Beautiful Distraction
Beautiful Distraction : Namikaze Ex-black
Naruto : Masashi Kishimoto
Genre : Romance, Family
Warning : Out of Character, Another Universal
Rating : M
Naruto and Sakura Fanfiction
Tekadang ada satu kejadian dalam hidup yang dapat mengubah kehidupan kita seutuhnya tanpa harus disesali..
Atau.. tidak bisa disesesali..
Chapter One: Beginning
Sakura memiliki satu orang musuh bebuyutan di tempat kerjanya.
Musuh abadi...
Itulah bagaimana ia dan orang orang disekitarnya selalu menyebutnya selama ini. Seorang lelaki berusia lebih dari 30 tahun yang sikapnya masih saja selalu kekanakan dan menyebalkan.
Yang paling aneh, Sakura Haruno sebenarnya adalah orang yang selalu dapat mengontrol semua emosinya selama ini. Tapi entah mengapa, mulut lelaki itu selalu dapat membuatnya naik darah dan amarahnya tersulut. Perumpamaan paling sempurna, kalau Sakura adalah bensin, mungkin lelaki itu adalah apinya—atau malah pemantiknya.
Segala hal kecil tidak penting selalu dapat membuat mereka bertengkar. Mulai dari antri membuat minuman di pantry sampai bagaimana cara tertawa masing-masing pun dapat membuat mereka bertengkar dengan konyol.
Konyol..
Dan tolong saat kalian membacanya, pikirkan dalam benak kalian kata itu di bold dengan sempurna dan ditulis menggunakan huruf kapital.
Satu lagi..
'Pasangan Konyol'.
Itulah julukan 'manis' keduanya di tempat mereka bekerja. Namun jangan menyalah artikan kata 'pasangan' yang disematkan pada mereka berdua. Mereka tentunya bukanlah pasangan sesungguhnya. Mereka hanyalah 'pasangan bertengkar'.
Namun akhir-akhir ini ada satu hal yang begitu mengganggu Sakura dari 'Musuh Abadinya' tersebut. Lelaki bermata biru, berambut pirang, berkulit tan dan menyebalkan itu tiba-tiba mengusik pikirannya dengan tidak indahnya. Bahkan ia merasa bahwa ia telah sedikit gila. Sedikit 'tidak waras'.
Bermula dari satu siang..
Siang yang amat sial..
"Hoi.. Pinky-chan.."
Sakura tahu benar siapa yang memanggilnya tanpa harus menoleh ke sumber suara yang ada dibelakangnya. Mendadak kepalanya pening. Perempatan mulai muncul di dahi lebarnya. Ia sangat hafal bahwa 'berisik kecil' itu adalah suara Namikaze Naruto.
Musuhnya..
Musuh tercintanya..
Dan tentunya.. Musuh abadinya!
Wanita dengan surai sewarna musim semi itu baru saja kembali dari makan siang damainya bersama Nona Muda Yamanaka Ino yang terhormat—sahabatnya. Namun naas tak dapat dielak, penganggu itu akhirnya muncul juga. Dan sialnya kemunculannya disaat ia sedang tidak mood untuk bertengkar.
"Percepat langkah kita Ino. Aku sedang sangat malas bertemu dengannya saat ini," Sakura mendesis sebal sambil mempercepat gerakan kakinya. Memutar kedua bola matanya bosan, Ino menyetujui perkataan Sakura dengan satu anggukan kecil. Ia juga sedang tidak ingin mendengar adu mulut antara Naruto dan Sakura.
"Ino."
Naas kedua kali lagi tak dapat dielak. Wanita bermata biru dengan surai pirang pucat yang mempesona itu terinterupsi sebuah suara lembut lain yang datang dari arah yang sama dengan suara Naruto.
Sakura mendecak kesal. Lalu ikut menghentikan langkah kakinya bersama dengan Ino.
Mau tak mau kedua wanita itu membalikkan badannya. Sakura lantas melipat kedua tangannya di dada yang kemudian diikuti dengusan kecil dari hidungnya.
"Sai," Ino langsung berhambur kearah orang yang dipanggilnya 'Sai' itu. Meninggalkan dan tidak memperdulikan tatapan protes Sakura saat ia telah berpindah posisi di hadapan pacarnya.
"Bisa kau temani aku sebentar?" seperti biasa, Sai memasang senyum palsu yang selalu Sakura anggap menyeramkan. Namun sangat 'kawaiiii' bila Ino yang mengatakannya. Sempat terpikir dibenak Sakura bahwa Sai mungkin adalah alien, atau boneka perang, atau bahkan zombi tak berperasaan yang sengaja dibangkitkan!
Oke—ini berlebihan. Mungkin Sakura terlalu banyak menonton film dengan genre fantasi.
Dulu—memang ia pernah berpikir begitu. Namun pikiran itu telah ia tepis jauh-jauh sekarang. Karena seiring berjalannya waktu, Sakura dapat melihat Sai sangat mencintai Ino dan bahkan mereka akan menikah dalam beberapa bulan kedepan.
Jadi... mana mungkin zombi tak berperasaan menikah? Tentu saja tidak mungkin.
-o-o-o-o-o-o-o-o-
Dan..
Disinilah Sakura berakhir sekarang..
Masih dengan tangan yang terlipat didepan dada, dagu terangkat keatas dan pose bossy khas Sakura Haruno, tanpa mempedulikan ratusan orang yang telah berlalu lalang di sekitarnya, ia menatap kesal manusia didepannya. Lebih tepatnya, saling menatap tak suka satu sama lain.
"Kau tak menoleh saat kupanggil namun saat lelaki lain menyebut nama wanita disebelahmu kau ikut menoleh, Pink," lelaki itu, Namikaze Naruto berkata sambil membuat gestur mengejek dengan bibirnya dan memasukkan kedua tangannya pada saku celana kerjanya. "Yahh setidaknya aku kali ini menang, kan?"
Sakura mendengus kecil saat melihat seringaian muncul dari bibir lelaki itu.
"Hei! Aku punya nama. Jangan terus-terusan memangilku Pink!" mata Sakura berkilat marah. "Kau merusak siangku yang damai. Sial!" katanya kesal. Sakura langsung berbalik meninggalkan Naruto begitu saja sambil menghentakkan kedua kakinya.
"Hoi hoiii. Sakura-chan.."
Sial sekali lagi. Lelaki itu malah mengikuti Sakura masuk kedalam gedung perkantoran.
"Jangan mengikutiku," kesinisan paripurna benar-benar dapat dirasakan dari ucapan Sakura.
"Aku tidak mengikutimu," Naruto yang kini berada disebelahnya menjawab enteng sambil sesekali bersiul dan meletakkan kedua tangannya yang telipat di belakang kepala.
"Lalu mengapa kau berjalan disebelahku!" kesabaran Sakura benar-benar telah mencapai batas sekarang.
"Jangan berlebihan. Ini hanya kebetulan saja karena langkah kaki kita hampir sama," harusnya Sakura tahu. Yang ia ajak berdebat ini Namikaze Naruto. Lelaki dengan tingkat kekeras kepalaan yang hampir sama dengannya. Percuma berdebat dengan laki-laki ini.
"Aku lebih dulu," dan Sakura selalu terlalu bodoh untuk meladeni mulut sial Namikaze itu.
Naruto menyeringai puas. "Hmmm. Entahlah. Mungkin kita sehati. Karena akhirnya langkah kakiku akhirnya sejajar denganmu," katanya dengan wajah sok polos.
Ingin rasanya Sakura melemparkan Naruto ke Samudra Atlantik sekarang—andaikan bisa. Namikaze ini selalu begitu memuakkan disetiap kesempatan mereka bertemu.
Ia berdoa dalam hati. Kali ini doanya benar-benar tulus. Ia ingin Kami-sama menyadarkan lelaki ini agar berhenti bertengkar dengannya. Termasuk berdoa agar sikap Namikaze Naruto akan berubah 180 derajat padanya. Sakura sudah muak berdebat sepanjang hari dengan Namikaze Naruto.
Oke ini adalah hal yang tidak masuk akal kesekian kalipenyebab pertengkaran antara Naruto dan Sakura. Langkah kaki.
"Oke. Kau duluan saja," Sakura menghentikan langkahnya. Ia mencoba menyabarkan dirinya. Menyabarkan dirinya dengan sesabar mungkin. "Aku sangat tidak ingin berjalan denganmu Namikaze-san," Sakura menatap nanar pada Naruto diiringi penekanan pada setiap katanya.
Dan tanpa diduga Naruto ikut berhenti mengikutinya. Sakura memijit pelipisnya.
"Kau tidak mendengarku. Jalanlah duluan bodoh!" teriak Sakura.
"Hmm.." Naruto tak menjawab. Ia hanya bergumam sambil memasang pose sok berpikir dengan meletakkan tangan dibawah dagunya. "Tadi aku berjalan dengan Sai—" Sungguh! Demi dada besar Nona Tsunade. Sakura ingin sekali mencakar wajah pria ini yang memasang tampak sok innocentnya.
"Aku tahu. Dan aku lihat itu. Lantas?!" dan lagi-lagi Sakura merutuki dirinya yang menggubris omong kosong Namikaze Naruto.
"LANTAS KATAMU!" raut mukanya seketika berganti menjadi horor. "Aku tadi memiliki teman berjalan ke kantor lalu teman pirangmu merebutnya dariku Pink-chan," Naruto mengatakan dengan histeris hal sepele itu seolah-olah Tuan Jiraiya telah tobat dari sifat mesumnya. Dan lagi, ia menyebut Ino pirang? Tidak ingat bahwa rambutnya sendiri juga pirang? Merebut? Bukankah ini terbalik? Sai lah yang mengajak Ino tadi. Merebut Ino lebih tepatnya.
Ck! Kuso.
Wajah Sakura memerah menahan amarahnya. Naruto menyeringai. Ia nampak begitu menantikan wanita pink itu melontarkan kata pedas lainnya.
Demi apapapun! Sakura sedang sangat malas berdebat dengan lelaki ini. Ia lelah dan ingin istirahat. Ia kurang tidur semalam. Istirahat siang tinggal 20 menit lagi. Setidaknya ia ingin istirahat sejenak dengan damai di kantornya.
Ia lalu menghela napasnya dengan berat. Mencoba mengingatkan dirinya bahwa tidak seharusnya ia terpancing mulut sial Namikaze Naruto.
Hal selanjutnya yang ia pilih adalah mengabaikan Naruto dan berjalan meninggalkannya begitu saja ke arah lift. Menurut pemikiran paling warasnya, itu adalah pilihan terbaik.
Naruto menaikkan satu alisnya dan terheran dengan sikap cuek wanita itu. Ini tidak seru. Tidak biasanya wanita itu akan begini. Ekpresi kecewanya terlihat dengan jelas karena tidak ditanggapi Sakura. Ia lalu mengekor Sakura masuk kedalam lift yang mengambil posisi di bagian paling belakang. Naruto yang masih ingin mengerjai teman satu kantornya itu dengan sangat percaya diri sekali memilih berdiri menjejeri Sakura.
"Minggir! Jangan dekat dekat aku!"
Naruto melihat mata wanita itu berkilat marah.
Oke. Sakura kembali merespon. Namun melihat wajah wanita itu—yang ia baru sadar agak sedikit pucat. Ia lantas mencoba membuat dirinya mengerti bahwa Sakura mungkin sedang tidak dalam kondisi baik.
"Oke oke. Kali ini aku mengalah. Aku adalah gentlemen," bisiknya ditelinga wanita tersebut.
Sakura hanya memutar matanya bosan.
Naruto lantas pindah begitu saja—tanpa protes sedikitpun untuk berdiri pada sisi depan Sakura yang membuat dahi wanita itu mengernyit takjub.
'Tumben si bodoh ini tidak terus mencecarku,' batinnya dalam hati.
Lift mulai naik. Tak lama kemudian berhenti satu lantai dari posisi awal mereka. Lantai dua. Saat pintu terbuka, banyak orang yang masuk. Melihat betapa membludaknya penumpang lift, Naruto berniat sedikit menggeser posisi berdirinya ke samping.
Dan...naas, saat ia mulai berpindah, seseorang menyenggolnya dengan cukup keras membuat posisinya berbalik 180 derajat.
Ting..
Pintu lift menutup.
Glek..
Ia menelan ludahnya. Dapat ia lihat seseorang dihadapannya sama terkejutnya dengan dia. Sakura berada tepat dihadapannya dengan jarak sangat dekat. Terlalu dekat..
Si rambut pink musuh bebuyutannya.
"NA-RU-TOO.."
Naruto dapat mendengar dengan jelas wanita itu menggeram saat meneyebut namanya walaupun dengan sangat lirih.
Glek..
Ia menelan ludahnya sekali lagi. Tubuhnya menempel erat pada wanita itu.
Sial..
Ia mengumpat dalam hati. Saat menoleh ke belakang banyak sekali orang di lift itu. Ia tahu. Ia dan Sakura sama-sama tidak nyaman pada posisi ini. Tangannya yang semula berada di kanan kiri tubuhnya ia angkat lalu memposisikannya berada di kanan kiri kepala Sakura. Ia lakukan untuk menahan agar tubuhnya tidak terus menerus menghimpit Sakura.
"Apa yang kau lakukan baka!" Sakura kembali menggeram dengan pelan sambil memandang galak pada lelaki dihadapanya.
"Menurutmu aku ingin ini terjadi hehh!" Naruto berkata pelan agar tidak didengar banyak orang. Ia berusaha mengontrol emosinya pada keadaan 'panas' seperti ini.
"Angkat tanganmu," Naruto kembali berbisik ditelinga wanita itu.
Mata Sakura berkilat tidak suka. "Apa maskudmu heh"
"Angkat kedua tangamu di depan untuk menahan dada ratamu menyentuh dadaku," bisikan terakhir Naruto menyurutkan emosi Sakura. Wajahnya yang tadi memerah menahan amarah sempat sedikit menjadi pucat karena terkejut. Ia sama sekali tak menyadari hal ini. Namun tak lama, wajah pucatnya berganti kembali menjadi merah—merah karena malu tentunya.
Sial bertubi tubi. Itulah yang ia rasakan hari ini.
Sakura mulai mengangkat tangnnya ke depan dada perlahan. Kantor mereka ada di lantai 35 gedung ini. Ini masih lantai 5. Orang terus silih berganti namun lift tak kunjung kosong juga agar setidaknya ia bebas dari posisi ini.
Ia menatap Naruto. Lelaki itu tampak acuh sambil menatap ke tembok belakang lift. Sakura dapat melihat otot tangan lelaki itu menyembul dari tangannya menahan agar ia tak menghimpitnya.
Sakura mengulum senyum dibibirnya.
Ternyata ia bukan lelaki kurang ajar eh meskipun ia adalah mesum yang selalu menonton 'video tidak pantas' di ponselnya.
Sejauh ini yang bisa ditangkap mata Sakura tidaklah banyak karena tubuh besar Naruto berada di depannya. Sakura baru tahu kalau ternyata dada lelaki ini cukup besar dan bidang. Tanpa sengaja matanya melihat keatas.
Dan.. gotchaaa..
Sakura dapat melihat sedikit dada Naruto dibalik kemejanya karena 2 kancing atasnya terbuka.
Shit! umpatnya dalam hati. Ia menelan ludah. Dia jaadi berpikir bahwa lelaki ini cukup sexy sebenarnya. Kulitnya eksotis dan badannya bagus juga. Belum lagi aroma maskulin yang menguar dari tubuh lelaki itu. Makin menambah kesan sexy di matanya. Ia tidak pernah tahu bahwa bau tubuh Naruto bisa sememabukkan ini.
Sakura menampar dirinya sendiri dalam hati. What.. tunggu. Apa yang baru saja ia bilang. Naruto? Sexy? Mungkin ada masalah dengan mata dan otaknya kali ini.
"Heh.. mesum,"
Sakura mendengar Naruto berbisik ditelinganya. Ia segera mendongak tidak suka dan melemparkan pandangan yang seolah berkata 'apa maksudmu memanggilku seperti itu'.
"Jangan kau pandangi dadaku seperti itu terus. Nanti kau terpesona," ejek Naruto dengan sedikit seringaian telah terbit di bibirnya.
Sakura dan Naruto saling memandang. Wajah Sakura merah padam sekarang. Sakura terus mengutuk lift ini yang tak kunjung sampai. Dan tentu saja mengutuk Naruto dalam hati yang bibirnya tadk bisa dijaga.
Sedetik kemudian terdengar suara teriakan kencang dari dalam lift yang tentunya berasal dari Naruto yang ditendang tulang keringnya oleh Sakura.
-o-o-o-o-o-o-o-o-
Beberapa hari telah berlalu semenjak insiden antara Naruto dan Sakura di lift. Naruto sama sekali tidak melihat Sakura lagi semenjak kejadian itu. Mengingat Sakura ditugaskan untuk menghadiri acara seminar perusahaan di luar kota oleh atasannya.
Sejujurnya Naruto sedikit...
Bosan dengan kantornya tanpa kehadiran wanita itu.
"Namikaze-san," Naruto segera menoleh mendengar seseorang memanggil namanya . Ia melihat dari balik kacamata kerjanya ada seorang wanita dengan surai kuning pucat panjang menghampiri meja kerjanya. Shion. Sektretarisnya.
"Ada apa Shion," Naruto melepas kacamatanya dan meletakkannya diatas meja.
"Ano.. bolehkah saya pulang cepat malam ini?"
Naruto mengernyit. Ini sudah jam pulang. Memang Naruto saja yang belum pulang karena ada yang harus diselesaikan dan—sedikit mengusir rasa bosan sebenarnya. Selain tugasnya bertumpuk cukup banyak akhir-akhir ini.
Dan sekretarisnya itu tidak pernah sama sekali pulang sebelum dirinya walalupun ia sendiri yang menyuruhnya.
"Anak saya demam dan saya harus segera membawanya ke dokter."
"Pulanglah shion. Bukankah ini memang sudah waktunya," kata Naruto sambil tersenyum.
"Hai. Arigatou. Saya pamit dulu," kata Shion sambil dibarengi wajah yang penuh ucapan terimakasih. Setelah berojigi ia segera melangkahkan kakinya keluar ruangan.
"Sampaikan salamku pada anakmu ya," lanjut Naruto dengan suara sedikit keras karena Shion sudah hampir mencapai pintu.
"Hai."
Tak lama kemudian terdengar suara pintu tertutup bersamaan dengan menghilangnya Shion dari pandangan Naruto. Naruto mulai meregagkan otot bahunya yang kaku sambil mendesah keras. Sepertinya ia telah bekerja terlalu keras akhir-akhir ini.
"Anak ya.." ia menggumam pelan sambil berjalan ke jendela besar di belakang kursi kerjanya. Melihat pemandangan Konoha yang begitu indah malan hari. Raut wajahnya mendadak berubah sendu.
Ia pernah memimpikan memiliki anak—dulu.
Dulu saat ia masih awal menikah dengan Hinata—istrinya. Hingga suatu kecelakaan merenggut impiannya. Hinata yang sedang mengandung anaknya di bulan kedelapan harus merelakan puteranya itu meninggal karena kecelakaan bis yang di alaminya. Hati Naruto teriris mengingat kejadian itu.
Waktu itu ia masih pemuda berumur 22 tahun yang dengan bangganya menunggu kehadiran anak pertamanya. Sepuluh tahun sudah terlewati semenjak kejadian tersebut. Tanpa terasa, ia sudah berusia 32 tahun dan kadang merasa hampa melihat orang-orang seusianya paling tidak sudah mengantarkan anaknya pergi ke sekolah dasar.
Hinata selalu sulit hamil setelah kecelakaan yang menimpanya. Setiap memasuki bulan ke empat, kandungannya selalu gugur. Semenjak saat itu ia dan Hinata membuang jauh-jauh harapannya untuk memiliki anak. Ia serahkan saja pada Kami-sama.
Ia tahu kadang Hinata masih sangat tertekan karena kejadian naas yang merenggut putera pertamanya. Istrinya selalu berusaha menutupi dengan senyum diwajahnya. Sebenarnya Naruto tidak keberatan kalau ia tidak harus memiliki anak dengan Hinata. Ia sudah bahagia berdua saja dengan istrinya. Asal Hinata sehat dan bahagia itu sudah cukup baginya.
Hinata sering sekali mengunjungi pskiater 5 tahun belakangan ini. Dokter mengatakan mungkin rasa trauma dan stress atas kehamilan pertamanya lah yang membuat ia selalu keguguran memasuki bulan keempat. Masih merasa bersalah pada anak pertamanya lebih tepat. Dan tidak mudah melupakan hal itu.
Naruto tersenyum pedih mengingat penderitaan istrinya. Ia menutup matanya sejenak, mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat. Sudah beberapa hari ini Naruto tidak bertemu Hinata. Hinata bilang ia tidak ingin diganggu. Kalau sudah begini Naruto selalu pulang ke apartemennya yang lain dan tidur disana atau kalau tidak begitu ia biasanya tidur di kantor saja. Ia akan pulang dan bertemu Hinata nanti kalau istrinya itu sudah tenang dan menghubunginya kembali.
Rasa rindu mendadak menelusup dalam hatinya. Merindukan istrinya.
-o-o-o-o-o-o-o-o-
Suara pintu yang diketuk membuyarkan lamunan Naruto.
"Masuk." Naruto berbalik kebelakang untuk melihat siapa yang datang.
"Selamat malam Namikaze-san," sebuah suara feminim yang dikenalnya muncul bersamaan dengan orang sudah beberapa hari ini tidak dilihatnya. Senyum tipis lalu terukir di bibirnya.
"Oh.. kau Pinky. Apa kabar? Long time no see," Naruto berujar dengan sangat riang sambil melambaikan tangan pada tamunya.
"Jangan sok akrab," Sakura mendengus pelan dan langsung mendudukkan diri dengan kasar pada kursi tamu kantor Naruto.
"Kau selalu saja sinis seperti biasanya pink. Ada perlu apa kau malam-malam begini ke sini? Bukannnya kau sedang seminar di luar kota Ibu Manajer Design? Atau kau merindukanku?" Naruto berkata sambil ikut mendudukkan diri di kursi seberang Sakura dengan senyum jahil.
Sakura menatap nyalang pada Naruto. "Aku baru saja datang," katanya dengan Judes. Membuat Naruto terkekeh pelan.
"Dan kau langsung menemuiku. Kau merindukanku kan..,"
Lagi. Ia menggoda teman sekantornya itu. Sakura adalah musuh paling berharga dalam rutinitasnya. Setidaknya bisa menyingkirkan rasa bosan dari kehidupannya yang monoton.
"Tutup mulut busukmu itu sebelum kusumpal dengan sepatu."
Naruto tertawa lagi.
"Ini," tak menggubris guyonan Naruto, Sakura menyerahkan sebuah map pada lelaki itu. "Ada proyek baru untuk design ini. Buatkan aku contoh dengan bahan-bahan seperti spesifikasi yang tertera. Besok setidaknya paling lambat jam 3 sore sudah selesai."
Naruto membalik balik map yang diberikan Sakura. Memeriksa seluruh detail yang tertera disana. Dahinya sedikit berkerut saat membacanya dengan serius.
"Kita tidak mempunyai bahan ini sekarang. Tunggu 2 hari lagi aku baru bisa menyelesaikannya,"
Sakura nampak berpikir sejenak. Menimbang-nimbang waktu apakah masih mencukupi.
"Oke. Tiga hari lagi divisimu sudah harus menyelesaikan pekerjaan ini," ujar Sakura akhirnya.
"Deal!" Naruto menutup map tersebut dan berjalan kembali menuju meja kerjanya. Meletakkannya di atas meja agar ia tidak sampai lupa besok.
Sakura tahu. Walaupun lelaki ini adalah musuh bebuyutannya, ia juga adalah partner terbaik pekerjannya pada saat-saat yang dibutuhkan. Naruto selalu bisa diandalkan untuk urusan pekerjaan. Tapi tidak untuk urusan mulutnya. Sakura tersenyum miris megingatnya.
"Kau tidak pulang lagi?" tanya Sakura saat melihat sebuah tas di dekat meja kerja Naruto yang selalu ia bawa saat sedang tidak pulang kerumah.
"Aku tidur beberapa hari ini di kantor," Naruto sudah duduk kembali di hadapan Sakura sekarang. Menyandarkan tubuh lelahnya pada sofa empuk tersebut dengan nyaman.
"Bukankah kau punya apartemen sendiri," Sakura menaikkan kedua alisnya heran. "Kenapa tidak kesana saja. Bukankah lebih nyaman?"
"Terasa sangat sepi bila sendiri," jawab Naruto. Matanya menatap pada langit-lagit ruangan. Tampak menerawang.
"Bukannya disini sama saja," Sakura tersenyum iba. Kadang ada beberapa hal yang tidak semuanya menyebalkan pada Naruto. Ada sisi kesepian yang tidak banyak orang tahu dibalik sifat ceria lelaki itu.
"Entahlah. Aku suka saja pada tempat ini," mata Naruto terpejam. Ia mulai merasakan kantuk menyerangnya.
Sakura mengangguk paham dan bersiap meninggalkan kantornya. Sepertinya mandi dengan berendam air hangat adalah ide bagus nanti bila sudah sampai rumah. Badannya begitu lelah setelah mengikuti seminar beberapa hari ini. Belum lagi perjalanan Hokkaido-Konoha yang memakan waktu 6 jam. Walaupun dengan pesawat, tetap saja ia lelah.
Sebelum pergi, melirik sekilas pada teman kantornya yang paling menyebalkan. Sepertinya lelaki itu lelah. Dan Sakura tidak ingin mengganggu istirahatnya.
Namun, lagi-lagi matanya menangkap hal yang tidak dinyana..
Naruto dan kedua kancing baju atasnya yang terbuka.
'Ughh.. lagi-lagi,' ujar Sakura dalam hati. Mendadak wajahnya memanas. Entah mengapa setelah kejadian di lift tempo hari ia selalu merasa aneh saat melihat Naruto. Bahkan ia merasa bahwa dirinya sudah sedikit tidak waras. Ia beruntung Naruto sedang terpejam sekarang dan tidak dapat melihat wajahnya yang memerah sempurna. Dan inilah yang mengganggu Sakura terus menerus akhir-akhir ini.
"Aku pulang dulu," Sakura beranjak dari duduknya. Lelaki itu hanya menjawab dengan gumaman saat Sakura berpamitan. Sekali lagi ia memandang Naruto dan kancingnya. "Setidaknya tutup 2 kancing bajumu yang terbuka itu baka!" ia lalu mulai melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu. Namun belum dua langkah, sebuah lengan tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya.
"Temani aku.."
Sakura meneguk ludahnya saat Naruto mengatakan hal itu dengan suara dan tatapan memelas dari kedua safirnya..
To be Continue..
Hai haiiii.. Saya dateng dengan MC baru. Hihi.. Untuk seri teman kencan, insya allah akan update dalam beberala hari ke depan. Masih proses edit dan pengembangan cerita lagi biar gak membosankan. Hehe.
Buat yang pengen kenalan, atau nagih cerita wkwkwwk. Feel free buat pm di insta saya aesputri_utomo
Mohon review-fave-follow ya minna kalau cerita ini layak dilanjutkan..
Jaaaa~
