti ucapannya yang kekanakan. Sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang pria berumur 20 tahun. Apalagi Dosen Mipa di Oxford. Elise mau tidak mau tertawa juga. Pelan.

"Ah! kau tertawa! Manisnyaaa!" L tersenyum lagi. Matanya bersinar-sinar seperti anak kecil yang baru saja diberi permen. Watari mengubah jalan pikirnya. Aaah... jangan-jangan ini bukan karena ilmu psikologinya. Tapi karena sama-sama anak-anaknya...

"Ah!" Elise menutup mulutnya sendiri. Sama sekali tidak menyangka kalau ia bisa tertawa lagi seperti itu. Memang pada dasarnya ia anak yang ceria. Tapi selama seminggu dirawat Watari di Wammy's house, bahkan bicara pun ia tidak mau. Meski ia merasa sangat takut saat Watari meninggalkannya, tapi ia juga tidak berani mengikuti ajakan Watari untuk menemui anak lain. Watari benar-benar bersyukur kali ini. Alangkah sayangnya jika anak sekecil itu harus menderita dalam ketakutan terus-menerus. Meskipun Watari tidak tahu apa yang sudah menimpa Elise, tapi alangkah baiknya jika ia bisa tersenyum dan bermain ceria disini bersama dengan anak-anak yang lain.

Beberapa saat setelah bercerita macam-macam dan bubur yang dimakan Elise dapat tertelan seluruhya, akhirnya L menutup pembicaraan. Sudah terlalu malam. Tak baik bagi seorang anak kecil. Apalagi perempuan untuk menyia-nyiakan waktu tidur.

"Selamat malam" L mencium dahi Elise lembut sambil membenahi selimutnya. Watari mengusap-usap kepala Elise pelan. Kemudian mematikan lampu, Sesaat sebelum L menutup pintu, ia tersenyum sambil mengedikkan matanya.

"Sampai besok. Lady kecil yang manis."

.

.

.

.

.

"Hei! Dengar! Hari ini kalian punya teman baru!" pagi itu L berkata ceria saat membangunkan anak-anak dengan memukul bel besar di pojok kamar. Anak-anak yang pada awalnya setengah tidur, langsung membuka matanya semangat dan bertanya,

"Benarkah? benarkah Eru-sama?"

"Yup!" nah. Ayo cepat berpakaian! Aku dan Watari menunggu kalian di bawah bersama anak baru itu 15 menit lagi. Ucap L sebelum menutup pintu. Tanpa lupa mengedikkan mata yang selalu ia lakukan seperti biasanya.

"Iyaaaaa!" anak-anak menjawab serempak di balik pintu yang tertutup itu.

"Waaaaaaaaaaahhh! Cantiknyaaaaaaa!" anak-anak berkomentar bersamaan saat melihat rambut Elise yang tergerai lembut di bahunya. Yang dikomentari tersentak kaget. Langsung bersembunyi di balik Watari. L menggeleng sambil tersenyum menggandeng tangan Elise dan menariknya ke depan. Ia meletakkan telunjuk di bibir.

"Sssh. Namanya Elise."

"Waaaah! nama yang cantik!"

"Ssssh!"

"Ups! Maaf."

"hahahaha"

Sejak saat itu Elise akhirnya dapat tersenyum ceria bersama anak yang lain. Bermain. Dan tertawa seperti yang lainnya. Saat itu. Tak seorangpun tahu. Apa yang akan terjadi kemudian.


Terimakasih untuk yang meneruskan membaca sampai sini.

ah saya suka anak kecil XD maaf kalo dosis kekanakan L dalam cerita ini terlalu berlebihan

bagaimana pendapat kalian? XD tolong berbaik hati menulis review ya~ :*