Perfect Crime

Daruma san ga Koronda

Pairing : …pairing ya… mungkin ada… #digerus

Genre : Mystery, Crime, Drama, Humor

Summary : perfect crime, kondisi dimana suatu kejahatan mengerikan yang tidak memiliki yang tertuduh. Kondisi ini terjadi berulang kali di belahan Bumi, dan karena aku sangat beruntung,saat ini aku sedang mengalami kondisi tersebut.

.

.

.

.

Ready for some gore?

.

.

.

.

.

.

.

Apa kau pernah merasa takut?

Saat aku kecil, aku pernah bertemu dengan badut. Badut itu bekerja di pesta temanku, dan dia sepertinya senang sekali bertemu dengan orang-orang dan membuat mereka tertawa. Bagiku, wajah manusia dengan wajah diwarnai bukanlah sesuatu yang menyenangkan, itu mengerikan. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan orang itu, aku tak bisa baca wajahnya, aku tak bisa merasakan apa yang dia pikirkan, atau apa yang membuat wajahnya tersenyum begitu lebar. Bahkan di umur begitu kecil, aku adalah pribadi yang begitu tertutup dan sensitif.

Umurku dua belas saat itu, dan ketika badut itu mendekatiku, aku bersumpah aku melihat warna kilauan dari kantongnya, dan aku menangis serta pipis di celana.

Ibuku datang dan mengomeliku. Dia menjemputkan dari pesta itu.

Pesta yang kemudian menjadi sebuah pemakaman yang berwarna hitam dan begitu menyedihkan—karena ternyata badut yang disewa keluarga temanku bukanlah badut, tapi psikopat buron dari rumah sakit jiwa Akita. Dua orang meninggal ditikam pisau yang berada di kantong badut itu.

Seketika aku menangis saat aku tahu hal tersebut.

.

.

.

.

.

Musim dingin Tokyo, sepuluh tahun kemudian.

"Itterashai." Ucapku pada tidak ada seorang pun dalam apartemen. Setelah mengunci pintu dua kali, memastikan tak ada siapapun yang bisa lewat pitnu ini, aku segera keluar, mengeratkan muffler. Musim dingin tahun ini begitu menggigit di Tokyo, pemanas apartemenku juga sepertinya rusak—aku tidak berani bilang apa-apa pada induk semangku semenjak anak laki-lakinya pulang dari Kyoto. Aku tidak suka pandangan naik turunnya pada tubuhku, dan mungkin itulah sebab mengapa aku benci sekali berurusan dengan anak cowok. Mungkin aku akan pulang saja tahun ini dan menghabiskan waktu di rumah. Mungkin aku harus pindah apartemen sekalian, walaupun hal ini bisa membuat ibuku super marah, karena ini ketiga kalinya aku pindah bulan ini.

Jalan begitu padat saat aku hendak naik kereta bawah tanah Tokyo Dome. Aku mahasiswa tingkat satu jurusan seni dan sastra di Tokyo Daigaku—Tokyo Uni. Baru saja masuk ke sana dan sudah merasa tertekan karena semangat gila para pelajar Todai. Mereka tidak main-main saat belajar—tidak ada bersenang-senang, tidak ada goukon, tidak ada berkencan—hidupmu didedikasikan untuk belajar saja.

Tempat ini begitu sempit, kupikir saat aku menjejalkan diri ke dalam kereta bawah tanah. Aku membuka buku catatan kecilku untuk mereview kembali yang sudah aku pelajari beberapa minggu ini sembari memegang tiang kecil di sebelahku. Orang-orang kelihatan apatis dan datar dengan baju formal dan kesibukan masing-masing. Aku berpikir apakah saat ini aku terlihat seperti mereka atau tidak.

Tiba-tiba aku merasa seseorang menyentuh bokongku.

Chikan! Aku ingin mengejang dan berbalik untuk menyuruh orang itu pergi dan mati saja seperti seorang pemberani, tapi tak ada suara yang keluar. Tenggorokkanku sangat kering dan tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Kumohon, seseorang tolong aku. Bagaimana kalau ternyata chikan ini adalah seorang pembunuh bayaran? Bagaimana kalau dia tiba-tiba mendendam diriku dan men-stalkerku? Bagaimana kalau nanti aku mati? Aku tak mau mati. Aku tak mau mati. Aku tak mau mati. Dengan tangan gemetar aku merasa tangan lelaki itu semakin menyentuh bagian yang tidak senonoh—dia mulai menyentuh bokongku dan masuk ke dalam lebih lagi. Aku bisa merasakan tangannya bergerak-gerak di bokongku, dan aku menggigit bibir menahan tangis dan amarah. Aku takut. Siapapun, tolong aku. Tolong aku, aku tidak mau dibunuh. =

"Oooi, ossan. Kau itu kalau mau pegang-pegang cewek yang seumuran denganmu dong… eh tapi, cewek umur lima puluh tahun mana yang mau dipegang oleh mu?"

Suara berat itu terdengar bariton, begitu datar dan menggoda. Orang-orang di sekeliling kami melihat ke arah kami, beberapa berbisik-bisik dan melempar pandangan jijik ke arah ossan yang menyentuh diriku sebegitu mesumnya tadi. Ternyata pria—om-om—yang menyentuhku hanyalah om-om tua yang menjijikkan dan kelihatan desperate. Dia kelihatan malu dan marah. Aku pun begitu. tapi yang aku bisa lakukan hanyalah menunduk dan menyembunyikan wajah dari tatapan semua orang yang membuatku begitu takut. Apa yang mereka lihat? Seorang anak perempuan yang mau saja disentuh-sentuh di tengah keramaian? Apa mereka pikir aku punya fetish? Apa mereka pikir aku menyukai disentuh makanya aku tidak bilang siapapun? Bagaimana kalau ternyata mereka menyebarkan hal ini di internet? Bagaimana kalau ada salah satu dari mereka yang memotret adegan ini? Orang-orang akan tahu wajahku. Aku tak mau itu terjadi. Aku takut.

"Kau tak apa?" suara bariton itu terdengar lagi, dan aku melihat cowok tertinggi (dan tertampan) yang pernah aku lihat. Dia memiliki kulit cokelat yang cukup gelap, namun matanya berwarna biru laut yang cantik. Wajahnya kelihatan sangat aristokratik dibandingkan dengan diriku yang jelek ini. Tanpa menjawab aku berlari dari sana, dan kebetulan aku sudah sampai di halte yang Universtias Hongo.

Kampus Hongo adalah salah satu cabang dari Tokyo Uni. Kampus Hongo mungkin yang paling dekat dari apartemenku (yang benar-benar akan aku tinggalkan setelah libur musim dingin. Aku merasa diawasi akhir-akhir ini dan aku menutup semua jendela yang aku punya dengan Koran—lebih aman daripada gorden…) warna putih dan biru muda mendominasi lapangan Hongo, dan sebuah jam besar menunjukkan bahwa dua puluh menit lagi kelas bahasa akan mulai. Aku terburu-buru masuk ke dalam, merasakan belaian udara hangat dari pemanas.

Aku berjalan cepat-cepat ingin segera pergi dari lautan manusia di sekelilingku. Menyeramkan. Mereka memandangmu tanpa kau tahu apa yang mereka pikirkan. Pikiranku begitu negatif tentang para manusia di sekelilingku ini. Aku takut.

"Kau dengar?"

"Dengar, dengar."

"Di Taman Sachi."

"Sadis."

"De javu."

"Misterius."

"Gila."

"Menyeramkan."

"Tapi juga jenius."

"Keren."

"Sangat kreatif."

Bisik-bisik seperti api di sekelilingku, menjalar seperti ular yang memakan buntutnya sendiri. Aku sendiri ingin menenggelamkan telinga dibalik tanganku, karena inilah yang paling aku tidak mau dengar—peristiwa mutilasi di taman Sachi. Aku tak mau dengar opini gila bin sinting teman-temanku. Taman Inokashira sangat dekat di Tokyo, dan para mahasiswa Todai berpikir ini adalah hal yang penuh intrik. Aku sendiri berpikir bahwa Tokyo lebih baik tanpa ada pembunuh yang berkeliaran pada malam hari dan memotong tubuh orang-orang dengan presisi super tinggi.

Dan kabarnya, hal ini adalah pengulangan dari peristiwa sebelas tahun yang lalu.

Aku tak mau mendengarnya lagi!

Biasanya gossip-gosip temeh hanya akan membuat mereka memutar bola mata, namun dengan kasus pembunuh dengan tingkat intelegensia seperti ini, mereka seperti anjing yang diberi tulang. Dengan eksaitmen setinggi ini, aku yakin sebentar lagi mahasiswa Todai bakalan membuat sebuah klub berisi orang-orang jenius yang dengan penuh semangat mencari pembunuh sial itu.

Aku? Aku hanya mahasiswa tingkat satu pengecut yang tidak ingin ikut campur urusan orang-orang atas.

.

.

.

.

.

.

"Pagi hari tanggal 23 April, didalam sebuah tempat sampah di taman Inokashira, Tokyo, ditemukan dua potong tangan, dua kaki, bahu kanan, sebuah pergelangan kaki dan potongan-potongan daging dan tulang yang berasal dari tubuh manusia. Kepala, dada serta organ tubuhnya tidak diketahui berada dimana. Polisi tengah mencari apakah ada saksi mata atas terjadinya pembunuhan ini. Korban berusia 35 tahun, pria. Diduga pembunuh masih berada diantara orang-orang banyak, menunggu waktu yang tepat untuk memulai peperangan kedua, mencari apakah ada anak nakal lainnya…."

.

.

.

.

.

.

.

.

When the blood spilt, it brings joy and candies together

All the psycho trying to put all in the chandelier

While they were waiting for another sender

Behindyour door, The Sender of Miracle…

.

.

.

.

.

.

.

.

Yap. Ini prolog saya.

Dan ini saya buat abis adek saya nanya Perfect Crime itu apa… this intrigues me, that's all.

But I got goosebump a lot when writing this, karena… ini kisah nyata.

Soal Inokashira park, itu beneran nyata.

Sebelas tahun lalu, tanggal 23 April, cowok berinisial S ditemuin dalam bentuk yang… kayak diatas. Bukti-butki dikumpulin, tapi yang lebih aneh adalah kenyataan bahwa kejadian ini… ah sudahlah.

Mungkin premis gorenya saya pinjam dari Inokashira Park Dismemberment, tapi untuk kedepannya saya yang berpikir sendiri. Malah tadinya saya mau bikin cerita UI!AU, dimana ada mayat ngambang di Danau kampus UI. Tolong yang mau UI… waspada ya. Saya bukan mau bohong atau gimana, tapi ini beneran.

Tolong, tolong… ini mungkin bakalan gets pretty serious. Expecting humor… well I'll try.