Masih tidak percaya mengapa dia bisa melakukannya. Maka dari itu—sekali lagi—si gadis bersurai merah muda yang kini hanya sebatas punggungnya itu mengambil cermin dari kursi belakang mobil. Kemudian menatap bayangannya sendiri—baiklah, dia terlihat lebih segar, keren, sekaligus tomboy di saat yang bersamaan—di dalam sana.
Bagaimana kalau mereka menghajarku sampai mati?—pertanyaan yang melintas dalam kepalanya begitu mengingat apa yang akan segera ia hadapi. Gadis bermata emerald itu menolehkan kepalanya ke luar jendela mobil. Menatap pada sebuah gerbang nan tinggi berlambang daun yang di dalamnya terdapat bangunan besar dengan halaman yang amat luas—sekolahnya.
"Yo, tidak mau masuk?" pria dengan warna rambut sama yang duduk di belakang kemudi bertanya. Memerhatikan si gadis yang menekuk mukanya seraya bersungut-sungut karena sebal. Kemudian ia tergelak sendiri seperti ada sesuatu yang menggelitik urat gelinya.
Gadis itu menoleh—menyipitkan mata sejenak kemudian menghela napas berat. "Tidak lucu, Ayah…" katanya dengan tempo lambat. "Baiklah," jeda, ia membuang napas. Memilih untuk melemparkan cerminnya kembali pada tempat yang semula, kemudian memakai ransel hijau mudanya di belakang punggung. "Aku—Sakura Haruno, berjanji bahwa hari ini aku akan mulai belajar serius!"
Ayahnya tergelak lagi. Lalu mengacak rambut putrinya dan menghiraukan protes yang langsung meluncur begitu saja. "Belajar itu harus dinikmati," sang pria Haruno menerawang, tangannya menggenggam kemudi dengan erat. "Jangan dijadikan beban, Nak."
Sakura mencibir. Tapi ia segera maju mengecup pipi ayahnya sekilas. Lalu gadis itu mengambil sebuah topi baseball yang terletak di atas dashboard kemudian memakainya—menggelung rambutnya dan menyembunyikannya di dalam sana.
"Yoshie," ia membuka pintu mobil. Kakinya yang dilapisi sepatu hitam mengilat menjejak tanah—meski pun tampangnya masih cemberut. "Tapi aku harus bilang apa pada Karin? Bagaimana nasib klub Sasuke Lo—"
"—ne?"
Sakura berjengit. Menatap ayahnya dengan bibir berkedut. Gadis itu menggeleng cepat, "E—eh, ti—tidak. Haha—aku masuk dulu, Yah!"
Dan ia langsung berlari menuju gerbang tanpa menutup pintu mobil.
.
The Seasons With You
cepheidale
.
Jika itu bukan kamu, maka untuk siapakah aku?
.
Satu
.
.
"TAPI SUNGGUH HARUS KUKATAKAN bahwa wajahmu yang di mading itu lebih tampan!"
Gelak tawa pun pecah. Segerombolan remaja laki-laki berkaus olah raga yang tengah berbaring di pinggir lapangan saling melempar pandang geli. Beberapa kemudian memegangi perutnya, lalu memilih untuk duduk sambil mengacak-acak rambutnya yang awut-awutan.
"Apanya yang lucu," salah satu di antara mereka, yang masih berbaring dengan mata terpejam merespon ketus. Cowok itu menelentangkan tubuhnya—kakinya terbuka cukup lebar sedangkan tangannya direntangkan sejajar dengan bahu. Rambutnya basah karena keringat, dan napasnya menghasilkan engahan yang meluncur melalui bibir tipisnya.
Yang lain kembali terkekeh namun tidak seheboh sebelumnya. Mereka pun tampaknya mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing—mengipasi dirinya dengan tangan, membuka tutup botol air mineral, hingga melakukan pemanasan ringan.
"Kau punya fans yang liar, seperti ini—RAWR! Sasuke-kun! Hahahaha!" cowok pirang itu mulai lagi. Berpose sangar seakan-akan dia siap menerkam Sasuke. Lalu pada akhirnya ia tertawa sendiri—karena tak mendapat respon yang berarti—dan ikut-ikutan menelentangkan dirinya di atas permukaan tanah berumput halus itu.
"Ini belum seberapa, Sas," kali ini cowok jabrik berkacamata angkat bicara. Ia meletakkan sebotol air mineral—yang isinya sudah habis setengah—di sisi tubuhnya. Kemudian setengah merangkak mengambil tasnya yang tak jauh dari situ, mengeluarkan tab miliknya. "Sejak rumor tentang ayahmu muncul, semakin banyak saja orang yang bergabung dalam akun penggemarmu."
Sasuke—yang masih berbaring—menarik napas dalam. Cowok itu membuka matanya kemudian, "Apa penting?" cibirnya.
"Bahkan—" cowok itu melanjutkan, menghiraukan komentar Sasuke, "—kepopuleran Neji berada tiga level di bawahmu. Sasuke Lover semakin agresif dengan mengajukan proposal legalitas keberadaannya."
"Nice info, Shino," seseorang mengacungkan tos tinju pada Shino. Matanya melirik pada sesosok cowok bermata lavender yang nampak tak peduli di belakang mereka.
Shino menerimanya. Ia sedikit nyengir, "Yea, Kiba."
"Sebaiknya kau cari hal yang lebih berguna," Sasuke mendesah keras. Ia memaksa dirinya untuk bangkit dan meregangkan dirinya dalam posisi duduk. Tubuhnya menunduk hingga hidungnya mencium lutut—kemudian meringis keras kala seseorang dengan jahil memukul pundaknya. "Apa yang kau lakukan, Naruto!"
Naruto nyengir. Ia berguling ke samping ketika Sasuke hendak membalasnya. "Keturunan Kaisar Hyuga dikalahkan oleh seorang Uchiha, hebat sekali! Sugoi!"
"Ck," Sasuke berdecak tak suka. Ia perlahan bangkit dari duduknya dan berlari kecil di pinggir lapangan. Kemudian matanya menangkap sosok Neji yang juga tengah melakukan peregangan—Sasuke mendekatinya. Ia mengulurkan tangan pada Neji, "Jangan didengarkan. Mereka semua bodoh."
Neji mengeluarkan seringaian kecil. Ia menyambut uluran tangan Sasuke—yang langsung membawanya berdiri. "Kau tau aku tidak peduli pada hal seperti itu," ia mencoba jujur. "Hanya saja—" ia melepaskan tangan Sasuke, kemudian menatap pada celah-celah udara di sisi atap ruang latihan tempat mereka berada sekarang, "Pamanku—maksudku, Yang Mulia, dia belum berkata apa-apa soal ayahmu yang akan diangakat menjadi perdana menteri. Kadang rumor menyebar lebih cepat daripada angin."
Sasuke melirik Neji—kemudian mengikuti arah pandang pemuda itu. "Entahlah," cowok itu berkata pelan.
Neji menepuk pundak Sasuke main-main, "Ayolah. Kau tidak bisa untuk tidak peduli. Hidupmu akan lebih chaos setelah adanya pengumuman resmi," ia menyeringai lagi. Mengambil ancang-ancang untuk berlari ke tengah lapangan, tapi sebelumnya melirik terlebih dahulu pada Sasuke. "Lebih kacau daripada sekarang."
Sasuke tidak menghiraukannya. Ia menatap Neji yang mulai berlari ke pinggir lapangan—disusul oleh Naruto, kemudian Kiba, lalu Shino dan beberapa anak lainnya. Bungsu Uchiha itu menghela napas. Memikirkan perkataan Neji soal hidupnya barusan—ah, tiba-tiba Sasuke merasa sedikit menyesal tinggal di negara yang masih memakai simbol kerajaan seperti ini—kepalanya pening.
PRIT!
Suara peluit yang ditiup membawa Sasuke keluar dari lamunnya. Cowok bermata kelam itu menatap pada sang guru olahraga yang melambai ke arahnya—menyuruhnya untuk ikut bergabung—di tengah lapangan. Sasuke mengembuskan napas malas. Tapi pada akhirnya ia tetap mendekat juga.
"Lebih kacau daripada sekarang," cowok itu bergumam dalam larinya.
.
Sakura berjalan hati-hati menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya. Beberapa kali ia berpapasan dengan orang yang ia kenal—melambai, tersenyum seadanya kemudian langsung memacu langkah kabur menjauh. Ia menggenggam pegangan tasnya kuat, menghela napas, meringis, dan memejamkan mata.
Menyesal juga sih, dia sebetulnya. Sebab ia amat sangat menyukai rambutnya yang panjang itu—oke, sedikit banyak ini juga salahnya. Nilai ujian pre-kenaikan semesternya anjlok dan sangat menyedihkan. Sakura bahkan bisa mendengar suara tangisnya sendiri di dalam kepalanya—seperti kehilangan optimisme seumur hidupnya. Bisa-bisa dia tidak naik ke kelas tiga dengan nilai sejelek itu!
Dan sebagai orang tua yang baik dan penuh cinta—Kizashi dan Mebuki Haruno, memberikan penawaran khusus pada Sakura. Membantu Sakura agar menjadi lebih giat dalam belajar. (Uh. Walau ini kedengarannya begitu indah, tapi percayalah Sakura sebenarnya sedang terkurung di dalam neraka dengan api yang menjilat-jilat kulit betisnya!) Mereka memasukkan Sakura pada sebuah lembaga bimbingan belajar terbaik di kota Tokyo, melakukan apa pun yang Sakura mau—asalkan, gadis itu harus mendapatkan nilai yang bagus. Dan memotong rambutnya yang sudah terlalu panjang—menurut Kizashi dan Mebuki.
Inilah bagian tersulit.
Sejujurnya rambut panjang ini—oh, sudahlah. Sakura sedang tak ingin memikirkan itu sekarang. Kedengarannya dia jadi begitu malang dan merana. Jadi terus saja ia berjalan dengan langkah hati-hati. Hingga akhirnya ia akan sampai di belokan ujung koridor, ketika ia bertemu dengan papan mading berukuran sedang yang menempel di dinding.
Tuan Muda Kita Akan Menjadi TUAN MUDA BETULAAANNNN~!
Kening Sakura berkerut. Gadis enam belas tahun itu merapatkan langkahnya untuk berdiri di depan mading segera. Matanya mengawasi deretan hurup yang tercetak pada kertas pink berglitter pelangi itu—kemudian seketika mulutnya membuka lebar.
"Ho? Ayahnya Sasuke-kun akan jadi perdana menteri?"
"Bukankah itu sangat greget?"
Sakura menolehkan kepalanya cepat—kaget, atas suara yang tiba-tiba muncul di sisi tubuhnya. Gadis itu membelalakkan mata. Kemudian mundur beberapa langkah ketika menyadari bahwa itu adalah seseorang yang ia kenal.
"I—Ino!" jarinya menuding. "Apa yang kau lakukan di sini?!"
Ino melirik Sakura. Rambut pirang panjangnya yang diekor kuda bergoyang di belakang kepalanya, "Justru kau yang sedang apa di sini!" gadis itu balik bertanya. Ia berkecak pinggang, "Kemarin saat pembuatan mading ini, kau ada di mana?"
Sakura mundur lagi. Ia menggaruk kepalanya. "Ma—maaf!"
"Apaan, sih, seharusnya sebagai seorang SL kau harus menunjukkan loyalitasmu, Sakura!" Ino melotot. Memerhatikan penampilan Sakura dari atas ke bawah—sepertinya ada yang berbeda. "Dan…." Sakura merasakan keringat dingin mengalir di sisi pelipisnya ketika tatapan Ino berubah menyelidik. "…..kenapa kau pakai topi? Tumben."
"E—eh?" Sakura menyentuh topinya. "Ini—"
"—kalian di sini!" Gadis bercepol dua tiba-tiba saja muncul di atara keduanya. Ia langsung melompat girang—memeluk leher Sakura dan Ino secara bersamaan hingga kepala ketiganya terbentuk. Ino mengumpat sambil memberontak, dan Sakura semakin gugup saja dibuatnya.
"Sakit, kau ini!" Ino mengusap-usap keningnya.
Sakura meringis, "Hai, Ten. He—"
"Kenapa, sih?" Tenten, gadis itu, menatap Sakura heran. Kemudian seketika matanya berubah berbinar. "Wah! Topi yang bagus, Sakura!" tanpa ba-bi-bu, gadis itu melepaskan topi yang dipakai Sakura.
Ketahuanlah rambutnya seperti apa. Ino menjerit histeris.
.
Naruto baru saja akan membuka kancing kemejanya ketika sosok Hinata Hyuga masuk ke dalam kelas. Cowok itu segera membalikkan badan menghadap jendela—sementara siswa-siswi yang lain sedikit menyingkir untuk memberikan jalan lewat pada gadis itu.
"Menyedihkan," Shino berkomentar pedas melihat tingkah Naruto. Cowok itu lantas mengikuti arah jalan Hinata kemudian duduk di kursi depannya.
"Mm?" Hinata menyadari kedatangan Shino. "Ada apa, Aburame-san?"
Shino tersenyum. Ia membetulkan letak kacamatanya, "Tidak. Hanya ingin mengobrol."
Hinata tersenyum, "Oh. Sou."
"Hyuga-sama," panggil Shino. Ia terlebih dahulu melirik pada sosok Sasuke yang ada di seberang meja—cowok itu nampak asik bersandar pada kursi sementara tangannya memainkan ponselnya. "Soal rumor Uchiha."
"Ah," Hinata mengerti apa yang akan Shino tanyakan. Jadi gadis itu mengangguk. Ia menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga sebelum menjawab. "Aku juga baru mendengarnya. Bukankah rumor menyebar lebih cepat dari pada angin?"
Sasuke melirik dari sudut matanya—ia mengenal kata-kata itu. Tapi perhatiannya teralihkan saat Naruto tiba-tiba saja berlari ke arahnya dan duduk di kursi sebelahnya.
"Kenapa?" tanya Naruto.
Sasuke memutar bola matanya bosan. Tidak memberi respon pada Naruto—dia malah mengeluarkan earphone dari dalam saku jas sekolahnya kemudian mendengarkan musik. Naruto menggerutu sebal—tapi Sasuke tak mendengar.
"Belum ada kepastian soal itu," Hinata menggeleng. Matanya mengawasi sosok Shion—teman sekelasnya—yang baru datang. Gadis itu melambai ke arahnya, membiarkan Shino memerhatikan gerak-gerik mereka. Kemudian ketika Shion datang menghampiri, Hinata kembali melanjutkan. "Akan ada beberapa kandidat pastinya."
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Shion. Dia meletakkan tasnya pada laci meja. Kemudian menopang dagu menatap Hinata dan Shino bergantian.
Hinata menggeleng. Shino tersenyum, "Berarti tidak fix ayahnya Sasuke, ya. Masih harus bersaing."
"Kurasa begitu," respon Hinata kalem.
Shino mengangguk.
.
"Rambut pendek biar lebih greget?!" kesabaran Ino sudah habis. Nada bicaranya naik beberapa oktaf. Membuat Sakura yang duduk di hadapannya meringis sambil memijat-mijat telinganya, sementara Tenten memerhatikan keduanya sambil terus menghisap susu rasa apelnya.
"Aku kan sudah bilang," Sakura mendesah putus asa. "Kalau aku harus masuk bimbingan belajar yang mahal dan bagus—maka dari itu aku menuruti keinginan mereka, Ino."
Ino menggeleng frustasi. Dia lantas mengambil sebatang garpu dari nampan makan siangnya, kemudian menusuk-nusukkannya pada seiris wortel rebus di dalam piring. "Lalu dengan begitu nilaimu akan bagus? Kau bermaksud meninggalkan aku dan Tenten dengan masuk ke kelas khusus, ya? Licik sekali, Haruno, licik sekali."
Lagi-lagi Sakura mendesah berat. "Bukannya begitu, sih…." Sakura mendongakkan kepalanya—berpikir. Lalu tiba-tiba ia meraih lengan Ino dan menggoyang-goyangkannya, "Ayolah, Ino. Kau jangan marah padaku! Aku kan harus menjaga nama baik orang tuaku. Akan sangat memalukan apabila anak seorang—"
"—apa yang terjadi pada rambutmu!"
Kata-kata Sakura terpotong. Gadis-gadis itu memerhatikan asal suara—kecuali Tenten yang tengah asik menyobek segel kotak susunya, kemudian membersihkan kertas perak di dalamnya yang basah dengan tisu. Sosok Karin Uzumaki berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"K—K—Ka—Kau…" Karin menuding gemetar. Wajahnya nampak sangat terkejut—Sakura meringis karena ini. Gadis berambut merah panjang itu seolah terbata-bata, kemudian kembali normal kala Tenten menepuk lengannya.
"Duduk, deh," tawar Tenten. Karin segera menarik kursi—telunjuknya tak lepas pada Sakura.
"Ram—ram—butmu, Saku—ra…."
Sakura menopang dagunya dengan sebelah tangan. Ia mengambil sumpit dari sisi piringnya, kemudian menjepit seiris sushi dan segera memasukkannya ke dalam mulut.
"Aku sedang bertanya…." Karin memajukan kepalanya. Kedua tangannya menyentuh ujung rambut Sakura. Bola matanya yang ada di balik lensa terlihat membulat sempurna. "Bagaimana bisa?"
"Si Haruno ini…" Ino melirik Sakura—menggantikan gadis itu untuk menjawab pertanyaan Karin. "Dia memotong rambutnya—dengan alibi disuruh orang tua, supaya bisa serius belajar dan masuk kelas khusus semester depan!"
"NANI?!" Karin berjengit. Gadis itu reflek berdiri dari kursinya—membuat seisi kantin sontak menatap penuh tanya pada dirinya. Malu, sekaligus bingung, gadis itu cepat-cepat menguasai diri dan duduk kembali. "Maksudku—kelas khusus? Kelas itu?"
"Ya, apalagi…" Sakura mengangkat bahu. "Ayolah, kurasa kalian harus mengerti. Ayahku baru saja dilantik kemarin… Aku tidak ingin jadi anak yang tidak berguna."
Sakura menelan habis makanannya. Gadis itu menatap ketiga temannya lekat-lekat. Tuh, kan. Kalau sudah berhubungan dengan kelas khusus itu… mereka jadi agak sensitif. Ya, sih… Dari namanya saja sudah ketahuan kelas itu seperti apa. Kelas yang diperuntukkan bagi siswa dan siswi yang masuk peringkat lima puluh besar dalam satu angkatan setiap ujian akhir semester.
Jadi kalau Sakura berhasil mendapatkan nilai-nilai yang bagus selama ujian semester—dan berada di dalam peringkat satu sampai lima puluh pada angkatannya, semester depan dia bisa mengikuti kelas khusus. Dan untungnya, kelas itu hanya diadakan pada hari kamis hingga sabtu. Artinya, dari senin sampai rabu dia akan tetap belajar di kelasnya yang biasa. Yokatta, ne….
"Memangnya kau sanggup belajar di kelas khusus?" Karin menaikkan posisi kacamatanya. "Lalu, nasib klub kita bagaimana?" Ia menengadahkan kedua tangannya. Membentuk pose y-u-no-guy dengan bibir melengkung ke bawah.
Sakura mendesah, wajahnya terlihat lesu. "Tentu saja aku keluar," ia mengangguk lemas. Kemudian mengambil sesuatu dari dalam saku jasnya—foto candid Sasuke Uchiha yang tengah tersenyum. "Sasuke-kun, gomen ne… gomen…" Ia mencium foto itu—dalam. Lalu merobeknya.
Tenten tertawa spontan. Ino menggerutu. Karin menampakkan raut depresi.
"YA!" si gadis Uzumaki menyalak. "Mana bisa begitu! Kau harus menyambung rambut dan segera kembali ke Sasuke Lover!"
Sakura menyusun sobekan-sobekan foto Sasuke menjadi bentuk love di atas meja makan. "Mana bisa… Nasi sudah menjadi bubur. Aku harus belajar yang rajin, masuk di kelas khusus dan memilih mata pelajaran kesehatan—karena aku harus jadi dokter."
"Uwih…." Tenten melotot pada Sakura. "Kau tidak pernah bilang?"
Sakura melirik Tenten, "Aku baru saja bilang, kan?" Ia mengalihkan pandang pada Ino. "Ino-channnn, ayolah. Hari senin sampai rabu, aku kan masih akan belajar di kelas kita."
Ino menggeser duduknya—memunggungi Sakura. Pemilik mata aquamarine itu melipat tangan di depan dada. Kemudian menghela napas berat. "Sesukamu, Sakura—" kalimatnya menggantung, tapi Sakura sudah keburu tersenyum. "—tapi dengan satu syarat."
Mereka memerhatikan Ino. Kecuali Tenten—lagi—gadis itu asik mengambil foto keadaan kantin dengan kamera ponselnya.
"Aku juga akan keluar dari klub Sasuke Lover."
Karin menjatuhkan kepalanya di atas meja.
.
"Tokyo kota yang bagus," pemuda berambut eboni itu mencoba tersenyum. Ia menolehkan kepalanya ke arah jendela—menatap hilir-mudik lalu lintas jalan protokol ibukota Jepang. Entahlah, sepertinya itu jadi lebih menarik daripada gedung-gedung pencakar langit yang menjulang di sisi jalan.
Alunan musik klasik merdu memanja telinga sayup-sayup terdengar dari tape mobil. Membuat jemari pucatnya mengetuk-ngetuk di atas lututnya yang berbalut jeans hitam.
"Apakah Sai-sama butuh rekomendasi tempat untuk bersenang-senang?" pria yang memegang kemudi melirik pada kaca di atas kepalanya. Sekilas menatap sang tuan muda yang sepertinya begitu menyukai kota barunya.
Sai—pemuda yang duduk di kursi belakang itu tersenyum hingga matanya menyipit. "Kurasa tidak perlu, Yamato-san, " katanya pelan. "Aku akan menjelajahi kota ini sendiri."
Yamato melirik—lagi, "Maksud Anda?"
Yang ditanya kemudian menarik napas. Ia memilih untuk memasang retsleting jaketnya hingga menutup dadanya yang dilapisi kaus oblong terlebih dahulu. "Maksudku adalah," Sai memberi jeda, ia melepas sabuk pengamannya, "turunkan aku di sini saja."
.
Tenten memekik kala Sakura mengunci lehernya sambil tertawa. Gadis itu kemudian menusukkan sebatang sumpit kayu pada sisi cepolan rambut di kepala Tenten—seperti tusuk konde. Dan meski pun Tenten memerotesnya, Sakura menghiraukan gadis itu.
"Aku bukan dadar gulung berjalan~," Tenten menggerutu. Tangannya naik ke atas kepala—hendak melepaskan sumpit itu namun segera ditepis oleh Sakura.
"Ini lucu, tahu," Sakura mengikik. Ino yang mengikuti keduanya dari belakang memasang tampang bosan.
Jam sekolah sudah usai sejak lima menit yang lalu. Para murid pun segera berhamburan keluar dari dalam kelasnya—ada yang langsung pulang, pergi ke markas klub masing-masing atau bahkan mengikuti pelajaran tambahan khsusus bersama para guru. Sakura, Ino dan Tenten baru saja menelusuri koridor lantai dua—hendak turun ke lantai satu melalui tangga, ketika tiba-tiba jalanan jadi macet total. Puluhan murid berdesakan di tangga, mereka berhenti begitu saja dan membuat ketiga siswi itu jadi ikut-ikutan berhenti berjalan juga.
"Eh, ada apa, sih?" Ino akhirnya buka suara. Gadis itu berdecak sebal—tapi lehernya dipanjangkan untuk melihat keadaan di bawah tangga. Tenten dan Sakura mengikuti arah pandang gadis itu.
"Hinata-samaaa!"
"Huwoooooo! Hinata-sama!"
"Tunggu kami!"
Pria-pria bertubuh tinggi dan tegap membentuk barisan berjejer saling menghadap. Di tengah-tengah mereka nampak ruang kosong—yang segera terisi ketika sesosok gadis berseragam lengkap dengan rambut panjangnya lewat di sana. Dibelakangnya nampak dua orang wanita berpakaian rapi berjalan mengikuti.
Hinata Hyuga. Gadis berdarah biru—yang merupakan keturunan sekaligus pewaris tahta resmi atas kekaisaran Hyuga. Putri yang begitu lemah lembut dan dicintai serta mempunyai predikat teladan di sekolah ini. Orang-orang mungkin berpikiran bahwa keluarga kerajaan hanyalah simbol negara saja—ya, terserah, sih. Tapi bagi masyarakat Jepang sendiri yang begitu mencintai rajanya dan keluarga mereka, Hinata lebih dari sekedar simbol.
"Wah," Sakura memanjangkan lehernya ke kanan dan ke kiri. Mengamati lekat-lekat segerombolan manusia—yang didominasi oleh laki-laki—berlarian mengikuti kemana Hinata berjalan. Tentu saja ada guard yang melindungi sang putri. "Sepertinya menyeramkan."
"Setiap masuk dan pergi sekolah dia selalu diikuti begitu, apa tidak bosan, ya?" Tenten tiba-tiba saja nyeletuk. Ia menatap Sakura dan Ino bergantian.
"Dia pasti pernah berencana kabur," Ino menimpali. Sosok Hinata sudah agak sukar dilihat—gadis itu telah keluar dari dalam gedung sekolah. Dan gadis-gadis yang berhimpitan di tangga segera turun dengan cepat, berlarian mengikuti Hinata sambil meneriakkan nama gadis itu.
Sakura mengangguk-angguk. Ia menggigit topi baseball-nya. "Sebenarnya, kupikir dia terlihat sangat rapuh," ia menarik napas. "Aku tidak yakin dia pernah naik roller coaster! Atau makan bubur dengan gurita menari hidup-hidup, atau memesan takoyaki dari pinggir jalan, ke bioskop di musim dingin, bahkan meluncur di tanah miring di dekat sungai sepulang sekolah. Kudengar dari ayahku peraturan makan di istana sangat ketat, ya?"
Ino mengangguk setuju. "Dan dia pasti tidak pernah pakai tank top sambil mendengarkan musik di istana."
"Hey, menurut kalian—" Tenten akhirnya melepaskan sumpit itu dari atas kepalanya. "—kenapa dia tidak sekolah di sekolah kerjaan saja? Bukankah itu lebih baik?"
Sakura dan Ino bertukar pandang. "O, iya. Kau benar," respon Sakura. Ia menatap Tenten, kemudian berpindah pada keadaan di bawah tangga yang masih gaduh. "Seorang calon ratu kenapa tidak sekolah di sekolah kerajaan?"
"Mugkin dia bosan? Menginginkan sesuatu yang berbeda?" Ino mengangkat alisnya, balik bertanya.
Tenten membenarkan. "Yea. Kalau aku jadi dia—"
Sakura dan Ino menatap Tenten.
"—kenapa kalian melihatku seperti itu?!"
"Kalau kau jadi seorang putri—" Sakura merebut sumpit yang masih dipegang Tenten, "—kami akan menyiksamu sampai kau mati!"
"KYA!" Tenten menjerit kala Sakura menggelitiknya. "Hentikan—oh!"
Ino sama sekali tak membantu. Ia malah memegangi tubuh Tenten dan turut tertawa bersama Sakura—keras. Amat keras hingga terdengar sampai ke lantai bawah. Beberapa murid—cowok-cowok dengan postur jangkung yang sedang berjalan melintas tak sengaja mendengar tawa mereka hingga berhenti melangkah.
"Hei, bukankah itu anggota SL?" si kacamata—Shino Aburame—menatap dengan pandangan menyelidik. Memerhatikan ketiga gadis yang kini saling mengejar dan menggelitiki satu sama lain.
"SL? Sasuke Lover?"
Sasuke Uchiha—yang berdiri di dekat Shino—ikut melirik. Kedua tangannya tenggelam di dalam saku celana. Cowok itu tampak tak berminat. Ia berniat meneruskan langkah—namun urung begitu melihat segerombolan gadis-gadis mengikik genit yang menyemut di belakang ia dan kawan-kawan. "Kurasa—"
"Kukira semua fansmu rambutnya panjang?" Naruto nyengir kecil seraya menyikut lengan Sasuke. "Benar, kan? Seharunya Sasuke~ Lover~ itu rambutnya panjang, karena Sasuke si tampan suka gadis berambut panjang~! Tapi si merah muda itu tidak?"
Mereka semua reflek mendongakkan kepala secara bersamaan.
"Ah, ya. Benar juga," Kiba angkat suara. Matanya lekat mengikuti gerak-gerik Sakura yang kini menuruni tangga—Tenten melompat ke punggung gadis itu. Kiba menahan tawanya, "Siapa namanya?"
"Sakura? Sakura Haruno, bukan?" Naruto menjawab. "Cewek rambut pendek seksi, ya." Ia merentangkan kedua tangannya—kemudian meletakkannya di belakang kepala lalu perlahan-lahan berjalan. Sepertinya dia juga tidak terlalu berminat.
Sasuke membuang napas—ia sedikit mencuri pandang pada gadis-gadis itu. Tapi kemudian langkahnya mengikuti Naruto. Kiba dan Shino langsung menyusul.
"Karin kalau ke rumah selalu cerita tentang SL, loh, Sas," Naruto berujar. "Sepupuku itu benar-benar serius suka kamu. Dia selalu nanya-nanya soal kamu sampai rasanya kepalaku mau pecah!"
Menghiraukan perkataan Naruto, Sasuke berjalan cuek sambil melirik pada Shino. Memerhatikan apa yang temannya itu lakukan pada tab-nya. Sepertinya serius, ne? Sasuke jadi penasaran, maka dari itu dia bertanya. "Ngapain?"
Shino menoleh sekilas. Lalu kembali pada gadgetnya. "Haruno kayak pernah dengar, deh."
Kiba bersiul. "Iyalah," cowok itu melompat kecil. Hendak menyentuhkan tangannya pada frame di sisi pintu keluar namun tak sampai. "Ayahnya baru saja dilantik jadi anggota dokter kerajaan—bareng ibuku."
.
Belum lima menit sejak Sakura berdadah-dadah ria pada Ino dan Tenten yang pulang dengan menaiki bus, tiba-tiba saja hujan turun mengguyur kota. Gadis itu segera berlari—mencari tempat berteduh terdekat. Rambutnya yang tak terlindungi topi jadi basah dan lepek—dia pikir tampangnya sudah seperti anak anjing yang tercebur di dalam kolam.
Gadis bermarga Haruno itu menggoyang-goyangkan sebelah kakinya. Menusuk-nusuk kumpulan kerikil di sekitar ujung sepatunya yang sedikit kotor terkena tanah. Kepalanya kemudian mendongak menatap langit yang sudah mulai gelap—sial sekali aku sore ini. Lalu kedua tangannya menengadah, membiarkan tetesan air hujan membasahi telapaknya.
Seorang laki-laki berlari ke arahnya—basah kuyup. Jaket yang membalut dirinya nampak tak berarti apa-apa. Dan Sakura memerhatikan rambut cowok itu sama lepeknya dengan rambutnya. Gadis itu menahan pandangnya—tidak ingin memerhatikan lebih jauh karena takut disangka berpikir yang tidak-tidak.
Sementara cowok itu melepas jaketnya—kemudian mengibas-ngibaskannya karena basah, Sakura memeluk lengannya sendiri. Dingin. Seperti ada manusia air meliuk-liuk dan menjilati tengkuknya hingga ia jadi merinding sendiri. Perlahan ia mundur—menyentuhkan punggungnya pada dinding sebuah toko usang tak bernama yang tertutup rapat.
Lama Sakura terdiam memandangi hujan. Sepuluh menit telah berlalu—dan masih belum ada tanda-tanda bahwa hujan akan segera berhenti serta langit akan cerah kembali. Diam-diam ia menarik napas panjang, kemudian melirikkan bola matanya, mencuri pandang pada cowok tadi. Dan Sakura baru menyadari bahwa pemuda itu lumayan tinggi.
Ganteng—batinnya berbisik. Semakin sering Sakura mencoba melirik. Hingga tiba-tiba saja cowok itu menoleh padanya, menatapnya lurus seraya bertanya, "Apa apa?"
"Huwa!" Sakura mundur tiga langkah. Jantungnya berdetak tidak karuan—kaget. Apa cowok itu telah menangkap basah dirinya yang curi-curi pandang? Bagaimana jika ternyata dia punya indera keenam dan bisa membaca pikiran Sakura? HAISH. Sakura merasakan pipinya seperti ditusuk-tusuk. Gadis itu memasang wajah pura-pura bingung. "N—nani? Aku tidak mengerti?"
Si permuda terlihat menarik napas. Ia menatap Sakura, sementara tangannya memeluk jaketnya yang basah. "Kenapa kau melirik terus padaku?"
Seperti rohnya yang tercabut dan melayang ke atas awan—Sakura tau dia tertangkap basah. Sudut bibirnya tertarik—membentuk seulas senyum tidak enak sekaligus bingung. Dia menundukkan kepalanya meminta maaf. "A—aku, tidak tahu. Aku benar-benar minta maaf."
Pemuda itu diam saja—memandang Sakura bingung. Kemudian ia menganggukkan kepalanya singkat, "O."
Sakura mengangkat kepalanya. "N—ne," katanya kemudian. Gadis itu lantas bergeser—sedikit lebih jauh. Kemudian mencengkram erat tali ranselnya sambil menggigiti bibir. Wajahnya pasti terlihat seperti imbisil bertindik hidung yang tak bisa berhenti mengeluarkan lendir dari mulut—oke, entahlah itu makhluk apa. Tapi yang jelas, tidak ada hal yang lebih memalukan dibanding kepergok curi-curi pandang pada cowok di kala hujan.
"Bzzzz…" Sakura meringis halus. Matanya menangkap pemandangan sepasang siswa dan siswi SMU yang baru saja keluar dari minimarket di seberang jalan. Sang laki-laki nampak membukakan payung—sementara si gadis tertawa riang sambil menggandeng pacarnya itu. Sakura mendesis sendiri, "Manisnya yang punya pacar. Aku juga mau punya pacar."
Sadar akan celetukannya yang berlebihan, Sakura menolehkan kepalanya cepat—dan benar saja, si pemuda tampan yang berada di sebelahnya itu tengah menatapnya bingung. Sakura merasakan wajahnya memerah seketika. Ia menggelengkan kepala sambil mengibas-ngibaskan tangannya hiperbolis di depan dada, "A—aku tidak mengatakan apa pun, kok. He—hehe."
Cowok itu nampak berjengit—bisa dilihat ia menahan senyumnya. Tapi kemudian ia hanya mengangguk, "Aku tidak mendengar apa pun, kok."
Sakura mengangguk—membuang napas lega sambil tersenyum tidak enak. Ia mengusap-usap dadanya sendiri sambil menggerutu. Kenapa jadi begini, sih. Lalu belum habis rasa penyesalannya, tiba-tiba cowok yang tadi berada di sisinya itu berlari ke arah jalanan. Sakura tertegun kala menyadari bahwa pemuda itu meninggalkannya di sini. Sendirian.
"N—nani…" Sakura menggumam. Matanya masih menatap lurus pada jalanan—tempat cowok itu menghilang dibalik hujan. Ia mengatupkan mulutnya yang terbuka, lalu menelan ludahnya sendiri. "Apa yang kau harapkan, Sakura…." tangannya kembali memegang erat tali ranselnya.
"Kau tau, kan, tidak ada orang yang bisa berlama-lama dekat denganmu," Sakura merutuki dirinya sendiri. Perlahan-lahan tubuhnya merosot ke bawah—berjongkok. Semantara kepalanya mendongak menatap langit, tangannya terbuka menadah hujan.
"—kecuali Ino dan Tenten," lanjutnya. "Mereka itu sudah kapalan denganmu~" ia menggelengkan kepalanya, kemudian tersenyum sendiri. Dan sayup-sayup bibirnya melantunkan nada yang tak begitu jelas kedengarannya. Tapi Sakura begitu menyukainya—walau masih saja ia menatap langit.
Lalu tahu-tahu hujan jadi berhenti di sekitarnya—dan terasa lebih teduh. Sakura mendongakkan kepalanya lambat. Siluet sosok yang amat tinggi berdiri di sisi kanan tubuhnya.
"Hai, aku baru—"
Sakura membelalakkan matanya seketika. Pemuda itu—ya, yang lima menit lalu masih berdiri di sini dengannya menunggu hujan reda. Kini dengan tubuh dan rambut yang lebih basah, datang padanya dengan membawa payung merah (yang bahkan label harganya masih ada!). Sakura menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
"—membeli ini," cowok itu melanjutkan. "Kupikir karena hujan akan lama. Apa kau tidak keberatan kalau kuantar pulang saja?" []
.
Naruto and all of its characters are belongs to Masashi Kishimoto.
I don't take any material provit from his manga.
.
Yea, jadi ini adalah ide abal-abalan saya yang lainnya—oke, bisa dilihat bahwa ini lumayan picisan. Tapi entah mengapa nulisnya saya bisa santai dan begitu, apa, ya, menikmati, mungkin? Saya sedang tertarik nulis yang beginian, nih. Dan soal sistem pemerintahan Jepang, kita semua tahu, kan, kalau mereka pakai parlementer seperti Inggris. O, monarki—kerajaan yang hanya merupakan simbol sedangkan pemimpin sesungguhnya adalah perdana menteri. Jadi asik saja kalau diangkat menjadi sebuah cerita.
Dan ini….. SasuSakuSai! Wuhu~ Gara-gara saat liburan kemarin saya nonton movie-nya, and entah kenapa suka aja gitu liat interaksi SaiSaku!
Last, seperti biasa saya mohon masukannya—juga sarannya, apakah cerita di chap ini kepanjangan dan harus saya kurangi. Terima kasih.
