tfs: Halo. Saya termasuk newbie di fandom ini. Dan karena saya sekarang tengah begitu memuja EreMika seperti cinta pertama saya (halah), maka saya jadikan EreMika sebagai fic (moga-moga) pertama saya di fandom ini. Guys, they are so impossibly beautiful and cute together, right?
-oOo-
Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama
Warning: mature content, AU.
EreMika, slight LeviMika
No commercial/financial advantages gained.
Enjoy!
-oOo-
"Kakak."
"!"
"…Kau menangis. Apa gara-gara dia?"
"Ah, tidak. A-Aku tidak apa-apa."
"Kau tidak perlu berbohong padaku seolah-olah aku tidak mengetahui semuanya."
"Tidak—tidak. Aku tidak apa-apa."
"…."
"…"
"….Sesekali akuilah. Mungkin dengan begitu dia akan sadar dia membuat Kakak sedih dan menangis."
.
.
.
.
Pemuda berhelai coklat auburn itu melangkah pelan di sore hari musim gugur yang mendung. Langit tampak kelabu, matahari tertutup oleh tebalnya kanvas yang menggantung. Udara dingin ditepisnya hanya dengan jaket dan syal yang melilit di lehernya, melengkapi pakaian yang dipakainya. Tas ransel berukuran sedang menggantung di sebelah pundaknya, sedangkan sebelah tangannya menggenggam satu kaleng minuman yang isinya baru satu teguk saja ia minum. Di sebelahnya berjalan satu pemuda lain berhelai pirang, dengan tubuh yang sedikit lebih pendek darinya. Pandangan kedua bola birunya tampak sibuk memperhatikan selembar kertas yang terpegang di salah satu tangannya.
"Masih ada beberapa perlengkapan yang kurang, satu pembicara yang belum memberi konfirmasi, dan juga—" pemuda berhelai pirang menghela napas, "Ijin untuk menggunakan gedung konvensi kampus belum mendapatkan persetujuan."
Temannya hanya melirik sejenak ke arah kertas yang menjadi pusat perhatian si pemuda berhelai pirang, "Kita baru menginjak semester kedua di kampus, dan kau sudah mengetuai suatu acara kampus, Armin?"
Armin Arlelt hanya menggeleng, lantas melipat kertas itu dan memasukkannya ke saku mantelnya, "Acara jurusan," ralatnya pelan, lantas menghela napas, "Kupikir tidak akan sesulit ini."
"Kau pasti bisa. Jika ada orang yang aku tahu memiliki kemampuan leadership yang bagus, itu adalah kau," si pemuda berhelai coklat tua kembali meneguk minumannya beberapa kali sembari masih melangkah.
Armin menoleh dan memberinya senyum tipis, "Bagaimana dengan lamaran kerja paruh waktumu, Eren?"
"Ah. Aku ingin memberitahumu hal ini sebelumnya. Aku akan bekerja mulai hari ini, shift malam."
"Di restoran cepat saji itu?"
Eren mengangguk.
Armin menatap ragu, "Dan juga shift malam… Apa bisa kau mengatur waktumu—tidak, yang lebih tepat adalah, apa perlu kau melakukan semua ini? Kau memiliki toko bungamu sendiri yang bisa kau andalkan dan juga Paman—"
"Kebutuhanku terlalu besar untuk bisa dicukupi hanya dengan toko bunga yang baru kudirikan dua bulan lalu, Armin," potong Eren sembari memasukkan kedua tangannya ke saku mantelnya, "Selain toko bunga, aku tidak memiliki pemasukan lain. Hanya itu…"
Angin musim gugur kembali bertiup. Menerbangkan dedaunan yang kering dan rapuh, serta semua benda bermassa ringan yang ada. Armin menunduk, sedangkan dua emerald Eren masih menatap ke arah horizon yang kelabu bercampur jingga.
Dua telapak tangan itu mengepal kuat di balik lindungan saku mantelnya.
Kesibukan mereka dengan apapun yang ada di pikiran mereka, terhenti saat terdengar teriakan yang berasal dari arah beberapa jauh di depan mereka. Begitu pandangan mereka teralihkan ke sumber suara, tampaklah oleh mereka seorang wanita yang melangkah dengan sedikit cepat, keluar dari pintu masuk sebuah bangunan, untuk kemudian diikuti oleh seorang pria yang melangkah terburu-buru pula di belakangnya dan meneriakkan sesuatu padanya.
"Berhenti! Kau tidak bisa melakukan ini padaku! Aku akan memberimu semua yang kau mau—" pria berusia tak kurang dari lima puluh tahun itu menarik paksa lengan si wanita, membuat wanita itu berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya. Dari tempat Eren dan Armin berdiri, tak terlihat jelas bagaimana ekspresi wanita dan laki-laki itu. Tetapi yang jelas dari cara laki-laki itu berbicara dan menarik paksa lengan wanita itu, suasana di antara mereka tentulah bukan suasana santai dan ramah.
Wanita berhelai hitam legam itu sepertinya mengatakan sesuatu, lirih dan pelan. Lantas dengan menggunakan tangannya yang bebas, ia melepaskan genggaman pria itu di sebelah lengannya untuk kemudian kembali berbalik dan melangkah, sebelum pria itu kembali menariknya, lantas menabrakkan punggung wanita itu ke tembok bangunan dan segera menunduk mengarahkan kepalanya ke leher wanita itu, tak peduli rontaan dari si wanita yang berusaha melepaskan diri.
Armin menatap ke arah bangunan tempat dimana wanita itu baru saja melangkah keluar dari dalamnya.
Bukankah itu…. Bukankah itu sebuah klub tempat dimana sebagian besar orang dewasa laki-laki di kota ini bersenang-senang? Jika ada wanita di dalam bangunan itu, kemungkinannya hanya dua. Wanita itu adalah seorang pelacur atau jika tidak, wanita itu ingin mengintai dan menangkap basah kekasih atau orang lain yang dikenalnya bersenang-senang di dalam sana.
Pandangan dua bola biru Armin kembali menatap ke arah wanita yang bersama dengan pria itu, "Eren—"
Belum sempat Armin meneruskan ucapannya, ia seketika membelalak tatkala sahabatnya sudah bergerak dan berlari cepat menuju ke objek pandangan mereka sejak dua menit lamanya di depan sana.
"Eren!"
Armin ingin mencegah sahabatnya untuk tidak bertindak gegabah. Armin teringat bagaimana pemuda itu sering kali mendapatkan masalah sebagai akibat dari semua keputusan dan tindakan yang Eren lakukan hanya atas dorongan emosinya semata. Armin ingin berteriak agar Eren jangan pergi—jangan menuju ke wanita berhelai legam dan lelaki tua tersebut.
Tetapi Eren sudah berlari menjauh.
Dan di masa depan beberapa bulan setelah itu, Armin tidak tahu apakah harus bahagia atau menyesali ketidaksempatannya mencegah Eren untuk berlari menuju ke dua orang itu.
Untuk menghajar lelaki tua itu.
Untuk menyelamatkan wanita itu.
Dan untuk memulai skenario romansanya yang lurus dan berliku.
Armin tidak tahu.
"A-Aku harus mencari bantuan."
-oOo-
Mikasa menahan kuat-kuat kedua lengan pria di depannya, tak peduli betapa pria itu memaksakan diri untuk mendekatkan tubuhnya seerat mungkin dengan dirinya. Kelopak mata Mikasa terpejam, tampak rileks, sekalipun rahangnya mengatup keras hingga terasa sakit. Merasakan bau alkohol dari napas laki-laki yang bahkan ia tak ingat siapa namanya, merasakan sedikit keriput yang bisa ia rasakan melalui genggaman kedua telapak tangannya di kedua lengan laki-laki itu, merasakan betapa basah mulut itu tatkala dengan paksa menciumi leher putihnya.
Ia menahan diri. Tak peduli betapa terasa menjijikkan kulit itu tatkala kedua tangannya menggenggam lengannya. Ia menahan diri, tak peduli betapa bau alkohol itu membuatnya muak dan ingin muntah. Ia berusaha tetap berdiri, tak peduli betapa tak ada hal yang ingin ia lakukan saat ini selain menjauhkan lehernya dari tiap kecupan panas dan basah dari mulut laki-laki yang berusia bahkan lebih dari dua kali usianya tersebut.
Angin sore musim gugur kembali berhembus, namun bukanlah itu yang membuat Mikasa merasa dingin.
Ia hanya memberontak lemah. Hanya mengucapkan 'hentikan' dengan lirih. Ia hanya mampu menahan lengan laki-laki itu agar tidak menjamah bagian tubuhnya seperti yang tengah mulutnya lakukan dengan lehernya.
Hanya itu yang bisa ia lakukan—selama ini, hanya itu yang bisa ia lakukan pada setiap laki-laki membutuhkan dirinya.
Dan pada akhirnya, ia pasti akan menyerah dan kalah dan harus memberikan semuanya.
Ia merasa kedinginan.
Tak peduli rasa kotor yang seolah melekat di tiap darah yang mengalir di tubuhnya dan di setiap syaraf yang menyusun dirinya. Tak peduli teriakan hatinya yang menyuruh untuk berhenti. Tak peduli betapa ia mengernyit jijik ketika setelah semua itu, ia kembali ke apartemennya dan menatap pantulan dirinya di cermin kamarnya.
Ini adalah hidupnya.
Hidupnya di dunia yang keras dan kejam yang membuatnya harus berbuat rendah hanya agar ia mampu terus bernapas hingga 23 tahun ini.
Tubuh dan jiwanya, raga dan nyawanya, merasa dingin dan beku.
"LEPASKAN, KEPARAT!"
Bunyi hantaman bersama dengan menghilangnya sensasi sentuhan yang sedari tadi ia rasakan di lehernya. Pegangannya di lengan lelaki itu pun terlepas, dan saat ia membuka mata, ia sudah menemukan pria separuh abad itu tersungkur jatuh di tanah.
Pandangan kedua onyx-nya segera mengarah ke satu orang yang berdiri di depannya, di antara dirinya yang masih berdiri menatap terkejut, dengan pria yang terjatuh dan meringis di tanah.
Satu orang berbalut mantel coklat, membalut punggung dan pundak yang tampak lebar dan kuat itu. Helai auburn yang tergerak lirih oleh angin sore musim gugur. Dua tangan yang tampak mengepal kuat—menjadi alasan mengapa pria tua itu kini tampak tersungkur dengan pipi yang perlahan membiru dan sudut bibir yang meneteskan sedikit darah.
"Menjauhlah darinya, Keparat."
Dan suara yang terdengar dalam, dan mengandung berjuta emosi yang tidak tertutupi.
Mikasa hanya terdiam dan tetap menatap ke bagian belakang kepala berhelai auburn tersebut.
Dan Mikasa tidak tahu apa yang kemudian terjadi. Pemuda itu sepertinya tampak berteriak, menggeram, pun dibalas dengan tatapan dan ucapan sengit yang sama dari lelaki yang baru saja menerima hantamannya. Namun Mikasa tidak terlalu mendengarnya—tidak, ia bahkan seakan tidak mengerti apa yang baru saja dan sedang terjadi di depannya. Yang ia tahu, beberapa saat kemudian laki-laki itu kembali bangkit untuk kemudian memukul si helai auburn. Yang ia tahu, berkali-kali si helai auburn menerima hantaman, namun lebih sering melayangkan pukulan atau tendangan. Yang ia tahu helai auburn itu tampak sedikit teracak, mantel itu tampak sedikit kusut dan kotor oleh tanah.
Yang ia tahu, warna bola matanya adalah emerald.
Yang ia tahu, kulitnya berwarna sedikit gelap dari kulitnya sendiri yang tampak pucat.
Yang ia tahu, ekspresi yang ada di wajah itu adalah marah untuk laki-laki yang menjadi lawannya.
Dan yang Mikasa tahu, pemuda itu berkelahi, tampak berantakan dan terluka, hanya untuk melindunginya.
Untuk melindungi Mikasa, dengan atau tanpa pemuda itu tahu siapakah Mikasa.
Dan saat semua itu berakhir, yang Mikasa tahu adalah jarak antara kedua tubuh mereka yang tidak terlalu jauh. Warna emerald yang menatap ke arahnya dengan sorot khawatir. Wajah yang penuh lebam, keringat, dan setitik darah di sebelah bibirnya yang sedikit robek. Napas yang terhela cepat, dan satu pertanyaan, "Apakah kau tidak apa-apa?"
Emerald bertabrakan dalam satu pandangan dengan onyx.
"…Bukan aku yang baru saja berkelahi," ucap Mikasa lirih, membuat Eren tampak tertawa lirih dan menggaruk singkat tengkuknya.
"Ah," pemuda itu sedikit memiringkan kepala, lantas mengusap rahangnya yang sedikit terasa ngilu, "Dia memiliki tenaga yang kuat untuk orang seumurannya."
Gerakan Eren mengusap rahangnya dan sedikit meringis sakit, terhenti tatkala ia menyadari bahwa wanita di depannya hanya terdiam beberapa saat tanpa menjawab pertanyaan atau merespon ucapannya. Kembali ia arahkan pandangan matanya ke arah dua bola di depannya—bagaikan lautan tinta dalam dan tak berujung.
Eren menunduk kala menyadari wanita yang tampak beberapa tahun lebih tua darinya itu hanya terdiam dan menatapnya lamat-lamat tanpa mengucapkan satu katapun.
"S-Syukurlah jika memang kau baik-baik saja," ucapnya, menghela napas, "Aku—"
"Dingin."
"Huh?" Eren kembali menegakkan kepalanya, kali ini sembari menatap tak mengerti ke arah wanita itu.
"Dingin," pandangan dua onyx itu sedikit menurun, menampakkan dengan jelas bulu mata yang panjang dan lentik, "Aku sangat kedinginan."
Mikasa memang memakai mantelnya yang cukup tebal untuk menghalau angin sore musim gugur ini. Kedua kakinya yang putih dan jenjang terekspos, karena mantelnya hanya mampu menutupi tubuhnya sebatas paha saja.
Namun bukanlah dari sana rasa dingin yang ia rasakan berasal.
Bahkan bukanlah karena angin sore musim gugur ia merasakan perasaan ini—tidak. Musim apapun, secerah dan sepanas apapun, rasa dingin ini tetap ada. Tetap ia rasakan.
Bertahun-tahun lamanya.
Pandangan kedua matanya kembali menatap emerald di depannya dengan ekspresi sedikit terkejut saat merasakan sesuatu yang hangat melingkari lehernya. Eren memfokuskan perhatiannya pada kedua tangannya yang berusaha melilitkan syal merah yang ia pakai, ke sekeliling leher wanita tersebut. Membalut dan menutupi lehernya yang putih, jenjang, dan sedikit terdapat noda merah pudar di sana. Menutupi sebagian dari bagian bawah wajahnya. Turut membalut sebagian dari rambutnya di dalam lingkaran hangatnya.
Tanpa mempedulikan pandangan terkejut dari orang yang kini telah memakai syal merah darinya.
"Nah, sudah hangat, 'kan?" sedikit tersenyum, kembali menatap ke kedua onyx yang sedikit melebar itu, "Kau tidak akan kedinginan lagi."
Mikasa masih tetap menatapnya. Hanya terdiam. Mulutnya yang berada di balik syal itu, sedikit membuka. Bahkan senyum kecil yang diberikan pemuda itu tidak mampu membuat lengkungan yang sama hadir di bibirnya.
Ekspresi terkejutnya berganti dengan ekspresi sendu saat ia mengingat siapa dirinya. Tangannya bergerak ke arah syal itu, hendak melepaskannya, "Kau tidak perlu melakukan ini—" satu genggaman hangat di tangannya menghentikan gerakannya untuk melepas syal merah marun tersebut.
"Pakailah," ucap Eren sembari sedikit menguatkan genggamannya di tangan yang memegang syal tersebut, "Aku punya banyak—mulai sekarang itu menjadi milikmu."
Ada suatu alasan yang membuat tangan Mikasa akhirnya luruh, dan pada akhirnya kepala itu mengangguk.
Mungkin rasa hangat yang benar-benar sedikit ia rasakan?
Atau ia menyadari fakta bahwa untuk pertama kalinya, ada seseorang yang sudi memberikan perhatian kepadanya? Kepada manusia dan wanita sepertinya yang biasanya dipandang seperti sampah? Yang biasanya dilihat sebagai manifestasi nyata dari apa itu dosa?
"Namaku Eren Jaeger, salam kenal, Nona Mikasa," Eren kembali tersenyum tatkala wanita itu sontak menatap tertegun dan heran ke arahnya. Pemuda itu menunjuk ke arah Mikasa, "Aku sempat melihat kalung perak di lehermu. Di bandulnya itu namamu, bukan?"
Rasa terkejut itu menghilang, dan kepala itu mengangguk sekali dan lirih, "Mikasa—Mikasa Ackerman."
Dari kejadian itu dan dari perkenalan nama itu, adalah awal bagi kisah baru mereka berdua sejak sore hari itu.
Dan syal itu bagaikan benang merah takdir—alasan yang menghubungkan antara pemuda usia 18 tahun dan perempuan berumur 23 tahun tersebut. Antara emerald dan onyx. Antara putih dan hitam. Antara cahaya dan kegelapan.
Antara Eren Jaeger dan Mikasa Ackerman.
Keduanya begitu terpaku satu sama lain, hingga teriakan Armin yang meneriakkan nama Eren sembari berlari bersama dua orang asing yang ia mintai tolong, tidak membuat bahkan sepasang emerald dan onyx itu berkedip.
.
.
.
.
"Kakak jangan menangis lagi, oke?"
"….."
"Kakak tidak membutuhkan dia. Aku akan melindungimu."
"….."
"Jadi, Kak Petra jangan sedih lagi."
"….Terimakasih, Eren."
-oOo bersambung oOo-
tfs: Ini prolog hehe. Well, so sorry bagi penggemar Mikasa T.T Tuntutan plot T.T Tapi tenang, Pangeran Eren akan menyelamatkan Mikasa :3 Ada yang suka LeviMika juga? Itu akan jadi slight pairing fic ini, tapi baru beberapa chap ke depan ^^
Oke, thanks! Ayo lestarikan EreMika! *berisik!
Feedback?
