Assassination Classroom milik Yuusei Matsui
.
Kemungkinan OOC, Typo(s), Gaje, dll
.
Silakan menikmati(?)
.
"Hujan."
"Ya, ini hujan."
Okano berkedut kesal. Ia melirik Maehara dan Okajima dengan jengkel. Sudah jelas air turun sangat deras dari langit yang artinya adalah hujan. Kenapa juga mereka harus mengulang memperjelasnya.
Halo, dirinya tidak buta hingga harus diberitahu.
Srak.
Pintu kelas dibuka cukup keras. Ketiganya menoleh serempak. Sesosok pemuda berjuluk setan merah berdiri di ambang pintu dengan pakaian setengah basah.
"Yo Karma! Terjebak hujan juga?"
Maehara melambaikan tangan—tidak, bukan berarti karena ia sudah tidak kuat melanjutkan salah satu acara stasiun tv—reflek untuk menyapa. Setidaknya ia mencairkan suasana yang sebelumnya hanya saling lempar lirikan di antara mereka.
"Saa..."
"Woho... bertambah satu orang lagi. Okano, kau beruntung terjebak bersama cara cowok-cowok tampan seperti kami."
Okano Hinata dengan sangat kentara mengerlingkan mata jengah dengan tingkat kepercayaan diri Okajima Taiga yang berlebih. Ia tidak mau repot-repot menyangkal bahwa sebenarnya itu adalah musibah—terjebak bersama mereka—karena mereka tidak akan bisa memahaminya.
Seorang cewek bisa saja menderita karena terjebak bersama beberapa cowok, tapi tidak untuk sebaliknya. Seorang cowok akan sangat bahagia jika terjebak bersama beberapa cewek. Tekankan itu pada orang macam Okajima dan Maehara.
Okano menghela nafas, dibuat-buat. Ia menyesali kenapa jatah piketnya hari ini. Ia menyesali Kataoka Megu yang absen hari ini karena kakinya terkilir saat latihan kemarin. Ia menyesali tidak membawa payung.
Dan ia menyesalkan hujan lebat yang membuatnya harus terperangkap bersama tiga cowok cukup berisik di kelasnya. Demi apa, ia ingin Koro-sensei datang dan membawanya pulang. Tapi itu sangat tidak mungkin, guru itu lemah terhadap air, mungkin ia sedang meringkuk mengamankan diri di suatu tempat di bumi ini.
"Alasan apa yang membuat kalian tertahan di sini?" selidik Karma.
"Kami hanya sedang membicarakan sesuatu yang membuat pertumbuhan kami ke arah dewasa terjadi lebih cepat."
Maehara mengangguk ikut menyetujui.
"Kalian berdua jangan mengatakan hal menjijikkan dengan kata-kata yang terdengar bijak!"
"Okano kau menguping?"
"Aku sibuk membersihkan kelas dan kalian membicarakannya keras-keras, soal ukuran wanita. Aku tidak tuli sampai tidak bisa mendengarnya."
"Wah, kau jadi mendengarnya. Maaf membuatmu kecewa, tapi kau tahu dengan sendirinya kalau kau tidak masuk tipeku. Jangan kecewa—"
BUGH!
Sebuah hantaman dari kepalan tangan Okano mendarat terlalu empuk di perut Maehara. Membuat pemuda penyandang gelar cassanova itu mengerang kesakitan.
Suasana hening setelah itu. Mereka memilih diam, yah sekalipun bicara mereka pasti akan kena siksaan fisik dari Okano karena topik di antara Okajima dan Maehara biasanya tidak jauh dari hal-hal berbau echi.
JDER! BLAR!
"Hujan petir ya..."
Bahkan pemuda jenius sekaliber Akabane Karma pun mengucapkan hal tidak perlu karena kenyataan yang bisa diindera oleh semua orang dengan sangat jelas. Okano mengerlingkan mata untuk ini.
"Tidak adakah hal yang bisa kita bicarakan?" Okajima bertanya, mungkin ia sudah jenuh dengan drama bisu itu.
"Tidak perlu jika itu mengarah ke hobimu," jawab Okano sarkastik.
"Okano, kau terlalu menganggap buruk kaum laki-laki," ucap Maehara.
"Hah?"
Gadis itu gagal paham.
Okajima menepuk bahu Okano. "Maehara benar. Tidak semua laki-laki itu sama. Tapi semua laki-laki itu pernah memikirkan hal yang sama."
Okano cengo. Ia merasa sedang dinasehati oleh orang yang salah.
Hal sama yang biasa disebut hal yang tidak-tidak dengan tanda kutip?
"Apa yang kalian bicarakan? Aku tidak paham."
"Okano-san, mereka hanya ingin mengatakan kalau mereka adalah laki-laki yang baik."
Okano semakin bingung. Dari mananya Karma dapat menyimpulkan itu? Sepanjang pemahamannya yang terbatas, sama sekali tidak ada indikasi yang mengarah ke sana.
"Kira-kira apa yang akan dilakukan laki-laki yang berpikiran tidak-tidak saat terjebak hujan bersama gadis seperti saat ini?" Karma memulainya.
"Maksud kalian itu, apa yang akan kalian lakukan?"
"Tentu saja hal yang tidak-tidak juga." Okajima menanggapi dengan semangat.
"Mereka akan memulainya dengan kata-kata," kata Karma.
"Rayuan gombal?"
"Salah Maehara. Dimulai dari basa-basi," ralat Okajima.
"Ah, hujannya sepertinya tidak akan segera berhenti. Dan kita terjebak di sini, tidak ada siapapun."
Pembicaraan ini semakin melenceng. Disamping itu Okano benar-benar diabaikan.
"Lalu gadis itu bilang," Okajima menjeda, ia mengubah suaranya. "Ah, kau benar."
"Bagaimana ini? Aku kedinginan." Maehara meniru suara cewek, ia membuatnya seimut mungkin.
Okajima melanjutkan. "Si pemuda menoleh. Bagaimana jika aku menghangatkanmu?"
"E-eh? Ba-bagaimana caranya?" Maehara kelihatan menghayatinya—setidaknya bagi satu-satunya yang bukan partisipan drama kacangan mereka.
Okajima melangkah mendekati Maehara. "Begini—"
"STOOOP!" seru Okano. Ia berdiri di antara Maehara dan Okajima. "Aku tidak ingin melihat kalian mempraktekkan gaya pacaran yaoi."
"Aa... Okano-san, kau menghentikan puncak ceritanya."
Okano memelototi Karma. "Kita ganti topik pembicaraan."
"Apa?" tanya Maehara. "Kau mau menggantinya dengan topik apa?"
"Etto..."
Okano tampak kebingungan. Ia memandang ketiga teman sekelasnya bergiliran.
"Aa...misalnya, apa yang kalian pikirkan saat hujan?"
"Kenangan."
"Kenangan."
"Kenangan."
Okano kembali terperangah. Ia sweatdrop dengan mereka, tidak menyangka ketiganya adalah laki-laki tipe melow.
Aku lebih memikirkan genangan ketimbang kenangan.
"Saat bersama Okuda-san itu menyenangkan. Tapi, dia tidak peka pada perasaanku. Katakan, dimana salahku? Aku tampan, jenius, kaya, populer, tidak ada minusnya."
Salah, semua orang di kelas ini hanya melihat minusmu Karma.
"Tenanglah Karma. Setidaknya ada yang mau dekat denganmu. Coba kau pikirkan keadaanku, tidak ada yang mendekatiku. Ini adalah mimpi buruk seorang laki-laki."
Okajima, itu wajar. Kau jangan melebih-lebihkannya.
"Kalian berdua. Apa tahu penderitaanku?" tanya Maehara. Ia berdiri dengan melipat tangan di dada.
Karma dan Okajima menggeleng.
"Dia itu sama sekali tidak peka. Dia menganggapku berengsek. Dia tidak mau kudekati dan tidak mau mendekatiku. Tapi aku selalu memikirkannya. Dia merendahkanku. Tapi aku tetap menyukainya. Apa salahku?"
Okajima dan Karma berdiri di samping Maehara. Masing-masing dari mereka mengusap punggungnya dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Ungkapkan padanya sekarang juga Maehara."
"Lakukan Maehara."
Okano bergidik saat ketiganya tiba-tiba menoleh ke arahnya dengan pandangan yang tajam. Terutama Maehara. Perasaan gadis itu mendadak tidak enak, ia harus menghentikan topik pembicaraan ini secepat mungkin.
"Cukup! Yang kupikirkan saat hujan adalah makanan enak yang hangat. Ah, benar juga, makanan apa yang kalian sukai saat hujan begini?"
"Makanan yang manis."
"Yang mudah dimakan."
"Dan sudah tersedia di hadapanmu."
Okano merinding. Bagaimana tidak, mereka mengatakannya sambil terus menatapnya. Bahkan tanpa berkedip. Okano merasa dia adalah mangsa yang mudah dilumpuhkan.
"I-ini sudah sore. Kupikir aku akan berhujan-hujan saja. Jaa mata ne!"
Dan langsung kabur secepat kilat.
.
.
.
"Are? Okano tidak masuk?"
"Sepertinya dia demam karena pulang hujan-hujanan."
"Kalau begitu kita bertiga perlu menjenguknya."
"Kenapa harus kalian bertiga?" Rio menunjuk tiga pemuda beda warna di hadapannya.
"Kita hanya merasa bersalah karena tidak menghentikannya kemarin," jawab Karma.
"Ah, kita punya obrolan menarik yang bisa kita bicarakan."
"Apa?"
"Apa yang akan dilakukan laki-laki yang berpikiran hal yang tidak-tidak saat mengunjungi gadis yang sakit."
.
.
.
Okano di rumahnya mendadak bersin dan merasa merinding bulu kuduknya. "Aku merasa musibah akan datang ke rumah ini."
Okano membolos hari itu. Ia terlalu trauma dengan topik pembicaraan apa yang akan dilakukan laki-laki yang berpikiran hal yang tidak-tidak saat...
