Eternity
Disclaimer: Detective Conan/Meitantei Konan adalah hasil karya Gosho Aoyama. Tidak ada keuntungan materi yang saya dapat. Fanfic ini hanya untuk kesenangan semata
Warning: AT-AR, OOC, typo
Summary: BO sudah musnah—namun gudang data mereka juga ikut musnah terbakar. Conan pun terpaksa tetap dalam tubuh kecilnya selamanya. Kudou Shinichi takkan lahir kembali. Takkan bisa di samping Ran dan menghapus air matanya. Sampai tahun demi tahun pun terlewati.../AT-AR
X.x.X
"Bagaimana dengan penyerangannya?" tanya bocah berkacamata itu. Gadis di hadapannya tak menjawab apa-apa. Hanya terdiam membisu. Sesekali meringis menahan luka di tubuhnya. Dan ia pun tertunduk. Menyembunyikan ekspresi yang sulit untuk diartikan.
"Haibara?" Nama gadis itu Haibara—Haibara Ai. Dan ia tetap tak menjawab pertanyaan dari teman seperjuangannya ini; Conan—atau bisa disebut Edogawa Conan.
"Haibara!" Conan menaikkan nada suaranya sedikit. Ia ingin bangkit, namun rasa sakit bekas timah panas yang menembus tubuhnya masih membuat gerakannya terbatas.
"Maaf ... Kudou-kun ...," lirihnya pelan. Conan mengernyitkan alisnya. Ia sungguh tak mengerti apa maksud dari perkataan Ai tadi. "Apa ... maksudmu?"
Ai terlihat menghela napas sesaat sebelum menjawab. Ia meringis sedih. "Mereka sudah dimusnahkan..."
"Lalu? Kenapa kau terlihat bersedih?" tanyanya penasaran.
"Kudou-kun ... maaf..."
"Sekali lagi kutanya. Apa maksudmu?" Penuh nada tuntuntan dalam setiap kata yang Conan utarakan. Ia memperhatikan Ai lekat-lekat.
"Mungkin ... kau tak bisa kembali menjadi sosok Kudou Shinichi..." Saat itu juga Conan terdiam. Matanya terbelalak. Dan ia tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
"Jangan bercanda," desisnya.
"Apa aku terlihat sedang bercanda?!" Nada bicaranya meninggi. Ai mendongakkan kepalanya dan terlihatlah ekspresi itu. Ekspresi yang sangat jarang diperlihatkan oleh seorang Haibara Ai. Ekspresi sedih dan menyesal. Seolah-olah baru kehilangan sesuatu hal yang penting dalam hidupnya.
"Mereka memang sudah musnah. Namun gudang data terbakar ...," jelasnya terpotong helaan napas, "termasuk data obat itu. Data APTX4869 yang tak sempat terselamatkan... Kudou-kun ... kumohon maafkan aku..."
Dan saat itu juga, nada bicara Ai benar-benar lirih. Ia sunguh-sungguh minta maaf pada pemuda yang mengecil menjadi sepuluh tahun lebih muda tersebut. Ia menatap Conan yang kini mengalihkan pandangannya pada mentari senja di luar sana.
"Bisakah aku mempercayainya ...?" lirihnya dengan suara parau. Pelan, namun Ai bisa dengan jelas mendengarnya. Nada suara yang penuh dengan ketidakpercayaan, putus asa, juga kesedihan yang mendalam.
Dan saat itu pula, Kudou Shinichi, ditakdirkan selamanya untuk tetap menjadi Edogawa Conan, sebuah nama ciptaannya sendiri.
X.x.X
Hari demi hari mulai terlewati. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun. Dan seorang Mouri Ran tetap setia menunggu kepulangan orang yang dicintainya, sahabatnya sendiri; Kudou Shinichi. Tanpa tahu bahwa orang itu takkan pernah muncul kembali di hadapannya.
Tujuh tahun pun berlalu. Kini Ran sudah menjadi seorang gadis cantik nan dewasa yang banyak memikat perhatian pria. Gadis berumur dua puluh tiga tahun itupun kini sudah mencapai cita-citanya. Ia bisa menjadi seperti Kyougoku Makoto, menjadi seorang atlet karate internasional. Sekarang pun Eri terkadang suka tinggal di rumah mereka. Walau pada akhirnya ia terkadang suka kembali ke apartemennya sendiri dengan wajah berkedut marah.
Hari-hari Ran kini ditemani oleh seorang bocah berkacamata yang kini sudah tidak lagi kelas satu SD. Bocah bernama Conan itupun kini sudah menginjak tahun kedua di sekolah menengahnya. Tapi tetap saja ia pintar. Selalu meraih ranking pertama di kelasnya.
Conan mulai tumbuh. Kesamaannya dengan Shinichi pun semakin terlihat.
Ah, itu membuat Ran merindukan Shinichi—tidak, setiap saat ia merindukan pria itu. Ia tidak ingin hanya mendengar suaranya, tapi ia juga ingin melihat sosoknya. Sosok tegapnya yang selama tujuh tahun ini menghilang bak ditelan bumi.
Sudah berkali-kali ia menangis menantikan kehadiran pria itu. Dan sudah berkali-kali Conan menghiburnya. Berusaha menahan air mata gadis itu walau selalu gagal. Berusaha membuatnya tersenyum walau tak bisa. Yang bisa mengobati air mata dan rasa rindu Ran bukanlah Conan, melainkan Shinichi.
Dan di tahun ketujuh kehilangan Shinichi, Ran pun tidak bisa berbuat apa-apa. Masih tetap memasang wajah sendu itu setiap kali ia tak bisa menahan rasa rindunya. Tanpa ia ketahui, di balik pintu kamarnya seorang pemuda dalam wujud anak kecil juga menahan rasa sakit di hatinya.
X.x.X
Lagi-lagi ... lagi-lagi ia menangis. Di dalam kamarnya. Sendirian. Dengan sebelah tangan yang membekap mulutnya, berusaha meredam suara tangisnya.
Ia merutuki dirinya sendiri. Bodoh, bodoh, bodoh.
Terkadang ia juga berpikir, kenapa ia harus menangisi pria itu? Bukankah pria itu hanya sahabatnya sejak kecil?
Ya, tapi baginya, di dalam hatinya, pria itu istimewa. Pria yang merupakan cinta pertamanya yang masih ia cintai sampai sekarang.
Dan ia juga menyesal karena belum sempat membalas perasaan pria itu. Tapi seharusnya pria itu tahu, kalau ia juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Mereka sama-sama mencintai.
Mereka sama-sama dicintai.
Mereka saling mencintai.
Indah, bukan? Ini sebuah keajaiban. Dua orang yang saling mencintai bertemu.
Ya, terlampau indah jika takdir garis yang kejam mampu membuat mereka dalam kenyataan yang seperti ini. Tapi mereka juga berharap, semoga benang merah antar mereka tidak akan terputus. Tidak akan pernah terputus. Selamanya.
X.x.X
Pintu kamarnya pun terbuka. Sosok bocah berkacamata pun terlihat berada di sana. Sebelum akhirnya gadis itu menyadari ekspresi sedih di wajahnya, ia pun segera mengubahnya. "Ran-neechan ... ada apa? Kenapa belum tidur?"
Ran tersentak. Ia menghapus air matanya dan berusaha memberikan senyuman terbaiknya. "Nandemonai, Conan-kun..."
Conan berjalan mendekat. Bohong. Kau pasti menangis, kan?
Ia berjalan menghampiri Ran. Berhenti tepat di depannya. "Ran-neechan ... menangis lagi?"
Ran menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak menangis," jawabnya berusaha membuat suaranya senormal mungkin.
"Pasti karena Shinichi-niichan. Iya, kan?" Tak dapat dipungkiri, bahwa kata-kata itu juga terasa pahit di lidahnya. Conan dapat melihatnya, ekspresi gadis itu berubah.
"Duduklah di sampingku dan izinkan aku memelukmu," lirih Ran. Conan tak sanggup. Gadis itu pasti akan meminjam bahunya lagi. Ia tak keberatan, sungguh tidak keberatan. Tapi kalau yang menyebabkan gadis itu meneteskan air mata adalah dirinya sendiri, rasanya ia tak bisa untuk tak menahan ekspresi sedihnya.
Conan pun duduk di samping Ran. Seperti biasa, duduk di pinggir ranjang menemani Ran menangis.
Ran pun memeluknya. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di pundak bocah itu.
Tak ada yang dapat Conan lakukan selain balas memeluknya. Ia ingin menangis. Ingin sekali. Ia mengutuk dirinya sendiri yang mendapat takdir sekejam ini.
Bisakah takdir diubah? Kalau bisa, aku ingin merubahnya. Aku tak ingin gadis ini menangis.
Pernah terbesit di pikirannya untuk menghilangkan Shinichi dari pikiran Ran, namun ia membuangnya jauh-jauh. Tidak, ia tidak mau dilupakan oleh gadis yang sangat dicintainya ini. Ia tahu ia egois. Tapi untuk ini, biarlah ia menambah daftar keegoisannya lagi. Setidaknya untuk cinta, ia hanya ingin mereka saling mencintai. Itu saja.
"Conan-kun ... aku sangat merindukannya ...," ujar Ran di sela-sela isakan tangisnya. Iya, aku juga merindukan sosokku yang itu. Sama sepertimu.
Conan terdiam. Tangannya tetap mengelus punggung gadis malaikat ini yang selalu mendadak rapuh jika mengingat nama 'Shinichi'.
"Ran-neechan ... Ran-neechan tenang saja. Aku akan selalu ada di samping Ran-neechan. Jika Ran-neechan ingin menangis, aku tak keberatan meminjamkan bahuku. Menangislah sepuasnya ... kalau itu bisa membuat Ran-neechan sedikit lega..." Yah, sedikit. Takkan pernah benar-benar merasa lega.
"Arigatou ... Conan-kun..." Ran tersenyum samar. Ia terus terisak di bahu bocah itu sampai akhirnya ia jatuh tertidur. Terkadang ia memang seperti ini. Bukan saja fisiknya yang lelah, tapi juga hatinya. Justru hatinya yang sangat lelah.
Tak jauh berbeda dengan bocah yang kini berusaha menidurkan Ran pelan-pelan. Ia tak ingin gerakannya ini membuat Ran terganggu.
Setelah akhirnya gadis itu tidur nyaman di kasurnya, Conan tetap duduk terdiam di sana—seperti biasanya. Memandang wajah gadis yang dicintainya beberapa lama sebelum akhirnya ia beranjak dan pergi tidur.
Conan bergeser sedikit agar bisa melihat wajah gadis itu lebih jelas. Poni-poni yang sedikit menutupi matanya pun ia singkirkan. Tangannya mulai mengelus pelan pipi gadis itu. "Kalau saja takdir bisa diubah... Kau—kita—tidak mungkin seperti ini, kan? Kau tidak perlu menangis karena aku ...," lirihnya dengan suara parau.
Ia memandang wajah Ran sendu. Ia ingin marah. Tapi pada siapa? Pada mereka? Percuma.
Ingin menangis pun tak bisa. Ia harus memasang wajah ceria setiap di depan gadis itu. Harus. Tak ada kata tidak.
Saat sendirian pun, tak ada gunanya meratapi nasib. Toh ia sudah ditakdirkan untuk seperti ini. Kejam? Ya, terlalu kejam menurutnya. Apa ini balasan karena sudah menyebabkan gadis itu terus menangis karena dirinya? Tak bisakah ia menawar takdirnya? Setidaknya, biarkan ia hidup normal menjadi Kudou Shinichi ... walaupun—
—walaupun gadis itu membencinya...
X.x.X
Hari ini, ia sama sekali tak berniat memperhatikan guru. Ia terus saja melamun sambil melemparkan pandangannya keluar kelas.
Warna biru langit yang cerah di sana menarik perhatiannya. Di sana memang cerah, namun tak secerah hatinya. Untuk hari ini, ia tak bisa tersenyum. Sekalipun tersenyum, pasti itu adalah senyum yang dipaksakan.
Ia menoleh untuk menatap orang di sebelahnya. Setelah menginjak SMP, mereka semua tidak lagi duduk sebangku, melainkan sendiri-sendiri. Ah, ia sama sekali tidak memikirkan hal tidak penting seperti itu.
Untuk hari ini, wajah Ran tidak bisa hilang dari benaknya. Ia terus kepikiran gadis itu. Apakah karena semalam? Yah, mungkin saja. Ia mengusap wajahnya lelah.
Tanpa ia sadari, Mitsuhiko sedari tadi memperhatikannya. Ia heran, kenapa hari ini Conan begitu tak bersemangat? Bahkan wajahnya pun terlihat lesu ... dan sedih.
"Conan, ada apa?" tanya Mitsuhiko pelan. Conan mendengarnya, tapi ia malas menjawab. Suasana hatinya sedang kacau.
Cukup lama Conan tidak menjawab sampai akhirnya ia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Mitsuhiko semakin penasaran. Ada apa dengan temannya ini? Kenapa ia tak cerita saja kalau punya masalah?
"Ada masalah?" tanyanya lagi. Dan Conan menggeleng. Karena menurutnya Mitsuhiko akan menanyakan keadaannya lebih lanjut lagi, Conan pun memalingkan wajahnya. Ia berusaha memperhatikan guru yang sedang memberi materi walau tentu saja ia tak membutuhkannya.
"Benarkah?" Conan mengangguk. Mitsuhiko terdiam. Mungkin, Conan sedang ada masalah pribadi, jadi ia tak mau menganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan itu lagi.
Sampai akhirnya bel tanda istirahat pun berbunyi, Conan masih terdiam di bangkunya. Menatap langit biru cerah di luar sana.
"Conan-kun, kau tidak ikut kami ke kantin?" tanya Ayumi.
"Tidak, kalian pergi saja," jawabnya singkat.
"Tapi setelah ini pelajaran olahraga, kalau kau pingsan bagaimana?" tanyanya lagi. Aku tak peduli.
"Aku tak mungkin pingsan. Tenang saja," balasnya.
"Eng ... ta—" Ai pun akhirnya memotong perkataan Ayumi dan membawa mereka semua keluar. Ia tak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan oleh detektif itu, tapi ia bisa menduga kalau ini ada hubungannya dengan gadis itu. Pasti.
Mereka pun pergi. Hanya tinggal Conan sendiri. Hanya ia sendirian. Sesekali suara langkah kaki orang yang berjalan di koridor terdengar sampai ke telinganya.
"Kenapa aku begitu menyedihkan?" bisiknya pada angin. Ia melepas kacamatanya dan memijat pangkal hidungnya. Ia memejamkan matanya. Seharusnya aku tidak membutuhkan kacamata ini. Seharusnya.
"Hah, bodoh..." Ia masih belum bisa menerimanya, sampai detik ini. Meskipun tujuh tahun telah berlalu, takkan bisa. Karena saat itulah, saat di rumah sakit itu, saat Ai memberitahunya, ia merasa dunianya hancur seketika. Hancur bersama harapan-harapan yang telah ia gantungkan selama ini. Pada dirinya sendiri terutama pada gadis itu.
"Shinichi-niichan pasti akan kembali..."
"Shinichi-niichan menyuruh Ran-neechan menunggunya..."
"Jangan khawatirkan tentang Shinichi-niichan..." Dan begitulah. Kalimat-kalimat serupa yang selalu ia tujukan pada gadis itu. Kalimat dengan harapan yang tersirat di dalamnya.
Ia masih bisa mengingat dengan jelas apa yang dikatakan Ai tentang hal itu. Bahkan masih terngiang di telinganya.
"Tenanglah, Kudou-kun. Aku pasti akan membuat penawar permanennya," ujarnya penuh percaya diri. Tapi matanya mengatakan hal lain. Conan dapat melihatnya.
"Mana mungkin. Kau sendiri tidak mengetahui bahan-bahan obat itu, kan?" balasnya pelan. Ai terdiam. Ya, ia memang tidak mengetahuinya. Yang bisa ia buat hanyalah penawar sementaranya saja. Jika ia terus membuatnya dan Conan tetap meminumnya, sistem imunnya pasti akan membuat kekebalannya sendiri. Bisa-bisa ia tak dapat kembali ke tubuh semulanya—walau itu memang benar.
"Tapi aku akan berusaha," entah kenapa nadanya seperti memaksa.
"Percuma. Lupakanlah. Mungkin ini adalah karma karena aku terlalu lama membohonginya. Aku juga sudah tak peduli dengan penawar sementaranya. Sebaiknya kau buang saja," rangkaian kata-kata yang diucapkannya penuh dengan nada keputusasaan.
Ai ingin membantah. Namun ia tak bisa. Ia hanya tak ingin melihat wajah sedih anak itu. Hanya itu. Tidak lebih.
Dan karena permintaan Conan pulalah, Ai menghentikan penelitiannya terhadap obat itu.
Conan melirik jam tangannya. Waktu istirahat masih tersisa sepuluh menit lagi. Ia memutuskan untuk pergi ke kantin. Yah, ia hanya tak ingin pingsan ketika pelajaran selanjutnya nanti.
X.x.X
Ia makan dengan pelan. Seperti tak bersemangat. Teman-teman—Genta, Mitsuhiko, dan Ayumi—yang melihatnya menjadi khawatir. Mereka takut kalau sebenarnya Conan sedang sakit.
"Conan-kun, apa kau sedang sakit?" tanya Ayumi khawatir.
"Tidak. Hanya sedang tidak nafsu makan," jawabnya. Ayumi ingin bertanya lebih lanjut lagi, tapi segera dihentikan oleh Ai sebelum mood anak itu benar-benar memburuk. Ai melirik Conan melalui ekor matanya.
"Kudou-kun, pasti ada hubungannya dengan gadis itu, kan?" bisik Ai. Sejenak, Conan menghentikan kunyahannya. "Ya, begitulah..."
"Dia menangis lagi?"
"Ya." Dan Ai tahu, bahwa Conan sama sekali tidak ingin pembicaraan ini dilanjutkan.
X.x.X
"Tadaima~!" seru Conan saat memasuki rumahnya. Terlihat di sana Ran yang sedang menonton TV dan Kogoro yang asyik menghabiskan birnya.
"Okaerinasai!" balas Ran disertai senyuman. Conan mengganti sepatunya dengan sandal rumah dan duduk di samping Ran. Ia melepas tasnya dan memejamkan matanya. Ia mengantuk. Entah kenapa aktifitas hari ini di sekolah benar-benar membuatnya lelah.
"Eng ... Conan-kun? Ada apa? Kau terlihat lelah sekali," kata Ran. Conan membuka matanya dan menatap Ran. Sembari menunjukkan cengiran khasnya, ia pun menjawab, "Nandemonai, Ran-neechan. Ah ya, hari ini pelajaran olahraga cukup menguras tenaga."
"Oh, begitu," Ran menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Kau ingin dibuatkan apa?"
"Hm?" gumamnya tanpa sadar. "Terserah Ran-neechan saja. Karena aku lapar, aku pasti akan memakan apa saja!"
Ran tertawa pelan. Ia pun tersenyum sebelum akhirnya berdiri. "Baiklah, bagaimana kalau sushi?"
Conan mengangguk semangat. "Ya!"
X.x.X
Selalu. Demi gadis itu, demi melihat senyum di wajahnya, ia rela melakukan apapun. Termasuk menyembunyikan perasaannya. Tak boleh terlihat sedih di depannya, itu akan membuatnya menjadi khawatir. Tak boleh memasang wajah murung, karena gadis itu pasti akan menanyakannya. Ia hanya boleh ditakdirkan untuk tersenyum. Bocah itu.
Ditakdirkan untuk selalu tersenyum di hadapannya agar ia tak bersedih. Ditakdirkan untuk menghiburnya dikala ia bersedih. Tak ada. Tak ada sejarahnya ia diperbolehkan bersedih. Tak ada. Karena mau bagaimanapun juga, ia adalah Conan.
Edogawa Conan yang harus selalu tersenyum untuk Mouri Ran...
X.x.X
Sejak pagi tadi Ran terlihat aneh. Wajahnya pucat dan ia bilang kalau tubuhnya terasa lemas. Ditambah lagi sejak tadi malam ia memang belum makan. Padahal ia ada jadwal berlatih untuk menghadapi kejuaran yang diadakan dua bulan lagi. Memang masih lama, tapi ia harus mempersiapkan diri sejak sekarang. Tak boleh bolos latihan karena sakit.
Dan di sinilah Conan. Duduk di pinggir ranjang Ran sambil memandangnya cemas. Pasalnya, Ran seperti sudah benar-benar kehilangan tenaganya. Ditambah Kogoro yang malah pergi bersama teman-temannya. Conan merasa bahwa ia harus mengurus kakaknya ini daripada pergi ke sekolah.
"Bagaimana perasaanmu sekarang, Ran-neechan?" tanya Conan khawatir. Ran mengangguk lemah. Ia tersenyum samar melihat kekhawatiran Conan.
Ran berusaha berbicara walau tenggorokannya terasa kering. Dan alhasil yang keluar malah lebih tepat disebut bisikan. "Kenapa kau tidak berangkat?"
Ran berusaha bangkit dan duduk bersender. Conan mengambilkan Ran segelas minuman di meja belajarnya. Ran menerimanya dan menghabiskan seperempatnya. Setelah itu, ia memberikannya lagi pada Conan dan Conan menaruhnya kembali. Oh, rasanya tenggorokannya tidak kering lagi.
Conan menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin kutinggalkan Ran-neechan dalam keadaan seperti ini?" katanya khawatir.
Ran tersenyum lemah mendengarnya. Adiknya ini benar-benar perhatian padanya. Ia mengangkat tangannya dan mengelus pelan rambut adiknya, mengabaikan fakta bahwa pipi adiknya itu mulai dijalari rona merah. "Terima kasih..."
Conan tersenyum lembut. "Itu sudah kewajibanku."
"Ah, Ran-nechan kuambilkan sarapan, ya?" tawar Conan. Meskipun menawar, sepertinya Conan tak menerima penolakan. Sebelum Ran menjawabnya, ia sudah beranjak dan mengambilkan Ran jatah sarapannya.
Ia kembali duduk di pinggir ranjang dengan semangkuk nasi di tangannya dan lauk pauk yang ditaruh di kursi yang ia tarik mendekat. Ia bersiap menyuapi Ran. "Ran-neechan harus makan kalau tidak mau sakitnya bertambah parah."
"Aku tidak sakit, Conan-kun," bantah Ran. Conan mengernyitkan dahinya. Sudah jelas-jelas Ran itu sakit. Masih mau menyangkalnya juga?
"Aku hanya kelelahan saja. Dan berlebihan," ujarnya sambil tersenyum samar.
"Itu sama saja. Gara-gara Ran-neechan kelelahan, sekarang Ran-neechan jadi sakit, kan? Sudahlah, jangan banyak bicara dulu. Ayo dimakan," ujarnya sambil menyuapkan nasi pada Ran. Ran tersenyum samar dan membuka mulutnya.
Conan tersenyum tipis. Ia sangat khawatir tadi saat melihat kondisi Ran yang parah. Manalagi tadi ia hampir pingsan. Syukurlah, ia pikir Ran akan menolak suapannya. Tapi ternyata tidak.
"Ayo lagi," kata Conan. Ran tersenyum melihat perhatian yang diberikan olehnya ini. Rasanya ia benar-benar diperhatikan oleh adik satu-satunya ini.
Tadi, sesaat, saat ia mengerjapkan matanya, bayangan Shinichi muncul di hadapannya. Namun setelah ia benar-benar sadar, ternyata itu adalah Conan. Ia sedikit kecewa, tapi itu juga adalah hal yang tak mungkin.
Ya, tidak mungkin. Karena Conan bilang padanya kalau Shinichi—
—Kudou Shinichi telah mati. Tewas atas kasus yang selama ini ditanganinya. Kasus apa itu Ran pun tak tahu.
Dan saat ia mendengarnya pertama kali dari bibir Conan, rasanya ia seperti mau pingsan saja.
X.x.X
Kembali. Ia memandangi langit malam sembari berharap bahwa orang yang ia tunggu segera datang mengunjunginya. Hey, tak tahukah kau betapa ia begitu merindukanmu?
Ia ingin bertemu. Walau sebentar pun tak apa.
Ia ingin mendengar suaramu. Ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja.
Ia ingin. Ingin sekali.
Dan ia ingin menangis untuk saat ini. Lemah? Tidak, ia sebenarnya gadis yang kuat, gadis yang tegar. Hanya mendadak lemah jika ingat akan orang yang dicintainya. Itu saja.
Tanpa sadar air matanya pun menetes, tanpa ada niatan untuk menghapusnya. Ia biarkan saja air mata itu menetes. Ia ingin menangis.
Tiba-tiba pintu kantor pun terbuka. Dan di sana tampaklah siapa yang membuka pintu kantor yang sudah sengaja Ran tutup tadi.
Seorang bocah bernama Edogawa Conan yang kini berjalan pelan menghampirinya.
Tahu siapa yang datang, Ran pun segera menghapus air matanya. Ia tak ingin ketahuan menangis oleh Conan. Karena setiap ia menangis, pasti ia akan melihat ekspresi itu. Ekspresi kompleks yang Ran pun tak tahu apa arti di baliknya. Dan yang terpenting, kenapa Conan memasang ekspresi seperti itu.
"Ah, Conan-kun. Belum tidur?" Ran pun berusaha membuat suaranya senormal mungkin.
Conan menggeleng. Dan kini ia berhenti tepat di depan Ran. "Ran-neechan juga?"
Ran mengangguk. "Kenapa belum tidur?"
Bukannya menjawab, Conan malah balik bertanya pada Ran. Dan pertanyaannya ini sungguh berbeda dengan topik yang dibahas sebelumnya. "Ran-neechan ... menangis ...?"
Ran menggelengkan kepalanya dan berusaha tersenyum. "Tidak kok. Aku tidak menangis."
"Bohong," potong Conan cepat, "Ran-neechan pasti menangis, kan? Pasti karena Shinichi-niichan, kan?"
"Aku tidak menangis. Percayalah," kata Ran berusaha menyembunyikan suaranya yang bergetar saat nama Shinichi disebut. Ah, lagi-lagi. Lagi-lagi anak itu membuat ekspresi yang tak bisa Ran artikan sama sekali. "Kenapa tidak jujur padaku saja? Kenapa?"
Ran terdiam. Ia tersentak mendengar pertanyaan anak itu. Ia hanya tidak ingin. Tidak ingin—
Ran menunduk sampai poninya menutupi sebagian wajahnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangisnya. "Kau selalu saja bisa menebaknya. Kenapa? Aku hanya tidak ingin terlihat lemah. Aku tidak ingin terlihat sebagai gadis yang lemah. Di depan siapapun, termasuk di depanmu, Conan-kun. Walaupun aku tahu, tindakanku itu sia-sia. Karena mau bagaimana pun juga, kau sudah sering melihat air mataku."
—terlihat lemah.
Tapi usahanya sia-sia. Air matanya kembali turun menyusuri pipinya. Suara isakan-isakan kecil pun mulai keluar dari bibirnya.
Conan meringis sedih. Ia melangkahkan kakinya lebih dekat lagi pada Ran. Ia mengangkat tangannya dan mengusap air mata Ran pelan. Pelan dan lembut. Kedua tangannya kini menangkup wajah Ran dan jari-jarinya kini sibuk menghapus air mata Ran.
Ran tersentak saat apa yang dilakukan oleh adiknya itu. Tapi entah kenapa ia merasa nyaman. Biarlah, biarlah Conan menghapus air matanya. Untuk pertama kalinya.
"Ran-neechan ... Ran-neechan tidak perlu menangis ...," kata-kata yang terdengar ambigu di telinga Ran. Namun ia terdiam, saat dirasanya Conan belum menyelesaikan omongannya. "Ran-neechan, tidak perlu menangisi pria itu lagi..."
Ran mendongakkan wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Ia menatap Conan dengan pandangan tidak mengerti. "Karena ... karena..."
Conan tak dapat mengucapkannya. Semua kata-katanya seolah tertahan di sana. Dan kalau dipaksakan keluar, rasanya pasti pahit. Pahit sekali.
Conan menurunkan tangannya. Ia menatap mata Ran dalam. Karena ... pria yang kau tunggu sudah tidak ada lagi... Dia sudah mati...
"Karena apa, Conan-kun?" tanya Ran penasaran. Bisakah? Bisakah aku mengatakannya?
"Karena ...," lagi-lagi kalimatnya menggantung. Ran semakin penasaran akan apa yang akan Conan ucapkan padanya. Apa? Kenapa aku tidak boleh menangisi dia lagi?
"Karena ia tidak usah Ran-neechan tunggu lagi," dan Conan mengabaikan hatinya yang terasa teriris-iris saat ia mengatakannya. Ia tahu, bahwa gadis di hadapannya ini pasti sedang terkejut mendengar perkataannya. Ia menunduk.
Ran terdiam. Ia masih merasa kalau Conan belum selesai bicara. Jadi ia memutuskan untuk menunggu.
Cukup lama mereka terdiam. Hanya suara detik jam dan kendaraan di luar yang mengisi keheningan di antara mereka. Ran menatap Conan, ia menuntut Conan untuk menyelesaikan omongannya. Sedangkan Conan, ia tetap menunduk. Antara ragu dan tidak untuk mengatakannya.
Conan membuka mulutnya. Ia bersiap atas segala konsekuensinya. Ya, harus siap. Kumohon, aku hanya tidak ingin membuatnya bersedih. "Karena Kudou Shinichi—"
"Ya?"
"—sudah mati." Dua kata yang mampu membuat Ran terdiam membeku. Ia masih tidak percaya atas apa yang baru saja di dengarnya. Mati? Shinichi mati? Kudou Shinichi mati? Benarkah? Apa ini lelucon?
"Co—"
"—aku tidak berbohong, Ran-neechan. Dia sudah mati. Tewas atas kasus yang selama ini ditanganinya." Dan rasanya dunia Ran sekarang berputar tepat di depan matanya.
Tiba-tiba keseimbangannya hilang dan ia hampir terjatuh, kalau saja Conan tidak segera menangkapnya. Conan membawa tubuh itu ke sofa di sana dan ia duduk di sampingnya. Ia menggenggam tangan gadis itu erat. "Ran-neechan ... maafkan aku..."
Masih dalam keadaan setengah percaya dan setengah tidak, Ran pun menjawab, "Bukan salahmu, Conan-kun."
Tapi kemudian, mata gadis itu kembali memanas. Ia ingin menangis. Ingin teriak sekencang mungkin bahwa hal itu bohong. Tidak mungkin Shinichi mati. Kalau begitu, selama ini ... penantiannya terhadap orang itu adalah ... sia-sia?
Isakan-isakan, tidak, bahkan tangisan yang lebih dari sekadar isakan pun mulai terdengar. Ran membekap mulutnya dengan tangan yang satunya, berusaha meredam tangisannya walau tak berhasil.
"Shinichi ... tidak mungkin ... tidak mungkin ...," racaunya. Ia menarik tangannya dari genggaman Conan dan menenggelamkan wajahnya dalam kedua tangannya. Seluruh tubuhnya benar-benar bergetar. Ia benar-benar tidak percaya akan hal ini. Karena ia rasa bahwa ini tidak mungkin.
Conan menunduk dalam. Ia terus bergumam dalam hati. Maaf. Maaf. Maaf.
Tiba-tiba suara tangisan itu pun tak terdengar lagi dan Conan merasakan bahunya tertimpa beban yang berat. Ia menoleh dan mendapati bahwa Ran telah pingsan.
Tsuzuku
Saya telah kembali dari hiatus dan comeback dengan fic ini. Suatu kehormatan kembali pada fandom pertama. Apa kalian masih mengingatku haha
