Hi, everyone!

Lama nggak buat multichapter, Anne sering diminta oleh para readers buat nulis lagi cerita yang panjanggggggg! Walaupun Anne masih banyak tugas dan kegiatan yang padat banget, sebagai pelepas rindu dengan cerita-cerita Anne, coba deh.. tepat di peringatan 18 tahun Battle of Hogwarts (2 Mei 2016) sekarang, Anne coba buat multichapter dengan pair baru.. (lama sih cuma Anne pertama aja buatnya) Hermione-Draco... mana yang kemarin minta buatin pair ini?!

Yeeeee...

Semoga bisa terhibur, dan Anne nggak tahu ini akan selesai berapa chapter. Anne menulis ini sesuai premis dadakan tadi pagi dan belum kekonsep matang. Well, harapan Anne, cerita ini bisa berkembang sesuai waktu, bisa juga sesuai permintaan pembaca. Semoga di beberapa chapter nanti, Anne bisa coba melibatkan pembaca untuk menentukan jalan cerita ini. Request misalnya.

So, mari merapat dan ikuti kisah ini untuk menghibur hari-hari kalian bersama Anne. Mari membaca!

Happy reading!


Gemuruh tepuk tangan beradu dengan isakan tangis para tamu dalam peringatan 2 Mei hari ini, Battle of Hogwarts. Harry mengakhiri pidatonya dengan kalimat penuh daya tarik. Seluruh penyihir yang pernah menjadi saksi betapa beratnya hidup ketika sang raja kegelapan murka, bergetar hebat mendengar Harry berkisah tentang masa-masa kelam itu. Tidak sampai satu jam, Harry turun mimbar dan kembali ke tempat duduknya. Si kecil Lily berteriak meminta ayahnya untuk mendekat dan menggendongnya lagi.

"Kasihan Harry, sudah langsung dimintai gendong begitu."

"Memangnya Lily kenapa? Aku perhatikan dari tadi dia menangis terus bersama Ginny," Draco menoleh pada sang istri di sisinya.

"Sakit," kata Hermione lirih, "tadi aku sempat gendong sebentar, badannya hangat. Biasa mau tumbuh gigi. Dari ketiga anak Harry, Lily yang paling tidak mau lepas dari Harry setiap sakit. Kalau sudah begitu, Harry suka direpotkan. Kemarin saja dia lari keluar dari Kementerian. Aku kira ada penyerangan dadakan, eh, ternyata dia dihubungi Ginny kalau Lily rewel dan tidak mau apa-apa kalau tidak sama ayahnya!" kata Hermione sambil tertawa.

Bersama Scorpius, putra Hermione dan Draco, mereka menghadiri peringatan battle tahunan itu bersama. Tahun lalu, Scorpius tidak diajak karena memilih ikut bersama nenek dan kakeknya di Australia. Anak laki-laki berusa tiga tahun itu bersandar malas di pelukan sang ibu.

"Mum tak datang lagi?" tanya Hermione membicarakan ibu mertuanya. Tangannya mengusap-usap pelan rambut pirang Scorpius, duplikat Draco.

Draco menggeleng pelan. "Mum masih belum mau. Ia merasa bukan siapa-siapa dalam perang itu. Bagi Mum, 2 Mei adalah waktu yang tepat untuk ia bisa berlama-lama di makam Dad tanpa ada penyihir lain yang melihatnya. Kau tahu, kan, kami dulu siapa—"

"Ya, aku tahu." Hermione memotong cepat. Draco mulai mengungkit tentang masa lalunya. Masa lalu buruk yang menghantuinya hingga kini. "Maafkan aku, Draco. Aku mohon jangan ungkit lagi masalah ini. Aku melihatmu sekarang. Dirimu yang sekarang. Suamiku dan ayah dari putraku."

Sejak pagi, Draco sebenarnya enggan untuk berangkat menghadiri undangan resmi dari Hogwarts. Ia merasa tak diundang karena nama yang tertera dalam surat adalah nama Hermione. Bukan namanya. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Ia memang masuk dalam sejarah sihir, namanya.. Draco Malfoy, dikenal dalam sejarah perang besar belasan tahun lalu. Tapi bukan sebagai pahlawan. Ia masuk dalam koloni musuh. Berdiri di belakang sang raja kegelapan. Apapun alasannya, Draco yang dulu sangatlah buruk.

"Kini kau suamiku, dan kau bukan seorang musuh yang harus di jauhi," protes Hermione beberapa menit sebelum mereka berangkat.

Kamar Draco dan Hermione terasa dingin begitu masalah undangan itu diungkit Draco sebagai alasannya untuk ia tidak ikut berangkat. "Aku mantan pelahap maut. Aku melarikan diri ketika Potter mengalahkan Voldemort dan aku adalah.. pecundang di mata Ronald Weasley."

"Berhenti menyebut namanya di hadapanku dengan cara seperti itu, Draco Malfoy. Dia masa laluku."

Hermione menunduk. Ia melihat Draco tampak murung sementara acara peringatan battle masih terus berlanjut. Mereka duduk berdampingan tanpa kata. Sesekali hanya keluar untuk menimpali pertanyaan Scorpius yang kritis menanyakan ini itu. Anak itu pun rupanya bosan.

Acara selesai dua jam kemudian. Para undangan yang sebagian besar adalah mantan pejuang dan keluarga siswa Hogwarts pada masa itu memenuhi lorong-lorong siap meninggalkan Hogwarts. Sebagian dari mereka tampak asik bercengrama dan meladeni pertanyaan para wartawan. Tampak Neville dan Minerva sebagai perwakilan Hogwarts begitu juga Harry, Luna, Seamus terlihat dikerubungi beberapa pewarta berita.

Dari ujung lorong, Ron keluar sendiri dengan wajah datar tanpa ekspresi siap mendekati Harry yang memanggilnya untuk wawancara. Ia sempat menoleh ketika tidak sengaja seorang penyihir menabraknya dari samping. Ron berpaling melihat sekilas apakah laki-laki tua yang menabraknya tidak apa-apa. Namun, apa yang ia lihat tidak hanya sang penyihir tua, ia melihat Hermione, menggandeng tangan Draco sedang berusaha menyingkir dari kerumunan. Scorpius memperhatikan Ron dari posisinya memeluk erat leher Draco yang menggendongnya.

Dada Ron bergemuruh, mantan istrinya kini telah bahagia dengan pria yang menjadi musuhnya sejak kecil. Apa lagi dengan makhluk kecil yang ada di antara mereka. Anak yang dulu sangat ia harapkan bersama Hermione.

"Ron, lebih cepat kau menjawab pertanyaan mereka, lebih cepat kau bisa pulang untuk istirahat!" teriak Harry sambil mengambil alih Lily dari gendongan Ginny.

"Iya, Harry." Jawab Ron ketus. "Aku juga tak mau mereka terus mengejarku sampai ke toilet."

Ron mendekati tiga orang pewarta siap untuk diwawancarai. Bersama Ginny, ia menjelaskan pendapatnya tentang peringatan battle serta pesan-pesan lain yang ingin disampaikan sebagai salah satu tokoh penting dalam kemenangan masyarakat sihir.

"Huss, oh, no no no.. ayo, kita ke sana, ya. Sudah sama Daddy jadi jangan nangis. Kita tunggu Mummy, Jamie, dan Al di sana, ya," mati-matian Harry menenangkan Lily agar kembali tenang. Sempat ditinggalkan sebentar untuk wawancara, Lily kembali menangis kencang mencari ayahnya.

Tanpa disadari Harry, ia bertemu Hermione, Draco dan tentu saja Scorpius di salah satu sudut yang mengarah langsung ke lapangan Quidditch. "Harry!" panggil Hermione.

"Hai, semua. Oh husss, it's ok, Lily. Itu Aunty Mione dan Uncle Draco. Lihat ada Scorpius juga. Daddy tak akan kemana-kemana." Bisik Harry di telinga Lily tanpa berhenti mengusap pelan punggung kecil putrinya itu. Tangisnya masih kencang. Lily takut jika ada penyihir lain, ayahnya akan pergi meninggalkannya.

Draco memutar arah tubuh Scorpius dari gendongannya agar putranya dapat melihat Lily.

"Hai, Lily. Kenapa menangis? Jangan menangis, ya, nanti cantiknya hilang." Kata Scorpius coba menghibur Lily.

"Benarkah, Scorp? Dengar, Lily, jangan menangis lagi, sayang. Daddy di sini dengan Lily. Kata Scorpius nanti cantiknya bisa hilang. Bukan begitu, Scorp?" tanya Harry lebih interaktif bersama kedua anak kecil itu.

Scorpius melihat ayahnya sejenak lantas mengangguk semangat. "Daddy selalu bilang begitu kalau Mummy menangis, Uncle. Katanya nanti cantiknya hilang."

Harry tertawa geli mendengar penuturan lugu Scorpius. Draco begitu juga Hermione langsung tersipu mendengar kepolosan Scorpius. "Ow, kau lucu sekali, Mr. Malfoy," Harry mencubit pipi gembul Scorpius saking gemasnya.

Di tengah perbincangan seru Scorpius dengan Harry, seorang wanita membawa kertas dan pena mendekati Hermione diikuti dengan seorang pria membawa kamera di belakangnya. Hermione diminta untuk mengikuti wawancara singkat di salah satu lorong. "Hanya tinggal anda sendiri yang belum diwawancarai, Mrs. Malfoy. Mohon sekiranya anda berkenan. Sebentar saja!" pinta sang pewarta.

"Tapi—"

"Pergilah, aku di sini bersama Scorp. Kami tunggu." Draco memberikan ijin pada Hermione agar menerima ajakan sang wartawan muda. Hermione akhirnya bersedia dan meninggalkan suami serta putranya berdua bersama Harry dan Lily kecil.

Tinggallah, para ayah sibuk menggendong putra putri mereka. Harry dan Draco, saling pandang. Sesaat kemudian, mereka mengamati anak masing-masing. "Merlin, hidup ini memang gila!"

"Jaga bicaramu di depan anak-anak, Malfoy."

"Jaga apa? Bukannya hidup ini memang gila? Lihat, aku tak pernah membayangkan kau dan aku bisa berdiri berdekatan seperti ini sambil menggendong hasil karya kerja keras dengan istri kita masing-masing."

Harry menahan tawanya di belakang kepala Lily. Penuturan Draco sangatlah halus namun terkesan aneh. "Bukankah kerja keras yang menyenangkan." Jawab Harry singkat. Ia tak tahan menahan geli dengan pembicaraannya dengan Draco. Lily di pelukannya sudah mulai tenang, tapi kini Scorpius tampak asik mendengarkan pembicaraan para orang dewasa tanpa sedikitpun paham maksud masalahnya.

"Benar, kan, kataku. Hidup ini memang gila!" pekik Draco.

"Gila!" teriak Scorpius menirukan cara Draco berbicara.

"Oh, tidak. Telinga Lily akan terkontaminasi!" Harry cepat-cepat menutup telinga kecil Lily bergurau. Draco akhirnya ikut tertawa.

Hubungan keduanya memang tidak seburuk dahulu. Harry dan Draco biasa berbicara meski rasa canggung masih saja menghinggapi keduanya. Akan sedikit hilang, jika kedua pria dewasa itu bersama dengan anak-anak mereka. Masing-masing akan mengesampingkan ego demi memberikan kesan menyenangkan kepada putra putri mereka.

"Kau tampak dekat sekali dengan Lily dibandingkan kedua kakaknya."

Harry menyunggingkan senyum setelah memperbaiki gendongannya pada Lily. "Ya, sebenarnya sama saja. Hanya Lily memang suka tak mau lepas denganku. Apalagi kalau sudah sakit seperti ini. Ginny sampai cemburu melihatku lebih dekat dengan putrinya sendiri."

Draco tertawa. "Aku kira anak perempuan akan lebih dekat dengan ibunya."

"Oh, jangan salah, Malfoy. Anak perempuan akan mengubah hidup seorang pria dewasa. Jika sangat ekstrim, jangan harap kau bisa tidur nyenyak. Itu hebatnya anak perempuan dibandingan laki-laki yang aku rasakan sendiri. Ah, dan menurut para ayah yang lain."

Lily rupanya tertidur selama Harry berbagi cerita dengan Draco dan Scorpius. Sepanjang itu pula Scorpius tak henti-hentinya memandangi wajah teduh Lily yang nyaman bersandar di dada Harry. "Daddy—" panggil Scorpius pada Draco.

"Iya?" tanya Draco.

"Aku mau punya Lily—"

"Apa?" Draco terlonjak kaget.

Scorpius cepat-cepat menunjuk Lily yang sedang tidur sambil berkata, "Al punya Lily, aku juga mau Lily!"

Harry memahami maksud bocah pirang itu. Ia teringat dulu James pernah mengatakan hal demikian ketika meminta Al dan Lily. Sebut saja minta adik. "Ah, kau benar, Scorp," seru Harry bersemangat. Sudah lama Harry tidak membuat Draco mati kutu. "Mintalah adik pada Mummy dan Daddymu. Kau tak akan sendirian lagi nanti." Ujar Harry.

"Potter, apa-apaan kau ini?" ancam Draco berbisik.

"Daddy, aku mau adik. Aku mau adik—"

Ron, mendengar dengan telinganya sendiri jika Scorpius merengek meminta sesuatu yang dulu juga sangat ia inginkan dari mantan istrinya..

"Hermione!" Panggil Draco tepat saat Hermione muncul di belakang tubuh Ron. Ia berusaha keras mengalihkan pandangannya pada pria berambut merah tepat di hadapannya.

Scorpius berteriak. Memberontak ingin turun dan mengejar ibunya sekaligus mengutarakan keinginannya lagi. Sementara itu, Harry dengan terkejutnya melihat Ron berdiri tepaku melihat ke arah dirinya. Lebih tepatnya adalah.. coba memalingkan muka dari Draco dan Hermione.

Harry mendekati Ron berusaha mengendalikan pertemuan mereka. "Kau sudah selesai?" tanya Harry mengalihkan Ron agar semakin tenang.

Ron hanya bisa mengangguk dan berbisik, "kau dicari Ginny. Aku juga mau ijin membawa James dan Al untuk tinggal bersamaku lagi. Kasihan mereka bilang tidak bisa tidur karena.. Lily menangis terus." Katanya sambil tersenyum memaksa.

"Baiklah, James dan Al bisa ikut denganmu. Kita langsung pulang saja, aku.. kasihan pada anak-anak. Lily juga harus istirahat." Harry sangat canggung berbicara dengan Ron tanpa sedikitpun menyapa Hermione maupun Draco di dekat mereka.

"Mummy—" Scorpius terus meminta pada Hermione. Keinginannya masih sama. Seorang adik.

"Kita pulang dulu, ya!" rayu Hermione pada Scorpius.

"Tapi aku minta adik seperti Lily!"

"Iya, iya.. tapi kita pulang dulu. Sudah malam, Scorp. Kau harus tidur."

Draco dengan cepat mengambil alih Scorpius kembali dan mengendongnya. Hanya Hermione yang sempat mengangguk pelan pada Harry berpamitan. Tinggallah Harry, Lily dan Ron di sana. Ron masih tak mau menoleh sampai Harry menegurnya.

"Mereka sudah pergi. It's Ok—"

"Kenapa kau bersama pria brengsek itu, Harry?"

Ron mengusap pipi Lily lembut dengan ujung telunjukknya ketika Harry tak mampu mengucapkan sepatah kata tentang pria brengseng yang dimaksudnya. "Draco sedang bersama Scorpius, berdua. Jadi aku merasa Lily—"

"Kau bahkan memanggil namanya? Aku saja jijik untuk menyebut nama belakangnya."

"Ron!"

Lily terusik mendengar bentakan sang ayah. Cepat-cepat Harry menaikkan posisi menggendongnya agar Lily nyaman bersandar di dadanya. "Lihat, hanya karena namanya saja, kau bisa menganggu istirahat putrimu, Harry. Sedangkan aku, berurusan langsung dengannya. Dan apa yang terjadi, dia merusak kehidupanku."


"Ini yang aku tak suka, Mione! Aku bilang apa padamu!"

"Apa? Aku sama sekali tak tahu jika Ron bertemu denganmu. Kau tak berkelahi dengannya, kan? Jadi beres. Tak ada masalah!"

Draco membanting tubuhnya ke atas ranjang. Scorpius sudah berhasil ditidurkan setelah memberikan janji bahwa ia akan mendapatkan adik sebentar lagi. Draco dan Hermione sepakat hanya memberikan janji, cukup janji.. dalam lisan.

"Kau pikir.. bagaimana aku dengan mereka tadi, Mione. Saat kau dengan keluarga Weasley, Ron— aku rasa Hanya Harry dan Lily yang masih bayi mau berbicara denganku. Aku sampah!"

Hermione membungkap kalimat Draco dengan kecupan di bibirnya. Menghentikan kata-kata buruk lain yang bisa mengotori diri Draco sebagai suaminya. "Kenapa kamu mau menjadikan aku istrimu? Aku bertanya padamu, Draco."

Mereka saling menatap dalam tepat pada mata. Diam dalam jarak yang sangat dekat.

"Karena.. aku mencintaimu, Hermione. Aku ingin memilikimu tanpa berharap menyakiti orang lain. Menyakiti Ron—"

"Itu dia! Kau berubah, Draco. Kau—berubah! Aku mencintaimu.. dan Ron—dia masa laluku. Jodohku dan dia sudah berakhir. Dan kini aku milikmu. Aku membutuhkanmu, bukan Ron. Jadi aku mohon jangan mengungkit masalah ini di tengah keluarga kecil kita. Di depan Scorpius. Sekarang, kita punya kehidupan sendiri begitu juga Ron."

Mereka kembali berciuman. Lebih lama dari sebelumnya hingga suara guyuran hujan menemani keduanya siap beristirahat. "Sekarang diamlah, karena malam ini hanya milikku dan juga kau—"

"Dan juga Scorpius—" bisik Draco membuat Hermione mengerutkan dahi. "Kita bisa memulai menuruti permintaannya. Aku sudah siap. Aku sudah belajar dari Potter tadi."


Hujan semakin deras. Ron belum kunjung merasakan kantuk. Berbeda dengan dua anak laki-laki di sisi kanan dan kirinya. Memeluk tubuhnya erat sebagai pengganti guling, James dan Al tertidur nyenyak tanpa terganggu dengan suara gemuruh petir dan rintik hujan di luar sana.

Pikiran Ron melayang. Matanya perlahan terpejam. Meletakkan buku dongen sihir ke atas meja sisi ranjangnya sambil menggumamkan nama indah yang rutin menjadi pengganti doa sebelum ia tidur.

"Hermione."

- TBC-


#

Huh, jadi ada apa sebenarnya dengan Draco, Hermione begitu juga Ron? Baru ada clue sedikit-sedikit yang Anne munculkan, penasaran? Ikuti terus kisahnya dan jangan lupa review untuk memberikan komentar, kritik, saran, request dan sebagainya.. pesan kangen juga boleh buat Anne. Hehehehe! :)

Maaf kalau masih ada typo. Anne tunggu reviewnya dan tunggu Anne datang lagi. Doakan bisa update cepat! :)

Thanks,

Anne xoxo