Disclaimer : Dear Mr. Kishimoto, I'm broke. Do I need to explain?
Summary : Naruto mengundang sejumlah temannya untuk menginap di salah satu villa milik keluarga Hyuuga. Semua baik-baik saja sampai salah satu dari mereka ditemukan tewas terbunuh.
Warning : AU, Chara Death, Don't Like Don't Read
-
-
-
=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=
=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=
-
"Say cheese!" seru Tenten girang setelah memasang timer kamera dan bergegas menyusul kawan-kawannya di sisi lain ruangan itu. Atau lebih tepatnya lagi, menyusul segerombolan makhluk narsis yang berpose tidak jelas dengan latar belakang replika lukisan Rembrandt Van Rime berjudul Venus and Mars.
Suasana betul-betul mencair. Gelak tawa bersambut dentingan gelas. Lelucon lama dibalas sindiran malas. Piring-piring makanan dan botol-botol minuman tercecer di sana-sini. Suara musik mengalun berganti-ganti. Mulai dari Beat It-nya Michael Jackson, Dance Floor Anthem milik Good Charlotte hingga The Marriage of Figaro gubahan Mozart. Tapi tentu saja Mozart itu tidak bertahan lama. Hanya butuh beberapa detik sampai semua orang menggerutu dan tanpa dikomando, Kiba segera menggantinya dengan Behind These Hazel Eyes kepunyaan Kelly Clarkson.
Malam ini sembilan belas orang dengan sengaja menginap di sebuah villa milik keluarga Hyuuga. Sekedar reuni kecil untuk merayakan pertunangan Naruto yang kini menjabat sebagai manager divisi keuangan Hyuuga Group dengan pewaris perusahaan tempatnya bekerja, Hyuuga Hinata. Pertunangan yang berlangsung minggu lalu itu menyedot perhatian luar biasa dari banyak orang.
Naruto memang beruntung. Dengan sikapnya yang selama ini cenderung terkesan serampangan, ia berhasil menarik simpati jajaran direksi salah satu perusahaan terbesar di Konoha. Sudah begitu, ia juga tanpa diduga mencuri hati si gadis cantik berambut indigo yang tak lain adalah putri sulung pemilik perusahaan berskala internasional itu. Tak salah jika kemudian Naruto ingin berbagi dengan sejumlah teman sekolah ditambah seorang senior dan dua orang rekan kerjanya.
Segala macam cerita pun mengalir lancar. Ino memulai dengan berceloteh tentang kesibukannya di dunia modelling. Kekasihnya, Sai yang seorang fotografer hanya tersenyum menanggapi. Sementara itu Sakura sibuk menceritakan awal pertemuannya dengan sang tunangan, Sasuke Uchiha, yang merupakan anak bungsu ketua parlemen Konoha. Padahal yang dibicarakan tidak terlihat tertarik sama sekali.
"Aku dengar sekarang kau mengajar karate," tanya Naruto kepada Tenten, "bagaimana perkembangannya?"
"Sangat menyenangkan," jawab Tenten sambil melirik ke arah pemuda berbaju hijau disampingnya, "Sanggar yang kubuka bersama Lee sudah mulai ramai."
Lee mengangguk tanda mengiyakan, "Untung saja ada Neji yang menjadi penyandang dana kami."
"Aku 'kan hanya membantu," tukas Neji, "kapan-kapan aku ingin melihat sanggar kalian."
"Mana mungkin sempat," Kiba berkomentar, "Kudengar sekarang kau ditugaskan di Ame dan hanya bisa pulang setengah tahun sekali."
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Kankuro sembari menoleh, "Kelihatannya makin sibuk akhir-akhir ini."
"Tidak," bantah Kiba "Aku dan Shino bekerja pada distributor perkakas perak. Kami memang sering bepergian, tapi tidak sesibuk itu."
"Lalu bagaimana dengan perusahaanmu?" Shino bertanya balik pada Kankuro dan Gaara.
"Biasa saja," kali ini si bungsu berambut merah yang menjawab.
"Untung saja ada adikku ini," tambah Kankuro, "aku sama sekali tak tahu bagaimana caranya mengurus biro periklanan yang didirikan ayah kami itu."
"Aku dengar kalian berdua akan segera menjadi paman," giliran Choji yang buka suara sambil tetap mengunyah keripik kentang di tangannya.
Kankuro dan Gaara angkat bahu. Lalu bersama belasan pasang mata yang lain kedua pemuda itu menoleh ke arah Temari dan Shikamaru.
Temari tersenyum simpul membenarkan, "Ya, begitulah. Program kehamilan yang beberapa waktu lalu kuikuti memang membuahkan hasil. Sekarang kira-kira sudah dua bulan."
"Wah, senangnya!"
"Shikamaru mau jadi ayah?"
"Tidak kusangka secepat ini."
"Selamat ya."
Ditengah rentetan ucapan selamat itu Kakashi berbisik kepada Shikamaru, "Yakin sudah siap punya momongan?"
Shikamaru mengangguk.
"Kau masih menulis?"
"Masih," jawab Shikamaru sambil menoleh balik, "Dan aku yakin kau pasti masih menjadi detektif kepolisian."
Kakashi mengangguk saja. Pandangannya beralih kearah Jiraiya yang makin malam makin melantur karena dibuai alkohol.
"Hey, Kakashi! Lihatlah, aku punya arloji baru. Ini berlapis emas," kata Jiraiya sembari mengangkat pergelangan tangan kirinya tinggi-tinggi. Pergelangan tangan yang kosong tanpa apapun melingkarinya. Lelaki itu tampaknya benar-benar mabuk.
"Dasar aneh," Ino menggerutu sendiri, "Sejak tiba disini dia terus saja memamerkan arloji emasnya."
"Sebaiknya kau bawa dia ke kamar," bujuk Hinata pada pemuda berambut pirang yang duduk di sebelahnya.
Naruto menghembuskan nafas enggan sebelum melepaskan rangkulannya dari pundak Hinata dan berdiri. Tak lupa ditariknya lengan baju Kakashi tanda mengajak pemuda itu untuk ikut memapah si pemabuk tua.
"Kenapa mesti aku?" keluh Kakashi sesaat. Meski akhirnya ia menurut juga.
"Oh ya, mana Tsunade?" tanya Sai setelah menengok ke sekeliling, "Dia juga ikut kan?"
"Tsunade tidak enak badan sejak sore tadi," jawab Ino "Tadi dia mengirimiku sms dan bilang tidak ingin diganggu."
"Apanya yang tidak enak badan?" Sasuke tak percaya, "Paling-paling juga dia sedang sakau. Tsunade itu kan pecandu alkohol."
"Bukankah Sakura sudah menyingkirkan semua minuman keras sampai sebelum makan malam?" Tenten ikut nimbrung.
"Itulah maksudku," Sasuke meluruskan, "Dia sakau karena belum menenggak alkohol sejak tiba disini."
"Kalau kau bilang begitu aku malah jadi khawatir," Hinata menanggapi, "Apa sudah ada yang mengantar makan malam untuknya?"
"Sudah," sambung Temari "Shizune yang mengantarkan makan malam untuknya. Kusuruh juga untuk membawakan aspirin dan vitamin. Tapi katanya Tsunade tidak mau bangun jadi dia tinggal saja."
"Kurasa lebih baik aku menengoknya sekarang dan membawakannya kopi," kata Sakura sambil berdiri. Sesaat sebelum melangkah, ditolehnya kearah Naruto dan Kakashi yang sedang susah payah berusaha memapah Jiraiya. Tak dinyana, pria paruh baya berambut putih panjang itu justru muntah tanpa aba-aba.
Semua orang jijik dibuatnya.
-
-
"Aduh, dasar! Kenapa pakai mabuk segala sich?" gerutu Naruto sambil tertatih-tatih menaiki anak tangga.
"Kenapa juga kau mengajaknya ikut?"
"Mana aku tahu kalau bakal jadi begini," Naruto membela diri, "Jiraiya ini staff ahli di divisi pemasaran perusahaan kami."
Kakashi memilih untuk meragukannya, "Mana mungkin yang model begini bisa jadi staff ahli."
Perdebatan itu usai saat kaki kanan Naruto menginjak anak tangga terakhir. Dengan setengah sempoyongan mereka mencoba untuk berbelok ke kiri. Disanalah Naruto dan Kakashi bertemu muka dengan Shizune, seorang pelayan villa. Gadis berambut pendek itu tampaknya baru saja keluar dari kamar Tsunade yang terletak di sebelah kiri pangkal tangga.
Naruto merasa perlu menyempatkan diri untuk sekedar bertanya, "Shizune, bagaimana keadaan Tsunade? Masih tidak enak badan juga?"
"Iya, Tuan" jawab Shizune, "Tadi saya dipanggil untuk menutup jendela kamarnya yang macet. Nona Tsunade bilang ingin istirahat."
"Ya sudah," sahut pendek si pemuda bermata biru.
Naruto kembali berjuang bersama Kakashi. Keduanya melewati Shizune kearah kamar Jiraiya yang bersebelahan dengan kamar Tsunade. Sementara Shizune segera berlalu setelah membungkuk dan memberi salam basa-basi.
DUAKK!!!
Seolah tak punya pilihan, Kakashi membuka pintu kamar Jiraiya dengan tendangan kakinya. Pandangan pemuda bermasker itu langsung tertuju pada tempat tidur yang kusut dan teracak-acak. Ibarat permainan sepak bola, ranjang itu adalah gawangnya dan Jiraiya adalah bolanya.
BUUKKK!!!
Satu lagi suara debaman terdengar. Kali ini mungkin karena Naruto yang tergesa-gesa menjatuhkan tubuh Jiraiya dengan setengah hati, si rambut putih yang sudah teler parah itu justru jatuh terguling dari tepi ranjang dan meluncur pasrah ke lantai kamar. Kakashi melirik ke arah Naruto, setengah menyalahkannya.
"Aaarrggghhh!" Naruto menggeregat kesal.
Satu detik kemudian terdengar suara jam besar di ruang tengah berdentang dua belas kali. Suaranya terdengar dengan jelas di seantero villa.
"Malam sudah makin larut. Ganti saja lagunya," usul Tenten pada Kiba.
Kiba menurut saja. Beberapa saat kemudian mengalunlah suara Dan Byrd yang melantunkan lagu Boulevard.
Di lain tempat, Kakashi dan Naruto telah sukses melemparkan Jiraiya ke atas kasurnya tanpa ampun. Baru saja keluar dari kamar yang berantakan itu, mereka berdua melihat Sakura berbelok dari tikungan dapur dan berjalan ke arah keduanya. Di tangan gadis itu tampak sebuah cangkir keramik berwarna merah diatas nampan melamin.
"Sakura mau kemana?" tegur Kakashi.
"Aku mau membawakan kopi ini untuk Kak Tsunade," jawab Sakura sambil menunjukkan nampan bawaannya.
Naruto menimpali asal-asalan, "Alah, dia tidak butuh kopi. Kalau cognac barangkali."
Naruto melenggang santai bersama Kakashi. Kembali menuruni tangga ke ruang tengah sementara Sakura berjalan masuk ke kamar Tsunade. Namun baru sampai di anak tangga ketujuh, langkah kedua orang itu sontak terhenti. Mereka bahkan tak mendengar suara Sakura mengetuk pintu, namun dengan amat jelas telinga mereka menangkap suara yang terdengar setelahnya.
PRAAANGGG!!!!!!
"Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
Suara benda yang pecah berantakan menghantam lantai disusul suara jeritan Sakura yang memekik tiba-tiba. Kakashi spontan berbalik, tapi refleknya masih kalah cepat dengan gerakan Naruto yang tahu-tahu sudah berlari di depannya.
Namun bagaimanapun juga pemandangan yang mereka lihat tetap persis sama.
Naruto dan Kakashi berdiri tercekat di depan pintu kamar Tsunade. Hanya dua meter dari sana, Sakura mematung dengan ekspresi terperangah histeris. Kedua tangannya menangkup membungkam mulutnya sendiri sementara matanya berair dengan tatapan getir yang bergetar hebat. Cangkir yang tadi dibawanya pecah berserakan di lantai bersama nampan yang tergeletak begitu saja.
Persis dihadapan gadis itu, Tsunade tergolek bersimbah darah. Sebuah pisau menancap tepat di jantungnya. Sprei dan selimut putih yang membalut ranjang itu berganti warna menjadi merah. Perlahan-lahan warna merah tersebut semakin melebar, meresap ke dalam sprei dan selimut yang tak berdosa.
Kakashi masih ternganga sewaktu Naruto meneriakinya begitu keras, "Polisi, Kakashi! Cepat panggil polisi!"
-
=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x=x
-
Pagi telah menampakkan diri. Dua orang petugas berjalan keluar menggotong jenasah Tsunade yang sudah dimasukkan ke dalam kantong mayat. Garis pembatas dipasang mengitari lokasi pembunuhan. Personil kepolisian yang dipimpin Asuma Sarutobi berlalu lalang dan dengan cekatan mempelajari tempat kejadian perkara. Disamping kanan dan kiri lelaki perokok berat itu berdiri seorang detektif andal dan seorang penulis muda. Kakashi dan Shikamaru. Ketiganya berada di dalam kamar yang masih berhias darah.
"Aku tak mau tahu," kata Asuma, "Selidiki kasus ini dan selesaikan secepatnya, Kakashi."
"Tidak mau tahu?" Kakashi menyela, "Pantaskah seorang kepala kepolisian berbicara seperti itu?"
"Terserah katamu. Dan kau Shikamaru," Asuma menoleh ke kiri, "Kami butuh bantuan instingmu seperti biasa. Kebetulan sekali kalian berdua sama-sama berada disini."
"Aku belum bilang mau," Shikamaru mengoreksi.
"Kau harus," sambung Asuma seraya berbalik, "karena aku memohon padamu. Seluruh penghuni villa sudah kukumpulkan di ruang tamu. Aku tak bisa menahan mereka lama-lama disini. Terutama karena diantara mereka ada beberapa petinggi Hyuuga Group, seorang anak ketua parlemen yang ayahnya bermulut pedas, dan juga seorang model yang sudah pasti akan menyedot banyak wartawan ke sini."
Hanya itu saja. Asuma tak berkata apa-apa lagi. Dipakainya jaket kulit hitam lalu bergegas pergi meninggalkan Shikamaru dan Kakashi.
"Sekarang bagaimana?" tanya Shikamaru.
"Mana ku tahu?"
"Kau tidak berpikir kalau pelakunya adalah salah satu dari kita, bukan?"
"Entahlah," Kakashi menjawab enggan. Ia justru berjalan tenang ke arah jendela di kamar itu.
"Jangan buat teman-teman panik, Kakashi. Lakukan saja prosedur standarnya. Tanyai alibi mereka, mintai sidik jari, lalu biarkan mereka pulang."
Kakashi tak menyahut. Diraihnya grendel jendela, dibukanya jendela itu lalu ditutup dan dikuncinya. Kemudian ia buka lagi dan ditutup lagi.
"Hey, kau sedang apa?" Shikamaru menegur datar.
Yang ditanya menjawab singkat tanpa perubahan ekspresi, "Jendela ini tidak macet."
-
-
-
TBC
-
-
-
-
a/n: semua petunjuk sudah terlihat jelas di chapter ini. Jika ternyata reader berhasil menebak siapa pelakunya, saya rasa mungkin tak perlu ada chapter II. Terima kasih telah menyempatkan diri untuk membaca fict berantakan ini.
Adakah yang tertarik bermain tebak-tebakan? Review anda saya tunggu dengan sabar.
