Assassination Classroom ©Yuusei Matsui
Story by gugigi173
.
.
From Angel to Devil
"Kejar dia! Jangan sampai gadis itu lolos!"
Dengan nafas tersengal meminta oksigen lebih, Manami terus berlari menembus rimba, tak peduli dengan goresan-goresan yang terasa perih di sekujur tubuhnya.
'Aku tak mau mati! Aku tak mau mati!'
Kanopi hutan yang terlampau lebat membuat tempat itu gelap dan menyulitkan pandangannya. Meski ia sudah berlari sejauh dan secepat apapun, pria-pria brengsek itu tetap mengejarnya. Ia menangis sepanjang jalan, mengingat tubuh teman-temannya yang berlumuran darah dan tak bernyawa, tergeletak di rumah rahasia mereka.
'Kaede, Hinano, Yada, Ryuu, Yuuma, maafkan aku!'
"Kena kau!"
Gadis itu tertangkap. Ia sudah kehabisan nafas dan kelelahan. Ia mencoba memberontak berusaha melepaskan cengkraman pria besar berbau alkohol itu. Tapi semakin ia bergerak, tangan kekar itu semakin mencengkram lengannya yang terlihat memerah. Manami meringis menahan sakit.
"Shuu, kita apakan dia?"
"Dia jelek, aku tak sudi memakainya. Jual saja di pelelangan, dapat 2 gold pun lumayan."
"Heee, padahal menurutku dia lumayan manis lho. Bagaimana kalau aku mencicipinya dulu baru kita jual?"
"Ren, kau ingin menurunkan harga jualnya? Lakukan itu dan aku akan membunuhmu."
"Baiklaaaah~~"
Pria berambut oranye jeruk itu pergi memastikan keadaan, khawatir ada orang yang mengikuti mereka berdua dan memergoki aksinya. Ia kembali menyusuri jalan yang mereka lewati tadi. Sedang satunya lagi masih mencengkram salah satu lengan gadis itu. Pria berbau alkohol bergaya rambut aneh itu mengambil lengannya yang satu lagi, mencoba mengikat kedua tangannya dengan tambang tua miliknya.
"Kumohon lepaskan aku, tuan." Manami menatap pria yang bernama Ren itu penuh iba, berharap orang brengsek itu melepasnya, atau setidaknya melonggarkan ikatan di tangannya. Tapi pria itu malah berbalik menyeringai padanya. Tangannya merayap membuka kepangan rambut indigonya.
"Boleh saja, asal kau bersedia memuaskanku malam ini." Ren mengendus rambut yang telah terurai itu. Dari balik bahunya, Manami memandangnya jijik.
"Brengsek."
Ren menampar gadis itu hingga tersungkur. Darah segar terlihat menetes dari sudut bibir mungilnya.
"Berani berkata seperti itu padaku, hm?" Ren menjambak rambutnya kasar, membuat beberapa helai rambut Manami terlepas dan jatuh ke tanah. Sang empunya hanya bisa meringis menahan sakit. Ia menangis takut. "Perlukah kau kuajari sopan santun?"
Ren memandang sekeliling, memastikan rekannya tak berada di dekatnya. Ia memegang kasar dagu gadis remaja itu, menariknya ke arah wajah dan mencium paksa bibirnya. Dengan kedua tangan terikat ke belakang, Manami tak mampu berbuat apa-apa. Kedua kakinya yang bebas pun tak bisa menyingkirkan pria asing itu, karena Ren menahannya dalam posisi berlutut.
"Hhhngg! ... hhng!" Berapa kalipun ia berusaha memundurkan kepalanya, Ren selalu menarik tengkuknya, membuat gadis itu semakin tak berdaya. Setelah melewati beberapa menit dalam kesiksaan, Manami akhirnya terbebas dari ciuman penuh nafsu milik pria itu.
"Mmm, kita baru mulai lho, Nona." Ren menyeringai padanya. Membuatnya bergidik takut. Manami hendak menjerit ketika tiba-tiba segulung kain disumpalkan ke mulutnya.
"Setidaknya aku ingin bermain dengan tenang," ucap Ren sambil menghentakan gulungan kain itu pada mulut Manami. Ia mendorong tubuh gadis itu, kemudian menduduki perutnya. Bibirnya menciumi wajahnya, hingga merayap ke leher putih miliknya, dan menggigitinya, membuat Manami mengerang tertahan. Ren merobek kasar baju gadis itu, tapi sedetik kemudian, teriakan seseorang mengejutkannya, membuatnya harus menghentikan aksinya.
"Shuu?!"
"Kau gila?! Kubilang jangan sentuh dia, brengsek!" Gakushuu menggeram marah, ia berjalan mendekati Ren yang masih menduduki Manami yang berwajah penuh air mata. Ren bergerak mundur, takut akan Gakushuu yang terlihat murka.
"A-aku tidak bermaksud melakukannya, Shuu. G-gadis itu mencelaku, jadi—" Perkataan Ren yang sedikit terbata tiba-tiba berhenti ketika Gakushuu menunjukkan sebuah panah di depannya.
"Aku tidak peduli lagi. Yang penting kita harus bawa gadis itu dan secepatnya pergi dari sini. Kita diikuti," ucap Gakushuu dengan sorot matanya yang tajam. Ren terkesiap.
"T-tapi kupikir kita aman, ini kan hutan yang jarang disentuh."
"Kau benar. Tapi lupakan itu. Dia laki-laki, sendirian, tapi dia terlihat seperti pemanah handal. Bajingan itu memanahku. Aku bisa mati kalau terlambat menghindar satu detik saja." Gakushuu melempar sebilah pisau pada Ren, yang ditangkap dengan mulus olehnya.
"Bawa itu untuk berjaga-jaga, aku sudah mengolesinya dengan ra—"
"Membunuh sekelompok remaja dan menculik satu-satunya yang masih hidup untuk dijual, eh? Pekerjaan kalian kotor sekali ya."
Ren dan Gakushuu menoleh ke asal suara. Seorang pemuda berambut merah yang duduk santai di salah satu dahan pohon tertangkap netra keduanya. Ren memasang kuda-kuda, siap berkelahi. Sedang Gakushuu dengan perlahan menarik katana miliknya yang tersarung di pinggang.
"Sayang sekali aku kehabisan anak panah," keluh pemuda itu sambil memandang bosan kedua pria itu yang terlihat merasa terancam dengan keberadaannya. Ia melompat turun dari pohon.
"Ren, orang itu yang kumaksud. Aku bisa melawannya sendirian, jadi kau bawa gadis itu dan bergegas pergi!" perintah Gakushuu sambil mengacungkan katananya ke arah pemuda berambut merah itu.
"Tapi—"
"Lakukan yang aku katakan! Aku tak menerima bantahan!"
Ren mendecih tak terima. Tapi toh akhirnya ia menuruti perintah rekannya. Membawa gadis itu dan pergi—yang dimana Ren lebih suka menyebutnya melarikan diri.
"Wah wah, temanmu pergi tuh. Kau yakin rela ditinggal?" Gakushuu menggeram mendengar perkataan pemuda malas di depannya.
"Jangan meremehkan kami, ini semua bagian dari rencana. Lagipula aku sendiri cukup untuk mengalahkan tarzan sepertimu," ucap Gakushuu menyeringai. Pemuda itu bergumam 'hee' sebentar, kemudian menarik pedang pendek dari punggungnya. Gakushuu tertawa kecil melihat senjata yang dibawa pemuda sombong di depannya.
"Apa menurutmu pedang pendek itu pantas disandingkan dengan katana milikku, hm?" tanya Gakushuu sinis. Tapi pemuda itu bergeming, kedua bola mata tembaganya terhalangi rambut merahnya.
"Karma."
"Hah?" Kedua alis Gakushuu bertaut, bingung. Pemuda berambut merah itu tersenyum.
"Itu namaku. Namamu?"
Perlu beberapa detik untuk Gakushuu menangkap maksud pertanyaan tadi. Ia tak habis pikir, ketika mereka berdua adalah musuh dan sudah siap untuk bertarung, perlukah bagi mereka untuk mengetahui nama satu sama lain? Hei, ini bukan ajang perkenalan!
"Kenapa aku harus menyebutkan namaku?" Gakushuu bisa melihat seringai pemuda itu.
"Katakan saja. Aku hanya ingin berkenalan sebelum membunuh musuhku."
Gakushuu tersenyum meremehkan.
"Namaku Gakushuu, dan jangan pikir kalau kau bisa membunuhku."
Kedua pemuda itu tersenyum. Masing-masing memiliki senjata untuk mengalahkan dan membunuh satu sama lain, siap menusuk dan mencabik tubuh lawan. Mereka melangkah maju, menghunuskan senjata masing-masing, mencoba peruntungan untuk menentukan siapa yang akan menang dan pergi hidup-hidup.
Ren berlari tergesa-gesa, tangannya terburu membuka semak-semak hutan, sedang tangan satunya lagi mencengkram lengan milik Manami dan menyeretnya kasar. Setelah sekian lama mempertahankan tubuhnya agar tetap berdiri dan sepasang kakinya berusaha menyamai langkah Ren, Manami akhirnya terjatuh. Dengan mulut masih tersumpal, ia mengerang tertahan saat tubuhnya menabrak tanah.
"Tck, menyusahkan saja! Ayo berdiri!"
Meski dengan sedikit tertatih-tatih akibat terkilir, Manami masih berusaha menyamai langkah kaki penculiknya. Kedua pipinya merah dan sudut bibirnya membiru karena sepanjang perjalanan terkadang Ren menamparnya dan mencaci makinya karena larinya terlalu lamban.
Manami menjerit dalam hati, tak kuat menahan segala perlakuan kasar dan biadab yang diterimanya. Tapi sepanjang hari ini ia selalu berpikir mungkin ini adalah karma yang ia dapat setelah lari meninggalkan teman-temannya dan membiarkan mereka semua mati. Teriakan mereka terus terdengar dalam kepalanya.
"Manami, kau mau ke ma—eekh!"
"Jangan pergi!"
"Kuuh—Kenapa kau pergi? Mana ... mi ..."
Ia ingat betul saat ketakutan menguasai dirinya. Ia benar-benar ingat seluruh kejadian yang terjadi di depan matanya saat itu.
"Hiks ..., kalian pasti sangat membenciku."
Langit mulai menguning. Matahari mulai bergerak mendekati tempat terbenam. Dalam hutan yang jarang disentuh manusia, ia berlari dengan sangat terpaksa. Menyerahkan dirinya kepada pria brengsek di depannya, juga kepada keputusasaan.
-TBC-
.
.
.
.
A/N :
File lama yang sudah lama terlupakan. Kuharap bisa menyelesaikan cerita ini :')
