.
Semanis Berry
.
Kuroko no Basket adalah milik Fujimaki Tadatoshi. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dalam pembuatan fanfiksi ini, ini dibuat semata-mata untuk hiburan dan berbagi kesenangan.
Aomine Daiki/Momoi Satsuki, T, Romance
© kazuka, february 6th, 2014
.
"Satsuki sudah menyukai berry sejak dahulu, sejak dia kecil. Hei, siapa yang menyangka ternyata kisahnya bersama Daiki bisa seenak buah itu?"
.
Kesukaan Satsuki pada buah berry sudah dipahami Daiki sejak mereka masih sebagai bocah yang cuma tahu bermain, basket, gulali, tidur, kue manis, dan menangkap lobster. Bukan merupakan sebuah gangguan untuk Daiki, sebenarnya, biarpun Satsuki sering memaksanya untuk menemani membeli berry di toko dekat rumah mereka.
Kadang, hobi Satsuki ini ternyata bermanfaat untuk manisnya kisah hubungan antarkeduanya, untuk rasa bahagia mereka, untuk pelengkap bagian hidup mereka, walau dengan cara yang sederhana.
.
xxx
.
Daiki mengepalkan tangannya kuat-kuat, bahkan buku tangannya memutih. Kepalan tangan itu kemudian dia tubrukkan ke lantai, namun dari wajahnya nampaknya dia belum puas. Terdengar dengus ketidaksukaan lepas dari bibirnya.
Bohong kalau semua itu lepas dari pengawasan Satsuki. Gadis itu cuma diam, membiarkan angin penghujung musim semi melengkapi geraman kemarahan Daiki. Dia menyilangkan tangannya di depan dada dan menonton Daiki di depannya.
"Memangnya siapa yang peduli kalau nilaiku rendah semuanya jika aku bisa main basket dengan baik dan membanggakan sekolah dengan memenangkan pertandingan?"
Satsuki masih menonton, bibirnya mengatup rapat.
"Seenaknya saja dia mau menskorsing kalau nilai pretes minggu depan jelek. Memangnya dia tidak tahu berapa kali aku membantu sekolah untuk pertandingan?"
Kepalan tangan Daiki dibenturkan lagi ke lantai. Dia tidak memperhatikan bahwa Satsuki berjalan ke arahnya dan mendekap kotak makanan berlapis kain merah, kemudian duduk bersimpuh di belakang kepalanya.
"Seenaknya saja menyuruhku berhenti latihan sementara cuma untuk les tambahan. Itu menyebalkan."
Satsuki membuka kotak makannya.
"Di saat aku ingin berlatih lagi, ada hal menyebalkan ini. Kau tahu betapa menyebalkannya ini, Satsuki."
Satsuki tersenyum kecil—bukan untuk Daiki, sebenarnya—melainkan untuk apa yang menghuni kotak makannya, kesemuanya berbentuk biji kecil yang manis. Dia tidak membawa nasi dan lauknya hari ini, sengaja dia mencomot hampir seluruh buah ini dari kulkasnya cuma karena sedang bosan dengan nasi.
Blueberry. Salah satu buah favorit Satsuki, cuma Daiki orang yang paling hafal akan fakta ini selain orang tuanya.
Daiki sepertinya akan melanjutkan lagi. Satsuki mengubah posisi, bertiarap dengan kotak makan itu masih berada di hadapannya, diletakkan di samping kepala Daiki.
"Aku akan bolos. Mana aku peduli dengan nilai akhir kalau—"
"Jangan bandel, Dai-chan," Satsuki memotong kalimat Daiki dengan menyumpal mulut lelaki itu dengan sebuah blueberry.
"Hmff—"
"Ayo, protes lagi soal pelajaran," pinta Satsuki dengan nada sarkastik. Dia menyuapkan satu lagi buah biru itu. "Siapa yang bisa menjamin masa depanmu kalau kau mengabaikan belajar? Mau masuk jurusan mana nanti kuliahnya kalau tidak mau belajar? Kuliah itu untuk masa depanmu, Dai-chan. Nanti mau kerja apa kalau kuliahnya tidak benar?"
"Itu urusan nanti."
"'Nanti' itu ada hubungannya dengan sekarang, tahu," tegur Satsuki, tidak mau kalah, dan tiga blueberry dimasukkannya sekaligus ke mulut Daiki, berharap jumlah itu bisa menghentikan kalimat gerutuan Daiki sementara. "Kau itu laki-laki, Dai-chan. Kau harus bekerja nanti. Mau jadi apa kalau sekolah saja belum benar. Aku tahu kau cinta basket tapi pikirkanlah orang yang harus kau tanggung nanti. Main basket tidak selamanya bisa mendatangkan uang seperti bekerja."
"Aku harus jadi apa nanti?"
"Mana kutahu. Itu 'kan urusan Dai-chan sendiri."
"Kau maunya aku jadi apa?"
"Kenapa jadi aku?"
Daiki memejamkan mata, dibiarkannya angin yang bebas berkeliaran di atap sekolah ini menyapu wajahnya. "Soalnya kalau hal-hal tentangku kuserahkan padamu, maka pasti akan jadi beres. Seperti yang biasa kau lakukan selama ini."
Satsuki seperti ketagihan memberikan blueberry tersebut ke mulut Daiki. Entahlah, dia hanya merasa senang melakukannya, karena dengan itu, Daiki bisa sedikit mereda.
"Kalau aku menurut denganmu, kurasa semua akan baik-baik saja."
"Businessman, mungkin? Yang mengelola perusahaan, bisnis ini-itu dan ikut proyek-proyek besar yang menghasilkan uang banyak."
"Aku pasti sibuk sekali kalau begitu," Daiki tidak juga membuka matanya, "Kurasa kautidak mau punya suami yang sangat sibuk."
"... Eeh?"
"Nah, berarti kautidak mau," putus Daiki sepihak. "Tolong carikan tipe pekerjaan lain yang lebih baik," Daiki tidak menutup mulutnya setelah kalimatnya selesai, dia menunggu Satsuki memasukkan berry lain ke mulutnya. Tampaknya dia juga ketagihan dengan rasa buah itu.
"Ma-maksudmu apa, sih, Dai-chan?" Satsuki berusaha keras agar merah di wajahnya tidak tampak. Tapi gagal, sepertinya. dia hanya berharap Daiki tidak membuka matanya.
"Masa depanku di tanganmu, Satsuki," ucap Daiki dengan suara paraunya yang rendah, "Aku hanya tidak bisa membayangkan hidupku berjalan tanpa kau dan rencana-rencanamu."
Satsuki berhenti memasukkan blueberry ke mulut Daiki.
"Kau ini tergantung sekali denganku, Dai-chan, nanti kalau kau menikah bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana?" Daiki akhirnya membuka mata, dia mendongak, mendapati wajah Satsuki berpaling darinya, dapat dia lihat sedikit rona merah mengintip dari pipi Satsuki. Dan itu membuatnya menyeringai. "Kau yang akan menikah denganku, tahu."
"Posesif sekali."
"Seperti yang kubilang," tambah Daiki. "Diriku sendiri saja tidak tahu bagaimana hidupku kalau tidak ada kau yang membantu," dia merebut satu blueberry yang baru saja akan dimasukkan Satsuki ke mulutnya sendiri.
"Kau sama sekali tidak romantis," Satsuki bersungut-sungut.
"Kau juga bukan perempuan yang suka laki-laki romantis, 'kan?"
"Tambahan," sanggah Satsuki. "Aku juga tidak suka laki-laki pemalas."
"Huh," Daiki merapalkan keluhan lagi, dia pun bangkit dari posisinya untuk duduk membelakangi Satsuki, tapi kemudian mengubahnya menjadi menghadap gadis itu. "Ajari aku."
Topik langsung berubah seenak yang Daiki mau. Satsuki seakan ingin menggamparnya, semudah itukah bagi Daiki untuk mengganti pembicaraan yang tadi membuatnya berjuang keras untuk menyembunyikan rona malu di wajah dan menahan jantungnya agar tidak meledak, serta menghentikan rasa menggelitik dari kupu-kupu imajiner yang menari di perutnya?
Satsuki pun mengembuskan napas panjang sebagai bentuk penenangan diri. "Um, aku juga bukan siswa yang cerdas. Bagaimana kalau kita minta Riko-san, pelatih Seirin. Dia juara dua di sekolahnya, lho. Dia senior, aku yakin dia mau kalau kita minta baik-baik lewat Tetsu-kun."
"Aku cuma mau kau yang mengajari. Biar aku yang datang ke rumahmu."
"Haaah, terserahlah," Satsuki menggelengkan kepala. Sementara dia diam mencari kalimat yang baik, Daiki kembali mencuri blueberry dari gadis itu. Diambilnya pergelangan tangan Satsuki, dipaksa gadis itu menyuapkan buah biru itu untuknya lagi. "Jadi, aku harus jadi apa nanti, Satsuki?"
Satsuki mengerucutkan bibirnya. "Jadi ayah yang baik," dia sambil membuang muka, tidak mau wajah merahnya jadi bahan tertawaan Daiki.
"Yakin?" Daiki mendekatkan wajahnya pada Satsuki. "Ayah yang baik atau suami yang memuaskan istrinya luar-dalam?" seringainya terbit sebagai pelengkap.
Hening dulu untuk beberapa saat.
"Hentai!" Satsuki pun melemparkan segenggam blueberry ke wajah Daiki.
Mungkin blueberry itu memang ampuh untuk memadamkan api kekesalan Daiki ... sekaligus membantu Satsuki menyadarkan Daiki betapa pentingnya masa depan.
Ya, masa depan mereka berdua.
.
.
| e n d |
.
A/N: finally, my very first multichaptered aomomo! fic ini bakal berisi tujuh ficlet di tiap chapter-nya. masih berhubungan satu sama lain, sih, tapi nanti kalau mau dibaca terpisah juga nggak apa-apa, nggak berpengaruh banyak kok. mohon koreksinya kalau ada yang keliru, ya! XD daaaan, terima kasih sudah baca XD, ayo lestarikan virus aomomo /PLAK/
