.::The Black Piano and The Pink Violin::.
ceruleanday
.
April, 09 2010
~(OoOOoO)~
My life was started in a melody. When I die, then the piano will bleed for me. Its black color will become my graveyard and my coffin. So does for the string of a violin. Its strings just like thousands petals of cherry blossom flower. So calm, yet so easy to die. But I will never let its petals just flow with nobody beside them. So, the black piano will stay till the death of the violin.
This is how I life and this is how I end.
~(OoOOoO)~
.
Piano Instrument : Maksim Mrvica's Croation Rhapsody, Kolibri, Hana's Eye and Child in Paradise. ^^
Warning : AU.
Suara lantunan melodi asing menggema di tiap lekukan dan sudut ruangan bernuansa putih itu. Hanya ada kursi kecil berwarna senada dengan tembok-tembok ruangan dan sebingkai lukisan laut biru yang terhempas oleh badai di tengah samudera tengah mengisi kehampaan dalam ruangan itu. Kosong. Dan putih. Hanya itu. Satu nada di ambang minor melengking dan membuat frustasi nada lainnya. Semangat langkah jemari itu menari-nari di atas tuts hitam dan putih—menggambarkan rasa sedih mendalam yang tak bisa dibendung lagi. Dalam musik, bila kau tak mampu menangis maka biarkan musik itu yang akan menangis untukmu. Dan kau akan menangis karenanya.
Croation Rhapsody.
Adalah sebuah karya nyata yang mampu diekspresikan oleh pemuda ini. Tiap dentingan adalah nafasnya. Ia membiarkan jemarinya menari-nari liar di atas padang rumput yang mulai menggersang oleh nada suram yang begitu implisit. Ia tak butuh banyak kata untuk berucap dan menggambarkan suasana hatinya kala itu. Yang dibutuhkannya hanya sebuah piano hitam, maka kau akan tahu apa yang tengah dipikirkan dalam otaknya itu. Karena, bukan mulutnya yang akan berbicara tetapi jemarinya.
Ia telah menjadi seorang pianis di usia yang teramat muda. Di usianya yang masih tujuh tahun dan namanya sudah begitu dikenal di dunia musik klasik dan panggung orkestra megah. Mulai dari bimbingan sang kakek yang juga seorang maestro piano terkenal di Jepang hingga The True Young Maestro dari belahan dunia sana—Hatake Kakashi.
Entah kenapa rambutnya yang keperakan selalu menjadi bahan tanya bagi pemuda berambut raven ini. Yah, bukan masalah besar kalau kau tahu bila pemuda Hatake ini memiliki ibu yang berdarah Scotland. Usia kedua pemuda ini tidak terpaut begitu jauh, hanya beda sebelas tahun saja. Dan kalau kau bertanya pada pemuda berambut perak ini dengan bahasa Jepang, maka yang bisa kau dapatkan hanya wajah bingung darinya saja. Maklum, dari lahir sampai sekarang, ia selalu saja berpindah-pindah dari satu negara Eropa ke negara di benua Eropa juga. Yang dipahaminya hanya bahasa Inggris dengan aksen British yang sangat kental, bahasa Perancis, bahasa Jerman sedikit-sedikit, dan bahasa Spanyol. Kasihan sekali ya, padahal ayahnya adalah Jepang tulen. Rupanya, ras Kaukasoid milik sang ibu terlalu menempel erat pada gennya.
Pemuda yang tengah memainkan jemarinya di atas tuts piano ini tengah menutup kedua matanya. Bila seorang pianis menutup mata saat menari-nari liar pada pianonya, itu artinya ia menginginkan suatu hal, yakni kesendirian. Ia ingin menciptakan suatu dimensi dalam dunianya sendiri. Dan itulah yang tengah dilakukannya sekarang.
Lentera merah membayang-bayangi hamparan salju putih dalam dimensi di imajinasinya. Kedua alisnya berkedut, merasa jengkel dengan gangguan itu. Perlahan, jemarinya semakin bergerak liar, tak tentu dan berlari ke mana saja. Instrumen Croation Rhapsody ituberubah bak lautan luas yang terdesak oleh badai kencang. Dan akhirnya berhenti tepat di bagian reff-nya yang takkan bisa terdengar indah tanpa satu instrument lain—violin. Inilah yang sering menjadi masalah terbesar bagi pianis muda ini. Tak bisa mendapatkan violinist yang mampu mengikuti alur cara bermainnya yang begitu—erm—sembrono dan liar.
Sudah beratus-ratus jalan ia lalui di dua benua ini—Asia dan Eropa—hanya untuk mendapatkan partner in crime terbaik. Bahkan sang kakak pun tak mampu mengikuti alur melodi pemuda ini. Menurut sang kakak yang juga seorang pianis namun lebih banyak menghabiskan waktu sebagai composer ini, sang adik adalah pianis klasik dengan nada sedikit techno. Biasanya, black piano digunakan untuk memainkan melodi yang ringan dan mellow, tapi berbeda pada pemuda berambut bak pantat ayam ini. Caranya membuat jemarinya menari saja begitu aneh, terlebih lagi dengan dominansi nada-nada mayor dan pianissimo yang begitu kental di setiap denyut melodi yang sebenarnya tidak ada dalam partiturnya. Aneh sekali.
Ah! Dia baru ingat kenapa dia bisa sebegitu anehnya. Pemuda itu dibawa lari oleh sang kakek ke Prague untuk mendalami ilmu piano dan sebagainya di sana saat usianya masih menginjak lima tahun. Rupanya, sumber masalah adalah kakeknya sendiri.
Menurut sang kakek, Prague adalah kota terindah di dunia. Bukan hanya Venice dan Paris saja yang memperlihatkan sisi romantisnya, kota Prague di Hungaria ini adalah surga bagi siapapun yang ingin mendalami ilmu musik dari berbagai sisi romantisme yang ada. Selama dua tahun lebih, sang kakek melatih pemuda ini dengan begitu kerasnya, sampai-sampai ia melupakan siapa dirinya. Sugesti bahwa satukanlah dirimu dengan piano yang ada di depanmu adalah hal yang tak bisa lepas dari diri pemuda ini. Setelah kembali dari Prague, ia pun pulang ke rangkulan sang ayah dan ibu. Dan tak lama, bukti bahwa ia adalah seorang Uchiha telah begitu nyata.
Caranya dalam memainkan piano yang tak biasa itu adalah daya tariknya sendiri. Bahkan, hal itu telah menjadi ciri khasnya. Tak khayal, hal ini jua yang membuat namanya begitu popular di kalangan anak-anak perempuan dan gadis-gadis tukang mengikik di luar sana. Selain tampangnya yang luar biasa charming, kemampuannya dalam membawa jemarinya berlari-lari ke sana ke mari di atas tuts piano juga luar biasa fabulous. Ya. Kau akan mengikik keras saat mendengar nama pemuda ini. Pemuda berambut raven dengan mata tajam bak seekor elang di siang hari. Sasuke. Ralat. Sasuke Uchiha. A Young Prodigy of Techno Classic Pianist in this era…
.
.
.
"Apa?"
Mata hitam itu melirik ke atas—menatap bosan ke sesuatu, bukan, ke seseorang yang terus saja menerornya beberapa hari ini dengan tumpukan profil violinist terbaik yang ada di Jepang. Ia kembali menegakkan badannya dan mendorong bingkai kacamatanya yang hampir melorot. Tumpukan melodi yang belum selesai diaransemennya ditarik paksa oleh dua tangan yang sama tak asingnya.
"Kembalikan pekerjaanku, Sasuke. Kau tahu kan aku sedang sibuk-sibuknya saat ini. Pementasan drama La Traviata versi kolosal tinggal beberapa minggu lagi dan lihatlah—ya ampun, tumpukan ini membuatku gila!"
"Makanya, hentikan dan ambil cuti, Itachi. Kau itu seperti mesin pembuat lagu saja. Bagaimanapun juga kau butuh liburan." jawab sosok tak asing itu tanpa rasa bersalah.
"Dasar sewot. Aku begini juga karena siapa? Seandainya saja kau tidak main di pementasan itu, mana mau aku meringkuk dan membusuk di sudut ruangan pengap ini selama berminggu-minggu. Dengan cara mainmu yang aneh begitu, aku harus mengubah semua nada-nada dari lagu-lagu ini. Hahh, you totally make everything become harder, Sasuke."
Dan detik berikutnya, pria bernama Itachi itu merogoh-rogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sebuah kotak putih yang berisi sepuluh batang rokok. Diambilnya satu dan ia mulai memantik-mantik bunga-bunga api kecil di ujung rokok itu. Sasuke—begitu nama yang tengah berdiri di hadapan sang composer ini hanya bisa memutar mata.
"Sejak kapan kau merokok?"
Itachi melirik ke arah adiknya sekali lagi sambil menghembuskan asap putih berbentuk oval di udara. "Kau takkan pernah tahu sampai kau mendapatkan kegilaan ini, Sasuke."
"Apa maksudmu?" tanya Sasuke sembari melipat tangan dan menaikkan sebelah alisnya. "Apa kau mau bilang kita harus jadi kurang waras dulu baru bisa merokok, begitu?"
Lagi. Asap putih mulai memenuhi hawa pengap di ruangan dengan ventilasi kecil itu.
"Sudahlah. Jangan tanyakan hal macam begitu. Langsung saja dengan inti kedatanganmu yang sudah kesekian kalinya ini, adikku. Jadi… masih belum ada yang cocok, eh?"
Pemuda bernama Sasuke itu menatap kosong kea rah tumpukan kertas yang dibuangnya di atas meja kerja sang kakak barusan. Lembaran profil-profil violinist terkenal seantero Jepang mengisi kolom-kolomnya. Bahkan tak hanya dengan kemampuan yang di atas rata-rata, para violinist ini juga kebanyakan wanita dengan wajah yang boleh dibilang lumayan.
"Padahal mereka cantik-cantik. Tak ada yang kau minati, hm?" tanya Itachi dengan nada sedikit menggoda namun kedengaran aneh di telinga adiknya itu. Ia lalu menarik salah satu kertas dan membaca profil violinist yang tertera. "Hmm, Muramasa Hachiko. Wajahnya cantik. Ia juga lulusan dari akademi musik terkenal di Nagoya. Ngg, rangking satu dari kompetisi concour tingkat negara tahun lalu dan tahun ini sudah bekerja sebagai chair vilonist di Tokyo Phylharmonic Orchestra. Wow, dengan segudang kemampuan seperti ini, masih belum cukupkah, Sasuke? Kau ini liar sekali. Ckck."
"Kau terus saja mengataiku liar. Memangnya aku ini binatang buas, apa?"
"Yahh, memang bukan tapi kau lebih dari binatang buas. Biasanya, kucing liar pun akan tenang bila telah diumpankan seekor ikan gemuk. Tapi kau, dengan begitu banyaknya umpan, kau malah semakin menjadi-jadi. Hahh…" ujar Itachi sembari melepas kacamatanya dan mulai memijit-mijit keningnya.
"Dengar ya Sasuke. Kalau kau begini terus, konser tunggalmu di Prague terancam batal. Tak bisakah kau untuk tidak terlalu mengutamakan ego-mu dalam urusan partner in crime yang selalu kau sebut-sebutkan itu? Kalaupun kau menemukan violinist dengan gaya seperti itu, pastilah ia adalah orang yang paling-sangat-tidak-terkenal di dunia ini. Bahkan lebih buruk, memang tidak ada sama sekali. Kau bayangkan saja jumlah manusia di dunia ini ada berapa banyak? Apakah kau akan mencarinya hingga ke ujung dunia sana, hah?"
"Akan kulakukan bila memang harus seperti itu." jawab Sasuke dengan nada enteng, sedikit membuat Itachi kesal.
"Dasar baka-otouto! Terus saja kau cari, dan aku sudah lelah dengan pencarian bodoh ini. Kau lupa ya? Yang terakhir, kau membuat partner in crime-mu menangis histeris gara-gara caramu melatih melodimu yang gila itu padanya. Bahkan, temanmu itu, siapa lagi namanya? Ah ya, Naruto. Kau lupa ya, dia bahkan nyaris menonjokmu hanya karena kau mengatai permainan biolanya buruk sekali? Hahhh… lupakan saja obsesi gilamu itu, adikku. Takkan ada satupun violinist yang sempurna seperti itu." jelas Itachi, membuat Sasuke menatap kosong ke arah meja yang berantakan itu.
"Maafkan aku, Itachi. Tapi… entah kenapa aku masih berharap di luar sana ada yang bisa memberiku jawaban atas nada yang hilang itu. Hah, kalau ini memang merepotkanmu, aku akan mencarinya sendiri." jawab Sasuke seraya menegakkan kembali tubuhnya. Sepersekian detik kemudian, ia lalu meninggalkan kakaknya itu. Tumpukan partitur milik Itachi yang diambil paksa olehnya ikut dibawa pergi.
"Woi, itu belum selesai tau."
"Biar saja. Nanti jemariku yang akan melanjutkannya." balas Sasuke sambil membelakangi Itachi. Langkahnya semakin membawa bayangannya menghilang dari ruangan itu. "Dan oh ya. Terima kasih atas segalanya, Itachi. Tenang saja. Konserku di Prague takkan batal. Sebab—
"Ha? Sebab apa?" tanya Itachi penasaran.
Sebab—
—takkan kubiarkan konser itu batal karena itu akan menjadi konser terakhirku sebagai seorang pianis.
.
.
.
Tokyo, Prefektur Chiba
Siang yang terik itu takkan menjadi penghalang bagi gadis berambut merah muda sepinggang ini berhenti untuk mengayuh sepeda keranjangnya. Sambil bersiul-siul kecil ditambah dengan bunyi bel sepeda yang akan menambah kesan riang pada dirinya saat ini, gadis itu nampak begitu bahagia. Dalam keranjang coklat yang dipasang tepat di atas lampu depan sepedanya, terdapat seikat buket bunga mawar segar yang siap untuk diantarkan ke tempat si pemesan. Hari ini, ia memang sedang senggang. Tak ada kegiatan apapun di sekolahnya ataupun ia tak harus mengawasi anak-anak kecil nakal yang susah sekali disuruh tidur siang di tempat penitipan anak milik salah satu tetangganya, yakni Nyonya Shiranui yang baik hati itu.
Sapaan dari beberapa orang yang dikenalnya di sekitar kompleks perumahan minimalis berplang Yellow Lily itu sedikit menambah semangatnya dalam mengayuh sepedanya. Padahal jalanannya sudah menanjak begitu tapi ia tetap saja tersenyum meskipun rasa lelah karena terus saja bersepeda sejauh lebih dari tiga kilometer. Tak lupa juga dengan tas biola yang melekat di punggungnya. Peluh takkan menjadi masalah baginya, asalkan buket bunga yang dibawanya bisa sampai ke pemesan. Ahh, sungguh hari yang sangat terik rupanya.
"Sakura-chaannn~"
Gadis yang masih berusaha tuk mendorong sepedanya ke arah yang lebih menanjak itu sedikit mengernyitkan dahinya. Sepertinya ia mendengar suara tak asing sedang memanggil namanya dari kejauhan. Dan benar saja, rupanya si pemanggil namanya itu memang orang yang tak asing baginya. Dengan segera, gadis itu kemudian berhenti mengayuh dan turun dari sepedanya—menunggu hingga pemuda berambut blondy jabrik sampai di dekatnya. Nafas pemuda itu memburu. Ia berlari rupanya, pikir gadis itu.
"Naruto. Ada apa kau berteriak-teriak begitu?" tanya gadis itu seraya membuka topi putih yang melindunginya dari teriknya matahari di siang itu.
"Hh, hh, hh."
"Tenangkan dulu nafasmu itu." Gadis itu kemudian merogoh-rogoh sesuatu dari dalam keranjangnya dan mengambil botol air minum yang sudah habis setengahnya. Ia menyodorkan botol itu pada Naruto.
"Trims." jawab Naruto dan sepersekian detik kemudian ia menghabiskan semua isi air dalam botol itu. "Haha, maaf. Tapi aku haus sekali."
"Habiskan saja. Aku juga sudah mau sampai di rumahnya Nyonya Mikoto. Oh iya, bicara soal nyonya baik hati itu, kudengar anak laki-lakinya yang paling bungsu sudah pulang dari luar negeri ya?" tanya Sakura sembari meletakkan kembali botol air minum yang sudah kosong itu ke dalam keranjangnya.
"Yeah, si bungsu yang menyebalkan." ujar Naruto dengan wajah sebal. "Kau benar akan ke rumah nyonya itu? Kukira bunga itu untukku, hehe."
Gadis yang dipanggil oleh Naruto sebagai Sakura itu memanyunkan bibirnya, "Hanya dalam mimpimu, Naruto. Hahh, lalu, kenapa kau berlari-lari seperti itu seakan-akan kau dikejar apa, hm?"
"Ohh~ Itu sih hanya karena aku mendengar bunyi bel sepeda yang khas sekali melewati kedai kopi milik Iruka-sensei. Dan juga gadis berambut merah muda yang selalu membawa biolanya itu di punggungnya. Hmm, kau lupa ya kalau aku bekerja sambilan di sana? Gajinya lumayan lho. Hitung-hitung, aku juga bisa melakukan penampilan kecil-kecilan di sana. Permainan violin-ku kan sudah tak perlu dipertanyakan lagi." kata Naruto dengan nada sombong.
"Fuhh, dasar sombong." balas Sakura sambil menggembungkan kedua pipinya hingga merah. Naruto yang gemas kemudian menepuk kedua pipi Sakura dan mencubitnya—sedikit membuat Sakura kesal tetapi cukup membuatnya ingin tertawa juga. Tawa itu memecah di pelataran jalan yang sepi. Namun, beberapa menit setelahnya, wajah Naruto tiba-tiba menjadi serius.
"Kau lupa ya kalau dulu kita pernah—erm—maksudku, ya… dulu kan kita pernah—"
"Itu dulu, Naruto. Kurasa, kau sudah bahagia dengan Hinata-chan sekarang. Dan aku pun—aku pun sudah bahagia dengan kesendirian ini. Haha! Lagipula aku senang dengan keadaanku seperti ini. Yahh, kau tahu, sangat menyenangkan bila ternyata menjadi kekasih seorang Uzumaki Naruto yang terkenal itu selama lima tahun ternyata tidak sia-sia. Maksudku, kau mengajariku untuk mulai menyukai violin tentunya dan membuat anak-anak di panti dan di penitipan tertawa adalah lebih dari sekedar berkeliling-keliling bersamamu selama berjam-jam dahulu." Senyum itu mulai merekah kembali di wajah Sakura. Dan hal itu cukup membuat Naruto bisa bernafas lega meskipun terkadang rasa sayang itu tiba-tiba menyusup lagi kala menatap kedua mata emerald itu tepat di hadapannya.
"Hahaha. Iya, iya. Tidak sia-sia ya? Baguslah. Lalu, bagaimana perkembangan permainanmu, Sakura-chan? Kudengar dari Ino, katanya, jemarimu sudah semakin lincah ya?"
"Hu um. Begitulah. Dengan begitu, aku bisa mengalahkan kecepatan jemarimu, Naruto!"
"Iya, iya. Tapi, biasanya, orang akan memahami violin atau piano bila mereka telah dilatih dari kecil. Dan hal itu sungguh berbeda denganmu, Sakura-chan. Itu artinya, kau adalah seorang prodigy! Erm—meskipun belum sampai ke levelku sih. Haha." ejek Naruto sembari megusap-usap dagunya.
"Hmm, entahlah juga. Mungkin hanya dengan kerja keras?" ungkap Sakura, melemparkan sebuah pertanyaan yang lebih tepat dikatakan pernyataan.
"Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Normalnya, orang akan lancar seperti itu bila telah berlatih selama enam atau tujuh tahun. Tapi, seperti yang sudah kubilang tadi, jika dalam keluargamu ada darah violinist, maka segalanya akan mudah untuk kau pahami." jawab Naruto dengan senyum riangnya. "Dan oh ya! Kalau aku sudah cukup kaya nanti, aku akan mentraktirmu setiap hari di warung ramen milik paman Ichiraku yang terkenal itu! Hehehehe~" jawab Naruto dengan memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih ke arah Sakura, tak lupa juga dengan kedua tangan yang terlipat di belakang kepalanya itu.
"Hahh, dasar kau ini. Yang ada di kepalamu hanya ramen, ramen, dan ramen. Sudah ah. Aku mau ke tempat Nyonya Mikoto dulu. Bunga mawar ini tak tahan dengan panas, nanti bisa layu." kilah Sakura sembari mengenakan kembali topinya. "Aku pergi dulu. Ja'~"
"Eh, eh, jangan pergi dulu Sakura-chan! Ada hal penting yang juga ingin kukatakan padamu." seru Naruto berusaha menahan sepeda Sakura.
"Apa lagi, Naruto?"
"Erm, karena kau akan ke rumah Nyonya Mikoto, ada hal yang harus aku peringatkan padamu, mengingat si bungsu brengsek menyebalkan itu juga ada di sana, hal ini benar-benar penting untuk kukatakan padamu." ujar Naruto dengan wajah khawatir.
"Memangnya kenapa, Naruto? Dia tidak mungkin akan memakanku, kan?"
Sakura baru saja mengubah posisi sepedanya dan akan berlari dari Naruto. "He-hei! Dengarkan aku dulu, Saku-chann~"
"Hehh, iya, iya, kudengar nih. Jadi?"
"Mmm, kau tahu kan kalau keluarga Uchiha adalah keluarga pemusik juga? Kau kenal kak Itachi kan? Pianis yang pernah manggung di sekolah kita dulu itu? Yang jari-jarinya kau sebut sebagai The Mad Fingers?" Sakura mengangguk paham. "Adiknya yang tinggal di luar negri itu memang telah kembali sejak dua bulan yang lalu. Dan yah, aku sebenarnya sudah bersahabat dengannya sejak masih kecil. Tapi, entah kenapa sepulangnya dari Prague, ia jadi aneh begitu. Permainan pianonya juga—er—mm, tidak biasa. Dan katanya lagi, dalam waktu dekat ini ia akan membuat sebuah konser tunggal di Prague. Tapi, dia butuh seorang violinist untuk menemaninya memainkan instrument ciptaannya itu. Itulah alasan mengapa ia tiba-tiba pulang ke Jepang. Ia sedang mencari-cari violinist berbakat yang ada di seantero Jepang. Hanya saja…"
"Hanya saja apa, Naruto?" kilah Sakura tak sabar. "Katakan saja."
"Hanya saja—hanya saja—caranya menjadikan partner in crime-nya tidak biasa. Aku takut seandainya setibanya kau di rumah itu dan dia tahu kau adalah seorang violinist, bisa-bisa dia membuatmu menangis. Aku saja tidak tahan menjadi partner in crime-nya, soalnya dia terus mengejek permainanku terus sih. Hahhh…"
"Dia pernah menjadikanmu violinist dalam permainannya?" tanya Sakura sedikit menaikkan alisnya.
Naruto mengangguk lemah. "Ya, begitulah."
"Kalau hanya soal itu sih, jangan khawatir, aku sudah biasa kok dengan pria mata keranjang. Haha. Begini-begini, aku pemegang sabuk hitam karate lho." jawab Sakura tanpa rasa takut. "Nah, sudah ya Naruto. Aku pergi dulu. Bye~"
"Eh? Ee—Sakura-channnn~ Hati-hati ya dengan si teme itu!" teriak Naruto saat sepeda Sakura mulai terayuh dan menjauh dari penglihatannya. "Hati-hati dengan piano hitam itu, Sakura-chan."
.
.
.
TING TONG.
Bunyi bel rumah di kediaman asri milik keluarga kecil Uchiha itu terdengar di seluruh penjuru ruangan dalam rumah. Pagar kayu yang tingginya lebih tiga puluh centi dari tinggi tubuh gadis bertopi putih ini sedikit membuatnya tak bisa melihat suasana tepat di depan pintu kayu mahoni dengan lonceng emas kecil yang menghiasinya itu.
Sesekali, gadis ini melompat untuk mendapatkan pemandangan yang lebih jelas. Jarak antara pagar dengan pintu rumah tidaklah terlalu jauh. Yahh, tipikal rumah minimalis seperti di amrik. Dengan pot-pot kecil berisi bunga-bunga musim semi yang berwarna-warni dan juga rumput teki yang menutupi tanah-tanah coklat di sekitar jalan bebatuan kecil hingga ke pintu rumah.
Gadis itu menggigit pipinya, khawatir bila Nyonya Mikoto yang memesan bunga mawarnya sudah tak ada di rumah. Ia takut karena keterlambatannya sampai di rumah asri itu. Dan ia pun mulai mengutuk Naruto karena kesalahannya yang sudah mencegatnya di tengah jalan. Tapi, apa boleh buat. Sekarang ia hanya bisa berharap ia tak dapat marah dari Nyonya baik hati ini.
KRIEKK
Ah! Syukurlah! Ternyata ada orang juga yang merespon bunyi bel yang terus dibunyikan oleh gadis dari luar pagar itu. Dengan langkah pelan, seorang wanita berusia empat puluh tahunan namun masih terlihat begitu cantik itu berjalan mendekati pagar putih. Rambut hitamnya tergelung indah dan senyum merekah terlihat di wajah sayunya. Ia kemudian memutar kunci gembok pagar dan memersilakan gadis berambut merah muda itu untuk masuk.
"Er—"
"Pengantar bunga dari Yamanaka Flower Shop kan? Ayo masuk. Bibi rasa, berisitirahat sebentar di dalam tidak akan membuang waktumu percuma kan? Dan—bibi baru saja memanggang muffin. Bukankah semua anak perempuan suka muffin kan?"
"Eh? Kurasa begitu."
"Nah, kalau begitu, ayo masuk." ajak wanita bernama Uchiha Mikoto dengan senyum ramah. "Boleh bibi tahu siapa namamu, nak? Dan, emm, apakah kau seorang pemain biola, hm?" lanjutnya—seiring dengan tas biola gadis itu yang mencuat di atas kepalanya.
"Mm, namaku Haruno Sakura. Engg, dan hanya pemain biasa saja kok, Bi. Tidak begitu hebat. Haha." jawab gadis itu sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Wanita cantik itu tersenyum sekali lagi. Buket bunga mawar merah segar yang dipesannya diletakkannya dalam pot keramik cantik yang terlukis rumah-rumah khas warga Belanda di sekitarnya. Mata hijau emerald itu sedikit mengamati suasana koridor pintu masuk rumah minimalis kediaman Uchiha itu. Foto-foto berpigura kayu terlihat menghiasi bagian dinding yang kosong. Wajah Uchiha Itachi—sang pianis yang selalu disebut-sebut oleh gadis ini dengan nama The Mad Fingers terlihat begitu tampan saat memainkan pianonya. Beberapa foto lainnya pun ikut menghiasinya, terutama foto Itachi saat memperlihatkan trofi emas dan lainnya. Namun, ada juga foto keluarga yang begitu bahagia dan foto-foto seseorang yang bisa gadis itu tebak sebagai adik The Mad Fingers.
Baru saja ia masuk dan lantunan melodi Schubert sudah menyambutnya. Aroma citrus yang menyelimuti koridor itu juga menambah suasana relaksasi. Namun, ia merasa aneh dengan alunan melodi itu. Bukan kesalahan atau apa, hanya saja kenapa semua nadanya berubah drastis seperti itu. Sangat klasik namun begitu perih, seperti seseorang yang tengah kehilangan sesuatu yang berharga dari dalam dirinya. Lantunan itu masuk dan menyusup di kedua lubang telinganya dan mengisi rongga hatinya yang sedikit hampa. Melodi ini begitu menyedihkan, pikirnya. Ada yang salah dengan pianis-nya…
"Schubert…" bisik gadis itu namun bisa terdengar oleh pria tua itu.
"Ya, sang maestro Schubert. Kau tau juga, Sakura? Pianis terbaik di masanya dan juga the best conductor ever. Waktu masih di Prague, bibi sering mendengar symphoni ini dimainkan oleh putra bungsu bibi yang masih sepuluh tahun. Hmm. Terdengar tak wajar memang untuk usia seperti itu tapi… bibi rasa, putra bibi itu sangat menikmati alunan melodi milik maestro Schubert itu. Dan hasilnya, ia mampu menjadi dirinya sendiri. Lihatlah dia—bebas dalam menentukan sendiri nadanya kan?"
Mata emerald itu terpaku oleh sosok yang hanya terlihat punggungnya itu. Di ruangan bernuansa hangat itu, dengan sinar mentari yang sedikit menyusup dari balik kaca jendela, seorang pemuda dengan black cardigan tengah memainkan nada-nada yang tak asing di telinga gadis itu.
Setelah salah satu masterpiece dari Schubert, kini jemarinya yang liar itu berpindah pada salah satu classic techno yang sebelumnya tak pernah terdengar oleh telinga gadis bernama Sakura itu. Alunannya memang tak biasa tapi terasa dengan begitu jelas maksud yang ingin ditujukan olehnya. Yakni rasa sedih karena kesepian atau mungkin—pencarian yang tak berujung?
"Sasuke."
"Eh?"
"Namanya adalah Sasuke. Dia memang jarang ada di Jepang, baru saja dia pulang dari Prague. Di sana, ia terus saja memainkan pianonya tanpa henti. Tapi… yang namanya seorang anak itu pasti akan selalu memiliki rasa rindu pada orang tuanya kan?"
"Hm, kurasa juga demikian." bisik Sakura kecil.
"Ah! Bibi rasa, muffin-nya sudah matang. Bibi ke dapur dulu ya., Sakura. Kalau ada apa-apa, minta tolong saja sama Sasuke. Dia anak yang baik kok."
"E-ehh?"
Dan kini, Sakura hanya bisa berdiri kaku di tempatnya. Bagaimana ini? Masa' aku ditinggal sendiri bersama dengan—akhh!
Sakura mengalihkan perhatiannya seketika. Kini, ia berusaha menikmati alunan melodi yang dibunyikan oleh piano hitam pemuda bernama Sasuke itu. Yang dihadapkan ke arah Sakura hanya punggungnya saja. Tak terasa, Sakura seakan bisa membaca pesan yang dibawa oleh lantunan melodi yang terdengar begitu full of pain ini. Namun, sampai di reff, tiba-tiba jemari pemuda itu seakan tercekat dan berhenti bergerak. Kaget, Sakura pun hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya saja.
Pemuda itu berbalik, mata onyx-nya yang kelam sedikit menyipit, berusaha menatap dengan jelas sosok tak dikenalnya tengah berdiri di kaku di ujung pintu ruangan piano itu.
"Siapa kau?"
Sakura membelalakkan matanya, terheran dengan pertanyaan yang seakan diajukan hanya untuk menusuknya. Dia betul-betul dalam masalah yang sangat besar.
"A-ah, err—i-itu, a-aku cuma pengantar bu-bunga ya-yang…"
"Pengantar bunga yang?" tanya pemuda itu terheran. Ia pun berbalik dari kursi pianonya dan berdiri.
Gawat… apa yang dikatakan Naruto tadi kurasa benar! Yosh… kalau dia berani mendekatiku barang sejengkal saja, aku yakin tinju ini akan mendarat di pipinya. Ya, aku yakin itu, pekik Sakura dalam kepalanya.
"I-iya, aku hanya pengantar bunga dari Yamanaka Flower Shop. Nyonya rumah ini memesan bloody rose sebanyak 25 tangkai dan—"
"Maksudmu, ibuku?" potong pemuda berwajah pucat itu. Sakura pun mengangguk kaku. Kedua mata emeraldnya masih membulat takut.
Matanya terasa hampa dan kosong. Tapi, jelas sekali ada suatu kesedihan yang disembunyikannya. Permainannya memang tak biasa, sama seperti yang Naruto katakan, hanya saja… aku seakan bia membaca maksud melodinya itu. Akh! Aku kenapa sih? Jangan-jangan aku sudah mulai jadi pengagum misterius pianis ini? Ehh? jerit Sakura dalam hatinya.
Sasuke menelengkan kepalanya ke kiri—mengamati gadis yang masih berdiri kaku di hadapannya dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Rambutnya berwarna merah muda panjang yang diikat separuh dan hoody putih dengan polkadot hitam seakan menutupi seluruh lekuk tubuhnya. Tapi, celananya yang hanya sampai di lututnya itu membuat Sasuke sedikit terperangah dengan mulusnya kulit putih kakinya. Dan juga, ada kaus kaki yang sedikit molor dikenakannya. Ah! Benar-benar gadis yang menarik, pikirnya. Ada yang ia lupakan. Sebuah tas biola terlihat mencuat dari arah punggungnya.
Violin?
Satu. Dua. Tiga. Langkah Sasuke semakin maju dan begitu pula dengan langkah Sakura. Saat ia maju, maka ia mundur. Begitu terus hingga rasanya Sakura sudah tak bisa mundur lagi. Sial! Ada tembok yang mengahalangi. Oke! Kalau dia macam-macam, awas saja ya! Uhh~
Saat jarak mereka sudah sangat dekat itu, kira-kira dari ujung hidung mereka hanya bersisa empat atau lima centi saja, pemuda bermata kelam itu berhenti. Sakura yang masih mengerjap-ngerjaokan mata hijaunya berusaha untuk memalingkan wajahnya dari pemuda itu.
"Ma-mau apa kau, hah?" terdengar suaranya sedikit bergetar.
"Kau—"
"Kau—
"Kau apa?" tanya Sakura masih memalingkan wajahnya dari pemuda itu. Tak terasa rona merah seakan muncul di kedua pipi putihnya. Dia mulai mengutuki organ tubuhnya yang seakan menkhianatinya.
"Violinist?"
"Eh?"
Merasa tidak diperhatikan, pemuda itu memalingkan wajah Sakura hingga mereka saling berhadapan satu sama lain. Hijau dan hitam saling bertemu dalam jarak yang amat dekat. Mata emerald itu membulat dan rona merah itu semakin memerah saja kala tangan lembut pemuda itu mulai membelai pelan pipi Sakura.
"He-hei! Lep-lepaskan tau!" kilah Sakura berusaha menampik tangan Sasuke di pipinya. Ia lalu mengusap-ngusap kasar pipinya itu—ingin menghilangkan efek rona merah yang ternyata sama sekali tak bisa berubah.
"Hn."
Sebuah senyum mengejek atau lebih tepatnya dikatakan senyum sinis dan seringai kecil muncul di ujung bibir pemuda itu. "Me-memangnya lucu apa? Ku-kurasa aku harus pergi sekarang. Hufft…"
Karena kesal, refleks, Sakura memutar badannya dan berjalan meninggalkan pemuda itu. Tapi sialnya, pemuda itu malah menarik pergelangan tangannya. Apa sih maunya orang ini?
"Pergelangan tanganmu tidak terlalu keras. Ukuran yang proporsional untuk seoran violinist. Tapi… apakah kau mulai belajar biola akhir-akhir ini, hm?"
"Hah? Apa maksudmu?"
"Kurasa kau sudah mengerti, violinist—"
"Namaku Sakura, bukan violinist tau." ujar Sakura dengan nada berdecak. "Aku harus pergi sekarang. Masih ada bunga yang harus aku antar."
Namun, Sasuke tetap mempertahankan posisinya yang sekarang. "Kau pikir kau bisa membodohiku? Tadi, kau begitu menikmati permainan jemariku kan, nona cherry blossom?"
"Che-cherry blossom? Namaku Sakura tau! Sakura! Bukan cherry blossom ataupun violinist!" seru Sakura kesal. "Dan sekarang, lepaskan tanganku!"
"Masih mau berkilah juga ya? Kau tahu kan, saat orang lain bisa mengetahui apa yang tengah dirasakan seorang pianis melalui melodinya, saat itu juga, ia bisa menjadi pengiring bagi pianis itu. Dan, aku mau kau jadi partner in crime-ku, Sakura."
.
.
.
To Be Continued
~(OoOOoO)~
RnR pleasee~
