The Wedding Path
Path 1: GO! Bucking-Horse!
Pairing : Dino x Girl!Hibari
Genre : Romance – Humor
Rate : T
Dididik dengan keras oleh Dino tidak membuatnya rendah diri. Malah, dia menantangnya kembali walaupun sudah berkali-kali dibuat jatuh terbaring oleh Dino.
Dino Cavallone, pemimpin Cavallone Famiglia kesepuluh, menempati urutan ketiga teratas di jajaran top mafia, mempunyai julukan Bucking-Horse Dino, serta merupakan murid yang diajari oleh Reborn sebelum Tsuna.
"Bersiaplah untuk kugigit sampai mati."
Hibari Kyouya, yang dalam pertarungan kali ini juga dikalahkan oleh Dino, mengeluarkan ancaman khas-nya.
Dino, yang kini tengah menggulung cambuk, tersenyum menyeringai kepadanya. "Oh? Itukah kata-kata yang keluar dari orang yang kalah?" pancingnya, dan melanjutkan, "Aku tak keberatan untuk meladenimu lagi, tapi sayangnya aku harus melihat keadaan orang-orangku terlebih dulu."
"Bisa lakukan nanti," kata Hibari, mencoba berdiri dengan kedua kakinya namun gagal. Dino berjalan ke arahnya dan berlutut di depannya. Kemudian Dino mengeluarkan sapu tangan dari dalam kantung celana baggy-nya.
Dia membersihkan wajah Hibari yang yang terkena sedikit bercak darah dengan sapu tangannya. Sambil membersihkan wajah Hibari, dia berkata, "Sebelumnya, kau harus istirahat yang cukup."
"Aku bukan anak kecil," protes hibari tenang, namun sambil menampik tangan Dino dari wajahnya.
Dino cuma senyum-senyum.
"Apa?"
"Hmm, sudah kuduga kau akan berkata begitu," tutur Dino. "Akan tetapi," dia melanjutkan, "kesehatan juga penting untuk seorang ketua komite kedisiplinan sepertimu, bukan begitu Kyouya?"
Hibari memikirkannya sejenak. "...Huh," pada akhirnya, "Jangan panggil namaku seenaknya."
"Bagus!" teriak Dino girang tanpa mengindahkan kata-kata Hibari. Yeah, aku tahu dia akan setuju jika berhubungan dengan sekolah. Dino beranjak berdiri dan mengulurkan tangannya pada Hibari, "Bisa berdiri?"
"Aku bisa sendiri," dia menampik tangan Dino untuk yang kedua kali (Dino nyengir lagi) dan berdiri sendiri. Hibari berusaha menyeimbangkan berat badannya yang masih lemah di atas kedua kakinya namun kakinya goyah dan dia bergerak jatuh.
Dino dengan sigap menangkap dan menahannya.
"Oops, hampir saja," Dino menghela nafas. "Kau kenapa, sih? Dari tadi kuperhatikan sepertinya ada yang a—"
Wajah Dino yang tadinya heran tiba-tiba berubah jadi pucat pasi, "—neh?"
Sekujur tubuhnya sekarang dibasahi keringat dingin yang mengalir deras, badannya pun kaku.
Pe-perasaan ini... tidak, tidak! Tidak mungkin. Pasti hanya khayalanku saja, tapi...
Dengan ragu, Dino mempererat lengannya yang melingkari daerah dada Hibari. Dan akhirnya yakin itu bukan sekedar khayalan.
Akhirnya, setelah beberapa detik yang gila, Dino memberanikan diri bertanya:
"Kau... kau ini..."
Hening, pause sejenak demi menelan ludah.
...
"—perempuan... ya?"
Hibari, yang tetap berwajah tenang, menatap Dino yang pucat dan gemetaran. Dino menelan ludah ketika Hibari menggerakkan mulutnya, "Aku tak pernah bilang kalau aku laki-laki," katanya, "dan kau juga tidak pernah tanya."
Dengan gugup, Dino membantunya berdiri dengan benar, "Ta... tapi tak pernah kukira—maksudku, bagaimanapun kau tampak seperti anak laki-laki biasa..."
"Maksudmu adalah, secara fisik aku tidak punya garis tubuh yang menunjukkan bahwa aku adalah perempuan, bukan begitu?" kata Hibari sambil berjalan menuju pintu untuk turun dari atap sekolah.
Dino gelagapan dan segera menggelengkan kepalanya dengan panik, "Tidak! Bukan—"
"Hmm, aku tidak pernah menyangkal bahwa aku terlihat seperti laki-laki," potong Hibari, "Justru ini menguntungkan. Dan besok... bersiaplah untuk kugigit di depan para anjingmu." Ancaman meluncur kembali dari mulutnya ketika dia membuka pintu.
"Hei, tung—!" seru Dino, namun pintu sudah tertutup bersamaan dengan suara klik pelan. Dan dari dalam gedung Hibari dapat mendengar erangan Dino yang terdengar seperti 'Anak satu itu! Argh!'
Hibari berjalan menuruni tangga sambil menahan gejolak rasa sakit di perutnya yang bagaikan ditarik-tarik dengan kait. Kepalanya pun terasa berat, keringat mulai mengalir di tubuhnya, dan kali ini, wajahnya memucat.
"Tsk," ucapnya sambil berpegangan pada pegangan tangga, "kenapa di saat begini."
-------o0o-------
Besoknya, mereka berdua kembali berada di atap sekolah. Hibari tanpa berbasa-basi mulai menyerang Dino dengan kedua tonfa andalannya. Mau tidak mau Dino harus melawannya walaupun dia mempunyai rasa penasaran yang hebat atas kenyataan yang baru kemarin diketahuinya.
Yah... pertanyaan bisa ditunda nanti setelah pertarungan selesai, sekarang adalah waktunya untuk serius bertanding.
Walau begitu... pikir Dino dengan rasa bersalah yang tidak jelas, setelah tahu kalau dia perempuan, aku jadi tidak bisa melawannya sungguh-sungguh—well, selama ini juga tidak sungguh-sungguh, sih...
Dino menghindar dari pukulan yang dilancarkan Hibari dan langsung membelit salah satu kaki Hibari dengan cambuk kemudian menariknya.
"...!!"
Terdengar suara metal yang berbenturan dengan lantai serta suara erangan tipis, menandakan bahwa Hibari terjatuh.
"Ah!" Dino tersentak kaget karena apa yang telah diperbuatnya. Celaka! Tak kusangka dia akan terjatuh!
Dino lari kepadanya yang sekarang ini sedang berusaha untuk duduk di tempatnya, "Kyouya! Kau tidak apa-apa?!" tanyanya dengan wajah yang dipenuhi rasa cemas. Selain itu, dia merasa aneh karena serangan seperti tadi seharusnya bisa dihindari oleh Hibari dengan mudah seperti biasanya.
"..."
"Kau terluka? Atau kau sedang tidak dalam kondisi prima?" tanya Dino serius, "Kalau begitu, pertarungan kali ini sampai disini saja."
"Diskriminasi."
"Eh?" Dino tertegun.
"Begitu kau tahu aku perempuan, kau jadi tidak bertarung dengan sungguh-sungguh," kata Hibari dengan tatapan seperti serigala yang ditujukan pada Dino, "Berencana menyangkal?"
Dino yang tertegun mendengar pernyataan sekaligus tantangan dari Hibari tersebut perlahan kini kembali berwajah serius sambil tersenyum. "Benar katamu. Ketika aku tahu kau ini perempuan, aku jadi tidak bisa bertarung sungguh-sungguh," sedikit bohong, dan kemudian menambahkan dengan humor, "aku ini, 'kan, seorang gentleman. Hahaha..."
"Kugigit..."
"Wah, jangan bilang begitu, dong," kata Dino sambil meringis. "Walau begitu, Kyouya, biarpun tadi aku tidak sungguh-sungguh, seharusnya kau bisa mengatasi seranganku dengan mudah. Aku merasa keadaanmu dari kemarin sedang tidak seperti biasanya."
"Aku tak butuh dicemaskan. Kau cukup mencemaskan dirimu sendiri," kata Hibari, tonfa kembali tergenggam erat.
"Oke, oke, kalau kau bersikeras. Ayo, sekarang berdiri. Hup!" Dino mengangkatnya berdiri. Ternyata lebih ringan dari yang kukira.
"Kau! Aku bisa sendiri!"
"Dan sudah terlanjur," kata Dino dengan riang dan mengedipkan matanya. Dino bisa melihat warna pink bersemu samar-samar diwajah Hibari. Yah, lebih tepatnya bukan karena berdebar, tapi lebih karena merasa dipermalukan.
Kemudian Dino mengambilkan gakuran Hibari yang tergeletak disampingnya. Ketika dia mengambilnya, dia melihat noda warna merah persis ditempat Hibari duduk tadi.
"Ng? …―!!"
Dan dia tahu apa itu.
Dengan panik, Dino segera melilitkan gakuran tersebut ke pinggang Hibari yang berteriak "Hei!" kepadanya dan segera berlari membopong anak laki-laki-yang-ternyata-perempuan itu turun dari atap.
"Apa yang kau lakukan, hah! Turunkan!" Hibari berontak.
"Kyouya, perutmu sedang sakit, 'kan? Kau mau pilih ke toilet atau ruang kesehatan?" tanya Dino padanya sambil terus berlari menuruni tangga. "Aku akan mengantarmu."
Mendengar ini, wajah Hibari memerah. Yeah, saat-saat seperti ini benar-benar membuatnya sadar bahwa dia itu perempuan. Dia tahu… jadi dia tahu bahwa aku sekarang sedang…
"Hei, Kyouya! Kenapa diam, sih? Kau pilih kemana, nih?!"
… ukh…
"… ruang kesehatan, segera."
"Ermh… di-dimana lokasinya…?"
"Di lantai satu, di ujung lorong sebelah kanan."
"Oke."
Dengan kecepatan lari yang dapat memecahkan rekor, Dino membawa Hibari ke ruang kesehatan sekolah. Tidak lama kemudian mereka sudah berada di depan ruang kesehatan.
"Oi, Shamal! Ada yang sakit, nih!" kata Dino sambil membuka pintu geser, namun yang menyambut mereka hanyalah ruangan yang kosong. Sambil menurunkan Hibari dari pundaknya, dia bergumam, "Argh... kemana sih, dia? Oh—melatih si anak bom itu."
Masih berwajah sedikit merah, Hibari mendorong Dino keluar dari ruangan. "Mulai dari sini aku bisa sendiri. Kau keluarlah."
"Eh? Tapi―"
"Keluar."
Hibari mengeluarkan aura penuh tekanan yang membuat siapapun merinding. Dengan hati ciut, Dino berlari keluar ruangan dengan disertai suara bantingan pintu yang keras.
Kemudian, Hibari memeriksa kotak penyimpanan ruang kesehatan dan mengambil cadangan yang telah disediakan dan juga mengambil obat penahan rasa sakit. Setelah itu dia masuk ke bagian tempat tidur dan menarik tirainya.
Di luar ruangan, Dino dengan gelisah berjalan mondar-mandir di depan pintu. Persis seperti seorang suami yang sedang menunggui proses melahirkan istrinya.
Waduh… kenapa aku jadi gelisah begini, ya? Di saat seperti ini apa yang seharusnya kulakukan?
Nggak ada, tahu.
Oh, iya. Ngomong-ngomong, waktu kemarin-kemarin kulihat dia sedang tidur aku merasa dia itu manis sekali, wajahnya seperti perempuan saja…―Ow God! Dia 'kan memang perempuan! Terus, sebelum itu juga. Waktu dia sedang makan dan ada sisa makanan yang menempel di mulutnya, aku…
Uwaaaaaaaaa!!! Dasar aku ini!
"Ukh… Ayo, Dino… pikirkan yang lain…"
Sebentar.
Bukannya ini namanya… auh! Stop, deh!
Dino memandangi pintu ruang kesehatan, bertanya-tanya kapan Hibari akan keluar. Sudah belum, ya? Kupanggil, deh.
"Ooi, Kyouya. Sudah belum?"
Dino menunggu jawaban, tapi tidak ada jawaban. Apa tidak kedengaran, ya?
Sekali lagi, "Kyouyaa~. Sudah selesai?"
Dan sekali lagi, tidak ada jawaban.
Dia jadi paranoid. Gi-gimana, nih?! Gimana kalau dia pingsan?! Aku pernah dengar ada yang sampai ke rumah sakit gara-gara menstruasi. Sebenarnya sulit kubayangkan Kyouya akan pingsan karena hal begini, tapi―
Dino segera memasuki ruang kesehatan, tapi Hibari tidak kelihatan. Mungkin di sana, tirainya tertutup.
"Kyouya! Kau tidak apa-apa?! Kau…" teriak Dino sambil membuka tirainya dan mendapatkan…
"Aku apa?" tanya Hibari dengan senyum dingin, "Dan tahukah kau, Tuan Tutor, apa yang sedang kulakukan?"
"Hah?"
Hibari hanya mengenakan kemejanya saja. Kakinya yang putih bersih terlihat dengan jelas.
Mau tidak mau, Dino jadi melihat kakinya yang mulus itu. "Haa… a-aaku…" dengan wajah memerah, Dino berusaha bicara, "tadi memanggil-manggilmu, tapi tidak ada jawaban. Kukira kau pingsan, jadi…"
"Kalau kau sudah mengerti, Tuan-Tutor-Yang-Terhormat, segeralah angkat kaki dari sini," katanya dingin, "Kuberi kau waktu tiga detik. Satu…"
"Baiik!" dan dalam sekejap mata, Dino sudah keluar dari ruangan.
"Herbivora…"
Diluar, Dino memutar ulang adegan tersebut dalam kepalanya. A-apa itu? Putih sekali… ternyata dia benar-benar perempuan! Kyouya… dengan tubuh perempuan? Dadanya berdebar keras. Dia tak sanggup berpikir lagi dengan baik.
Tunggu, tunggu… Apa yang kulakukan?! Aku pasti telah membuatnya malu karena telah melihat kakinya yang putih mulus itu. Sayang juga sih, kalau tadi kemejanya lebih pendek sedikit lagi pasti akan kelihatan apa warna yang dia pakai se―bukaaaaaaaaaaan!!! Dasar aku cabul! Aku harus tanggung jawab segera!
"Kyouya!" sekali lagi, Dino memasuki ruang kesehatan dengan hati mantap dan berteriak:
"Aku akan tanggung jawab!"
DUAGH!
Dino tergeletak lemas tak berdaya di lantai akibat lemparan tonfa Hibari yang tepat mengenai dahi dan dagunya.
"Sebelumnya, kusarankan kau memikirkan terlebih dulu semua tindakanmu sebelum melakukannya," kata Hibari.
-------o0o-------
Begitu dia membuka mata, dia menatap langit-langit ruangan yang putih. Pandangannya masih kabur dan berkunang-kunang. Baru kemudian dia sadari bahwa dia ada di atas tempat tidur ruang kesehatan.
Dia melihat seseorang, yang tak lain adalah Hibari, sedang membaca buku laporan dari bawahannya. Hibari merasakan adanya gerakan dan memandangnya, "Ah, kau sudah sadar rupanya."
Dino berusaha duduk dan memposisikan dirinya senyaman mungkin. Kepalanya masih terasa berat karena hantaman dua tonfa sekaligus.
"Sudah berapa lama aku tak sadar?" tanyanya kemudian.
"Sekitar setengah jam," jawab Hibari sambil melihat jam tangannya (jam tangan perempuan!).
"Selama itu? Ya ampun…" kata Dino tak percaya.
"Betul, selama itu. Ya ampun…" cemooh Hibari dengan senyum dinginnya. "Salahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi. Sudah kukatakan padamu sebelumnya supaya kau angkat kaki, tapi malah kau sendiri yang kembali memasuki ruangan sambil berteriak-teriak tentang hal yang tidak jelas."
"Hei, itu bukan hal yang tidak jelas, tahu!" sanggah Dino.
"Lantas?"
"Aku bicara tentang tanggung jawabku sebagai seorang laki-laki."
Hibari yang mendengar kata-katanya itu kini memperlihatkan senyuman dan sorot mata yang menunjukkan arti 'dasar konyol' padanya. "Hmph," dia mendengus, "Menarik. Lanjutkan."
Tanpa basa-basi, Dino langsung tembak, "Singkat saja, ayo kita menikah!"
Wow. Hal yang tak disangka-sangka.
"Umurku baru limabelas tahun, perlu satu tahun lagi sebelum aku boleh menikah," balas Hibari dengan tenang, "Kenapa tiba-tiba kau mau kita menikah?"
Dino gelagapan, wajahnya kembali memerah dan bercucuran keringat. Di dalam kepalanya mengalir kembali adegan tersebut, "Ka-karena…"
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Hibari mengatakan:
"Dasar mesum."
"!!"
"Kau pasti sedang memikirkan hal-hal mesum, kan?"
Dengan putus asa, Dino memohon padanya, "Kumohooon… Kyouya, menikahlah denganku…"
"Kau serius? Asal kau tahu saja, aku tidak menganggap hal tadi sebagai pelecehan, jika itu yang kau pikir harus kau pertanggungjawabkan. Dan kau juga baru kemarin mengetahui bahwa aku perempuan."
"Tentu saja aku serius!" kata Dino sungguh-sungguh, "lagipula… walaupun kau bilang kau tidak menganggap itu sebagai pelecehan, tapi tetap saja… entah kenapa keinginan itu muncul dari dalam hatiku."
"Hati?"
"… Ini juga baru kusadari tadi. Mungkin selama ini… secara tidak sadar aku jatuh cinta padamu," aku Dino malu-malu.
Sunyi.
"Jika aku menyetujuinya," Hibari memulai, "maka kau tak akan bisa membatalkannya walau kau menyesal sekalipun."
Dino menatap lurus matanya, "Aku tak akan pernah menyesal."
Tatapannya membuat Hibari membeku untuk beberapa detik.
"Hmm..." dia tak menjawabnya dengan kata-kata, hanya sebuah senyuman dingin kasual. Tapi untuk pemuda itu, jawaban semacam ini sudah cukup untuk membuatnya mengerti. Jantung Dino bagai melompat-lompat girang tak karuan. Wajahnya tak dapat membendung perasaan gembiranya itu. Dino merasa bunga-bunga bermekaran di sekelilingnya.
"Nah, dengan begini kau berhutang sparring denganku seumur hidupmu. Mengerti?" kata Hibari kemudian sambil tersenyum.
"Aku tak pernah menyangka akan mendapatkan calon istri yang memiliki kemampuan hebat sepertimu," kata Dino dengan lembut.
"...apapun katamu," ucapnya datar, kemudian beranjak bangun dari kursinya, "Aku mau pulang."
Dengan cepat, Dino segera melompat turun dari tempat tidur, "Kuantar dengan mobil!"
