Halo :'D

Ini fanfic kedua saya, kali ini main pairingnya Jean x Eren. Mentions of Erwin x Rivaille. Warning: homo, homo everywhere. Disclaimer: Pict bukan milik sayah ;_; Source: Pixiv member_ ?mode=medium&illust_id=39262205 Kalo ga boleh nanti saya hapus deh orz
Untuk sekarang one-shot tapi mungkin bakal nambah kalo ada ide dan waktu =w=

Enjoy!

.

.

.

No Homo, a Shingeki no Kyojin Fanfic
by Cicit Cuicit

.

.

.

Di lapangan belakang sekolah yang sepi, seorang gadis berdiri kikuk. Helaian surai pirang menutupi matanya yang melirik ke tanah. Kedua tangannya bersembunyi di punggung. Digenggam kedua tangan basah berkeringat, ada sehelai amplop merah muda bertempelkan stiker hati. Perlahan, tanpa mengangkat wajah, ia menyerahkan surat itu pada pemuda di hadapannya.

"Se-senpai... Mohon diterima,"

Sungguh adegan pernyataan cinta yang klise.

Terlalu klise untuk membuat si cowok, Jean Kirschtein, terkesan.

Ia menyorot surat itu dengan tatapan menyelidik, "Itu apa?"

"Erm, ini—" si gadis terkesiap. Semburat merah merangkak hingga leher dan kupingnya. "Ini—untuk senpai—"

"Apa?" Jean terus menuntut, "Tiket ke Disneyland? Kupon diskon? Kupon makan gratis? Sesuatu yang bisa kuuangkan?"

Gadis itu menggeleng "Bukan, ini... Ini... Ini, ini—"

Lima detik. Sepuluh detik. Lima belas detik. Habis sudah sumbu kesabaran Jean. Ia berputar seratus delapan puluh derajat, melangkah santai meninggalkan si gadis yang masih megap-megap tak karuan.

"Jangan pikir aku akan suka pada cewek yang bahkan nggak cukup berani untuk bilang kalau dia mau menyatakan perasannya lewat surat."

Bola mata kecoklatan gadis itu membola, berkilat-kilat. Ia membalikkan badan dan berlari dengan berurai air mata. "HWAAAAAAA! SENPAI TEEEGAAAAAAAAAAAA!"

Jean melengos. 'Yap, apalagi cewek cengeng', batinnya ketus.

Gadis itu bukan yang 'korban' pertama Jean. Sebelum ini dia juga sudah membuat siswi lain menangis, walau untuk alasan yang berbeda. Kejadian itu terjadi tiga jam yang lalu saat istirahat siang. Ia sedang asyik mencoret-coret foto para guru di buku panduan sekolah dengan kumis dan janggut kambing saat gendang telinganya mendengar pergunjingan dua cewek.

"Rivaille-sensei hari ini tetap galak ya..." gadis manis berambut auburn sebahu, Petra, bergumam.

Hanji, siswi—atau siswa? Dia nggak menulis gendernya di biodata...—berambut ekor kuda yang cengar-cengir di sampingnya menggoda, "Tapi itu yang bikin kau naksir Rivaille-sensei 'kaaaan?"

"A-apa?! Nggak kok!" Merah padam, Petra menggelengkan wajah sembari mengibaskan kedua kedua tangannya.

Si mata empat malah makin tergelitik syaraf jahilnya, "Nggak usah bohong~ Pipimu merah tuh~ Udaaah kalo naksir langsung tembak aja, daripada keduhuluan lhooo~ Biar pendek kecut gitu Rivaille-sensei banyak fans-nya."

Pendek kecut. Jean nyaris ngikik kuda. 'Deskripsi yang akurat', pikirnya.

Petra masih menggeleng, "Aku memang mengagumi Sensei tapi nggak sampai naksir. Jangan berpikir yang enggak-enggak!"

"Udah deh nggak usah ngeles~ Mau aku bantu? Biar aku yang bilang ke Sensei!"

"NGGAK! JANGAN!"

"Atau kau bisa tulis surat dan aku bakal menyelipkannya di tas kerja Sensei!"

"JANGAAAAAN!"

Kali ini Jean tak bisa menahan diri untuk tak terlibat. Ia berkomentar, "Kupikir, jangan. Sensei nggak akan tertarik padamu. Lebih baik kau cari saja cowok yang mungkin akan membalas perasaanmu, Petra."

Sekonyong-konyong Petra nangis bombay, "JEAN JAHAAAAAAAAAAAAT!"

Gadis itu pun berlari slow-motion dengan tetesan air mata yang berkilauan bak sepenggal anime shoujo. Hanji mengejarnya setelah menggeram marah pada Jean.

Jean mengernyitkan dahinya—apa yang salah dari ucapannya? Toh dia benar. Rivaille-sensei tak akan tertarik pada Petra karena dia—ehem—memang nggak suka cewek. Bukti konkritnya, guru matematika itu nggak menepis gosip bahwa dia punya hubungan anuanu dengan Erwin-sensei, malah tersenyum ambigu. Sunggingan yang seolah berkata, "Ya ampun cyiiiin emang kurang gamblang yah sinyal lope-lope akika untuk Mas Erwin?"

Tunggu—sejak kapan guru bertubuh minimalis itu ngondek?

Yah, pokoknya seperti itu lah. Dua cewek dibuat menangis dalam kurang dari 12 jam. Menghela nafas berat, Jean melanjutkan langkahnya menuju gerbang sekolah, berharap tak bertemu makhluk berkromosom XX dalam perjalanan pulang.

.

.

.

.

"Selamat datang, tukang bikin cewek nangis~"

Eren, Connie, Marco, Bertholdt dan Reiner kompak menyambutnya. Jean mengerucutkan wajah, "Siapa?"

"Kau, siapa lagi?" Marco nyengir.

Jean menghempaskan badannya di sofa kamar Eren. Keenam siswa kelas 2 SMA itu—seperti biasa—ngumpul-ngumpul di kamar Eren sepulang sekolah untuk -coretmain gamecoret- belajar bareng, tapi kali ini sepertinya jiwa kewanitaan mereka sedang mekar-mekarnya sehingga mereka malah asyik nggosip sambil nonton telenovela Rosalinda, persis hobi ibu Jean saat lagi nganggur nunggu suami pulang.

"Kami dengar, lho, Jean~ Kau bikin Petra dan seorang junior nangis, kan?" Connie ikut-ikutan nyengir. Entahlah, orang bilang (baca: Eren bilang) Jean yang mirip kuda, tapi wajah cengengesan teman-temannya sekarang 11/12 dengan herbifor berkuku genap itu.

Jean angkat bahu, "Aku cuma ngomong jujur. Aku nggak suka cewek pemalu. Dan untuk Petra, aku cuma memberitahunya kalau Rivaille-sensei doyan laki."

"Jean, Jean. Nggak begitu caranya kalau mau ngomong sama cewek. Jangan jujur-jujur amat," Reiner, si macho yang memproklamirkan diri sebagai 'Arjuna penakluk wanita', menggerakkan telunjuknya ke kiri dan ke kanan. "Ada seninya. The art of subtlety."

"Maksudmu sugarcoating?" Satu alis tipis Jean terangkat. "Nope, thanks."

Bertholdt meralat, "Beda. Sugarcoating 'kan menutupi fakta dengan kata-kata manis. Nah, kalau subtlety, kau tetap jujur. Tapi nggak blak-blakan."

"Aku nggak ngerti," Jean bergumam bosan. Adegan marah-marahan khas telenovela di televisi lebih menarik.

"Pffft, otak kuda bisa ngerti apa, sih?" Eren mendengus remeh. "Langsung praktek aja. Jean, misalnya ada cewek supergendut memakai legging superketat warna pink neon motif abstrak dan dia bertanya, 'Apa celana ini membuatku kelihatan gendut?' bagaimana reaksimu?"

Tanpa menoleh dari layar TV Jean menjawab, "'Mau pakai apapun kau memang gendut.'"

Tiba-tiba satu gamparan mendarat di belakang kepala Jean. Remaja itu mengerang sakit, "Oww! Apa-apaan, sih, Reiner?!"

Reiner, yang baru saja menampar kepala Jean dengan gulungan buku teks Biologi—yang notabene super duper tebal—menatapnya tajam. Satu tangan berkacak di pinggang, satunya lagi terentang dengan telunjuk menunjuk jidat Jean. "Kau! Pantas aja cewek nangis, mulutmu nggak pakai filter!"

"Dasar mulut bocor!" Eren ikut-ikutan menggamparnya. "Pantas Mikasa menolakmu!"

"Oi! Aku nggak ditolak, oke? Aku bahkan nggak jadi mendekati Mikasa karena brother-complex-nya bikin merinding!"

Marco, dengan sorot mata penuh kekhawatiran, mencengkram bahunya. "Jean, cobalah, rem perkataanmu. Kalau kau ketus begitu kau bisa jadi jomblo seumur hidup!"

"Mungkin pengangguran seumur hidup karena mana ada boss yang mau memperkerjakan kuda bermulut harimau," Connie menambahkan.

"Stop guyonan 'kuda' itu, nggak lucu," Jean mengerucutkan bibirnya, manyun. "Kalian berlebihan. Aku cuma jujur, masa nggak boleh?"

"Kami nggak memintamu berbohong, Jean. Tapi cobalah untuk subtle." Reiner menoleh pada Eren, "Eren, berikan jawaban yang benar."

Eren mengangguk. Wajah cengar-cengirnya seketika berubah serius. "Ehem. 'Legging yang kau pakai bagus, tapi kupikir warna dan coraknya kurang flattering. Cobalah legging hitam polos. Kau pasti terlihat lebih cantik.' Begitu."

"Tepat! Saat menjawab kau harus ingat 3 hal: pujian, kritik, dan saran."

Jean memutar bola mata honey-nya, "Guys. Kalian memintaku berlagak seperti inspektur fesyen?"

"Nggak cuma fesyen, Jean, kau bisa memakai rumus itu saat ditanyai topik apapun. Sekarang coba praktekkan," Bertholdt menarik lengannya, memaksanya beranjak dari sofa. Jemari panjang pemuda bersurai hiram itu diarahkan ke antara alis Connie, "Connie, kau jadi ceweknya."

Connie melotot, "WAPAH?! GUA JADI CEWEKNYA? NONONONO-"

"Soalnya diantara kita kau yang pendeknya sepantaran dengan cewek."

Jean ikutan protes, "Mana ada cewek botak kayak kelereng bocet gitu?"

"Kalau gitu, Eren."

Yang dipanggil spontan loncat di tempat, lalu nyungsep ke kolong tempat tidur untuk bersembunyi. "NGGAK SUDI!"

Reiner dan Marco memegangi kaki Eren yang sudah separuh badan masuk ke kolong, "Ayolah, Eren! Kau mau korban Jean bertambah?!"

"BODO AMAT! AKU NGGAK SUDI DIGODAIN KUDA!"

Telapak berbungkus kaos kaki wol Jean berayun kencang menendang bokong si brunet, "Berhenti memanggilku 'kuda', kampret!"

"OW! Bokong seksiku!" Eren jejeritan seraya mengelus bokongnya yang nyut-nyutan. Mau tak mau ia keluar dari kolong—terperangkap di sana berarti seperti tikus yang tersudut oleh tiga kucing sekaligus. Mereka bisa puas menendangi bokongnya sementara ia tak bisa bergerak.

Marco masih memegangi kakinya meski ia sudah beringsut keluar. "Jean nggak bakal mempraktekkan gombalan, cuma subtlety! Ayolah, Eren!"

"Oke, oke!" Eren menyerah juga, dua telapak tangannya mengapung di udara. Bola mata jamrudnya melotot galak pada iris keemasan Jean.

"Skenarionya begini," Reiner, yang menunjuk diri sendiri sebagai sutradara, menggantikan posisi Jean di sofa. "Jean sedang beli minuman di vendor otomatis, tapi koinnya terjatuh. Kemudian dia berusaha mengambilnya..."

Sesuai skenario, Jean menggelindingkan sekeping receh ke lantai dan berusaha meraihnya.

"...namun rupanya seorang gadis lebih dulu memungut koin. Tangan Jean tak sengaja bersentuhan dengan si gadis."

Dengan muka meringis menahan jijik Jean menaruh tangannya di atas punggung tangan Eren. Eren, tak kalah jijiknya, merespon dengan spontan menepis tangan pemuda berambut bleached blond itu. Tapi keempat temannya malah mengira itu akting Eren menirukan gadis yang malu-malu bersentuhan dengan cowok.

Bertholdt, sang asisten sutradara, memberikan arahan. "Nah, Jean. Sekarang katakan sesuatu agar cewek itu mengembalikan koinmu. Ingat: pujian, kritik, saran!"

Jean memangguk mantap, lalu menatap Eren lekat-lekat. "Memungut koin itu bagus. Penting menjadi oportunis di masa resesi. Tapi itu koinku. Lepaskan atau kubunuh."

Sang sutradara, asisten, serta kedua penonton kompak menepuk jidat mereka.

"Jean! Yang benar aja, daripada saran kata-katamu lebih terdengar seperti ancaman!"

"Berisik! Aku nggak akan membiarkan orang lain mengambil sepeserpun uang dariku, apalagi bocah beralis ulat bulu ini!" Jean balik protes seraya menunjuk alis tebal Eren.

Eren kontan mendelik, "Alis ulat bulu?! Memangnya aku Crayon Shinchan?!"

"Memang alismu seperti ulat bulu!"

"Muka kuda!"

"Alis ulat bulu!"

Marco menggosok-gosok dagunya. "Jadi seperti itu... Jean nggak bisa serius praktek karena Eren masih kelihatan seperti, well, Eren."

"Mungkin Eren harus pakai rok biar Jean bisa melihatnya sebagai cewek," usul Connie.

Pak sutradara menepukkan tangannya. Kagum pada kejeniusan si botak. "Bagus, Connie! Mikasa sedang pergi, kan? Pinjam saja roknya lalu suruh Eren pakai—"

"NGGAK SUDI!" Eren jejeritan histeris. Meracau bak petasan korek api. "NGGAK SUDI NGGAK SUDI NGGAK SUDI!"

Terlambat. Connie sudah menyelinap ke kamar Mikasa dan sukses mencuri selembar rok sekolah, plus sebuah jepit manis berbentuk bunga (kapan Mikasa—si macho ber-six pack—beli barang imut begitu?) dan dasi pita khas seragam cewek. Eren tak bisa kabur. Kedua lengannya dikunci oleh Reiner sementara Bertholdt dan Marco memegangi kakinya. Si brunet meronta-ronta ketika Connie mengalungkan dasi pita ke lehernya. Pekikannya semakin menjadi-jadi ketika tangan Connie menjalar ke pinggang, sigap membuka sabuk kulitnya.

"KAMPRET! SEKUHARA! AKU LAPORIN KALIAN KE POLISI!"

"Eren, kau kan sering lalu-lalang pake boxer di depan kami, untuk apa malu sekarang?" Connie tak menghiraukan sumpah serapah pemuda yang menggeliat di lantai itu. Dengan satu gerakan mulus ia menarik celana Eren, memperlihatkan boxer kuning bergambar spons bergigi tongos. "Boxer Spongebob. Yap, untuk ini kau pantas malu."

Celana katun drill cokelat Eren melayang di udara, dilempar begitu saja oleh temannya yang berkepala pelontos itu. Kini Connie berjuang memakaikan rok ke pinggang Eren. Bukan perkara mudah karena sesekali pegangan Marco lepas dan ia harus merasakan kedasyatan tendangan Jaeger muda. Ada gunanya juga Eren berguru karate pada Rivaille-sensei.

Setelah rok berhasil bertengger di pinggang, giliran jepitan bunga. Aksesoris mungil itu berhasil bertengger di rambut kecoklatan Eren tepat sebelum ia menendang Connie tepat di selangkangan.

Connie berguling sembari memegangi 'adik'-nya yang berkedut perih. "JAEGER SIAAAAAL! MAU BIKIN GUA MANDUL, HAH?!"

"Rasain!" Eren menyeringai. Tapi tak lama karena ekspresinya berubah horor melihat tubuh bagian bawahnya hanya ditutupi selembar rok pendek dan kaos kaki. "Oi, ini kelewatan! Kenapa nggak tunggu Mikasa pulang dan minta dia jadi ceweknya?!"

Asisten sutradara menggeleng, "Kau mau Jean babak belur?"

"Bodo amat!"

"Eren, sudahlah. Lima belas menit, aja. Bantu Jean, plis!" Marco memelas, tapi tangannya makin kuat mencengkeram pergelangan kaki Eren.

Eren misuh-misuh, "Baiklah! Lima belas menit!"

"Yay! Thanks, Eren! Kau benar-benar sahabat sejati!"

Bola mata jamrud Eren berputar sarkastik, lalu berhenti saat ia mendapati sosok Jean yang berdiri mematung. Ia menarik badannya untuk berdiri hadap-hadapan dengan pemuda yang masih bisu seribu bahasa itu. "Oi, Jean! Cepat, aku nggak mau berlama-lama pakai rok!"

Jean tertegun. Mata sipitnya sedikit membelalak saat ia menjawab, "Oh—um, oke."

Pak sutradara sudah kembali ke sofa sementara sang asisten setia berdiri di sampingnya. Connie dan Marco mengambil jarak, menyediakan ruang lebar untuk Jean dan Eren.

"Oke, Eren, Jean! Kembali ke skenario tadi. Camera, rolling, action!"

Adegan tadi terulang lagi, namun kini berbeda. Ketika tangan mereka bersentuhan, Jean tak lantas menatap mata Eren penuh semangat tempur memperebutkan si koin receh. Pandangannya jatuh pada paha Eren. Kulitnya terlihat mulus, lembut, dan nyaris tak ada bulu di sana. Kalaupun ada sangaaat halus sampai butuh mikroskop untuk melihatnya. Roknya sedikit tersingkap, memperlihatkan undergarment kuning. Jean tahu benar itu boxer Spongebob yang demi jagad raya nggak seksi sama sekali, tapi entah bagaimana di matanya sepaket pemandangan yang terpajang di hadapannya—Eren, paha Eren, rok tersingkap—tampak begitu... menggoda. Ia melotot, kaget pada dirinya sendiri. Eren menggoda? Yang benar saja!

Untuk mendistraksi diri ia mengalihkan pandangannya ke atas, menyusuri torso Eren yang cukup maskulin, walau belum six-pack seperti adik angkatnya, Mikasa. Lalu ke wajahnya. Dagunya yang meruncing, garis rahangnya yang lembut. Mata jamrudnya yang bening, berbingkai bulu mata legam nan lebat. Ini pertama kalinya Jean benar-benar menatap Eren, dan ia menyesal. Menyesal karena jantungnya kini berdebar kencang seolah ingin mendobrak rusuknya.

"Jean...?" Eren mengerutkan dahinya. Ia tak bisa menepis tangan Jean karena pemuda itu mencengkeramnya kuat. "Earth to Jean, halo?! Tanganmu keringatan, menjijikkan! Lepaskan!"

"Ah—oh. Maaf," refleks Jean menuruti perintah Eren. Eren benar—ia merasakan peluh di tangannya ketika ia menggaruk lehernya yang tidak gatal, grogi dadakan. "Maaf, aku... Itu koinku,"

Dari pojok kamar sang sutradara manggut-manggut, "Bagus, Jean! Puji, kritik, saran!"

Jean menelan ludah, lalu menatap Eren yang untuk alasan tak jelas tampak berkilauan bertabur kelopak mawar. "Aku mengerti kenapa kau memungut koin. Uang memang penting." ia berhenti, tarik nafas keluar nafas. Digenggamnya pergelangan Eren agar pemuda itu tak beringsut menjauh. "Tapi cinta lebih penting, dan aku bisa memberikannya untukmu."

DHUAR. Sekering otak Eren putus. Syaraf-syarafnya konslet seketika.

"WOI SUTRADARA, KATANYA DIA NGGAK BAKAL GOMBAL?!"

Reiner berteriak melalui buku Biologi yang digulung membentuk corong, "Jean, kembali ke skenario!"

Arahan itu tak tertangkap oleh indra pendengaran Jean. Otaknya sudah disconnected dari realita. Ia melangkah, menutup jarak antara dirinya dan Eren. Genggamannya makin erat. "Eren, aku—"

Eren jejeritan histeris lagi, "OOOII! SESEORANG, TOLONG GAMPAR KEPALA BOCAH LAKNAT INI!"

Percuma. Keempat pasang mata milik temannya asyik menonton adegan yang tampak lebih mesra daripada telenovela kesayangan mereka.

Jean mendekat lagi, "Eren—"

"TOOLOOOOOOOOONGG!"

Saat itulah sang penolong datang. Nafasnya terengah-engah. Sepasang orbs kelam mendelik tajam dari balik helaian rambut hitam. "Lepaskan Eren!"

Bagai harimau, Mikasa buas menerkam Jean hingga si rambut cepak terjatuh ke lantai, kepalanya menyentuh lantai dengan bunyi gedebuk keras. Seketika Jean melotot. Terperangah, megap-megap seperti ikan terdampar di darat. Seakan baru terbangun dari amnesia, ia panik bertanya, "Apa—Mikasa—apa yang—?!"

Eren horror mendadak. Adik angkatnya melihat adegan tak senonoh antara ia dan si muka kuda! Belum lagi ia memakai rok seragam milik adik overprotektifnya itu. Ia menyentuh pundak Mikasa untuk menenangkannya, yang disambut dengan tarikan kuat gadis bersurai hitam itu. Begitu kuat hingga Eren nyaris terhuyung jatuh—kalau saja Mikasa tak menangkapnya dalam sebuah gendongan bridal-style.

"Kau nyaris menodai kepolosan Eren-ku tersayang, keparat!" Mikasa memaki.

Segala warna luntur dari wajah Jean, "Maksudmu apa?"

"Kau menggombali Eren, Jean, sambil memegang tangannya," Connie menjelaskan sambil menyeringai. "Ternyata kau sama seperti Rivaille-sensei, ya?"

"Nggak mungkin!" Jean menggeleng kencang. Ia mundur dua tiga langkah sembari memelototi pemuda bermata jamrud yang menatap takut-takut padanya. "Nggak mungkin aku melakukan itu! Apalagi sama monyet satu ini! Nggak mungkin! Nggakmungkinnggakmungkinnggakmungkin—"

Tiba-tiba Jean berlari kencang. Menuruni tangga kediaman Jaeger seraya menjerit, "AKU BUKAN HOMOOOOOOOOOOOOOOOO!"

Yah. Jean, yang tadi membuat dua cewek menangis, kena karmanya. Kini dia yang menangis terisak-isak, batinnya bergelut mempertanyakan status orientasi seksualnya.

.

.

.

...gimana readers, mau lanjut? :'D

Mohon reviewnya yah! Makasih udah menyempatkan waktu membaca fanfic nista sayah, lup yu al beibeeeeh! *w*