Gemerisik suara rumput sama sekali tidak membuat sang pemuda menoleh.

"Liet ..."

Ia memang tidak butuh menoleh. Ia sudah tahu siapa yang datang pada awal musim panas ini.

"Sepertinya kau datang duluan. Sepenuhnya sudah lama?"

Gaun biru penuh pita terlihat dari ekor mata sang pemuda tanpa ia perlu menoleh.

"Mungkin satu jam."

Pada akhirnya sang pemuda menoleh pada sosok bergaun biru dengan payung kecil di tangannya.

Sosok itu tersenyum. Menurunkan keranjang yang dibawanya.

"Kupikir aku sepenuhnya datang tepat waktu," kata sosok yang menancapkan payung besar yang sedari tadi berada di bawah kakinya pada tanah.

Sang pemuda berdiri—membantu sosok cantik itu. Sang surai coklat menjauh sedikit sebelum mendudukkan dirinya di atas alas kotak-kotak yang digelar sosok bersurai pirang sebahu itu.

"Aku memang ingin datang lebih awal."

Memastikan sosok biru itu telah duduk dengan anggun di sampingnya, ia berkata setengah protes, "Kau melakukannya lagi!"

Sosok itu tertawa sambil memainkan rambut yang berhiaskan pita putih besar miliknya. "Sepertinya kau sepenuhnya tidak menyukai ini."

Sang pemuda mendengus. "Bukan begitu. Hanya saja ..." dan memalingkan wajah ke lain arah, "aku sedikit malu melihatmu begini."

Sosok cantik di sampingnya tertawa geli. "Jadi aku sepenuhnya cantik sampai Liet mau―"

"Tidak. Apapun yang akan kau katakan, jawabannya 'tidak'!" potong pemuda itu cepat.

Sosok di sampingnya tertawa semakin keras. "Kalau aku bilang, seperti, 'As tave milyu', apa kau juga akan bilang 'tidak'?"

Pemuda itu terdiam. Ia baru memalingkan wajahnya lagi setelah sosok di sampingnya itu berhenti tertawa.

"Liet ...?"

"Kalau untuk itu, mana mungkin aku bilang 'tidak', Po."

Kali ini, sosok cantik itulah yang terdiam. "Liet, kau ...?"

Kalimat "As tave milyu," itu keluar dari sosok yang dipanggil 'Liet' dengan halus, seperti daun yang jatuh ke tanah.

'Po' tidak mengerti, tapi ia merasa kalau pipinya sudah matang saat ini. Tanpa sadar, perasaan senang yang membuncah terlalu banyak membuat 'Po' menubruk 'Liet' di depannya; mengucapkan selamat tinggal pada beberapa roti dan madu yang sebelumnya ia tata.

"Oi, oi, Po."

Tindihan 'Po' membuat kaki-kaki 'Liet' mati rasa. Ia sedang bersila saat 'Po' menubruknya tiba-tiba—

"As tave milyu, Liet!"

—dan menciumnya.

'Liet' yang kaget, mulai panik. Tangannya menggapai-gapai udara. Berusaha mencari sesuatu yang tak kasat mata.

"Buah!" Suara seperti manusia yang baru saja keluar dari kolam renang itu keluar dari bibir 'Liet'. Sesaat setelah 'Po' melepas ciumannya. "Po, apa yang―"

'Po' memeluknya erat, dengan tawa riang khas anak kecil menyertainya. Kakinya bergerak bolak-balik dari tanah ke udara. "Woa, woa, aku juga, sepenuhnya, sangat sangat sangat sangat menyukaimu, Liet. Sungguh."

Sekarang ganti 'Liet' yang memerah. "I—iya, iya. Sekarang lepaskan aku!"

"Tidak mau!" tolak 'Po' riang.

"Lepas."

"Tidak."

"Lepas ..."

"Tidak~"

"Lepaskan aku, Po."

"Tidak mau, Liet."

"Poland!"

"Lietuva!"

Dan dari kejauhan terlihat seorang anak laki-laki yang memakai popok tradisional, dengan dua helai sayap di punggungnya. Di tangannya terlihat sebuah panah beserta busurnya.

Anak kecil itu mengusap dahinya yang penuh peluh. Terlihat wajahnya yang lelah namun masih sempat bersungut-sungut

"Hah ... Dasar pasangan menyusahkan. Mending kalau keren, bodoh gitu." Lalu dengan sayapnya yang kelewat kecil, anak lelaki itu terbang menjauhi Lietuva dan Poland.


Hetalia Axis Power © Hidekazu Himaruya

Grasslands © alice


A/N:

Halo semua :D

Saya baru di sini, dan ... oh, mohon bantuannya!

Berhubung saya datang membawa pasangan minor ini ... anggap saja sebagai salam perkenalan. Saya harap alurnya tidak terlalu cepat

oh, terima kasih sudah membaca~!

alice