Similarly

.

.

Naruto Masashi Kishimoto

Alternate Universe (AU), OOC, and Typos.

.

.

.

"Apa ini?" Seorang anak menatap tidak percaya pada benda kecil yang tiba - tiba menampilkan potret bocah kecil di ruangan yang seharian ini ia tempati. Senyum manis terpatri pada bibirnya dengan cekatan ia mencelupakan benda kecil itu pada gelas susu yang masih tersisa setengah.

Asap putih muncul tak lama kemudian, menambah lebar senyum yang sedari tadi ditampilkannya. Jemari mungilnya mulai mengutak - atik benda antik --menurutnya-- yang sering dibawa oleh sang ayah ketika keluar rumah.

Ia pun berdiri membuka pintu kamarnya pelan - pelan, takut jika ibunya mengetahui apa yang sang anak lakukan tengah malam begini. Tujuannya adalah pintu misterius --pikirnya-- di balik tangga yang ia ketahui sebagai ruang kerja ayahnya.

Setelah memastikan keadaan, berjinjit ke kanan kiri ia pun lari kencang berharap tak ada yang memergokinya. Begitu sampai di belakang anak tangga menuju lantai dua, ia mulai mengingat - ingat hal yang sering sang ayah lakukan.

Ia melongok ke atas mengira - ira berapa tinggi yang harus ia capai. Melirik ke kanan, ia berjalan mengangkat kursi kecil yang biasa digunakannya untuk belajar.

Mula - mula ia meniup bagian yang juga sering ayahnya lakukan, tak lama kemudian muncullah tombol transparan mirip keyboard komputer di kamarnya. Jemarinya mengambang diudara, ragu pada kombinasi nomor yang terlintas diingatannya.

"One, zero, one, zero, one, one, one, zero--"

Prang

Bunyi benda tajam terjatuh menghentikan gerakannya, hampir saja ia melompat turun. Akan tetapi dengan cepat menyelasaian angka yang diingatnya "one, zero, one" Bunyi pintu bergeser berbarengan dengan langkah kaki membuatnya segera masuk ke dalam ruangan.

Pintu pun tertutup dan teriakan memilukan terdengar kemudian, yang dikenalinya sebagai suara sang ibu. Tangannya hendak bergerak membuka kembali pintu itu, namun hologram berwujud ayahnya muncul. "Apapun yang terjadi, jangan keluar nak. Keluarlah seminggu setelah kau masuk ke ruangan ini, pelajarilah catatan ayah yang ada di balik lukisan ruangan ini. Ayah dan Ibu sayang padamu. Hiduplah dengan benar nak, Love you dear" hologram itu perlahan menghilang mengabaikan kata yang belum sempat sang anak ucapkan.

Suara besi beradu teriakan ibu dan ayahnya melemaskan tubuh kecil yang bahkan tak paham pada situasi yang dialaminya. Tapi ia tau, semua tak akan sama seperti hari - hari kemarin.

...

Byur

Klik

"Cukup dear, kau akan kedinginan jika berlama - lama berenang" Suara halus wanita cantik di pinggir kolam renang luas yang ada pada pekarangan belakang rumahnya. Ia menggeleng pelan, "Sebentar lagi bu" mendengar perkataan putra tersayangnya.

"Cepatlah nak, ayahmu akan pulang cepat hari ini. Apakah--"

"Sungguh bu? Baiklah aku selesai" Senyum lebar tak lepas dari bibir anaknya yang sudah beranjak dari bermain airnya itu. Ia berjalan mendekat "Ini handuk untukmu dear" berikannya handuk orange bergaris hitam pada sang putra.

"Apakah ayah akan mengajakku ke rumah kakek lagi bu?" Sang ibu diam, menatap anaknya yang antusias. "Mungkin dear, tapi ingat pesan ayah dan ibu, jangan beritahu siapapun tempat tinggal kakek, mengerti?" Anggukan semangat anak yang telah dilahirkannya ini, membuatnya gemas.

Baju yang disiapkan pada kursi santai pun telah terpasang apik ditubuh sang anak.

Bunyi pintu yang dibuka paksa mengalihkan anak dan ibu ini. "Sayang, ada apa?" Tanya wanita cantik yang berjalan mendekat pada sang suami.

"Kalian pergilah, cepat! Aku sudah ditipu, penelitian yang selama ini kami lakukan ternyata hanya untuk kepentingan para manusia serakah itu!" Langkah sang istri terhenti, mengabaikan panggilan putra kecilnya. Bahkan tak sadar ketika sang suami mengambil kamera yang sedari tadi tergantung di lehernya. Dan mulai melakukan sesuatu yang tak begitu ia mengerti.

"Sayang, pergilah ke rumah ayah, bawa putra kita dan berikan kamera ini kepadanya, ada chip yang mereka incar di dalamnya. Aku mohon sayang pergilah" Ujar pria yang menatap penuh harap kepada wanita berambut panjang itu. "Tidak!! aku akan tetap disini!! apapun yang terjadi" putus wanita itu, ia tidak mungkin meninggalkan pendamping hidupnya sendirian, jikapun harus bertaruh dengan nyawanya, ia siap.

"Ayah! Ibu! Ada apa sih?" Pandangan matanya beralih pada miniatur suaminya ini. Ia berjongkok menyamakan tinggi anaknya. "Kamu tau kan jalan ke rumah kakek jika lewat bukit itu?" menunjuk bukit di depannya. Jawaban iya dari sang anak sedikit melegakan hatinya.

"Pergilah kesana dan bawa ini, suatu saat nanti berikanlah pada orang yang memiliki tanda lahir berbentuk tiga bulatan hitam di belakang telinga kanannya" Ucapan sang suami seketika melenyapkan senyum yang awalnya terkembang untuk sang anak.

"Tidak!! Sayang pergilah sendiri ke tempat kakek, Ayah dan Ibu akan menyusulmu ke sana, okay?" Gelengan dari suaminya tidak ia pedulikan. Karena yang terpenting--

Duar

Suara ledakan dari arah luar mengejutkan keluarga kecil yang tengah dirudung ketegangan ini, hanya sang anak lah yang masih bingung dengan apa yang sedang terjadi.

"Cepat pergi!!" Perintah suaminya.

"Tidak kita akan hadapi mereka bersama!!" Teriaknya.

"Hhh, baiklah" Ia memandang senang pria tercintanya yang mengangguk setuju, "Sayang, cepatlah pergi!! jangan pernah tengok ke belakang! larilah sekencang - kencangnya! dan belajarlah untuk menjadi kuat, mengerti?!" perintah suaminya pada putranya tak dapat lagi membendung kedua mata beningnya. Ia langsung memeluk anak semata wayangnya ini, entah kenapa ia merasa tak akan lagi dapat bertemu dengan buah hatinya. Hal yang sama pun dilakukan suaminya.

"Ta--pi ayah ibu--"

"Tidak ada tapi tapian cepatlah pergi dan turuti perintah ayahmu, kami mencintaimu!!" Didorongnya tubuh anak yang telah ia rawat dan jaga selama tujuh tahun ini, hatinya serasa diremas erat oleh sesuatu yang tak kasat mata, menyesakkan sekaligus menyakitkan.

Tubuh kecil itu berlari, hilang tertelan pepohonan lebat di depan sana. Bunyi ledakan kedua segera mengalihkan retinanya, ia melihat sang suami yang sudah menggenggam pistol leser ciptaan sahabatnya. "Sayang! Tangkap" ia menangkap pistol lemparan suaminya.

Untuk terakhir kalinya ia menengok ke arah perginya sang putra. "Semoga engkau selamat nak, jaga dirimu baik - baik. Maafkan kami, jika-- kami tak bisa menepati janji" Air matanya kembali menetes, namun cepat - cepat dihapusnya. Ia harus fokus, seperti sang suami. Karena ia rasa-- ini terakhir kalinya mereka akan berpatner lagi.

...

Hachiim

"Sayang, kamu sakit?" Tanya pria yang tengah mengemudikan mobilnya pada gadis cilik di sebelahnya. "Tidak ayah, hanya saja kue pemberian paman tadi tidak layak dimakan" Ia menatap putrinya bingung.

"Apakah kue itu basi?" Ujarnya memastikan, karena yang ia tau temannya itu tak mungkin memberinya kue basi. "Bukan seperti itu ayah" sahutan dari anaknya ini sedikit mengalihkan fokusnya. "Lalu?" Ia menunggu respon putrinya itu.

"Sepertinya ada bahan yang salah ketika kue ini dibuat ayah, semacam campuran yang tidak seharusnya dimakan. Jadi, akan lebih baik kita buang" Penjelasan anaknya membuat ia sedikit terkejut, ia tau bahwa indra penciuman putrinya sedikit sensitif.

"Tidak sayang, kita harus menghargai pemberian orang lain, kalo kamu tak mau memakannya, biar ayah saja sini" Ujarnya seraya mengulurkan tangan kanannya pada kotak kue di atas pangkuan sang putri. "Tidak ayah!" Teriak putrinya keras.

"Kalau ayah kenapa - napa, kamu harus tetap hidup dan carilah pemuda tampan seperti ayahmu ini haha" guraunya pada sang anak yang memasang wajah merajuk. "Tapi anak itu harus memiliki tanda lahir tiga bulatan hitam di belakang telinga kanannya dan berikanlah liontin yang kamu pakai itu" Nadanya berubah serius, etahlah ia merasa bahwa hal ini harus segera dikatakan pada putri cantiknya yang tumbuh tanpa sosok ibu.

"Emm, baiklah ayah" Senyumnya menguar, ia menatap kue donat pada tangan kanannya, tanpa ragu digigitnya kue itu. "Ayah!!" Teriakan gadis kecil di sampingnya ia abaikan. "Lihat? ayah baik - baik saja kan?" Ujarnya seraya menelan habis kue donat itu. Jemarinya pun hendak mengambil lagi kue donat-- tetapi rasa terbakar mulai menyerang kerongkongannya, rasa yang seakan menyedot habis tenaga dan kesadarannya.

Mobil yang dikendarai itu oleng menabrak pembatas jalan hingga terjun bebas pada jurang berlembah sungai berarum jeram, dibarengi dengan teriakan gadis kecil yang memanggil - manggil sang ayah.

...

"Kek, kita mau kemana?" Tanya bocah laki - laki pada pria tinggi di sebelahnya. Pria itu diam tak menanggapi, ia terus berjalan menggandeng tangan kanan cucunya.

"Kakek?!" Ujar bocah kecil itu kesal, sedari tadi apa yang keluar dari bibirnya tidak mendapat respon apapun dari anggota keluarga satu - satunya ini. Ia pun diam, memasang tampang jutek yang malah menambah imut wajah tampannya.

"Kita akan bertemu kedua orang tuamu" Binar kebahagiaan terpampang jelas pada kedua manik matanya, apakah ia tak salah dengar? ia akan bertemu dengan ayah dan ibunya? "Woah, sungguh kek?" Tanyanya semangat, melupakan kekesalannya tadi.

"Tentu nak" Tepukan pelan tangan kanan kakeknya pada pundak kanannya menghangatkan salah satu sisi hati kecilnya. Ia tersenyum dan fokus kembali pada pandangannya, namun penglihatannya langsung menyipit. Menatap ke kanan kiri yang ia ketahui sebagai tempat tidur terakhir orang - orang yang sudah bosan hidup, itu yang pernah kakeknya katakan.

"Sudah sampai nak" Ujar sang kakek, ia memandang dua batu nisan yang ada di hadapannya. "Apakah ayah dan ibu sudah bosan hidup? sehingga memilih tidur kek?" Ia berujar pelan, tapi tetap terdengar oleh kakeknya.

"Tidak nak, tapi mereka terpaksa tidur lebih dulu--" Bocah tampan itu diam mendengarkan, menunggu kelanjutan perkataan kakeknya.

"Mereka menjadi korban orang - orang jahat! membuat kakek harus terpisah dari kedua orang tuamu. Dan lihatlah! kau sekarang terpisah dengan ayah dan ibumu oleh sebab mereka! Kakek tak ingin kaupun seperti orang tuamu. Meninggalkan kakek seperti ini, atau kakeklah yang terpaksa tertidur karena orang kejam itu." Tangan kirinya yang terbebas dari genggaman sang kakek terkepal erat. Ia bersumpah--

"Sebelum mereka berani membuat kakek tertidur, aku! cucumu inilah yang akan terlebih dulu memaksa mereka tidur! seperti ayah dan ibu! aku berjanji kek!" Senyumpun terbit di wajah yang belum terlalu tua itu, senyum yang hanya pria itu sendiri ketahui maknanya.

_TBC_

Wah, fict pertama saya. Maaf jika banyak sekali typo yang bertebaran dan ketidaknyambungan kata. Harap maklum saya masih ragu untuk mem-publish ini cerita, semoga terhibur dengan fict ini.

Konkrit dan review jika Anda berkenan.

Terimakasih sudah membaca.