Disclaimer: I just own the story, not the characters.
Pairing : Draco/Ginny, Harry/Hermione, Ron/Luna.
Please read and review xD
That Girl
"Mum, haruskah aku ikut?" sekali lagi anak lelaki itu bertanya pada ibunya yang sedang asyik berdandan walau menurut anak itu ibunya sudah cantik tanpa perlu dipoles lagi. Sang ibu menoleh pada putranya yang jelas-jelas terlihat tidak suka dengan keikutsertaannya dalam sebuah pesta yang diadakan oleh kementrian.
"Kau harus ikut Draco, kau dengar sendiri kan ayahmu ingin memperkenalkanmu pada semua relasinya," jawab Narcissa lembut.
Draco kecil cemberut, ia lebih memilih diam di rumah daripada berhadapan dengan teman-teman ayahnya atau dengan orang-orang asing yang tidak dikenalnya. Tapi ia tau, sebagai pewaris tunggal kekayaan keluarga Malfoy, ia harus bergaul dengan orang-orang yang tepat. Orang-orang yang akan memberikannya keuntungan dalam berbagai segi. Draco sudah paham itu semua walau usianya baru 8 tahun. Lucius memang memberikan pelajaran tentang semua itu sejak Draco masih sangat kecil, Lucius sering mengingatkannya untuk tidak bergaul dengan orang-orang yang berada di kasta yang lebih rendah darinya.
"Kau bisa bertemu teman-temanmu di sana kan Draco," hibur Narcissa, tapi Draco tidak terlalu senang bertemu dengan teman-temannya. Menurutnya, Pansy, Blaise, Crabbe dan Goyle terlalu sombong dan bodoh untuk menjadi temannya. Tapi anak-anak bodoh dan sombong itu adalah teman yang disarankan oleh ayahnya. Dan Draco tidak ingin mengecewakan ayahnya.
"Yah, aku bisa bertemu mereka," gumam Draco yang lebih terdengar seperti keluhan.
Narcissa tersenyum, ia sendiri juga tidak suka mengikuti pesta-pesta seperti ini saat ia seumur Draco. "Sabarlah Draco, hanya untuk semalam. Nanti Mum akan membujuk ayahmu membelikan sapu baru untuk hadiah natal,"
Dan senyum pun mengembang di wajah Draco.
.
.
.
"Ingat Draco, bertingkahlah seperti seorang Malfoy. Jangan sekali-kali mempermalukan keluarga kita," ujar Lucius sebelum mereka memasuki Hall.
Draco mengangguk mengerti, ia menaikkan dagunya dan mulai berjalan mengikuti ayahnya.
Lucius langsung mengenalkan Draco pada orang-orang yang berpengaruh di sana.
"Ah jadi ini Malfoy muda yang sering Lucius ceritakan," ujar Menteri sihir—Cornelius Fudge—sambil tersenyum lebar pada Draco yang jelas ingin segera melarikan diri dari sana, tapi tatapan Lucius membuatnya urung melarikan diri dan hanya mengangguk kecil pada sang Fudge, sikap yang sebenarnya membuat Draco terlihat angkuh dan sombong.
Draco menebar pandangan ke sekeliling, ia melihat Pansy sedang asyik mengobrol dengan anak-anak perempuan lagi sambil sesekali terkikik, melihat itu Draco malas mendekatinya. Padahal Pansy adalah temannya yang menurut Draco lebih pintar daripada Crabbe, Goyle atau Blaise. Dan Draco jelas tidak ingin mendekati mereka bertiga, tapi setidaknya dengan mereka tidak terlalu membosankan dibandingkan membicarakan hal berbau politik di sini.
"Dad, apa kau keberatan jika aku bergabung dengan Crabbe, Goyle dan Zabini?" tanya Draco hati-hati, Lucius yang sedang asyik mengobrol menoleh pada putranya.
Tatapan tajam Lucius membuat Draco menelan ludah, tapi ia berusaha tetap terlihat tenang. "Pergilah Draco dan jangan mengacau,"
Cepat-cepat Draco mengangguk singkat pada ayahnya dan segera meninggalkan tempat itu.
"Hey Draco!" sapa Blaise riang, Draco tidak menjawab, ia langsung duduk di samping Blaise.
"Pesta yang menyebalkan dan membosankan," keluh Draco.
Blaise tertawa, "Yah kau benar Draco, seandainya kita diperbolehkan bermain sapu di ruangan sebesar ini,"
Ujung bibir Draco melengkung membentuk senyuman—well, seringai yang semakin menguatkan penampilannya yang sudah terlihat sombong dan arogan, membuatnya semakin mirip dengan Lucius.
"Mana Crabbe dan Goyle?" tanya Draco.
Blaise mengangkat bahu. "Kau tau mereka, paling juga ada di meja makanan,"
Tiba-tiba mata Draco menangkap sosok anak perempuan yang baru pertama kali dilihatnya. Seorang anak perempuan berambut merah yang tengah berdiri sendiri di tengah Hall, sepertinya ia terpisah dari orangtuanya atau siapapun yang membawanya serta.
Draco bisa melihat Pansy dan anak-anak perempuan lain melihat anak itu dengan tatapan mencela sambil sesekali terkikik. Draco akui penampilannya tidak semewah penampilan Pansy dan gengnya, ia hanya memakai gaun sederhana, bahkan terlalu sederhana sehingga cocok untuk dipakai tidur. Tapi Draco merasa ada sesuatu yang berbeda dari anak itu, entah apa, hanya saja ada yang berbeda.
Seorang anak laki-laki menghampirinya, mereka berbicara sebentar lalu anak laki-laki itu menariknya pergi. Anak laki-laki itu berambut merah juga dan mengenakan pakaian yang kelewat sederhana juga, Draco bisa menyimpulkan mereka kakak-adik atau sepupu, yang jelas satu keluarga dan jelas bukan dari keluarga seperti dirinya.
"Aku tidak tau mereka mengundang Weasley," gumam Pansy yang entah sejak kapan duduk di samping Draco.
"Siapa?" tanya Draco.
Pansy menunjuk anak perempuan dan anak laki-laki yang sejak tadi di perhatikannya, kedua anak itu sudah bergabung dengan dua orang dewasa yang juga berambut merah dan berpakaian sederhana yang Draco asumsikan sebagai orangtuanya.
"Weasley dengan tujuh anak itu? Yang semuanya berambut merah?" tanya Blaise dengan kedua alis terangkat.
Pansy memutar matanya, "Apa ada Weasley lain?"
Blaise mengangkat bahu, "Kukira pesta ini hanya untuk kalangan atas saja, aku tidak tau mereka juga mengundang penyihir rendahan,"
Mata Draco membulat, dia ingat cerita ayahnya tentang siapa itu? Ather? Amer? Ah ya, Arthur. Arthur Weasley yang kata Lucius sangat terobsesi dengan Muggle, Lucius sering merendahkan Arthur—well, semua keluarga Weasley sebenarnya dan mengatakan pada Draco bahwa keluarga Weasley tidak pantas untuk keluarga Malfoy.
"Yah untungnya mereka tidak membawa semua anak mereka atau semua makanan di sini bisa habis oleh mereka!" gurau Pansy, Blaise tertawa mendengarnya. sedangkan Draco? Menurutnya lelucon itu agak kasar dan tidak lucu, tapi ia tidak berkomentar. Matanya masih menatap gadis kecil itu.
"Oh Draco! Jangan bilang kau tertarik dengan gadis Weasley itu!" kata Blaise dengan seringai menyebalkan menghiasi wajahnya.
Draco mendengus, "Tentu saja tidak. Aku hanya berpikir jika itu baju terbagus yang mereka kenakan seperti apa baju terburuk yang mereka punya,"
Merlin! Kenapa aku bisa berkata sekasar ini? pikir Draco.
Blaise dan Pansy tergelak mendengar kata-kata Draco. "Kau benar Draco, aku berani bertaruh baju mereka lebih buruk dari baju peri-rumah," kata Pansy, Blaise masih tertawa, ia mengangguk setuju mendengar pendapat Pansy.
Sampai pesta berakhir Draco tidak pernah tau siapa nama anak perempuan itu dan sampai pesta berakhir juga mata Draco sulit lepas dari sosoknya. Mungkinkah aku menyukainya? Draco menggeleng cepat, anak itu seorang Weasley. Seorang Weasley tidak pantas untukku, untuk putra pewaris kerajaan Malfoy. Berkali-kali Draco menanamkan pikiran itu di benaknya.
Seorang Weasley tidak pantas untuk seorang Malfoy sepertiku.
.
.
Beberapa hari berlalu sejak hari itu, Draco masih sering memikirkan gadis Weasley itu. Rambut merah terang yang membuatnya terlihat menyolok di antara semua orang membuatnya sulit untuk dilupakan. Beberapa kali Draco menanam pikiran bahwa seorang Weasley tidak cocok untuk seorang Malfoy setiap kali gadis itu muncul di pikirannya.
Seperti hari ini, Draco berusaha mengalihkan perhatiannya pada eskrim Florean Fortescue yang ada di hadapannya. Draco sedang menunggu orangtuanya berbelanja untuk keperluan Natal sementara Draco menghangatkan diri dengan eskrim di hadapannya. Mungkin kalian bingung kenapa es krim bisa menghangatkannya, tapi ya, inilah dunia sihir, segalanya mungkin.
Draco membolak-balik majalah Quidditch yang baru dibelinya sebelum ia memasuki Florean Fortescue, ia memperhatikan jenis-jenis sapu yang baru dikeluarkan tahun ini. Dan yang paling menarik perhatiannya adalah Nimbus '98, sapu terbaru dan tercepat saat ini. Semoga sapu ini yang dibelikan ayahnya untuk hadiah natal.
Klining.
Draco menoleh ke arah pintu masuk dan melihat segerombolan anak berambut merah memasuki Florean Fortescue. Ia mengenal satu di antara mereka, anak laki-laki yang ia lihat di pesta beberapa hari yang lalu. Weasley, pikir Draco. Tapi Draco tidak bisa melihat anak perempuan itu, yang ia lihat hanyalah enam anak laki-laki yang semuanya berambut merah terang.
"Uang yang dikasih Mum hanya cukup untuk membeli 3," gumam seorang anak yang bertubuh paling besar sambil menghitung koin di tangannya.
"Huh, kenapa kita tidak pernah bisa mendapatkan satu untuk setiap orang," keluh anak yang paling muda.
"Sudahlah Ron, kau tau kita bukan orang kaya," ujar anak paling besar.
"Satu eskrim untuk berdua kalau begitu. Bill dan aku, Percy dan Fred, George dan Ron," gumam salah satu anak yang juga terlihat lebih tua dibanding empat lainnya.
"Apa? Aku tidak mau berbagi dengan Percy! Dia pelit! kau tidak bisa melakukan ini padaku Charlie!" protes salah satu dari si kembar.
"Hei! Aku tidak pelit!" elak anak bernama Percy.
"Sepertinya lebih baik Fred bersamaku dan Ronnie dengan Percy!" usul kembarannya yang—Draco pikir—bernama George.
"Sepertinya lebih baik begitu," gumam Bill.
Charlie menghela nafas, "Terserah kalianlah!"
Menit berikutnya mereka ribut menentukan es krim rasa apa yang akan mereka pesan. Sangat ribut sampai membuat Draco jengkel dan menatap tajam pada kerumunan itu.
Setelah cukup lama berdebat dengan pilihan rasa dan partner berbagi, akhirnya mereka bisa lebih tenang dan mulai memakan eskrim masing-masing. Hanya beberapa saat, sampai mereka kembali ribut.
"George! Kau makan lebih banyak!"
"Kau pelit sekali Percy!"
"Bisakah kalian tidak ribut! Memalukan!"
Draco menutup telinga dengan kedua tangannya, tapi itu tidak cukup untuk meredam suara ribut mereka yang duduk tidak jauh darinya. Draco menutup telinganya semakin rapat, tanpa menyadari siapa yang sudah masuk ke dalam Florean Fortescue.
"Nak," Draco mendongak ketika seseorang menepuk bahunya, ia mengenalinya sebagai Arthur Weasley. Arthur tersenyum pada Draco, "Maaf kalau anak-anakku mengganggumu nak," ucap Arthur.
Draco hanya mengangguk kaku, sementara matanya menangkap anak perempuan itu, berlindung dibalik ayahnya sambil menatapnya penasaran. Mata cokelatnya memandang lurus pada mata kelabu Draco. Membuat Draco tidak bisa mengalihkan pandangannya sesaat.
"Aku tidak berharap bertemu denganmu di sini Arthur," suara dingin itu membuat Arthur mendongak, begitu pula Draco yang terkejut melihat ayahnya menatap dirinya tajam.
"Aku juga tidak berharap bertemu denganmu di tempat seperti ini Lucius," kata Arthur sama dinginnya, Draco bisa merasakan permusuhan yang amat sangat di sini.
Lucius menyeringai, "Aku tidak akan kemari jika putraku tidak ada di sini, Arthur,"Lucius mengalihkan pandangannya pada Draco, "Kita pulang Draco," ajaknya. Dengan cepat Draco bangkit dan menghampiri Lucius.
"Jadi dia putramu," kata Arthur pelan, suara ramah yang tadi Draco dengar sudah tidak berbekas lagi.
"Ya, dia putraku, Draco. Kurasa aku sudah tidak ada keperluan lagi di sini," ujar Lucius yang langsung berbalik tanpa berkata apapun lagi. sementara Draco sempat mengangguk kaku pada Arthur dan menatap gadis kecil itu sekilas sebelum pergi bersama Lucius dan Narcissa.
.
.
.
"Untuk apa kamu berbicara dengan orang-orang seperti itu Draco? Kau sengaja mau mempermalukan keluarga kita?" tanya Lucius berang.
Draco yang duduk di sofa merasa sangat kecil dan tidak berdaya di depan ayahnya yang marah. "Aku tidak berbicara dengan mereka, mereka yang berbicara padaku—"
"Seharusnya kau tidak perlu memperdulikan mereka, apa kata orang-orang kalau kau bergaul dengan orang macam Weasley!" keluh Lucius, Draco hanya tertunduk.
Narcissa yang duduk di samping Draco mengalungkan tangannya ke pundak putranya, "Sudahlah Lucius, kurasa Draco tidak mungkin mempermalukan keluarga kita," kata Narcissa membela putranya.
"Kenapa kau selalu membelanya Narcissa?" Lucius berbalik pada Narcissa.
"Lucius, aku tidak membelanya. Aku hanya mengatakan apa yang kupercaya," jawab Narcissa dengan tenang.
"Sudahlah Mum, Dad benar. Aku sudah mempermalukan keluarga kita," ujar Draco pelan.
Lucius menatap Narcissa dengan penuh kemenangan, "Lihat? Anak kita sendiri menyadarinya,"
"Lucius! Dia hanya anak-anak, sudahlah jangan diperpanjang lagi!"
Lucius menatap istrinya dengan tatapan tidak setuju, tapi ia berbalik dan pergi meninggalkan mereka. Detik berikutnya terdengar pintu tertutup dan suara pop pelan. Lucius pergi meninggalkan Malfoy Manor.
"Kau tau, ayahmu berlebihan untuk hal yang satu ini," kata Narcissa lembut sambil merangkul putranya lebih erat.
Draco menghela nafas, "Bagaimana kalau dia benar? Bagaimana kalau aku benar-benar mempermalukan atau akan mempermalukan keluarga Malfoy?" tanya Draco dengan cemas.
Narcissa mendesah pelan, "Mum percaya kau tidak akan mempermalukan keluarga kita Draco. Bahkan aku yakin kau akan membuatku dan ayahmu bangga,"
Draco tidak menanggapi hiburan ibunya, dia tenggelam dalam pikiran yang biasanya hanya ada di pikiran orang dewasa, bukan anak-anak seumurannya. Narcissa menatap putranya iba, dia mengecup kepala Draco sebelum bangkit dari kursinya.
"Jangan terlalu di pikirkan Draco, pergilah bermain bersama teman-temanmu dan bersenang-senang," usul Narcissa lembut. Draco mengangguk, hanya untuk membuat ibunya tidak khawatir.
Baru setelah ibunya pergi, Draco bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke taman. Dimana Draco berjanji pada dirinya sendiri dia akan menjadi putra yang diidamkan ayahnya, dia hanya akan bergaul dengan orang-orang yang tepat, dia akan menjadi pewaris yang dibanggakan keluarganya. Dia akan melupakan gadis Weasley itu dan tidak pernah memikirkannya lagi.
Draco Malfoy akan menjadi seorang Malfoy yang seharusnya.
well, bagaimana menurut kalian?
menurutku sih lumayan #plak!
budayakan read and review ya kawan-kawan xD
